vendredi 24 octobre 2014

Format Prajuru Desa Pakraman pada Era Global

Format Prajuru Desa Pakramanpada Era Global [1]

Wayan P. Windia

Abstract

Desa pekraman is headed by a set of village chiefs called prajuru desa or dulu desa. The top head of prajuru desa is generally called bendesa. There are some calling it kelihan desa, kelihan adat, etc.
The rule that underlies the performance duties in leading social activities in desa pekraman is Balinese adat law (the local awig-awig of the village) and other rules that obtain in Bali Province and the national laws.
Life activity in the desa pekraman of long time ago is relatively simpler that in the globalization era nowadays. Therefore, its necessary to have some adjustments of the format of the structure of prajuru desa so that they can perform their duties an authority according to expectation.



Pendahuluan
Desa pakraman merupakan organisasi masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah tempat tinggal bersama dan spiritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola hubungan dan pola interaksi sosial masyarakat Bali. Sebuah  desa pakraman,  terdiri dari tiga unsur, yaitu :  (1) Unsur parahyangan (berupa tempat suci agama Hindu). (2)  Unsur pawongan (warga desa yang beragama Hindu). (3)  Unsur palemahan (wilayah desa yang berupa karang ayahan desa dan karang gunakaya yang ditata menurut agama Hindu).
Sebagai salah satu organisasi tradisional  Bali dan  tempat orang Bali melaksanakan aktivitas sosial religius sesuai ajaran agama Hindu, desa pakraman dipimpin oleh   perangkat pimpinan desa  yang disebut prajuru desa atau dulu desa.  Pucuk pimpinan prajuru desa, pada umumnya disebut bendesa. Ada juga yang menyebutnya kelihan desa, kelihan adat, dll.
Secara tradisional, prajuru desa dan warga desa pakraman (dikenal dengan sebutan krama desa), menjalankan tanggungjawab (swadharma) menggerakkan roda  kehidupan desa pakraman  berdasarkan perangkat aturan berupa awig-awig dan perarem (baik tertulis maupun yang tertulis), catur dresta, paswara dan berbagai aturan lainnya yang berlaku di Bali maupun hukum nasional.
Sejalan dengan perkembangan zaman, kini desa pakraman memasuki era baru yang dikenal dengan era global. Kenyataan ini dapat menimbulkan  konsekwensi yang berbeda terkait dengan swadharma prajuru desa. Swadharma yang harus dilaksanakan oleh prajuru desa tidak lagi sesederhana dulu, melainkan menjadi lebih kompleks. Oleh karena itu, format serta keberadaan prajuru dan perangkat aturan yang selama ini dijadikan landasan dalam menggerakkan kehidupan desa pakraman,  sepatutnya disesuaikan dengan perkembangan zaman. Format  dalam hal ini  diartikan sebagai susunan organisasi dan personalia prajuru desa pakraman.  Tulisan singkat ini disusun dengan maksud mencari jawab atas pertanyaan, bagaimana format prajuru desa pakraman sebaiknya disusun  di era global?  

