KOLONEL INF.(PURN) I NENGAH DANA
Terlampir bahan dharmatula tgl 19 September 2014.
Matur Suksma
Silahkan