Prajuru Desa, Dulu dan Kini
Seperti telah disinggung di muka, sebuah desa pakraman dipimpin oleh   perangkat pimpinan  yang disebut prajuru desa atau dulu desa. Pucuk pimpinannya  disebut bendesa. Nama dan format prajuru desa tergantung tipe  desa.[2] Prajuru di desa Bali Aga dikenal dengan sebutan dulu desa. Sementara di Desa Apanaga dan desa Bali Anyar,  perangkat pimpinan desa umumnya disebut prajuru desa. Prajuru desa tempo dulu dan pada umumnya prajuru dewasa ini,  terdiri dari seorang bendesa (ketua)[3] dan seorang atau beberapa orang  petajuh (wakil). Pada dasarnya yang melaksanakan tugas ke-prajuru-an adalah bendesa, baik dalam hubungan dengan tugas sebagai pucuk pimpinan, tugas kesekretariatan maupun kebendaharaan. Petajuh atau wakil bendesa bertugas sebagai pembantu bendesa disamping para pembantu yang lainnya, seperti tutus dan kasinoman (semacam pesuruh). Artinya, seorang petajuh baru akan melaksanakan tugas kalau bendesa berhalangan atau tugas dilaksanakan hanya atas perintah bendesa.[4]
 Persyaratan menjadi prajuru jauh lebih  ringan dibandingkan dengan persyaratan untuk menjadi calon legislatif (caleg)  atau calon bupati (cabup). Syarat yang utama adalah  menguasai adat Bali dan agama Hindu. Sesudah itu, barulah disusul dengan persyaratan yang lainnya, terutama kejujuran. Persyaratan menguasai adat Bali dan agama Hindu dianggap penting, terkait dengan unsur-unsur desa pakraman yang terdiri dari: unsur parahyangan (berupa tempat suci agama Hindu), unsur pawongan (warga desa yang beragama Hindu), dan unsur palemahan (wilayah desa yang berupa karang ayahan desa dan karang gunakaya yang ditata menurut agama Hindu).  
Walaupun persyaratan menjadi prajuru jauh lebih  ringan dibandingkan dengan persyaratan menjadi caleg atau cabup, tetapi lebih banyak krama desa yang tertarik untuk ”mengabdi” di lembaga legislatif atau menjadi bupati, dibandingkan dengan mengabdi sebagai prajuru desa. Barangkali itu sebabnya sehingga muncul berbagai variasi dalam menentukan prajuru desa, seperti tergambar dibawah ini. 
1.     Diurut (ririgan) berdasarkan senioritas (mauluapad). Dapat dijumpai pada Desa Bali Aga,  seperti di Desa Pakraman Trunyan,  Penglipuran, Tenganan Pagringsingan, dll.
2.     Dipilih langsung melalui  pesamuan (rapat) desa berdasarkan suara terbanyak atau  atas dasar  musyawarah mufakat, seperti umumnya dapat dijumpai di Desa Apanaga, seperti di Desa Pakraman Denpasar, Desa Pakraman Gianyar, Desa Pakraman, Sukawati, dll.
3.     Ditunjuk berdasarkan keturunan, seperti di Desa Pakraman Sebetan, Selumbung (Karangasem) dan Kubutambahan (Singaraja).
4.     Penggabungan antara pemilihan langsung dan ririgan, seperti di Desa Pakraman  Julah (Singaraja). Dalam hal ini, ada krama tertentu yang secara otomatis menjadi  prajuru,  seperti  misalnya,  jero kubayan,  jero bau, jero pengenen. Sedangkan untuk prajuru lainnya (kelian desa adat dan para pembantunya), dipilih berdasarkan musyarah mufakat.
5.     Dilaksanakan secara bergantian berdasarkan pipil (semacam kartu KK) dan urutan rumah tinggal (ririg umah),  seperti di Desa Pakraman Singapadu dan Desa Pakraman Tangsub, Sukawati.

Selain berkaitan dengan adat Bali dan agama Hindu, prajuru desa juga mengemban tanggung jawab lain. Swadharma (tanggung jawab)  yang harus dijalankan oleh prajuru desa pakraman,  secara rinci diatur pada  pasal 8 Perda Prop. Bali Nomor : 3 Tahun 2001. Pasal ini  menentukan sebagai berikut : Prajuru desa pakraman mempunyai tugas-tugas : (a) Melaksanakan awig-awig desa pakraman. (b) Mengatur penyelenggaraan upacara keagamaan  di desa pakraman, sesuai dengan sastra agama dan tradisi masing-masing.  (c) Mengusahakan perdamaian dan penyelesaian sengketa-sengketa adat. (d) Mewakili desa pakraman dalam bertindak di dalam maupun di luar pengadilan  atas persetujuan paruman desa. (e) Mengurus dan mengatur pengelolaan harta  kekayaan desa pakraman.  (f) Membina kerukunan umat beragama dalam wilayah desa pakraman [5].
Dalam pedoman teknis penyuratan awig-awig yang dikeluarkan oleh Biro Hukum Pemda Bali, menentukan beberapa tugas  yang harus diemban oleh  prajuru desa adat  sbb : (1) Swadharmaning bendesa adat  luwire : a. ngenterang pamargin sadaging awig-awig   miwah   pararem desa ; b. nuntun tur  ngenterang krama  raawuhing warga desa ngupadi manut  patitis  ; c. mawosin kalih niwakang pamutus  arep ring wicara  warga  desa   ; d. maka dutta   Desa   matemuang  bawos ring   saapa sira  ugi. (2) Prade  prajuru  iwang pelaksana keni  pamidanda   nikel ring kaiwangan  soang-soang krama, tur  dados kararyanang  manut  pararem. (Pawos  16). Sedangkan mengenai olih-olihan prajuru desa adat, diatur sbb : a. luput rerampen lan  papeson  ; b. polih  tanding  tengah; c. upon  pacatu/ palaba carik/ tegal ; d. patias sewosan mabut pararem. (Pawos 17). Oleh karena pedoman ini menjadi semacam ”buku suci” yang dijadikan pegangan pada saat merumuskan awig-awig tertulis di desa pakraman, maka menjadi masuk akal kalau swadharma prajuru yang tertuang dalam awig-awig tertulis desa pakraman satu agak mirip dengan desa pakraman yang lainnya.
Berkaitan dengan masa pengabdian,  umumnya desa pakraman menetapkan masa pengabdian prajuru selama lima tahun.[6]  Atas pengabdiannya kepada desa pakraman, prajuru mendapatkan semacam ”tunjangan” yang dikenal dengan olih-olihan atau patuas. Diberikan oleh desa pakraman dan juga oleh  pemerintah. Dari desa pakraman biasanya dalam bentuk leluputan (dibebaskan dari beberapa kewajiban)[7] dan tanding tengah.[8]  Sementara dari pemerintah prajuru (khususnya bendesa) mendapat insentif dalam bentuk uang dan  sebuah sepeda motor.
Memperhatikan keadaan prajuru seperti diuraikan di atas,  dapat diketahui bahwa format dan swadharma yang harus dijalankan oleh prajuru, tampak sederhana. Kesederhanaan penampilan format prajuru disebabkan karena swadhrama yang harus dilaksanakan memang relatif sederhana. Urusan prajuru desa lebih banyak berkisar pada persoalan yang berkaitan dengan  adat Bali dan agama Hindu dalam wadah desa pakraman.

Prajuru Desa Era Global
Apabila urusan prajuru desa tempo dulu lebih banyak berkisar pada persoalan adat Bali dan agama Hindu dalam wadah desa pakraman, lalu bagaimana halnya dengan urusan prajuru desa pakraman pada era global ?  Urusannya tentu lebih kompleks, sejalan dengan kompleksitas kehidupan pada era global. Sebelum menyentuh urusan prajuru yang sebenarnya, ada baiknya diketahui terlebih dahulu beberapa pengertian terkait dengan era global dan ciri-ciri globalisasi. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari  uraian  lantang lajok (tak keruan). 
Kehadiran kata dan ungkapan tertentu dalam kehidupan manusia, mengalami pasang surut, seperti air laut. Ungkapan ”era global” kini sedang mengalami masa pasang. Semua orang merasa seperti ketinggalan zaman kalau tidak menggunakan ungkapan ini dalam lalu lintas pergaulan.  Sekitar tahun 1960-an kata ”ganyang” mengalami masa pasang, seperti halnya era global sekarang. Demikian populernya “ganyang” sampai-sampai  orang tak sempat lagi memikirkan apakah kata itu termasuk bahasa Indonesia baku ataukah berasal dari anyang (salah satu  masakan khas Bali).  Tanpa sebab musabab yang jelas,  pada akhirnya “ganyang” lenyap tanpa rarapan (tak jelas rimbanya), sementara anyang tetap eksis sebagai salah satu olahan (masakan) khas Bali. 
Jaman Pak Habibie menjadi  Menristek  pada era Pak Harto menjadi Presiden RI, ungkapan “tinggal landas” menjadi sangat terkenal di kalangan pejabat, mulai pejabat tinggi sampai pejabat rendah. Sekarang ungkapan itu bukan saja mengalami masa surut bahkan berubah menjadi goyonan yang menggelikan. Kini yang terkenal bukan lagi ”tinggal landas” melainkan  ”tinggal di landasan”,  atau  ”ditinggal landasan”. Apa sebenarnya arti ”tinggal landas” dan apakah surutnya ungkapan ini  disebabkan karena  munculnya ungkapan  sing ada apa de ?”  Sampai sekarang tidak jelas.
Belakangan muncul  ”era global” dan sejak Bali diguncang bencana bom Bali (12 Oktober 2002), muncul ”ajeg Bali”, yang kurang lebih memiliki tingkat keterkenalan sekelas ”ganyang”,  “tinggal landas” dan  sing ada apa de” pada zamannya masing-masing. Apakah pada suatu saat ”era global” dan ”ajeg Bali”  akan mengalami masa surut  dan bahkan lenyap? Tidak penting untuk dijawab. Yang penting, tahu secara sumir  pengertian global  agar dapat memberikan gambaran tentang format prajuru desa pakraman  pada era global.
Global dan globalisasi  sudah menjadi kata  kunci saat ini dalam  pembahasan pembangunan  dan pertumbuhan ekonomi. Proses  globalisasi  tampak sebagai sesuatu  yang membawa  adanya  pertukaran informasi  dan komunikasi  antar bangsa  secara lebih  terbuka. Tetapi, arti kata  globalisasi  sendiri lebih  berakar pada  perdagangan dari pada proses  pemersatuan bumi. Dalam  kamus Oxford (1974) ternyata tidak  memuat kata “globalisasi”. Yang ada hanya  kata  “global” yang diartikan  sebagai world-wide. Dalam  Oxford (1994) diartikan  sebagai covering or affecting the whole world. Walaupun  demikian, globalisasi dapat kita  artikan sebagai  proses  yang meliputi atau  mempengaruhi  seluruh dunia.
Mengutip Dictionary of Macroeconomy (1990), Hira Jhamtani (2001: 148) menyatakan ‘globalisation’  sebagai term describing the formation of global financial  markets  for stock and shares (deposits) and the global trade  of  money, currencies and loans. Jadi, jelaslah  bahwa sebenarnya  proses globalisasi  lebih berkaitan  dengan perdagangan  dan bukan proses untuk  mencapai kesatuan  antar bangsa di dunia.  Lebih jauh dikemukakan bahwa dalam kenyataannya  globalisasi tidak  berjalan secara  adil dan  setara karena  berakar  pada pemikiran  dan kemauan  negara maju.  Karena itu,  globalisasi dapat dikaitkan  dengan “Baratisasi”,  dimana paradigma  “Barat”  dianggap sebagai global  dan universal, sementara  paradigma  “Non Barat”  dianggap  sebagai lokal dan primitif. Secara  gamblang  globalisasi  timbul dari  niat negara-negara  maju (Utara) untuk  membuka  pasar  negara-negara Dunia Ketiga (Selatan). Hal ini terutama  dilakukan melalui  perundingan dagang  Putaran Uruguay di bawah  Persetujaun Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GAAT)  yang melahirkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Selain perdagangan, isu  globalisasi lain yang dilansir  Utara  meliputi pula  persoalan lingkungan, hak asasi  manusia dan demokratisasi.[9]
Singkat cerita, globalisasi  dapat digambarkan sebagai suatu proses saling ’ketergantungan’  ekonomis yang terus berkembang  di antara  negara-negara  di dunia.  Menurut Kavaljit Singh (1998: 3), proses globalisasi  dewasa ini dicirikan oleh lima perkembangan pokok :
a.     Pertumbuhan transaksi keuangan internasional yang cepat.
b.     Pertumbuhan perdagangan yang cepat, terutama diantara  perusahaan-perusahaan tran-nasional.
c.     Gelombang  investasi asing langsung  (foreign direct investment),  yang mendapat  dukungan luas  dari kalangan  perusahaan trans-nasional
d.     Timbulnya  pasar global.
e.     Penyebaran teknologi  dan berbagai  pemikiran sebagai akibat dan ekspansi  sistem   transportasi  dan komunikasi yang cepat  dan meliputi seluruh dunia.

Terlepas dari adanya pengaruh globalisasi, keadaan desa pakraman zaman sekarang tampak berbeda dibandingkan dengan desa pakraman tempo dulu. Desa pakraman zaman sekarang lebih kompleks. Unsur desa pakraman memang  sama (unsur parahyangan, pawongan dan palemahan), tetapi substansinya beda, terutama yang menyangkut unsur  pawongan (penduduk) dan palemahan (lingkungan alam).  Keadaan penduduk desa tidak lagi sesederhana (homogen) zaman dulu,  melainkan  relatif lebih beragam (heterogen). Lebih-lebih lagi di daerah perkotaan. Penduduk di desa pakraman terdiri dari krama desa (anggota desa pakraman yang terdiri dari orang-orang yang beragama Hindu),  krama tamiu (orang-orang yang beragama Hindu tetapi bukan  anggota desa pakraman),  dan tamiu (orang-orang non Hindu dan sudah pasti  bukan  anggota desa pakraman), yang terdiri dari tamiu dalam negeri dan tamiu asing. Bahasa, agama, budaya, dan pendidikannya, juga sangat beragam. Palemahan desa (wewengkon atau wilayah) tak lagi jelas dan utuh, melainkan saling seluk (peat-peot tak keruan). Tak jelas mana tegak desa (tempat pemukiman) dan mana bengang (hamparan sawah dan ladang).  Desa pakraman pada era global,  selain mengurus persoalan adat Bali dan agama Hindu, krama desa dalam kaitan dengan  parahyangan, pawongan dan palemahan (sesuai dengan keyakinan Hindu),  juga harus berurusan dengan partai politik, penguasa, pengusaha, LSM, peneliti (dalam negeri dan luar negeri), maklar tanah, biro jasa, notaris, pengacara,  pedagang asongan, mahasiswa, WTS, gelandangan, dll. Oleh karena urusannya lebih banyak dan kompleks (kadang-kadang juga semerawut), maka masalah yang harus dihadapi desa pakraman dan prajuru zaman sekarang, menjadi lebih kompleks. Baik  masalah internal maupun  masalah eksternal desa pakraman.

Penutup
Mengingat persoalan yang harus dihadapi oleh prajuru desa pada era global semakin kompleks, pertanyaannya, bagaimana format prajuru desa pakraman sebaiknya disusun  pada era global? Jawabnya sebagai berikut.  Pertama,  untuk lebih mudah menjalankan tanggung jawabnya (swadharma), format prajuru zaman sekarang sebaiknya disesuaikan dengan era global. Dalam arti,  struktur dan personalia  prajuru desa pakraman, agar disusun sedemikian rupa sehingga lebih sesuai dengan kemungkinan atau kompleksitas  masalah yang  dihadapi.  Jumlah petajuh (wakil) jangan lagi satu orang, tetapi 3 orang. Dengan format seperti ini, masing-masing wakil akan mendapat tugas sesuai dengan unsur-unsur desa pakraman. Misalnya, petajuh I bidang parahyangan, petajuh II bidang pawongan dan petajuh III bidang palemahan.  Kedua, membentuk  lembaga baru yang dikenal dengan  sabha desa, untuk mendampingi prajuru dalam mengemban tanggung jawabnya. Sabha desa ini terdiri dari prajuru desa dan prajuru banjar ditambah orang-orang yang berasal dari berbagai latar belakang pekerjaan dan pendidikan yang dianggap dapat memberikan kontribusi kepada desa pakraman, sesuai dengan latar belakang dan keahlian yang dimiliki. Sabha bukan saja membantu prajuru desa dalam ngarincikan (merancang) program, tetapi juga dapat mewakili bendesa, dalam hal-hal tertentu. Contoh, apabila bendesa harus berhadapan dengan tokoh parpol, pengusaha, penguasa, peneliti, penegak hukum,  LSM, dll, sedangkan bendesa kurang memahami persoalan yang akan dibicarakan, dalam hal ini  bendesa dapat menunjuk salah satu anggota sabha yang dianggap menguasai bidang ini mewakili bendesa. Ketiga, prajuru desa perlu memiliki program dan uraian tugas (job discription) yang jelas (contoh terlampir),[10] sehingga lebih mudah dalam mengemban tanggung jawab. Keempat, desa pakraman agar menyiapkan kantor sekretariat dan berbagai kelengkapan pendukung (ATK, dll),  bagi prajuru desa. Dana yang diperlukan untuk ini, dapat diusahakan dengan menyisihkan  sebagian kecil bantuan rutin yang diterima dari pemerintah.
-o0o-



Daftar Pustaka


Biro Hukum Setwilda Tingkat I Bali, 1998. “Pedoman/Teknis Penyusunan Awig-awig dan Keputusan Desa Adat”, tanggal 15 Agustus 1998.
Dherana, Tjok Raka, 1995. Desa Adat dan Awig-awig dalam Struktur Pemerintahan Bali. Denpasar, Upada Sastra.
Dwipayana, A.A.G.N,  2005.  Globalism. Penguatan Politik Representasi atas Bali oleh Uluangkep.
Hira Jhamtani, 2001. Ancaman Global dan Imperialisme Lingkungan. Insinst Press, Yogyakarta. 
MPLA Dati I Bali, 1990. Mengenal dan  Pembinaan Desa  Adat di Bali.  Denpasar, Proyek Pemantapan  Desa  Adat. 
Naisbitt, John, 1994. Global Paradox. Semakin Besar Ekonomi Dunia Semamkn Kuat Perusahan Kecil.  Alih bahasa Drs Budijanto, Jakarta, Bina Rupa Aksara.
Purwita, I B P, 1984.   Desa Adat dan Banjar Adat di Bali. Denpasar, Kawi Sastra.
Perda  Prop.  Bali Nomor :  06 tahun1986  tentang Kedudukan Fungsi  dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum dalam  Prop. Daerah Tingkat I Bali.
Perda  Prop.  Bali Nomor :  03 tahun 2001  tentang Desa Pakraman.
Kavaljit Singh, 1998. Memahami Globalisasi Keuangan.Yakoma-PGI  Jakarta. 
Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Oxford University Press, 1974.
Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Oxford University Press, tenth impression, 1994.
Suhanadji-Waspodo TS, 2004.  Modernisasi dan Globalisasi. Malang, Insan Cendikia.
Schooorl, J.W, 1982.  Modernisasi. Pengantar Sosiologi Pembangungan Negara-negar Sedang Berkembanga, Jakarta, Gramedia.
Windia, Wayan P, 2003. Membangun Desa Adat Bali yang Sejuk. Gianyar, Bali Jani.
Wyasa Putra, Ida Bagus, 1998. Bali dalam Perspektif Global.  Denpasar, Upada Sastra.

-o0o-






Lampiran
Uraian Tugas Prajur Desa Pakraman



Bendesa (Unsur Ketua).
Tanggung jawab  bendesa, antara lain sebagai berikut :
1.     Mempertanggungjawabkan pelaksanaan program desa pakraman, baik yang menyangkut masalah parahyangan, pawongan dan palemahan desa.
2.     Mengkoordinasikan  berbagai kegiatan yang direncanakan oleh para petajuh.
3.     Memimpin pesamuan desa.
4.     Mewakili desa pakraman baik di dalam maupun di luar pengadilan.
5.     Menyelesaikan persengketaan antar warga desa, bersama-sama petajuh widang pawongan
6.     Mengadakan koordinasi dengan desa pakraman lainnya.
7.     Ngarincikan perubahan awig-awig dan  perarem.
8.     Mengadakan koordinasi pembinaan kegiatan seka teruna.
9.     Membentuk panitia untuk kegiatan yang sifatnya sangat khusus.

Bila unsur “ketua” (bendesa atau disebut dengan istilah lain) mempunyai satu orang unsur “wakil ketua” (petajuh, pangliman, atau apapun sebutannya), pekerjaan yang harus dipertanggungjawabkan tentu lebih banyak,. Tetapi kalau dalam  satu desa pakraman  terdapat 3 orang  petajuh (wakil),  kiranya tugas mereka dapat dibagi menjadi  seperti berikut ini :


Petajuh Widang Parahyangan (Petajuh I).

Tanggung jawabnya antara lain sebagai berikut :
1.     Ngarincikang pailehan piodalan di Pura Kayangan Tiga dan Pura Kayangan Desa yang ada di wewidangan-nya.
2.     Ngarincikang persiapan upakara di pura masing-masing
3.     Ngarincikang persiapan ayah-ayahan di pura masing-masing.
4.     Ngarincikang persiapan urunan rerampen dan daging upakara.
5.     Mengkordinir pelaksanaan upacara di Pura Kayangan Tiga, Pura Kayangan Desa dan pelaksanaan upacara yang lainnya di lingkungan desa pakraman bersangkutan.
6.     Mewakili bendesa dalam rapat-rapat koordinasi di luar desa, sepanjang menyangkut masalah parahyangan.
7.     Mengadakan koordinasi dengan bendesa, baik sebelum maupun sesudah melaksanakan pekerjaan.
8.     Melaksanakan tugas-tugas lain atas koordinasi bendesa.





Petajuh Widang Pawongan (Petajuh II).

Tanggung jawabnya antara lain sebagai berikut :
1.     Mempersiapkan segala sesuatu (seperti cane, menyuarakan kulkul, dll), yang berkaitan dengan pesangkepan dan pesamuan desa.
2.     Menyiapkan agenda pesamuan dan pesangkepan.
3.     Memimpin pelaksanaan pesangkepan  desa.
4.     Melakukan tugas pengantegan (pemberitahuan) kepada warga yang diduga telah melakukan kelalaian tertentu.
5.     Melaksanakan pangetutan (penyampaian lebih lanjut) atas sesuatu keputusan pesamuan dan pesangkepan, kepada warga yang diangap perlu.
6.     Melaksanakan tugas penggandaan atas hasil pesangkepan dan pesamuan dan menyebarluaskannya kepada warga desa.
7.     Menyelesaikan permasalahan yang muncul antar warga desa, sehubungan dengan pelaksanaan awig-awig, bersama bendesa.
8.     Mewakili bendesa dalam rapat-rapat koordinasi di luar desa, sepanjang menyangkut masalah pawongan.
9.     Menjadi saksi dalam pelaksanaan upacara  perkawinan yang berlangsung di wewidangan desanya
10.  Melaksanakan tugas-tugas lain atas koordinasi bendesa.


Petajuh Widang  Palemahan (Petajuh III).

Tanggung jawabnya antara lain sebagai berikut :
1.     Membuat rarincikang tugas-tugas kebersihan dan pertamanan di Pura Kayangan Tiga, Pura Kayangan Desa, telajakan pura, telajakan desa dan wewidangan desa.
2.     Memimpin pelaksanaan tugas kebersihan dan pertamanan yang dimaksud, baik yang dilaksanakan oleh warga desa, warga tempekan maupun juru sapuh.
3.     Mengurus dan memelihara duwe (kekayaan) desa yang berhubungan dengan tanah, seperti laba pura, tanam tuwuh desa, dll. Yang dimaksud memelihara dalam hal ini, antara lain misalnya, membuat batas-batas  tanah duwe desa yang jelas dan tegas,  merencanakan pemanfaatan tanah dan tanaman diatasnya.
4.     Ngarincikang pembangunan pura dan pembangunan lainnya yang dilaksanakan oleh  desa.
5.     Mengawasi pelaksanaan  berbagai pembangunan di desa.
6.     Memelihara bangunan yang telah ada, dalam arti mengawasinya untuk mencegah kerusakan sedini mungkin dan memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil dengan bantuan seorang atau beberapa  orang tutus.
7.     Mewakili bendesa dalam rapat-rapat koordinasi di luar desa, sepanjang menyangkut masalah palemahan.
8.     Melaksanakan tugas-tugas lain atas koordinasi bendesa.






Penyarikan (Unsur Juru tulis).
Tanggung jawabnya antara lain sebagai berikut :
1.     Mempersiapkan segala sesuatu berkaitan dengan pesangkepan dan pesamuan desa.
2.     Melaksanakan tugas pencatatan atas segala hasil, kesimpulan dan keputusan pesamuan dan pesangkepan desa.
3.     Mencatat surat-surat ke luar dan masuk untuk keperluan desa.
4.     Mencatat krama yang telah mendapat tugas sebagai kasinoman desa, tutus desa,  dll.
5.     Menyimpan segala arsip (surat, pengumuman, dll) yang berhubungan dengan kegiatan desa adat, baik datang dari pemerintah maupun lembaga-lembaga lainnya.
6.     Mencatat krama yang ditunjuk sebagai tutus dan buku catatan tutus.
7.     Melaksanakan tugas-tugas lain atas koordinaasi bendesa dan petajuh bendesa.

Juru Raksa (Unsur  Bendahara).
Tanggung jawabnya antara lain sebagai berikut :
1.     Mengatur dan membuat pembukuan tentang keuangan desa.
2.     Mencatat tentang segala urunan, dedosan,  dll,  dalam bentuk uang.
3.     Menerima dana punia dalam bentuk uang dan barang, dari pemerintah, pihak swasta dan lembaga lainnya.
4.     Mencatat segala barang inventaris (kekayaan desa), baik yang berupa barang bergerak maupun barang-barang tidak bergerak.
5.     Menyimpan barang-barang inventaris itu pada tempat yang telah disediakan.
6.     Mencatat segala hal terkait dengan  inventaaris desa.
7.     Ngarincikang sumber-sumber keuangaan desa.
8.     Memimpin rintisan kegiatan desa yang dapat menambah kekayaan desa pakraman.
9.     Melaksanakan  tugas-tugas lain atas koordinaasi bendesa.

Kasinoman (Unsur Pembantu).

Tanggung jawabnya antara lain sebagai berikut :
1.     Menyampaikan arah-arahan (pemberitahuan) kepada seluruh warga desa, tentang sesuatu hal sesuai dengan petunjuk bendesa.
2.     Menyiapkan perlengkapan pesamuan dan pesangkepan dan membersihkan tempat pertemuan sesudah acara selesai.
3.     Melaksanakan tugas lain atas koordinasi bendesa adat dan petajuh widang pawongan.

Tutus Desa.

Tanggung jawabnya antara lain sebagai berikut :
1.     Melaksanakan tugas-tugas tertentu, sesuai dengan petunjuk prajuru desa.
2.     Mengadakan koordinasi dengan prajuru desa, atas tugas yang diberikan.

-o0o-






            [1] Disajikan dalam Semiloka Ajeg Bali yang diselenggarakan oleh Yayasan Dwijendra, Sabtu 8 Oktober 2005, bertempat di Badan Pendidikan dan Pelatihan Prop. Bali, Jalan Hayamwuruk, Denpasar.
[2] Berdasarkan tradisi dominan, desa pakraman yang ada di Bali  dapat diklasifikasi atas  tiga tipe  :
(1) Desa  Bali  Aga  (Bali  Mula), yaitu desa pakraman  yang  masih tetap menganut tradisi pra-Majapahit. Pada desa-desa seperti ini  tidak dikenal adanya  sistem  kasta.  Kebanyakan berada disekitar Kintamani dan  daerah   pegunungan lainnya di  Bali. (2)  Desa Apanaga, yaitu desa pakraman yang  sistem  kemasyarakatannya dipengaruhi oleh kerajaan  Majapahit, termasuk hukum yang  berlaku.  Desa-desa   ini  umumnya  terletak didaerah  Bali dataran.  (3) Desa Anyar (Desa Baru),   yaitu  desa  yang terbentuk relatif   baru,  sebagai  akibat    dari  adanya   perpindahan   penduduk     (transmigrasi  lokal)  dengan tujuan awal mencari penghidupan. Desa-desa seperti  ini  dapat  ditemui  di  daerah  Jembrana  dan  Buleleng  Barat. Baca juga Desa Adat dan Awig-awig dalam Struktur Pemerintahan Bali oleh Tjok Raka Dherana, Upada Sastra,  Denpasar, 1995. MPLA Dati I Bali, 1990. Mengenal dan Pembinaan Desa Adat di Bali. Denpasar, Proyek Pemantatap Desa Adat.
            [3] Umumnya pucuk pimpinan prajuru disebut bendesa,  bendesa adat, atau  kelian adat. Tetapi ada juga sebutan lain, seperti jero pasek (Desa Pakraman Kubutambahan), penghulu desa (Desa Pakraman Julah), jero bau mucuk (Desa Pakraman Trunyan).
            [4] Pada umumnya memang demikian adanya. Tetapi berdasarkan pengamatan di beberapa desa pakraman  (terutama di desa-desa yang tingkat pendidikan krama-nya terbilang relatif maju), belakangan mulai menampakan kemajuan, dengan memberikan porsi pekerjaan kepada perangkat prajuru yang lainnya, sesuai bidangnya masing-masing. Walaupun demikian, rata-rata prajuru desa pakraman belum memiliki sekretariat. Sepanjang yang penulis ketahui hanya 3 desa pakraman yang memiliki kantor sekretariat, yaitu  Desa Pakraman Panjer (Denpasar), Desa Pakraman Selat (Karangasem) dan Desa Pakraman Penyaringan (Jemberana).
       [5] Ini sejalan dengan ketentuan pasal 11 Perda Prop. Bali Nomor : 06 Tahun 1986  yang menentukan tugas prajuru desa sebagai berikut.  (1) Melaksanakan awig-awig desa adat. (2) Mengatur penyelenggaraan upacara keagamaan bagi desa adat, sesuai dengan sastra agama. (3) Mengusahakan perdamaian dan penyelesaian terhadap sengketa-sengketa adat. (4) Mengembangkan kebudayaan daerah dalam upaya melestarikan kebudayaan daerah dalam rangka memperkaya khasanah budaya nasional. (5) Membina dan mengkoordinasikan masyarakat hukum adat, mulai dari keluarga berdasarkan adat-istiadat yang berlaku pada setiap desa adat guna meningkatkan kesadaran sosial dan semangat kegotong-royongan. (6) Mewakili desa adat dan betindak atas nama dan untuk desa adat atau masyarakat hukum adat dalam segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. (7) Mengurus dan mengelola hal-hal yang berkaitan dengan harta kekayaan desa adat (lihat juga.  Tugas prajuru seperti  tertuang dalam pasal 8  (huruf d)  Perda Prop. Bali Nomor : 3 Tahun 200, sejalan dengan pendapat  Purwita (1984 : 14), yang mengatakan bahwa bendesa adat bukan sebagai pemegang kekuasaan, melainkan hanya sebagai pelaksana keputusan-keputusan warga desa terhadap warga desa adatnya sendiri. Bendesa adat merupakan wakil dari masyarakatnya, dalam hubungan dengan berbagai masalah  dengan orang lain dari luar desa adat bersangkutan.
            [6] Ada  desa pakraman yang  menetapkan masa bakti prajuru desa  selama  8 tahun (Desa Pakraman Rendang), ada yang tidak jelas masa pengabdiannya (bisa lebih dari 20 tahun seperti di Desa Pakraman Pasut, Jemberana dan Desa Pakraman Taro).  Ada juga  yang dipilih  berdasarkan  keturunan dari keluarga tertentu.
            [7] Luput arti bebas. Leluputan  artinya dibebaskan dari beberapa kewajiban.  Kewajiban dalam hal ini dapat berarti pawedalah atau peson-peson (urunan).  Dapat berupa materi (uang) dan rerampen (berbagai kelengkapan upakara). 
            [8] Agak susah menerjemahkan tanding tengah. Tetapi kurang lebih sama dengan tunjangan jabatan kalau dalam pemerintahan. Istilahnya bermacam-macam. Ada yang menyebut panyeneng, solasan dan ada pula menyebutnya penugel. 
[9]  Lebih jauh tentang globalisasi dan modernisasi  baca juga Modernisasi. Pengantar Sosiologi Pembangungn Negara-negara  Sedang Berkembanga, oleh  J.W. Schooorl, Gramedia, Jakarta, 1982. Global Paradox. Semakin Besar Ekonomi Dunia Semamkn Kuat Perusahan Kecil oleh John Naisbitt, alih bahasa Drs Budijanto, Jakarta, Bina Rupa Aksara, tahun 1994.  Bali dalam Perspektif Global oleh  Ida Bagus Wyasa Putra,  Upada Sastra, Denpasar, 1998.  Membangun Desa Adat Bali yang Sejuk oleh Wayan P. Windia, Gianyar, Bali Jani, 2003. Modernisasi dan Globalisasi, oleh  Suhanadji-Waspodo TS, Insan Cendikia, Malang, 2004. Globalism. Penguatan Politik Representasi atas Bali oleh A.A.G.N Dwipayana, Uluangkep, 2005.

            [10] Contoh uraian tugas ini dapat dimanfaatkan sebagai perbandingan dalam menyusun uraian tugas prajuru yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing desa pakraman.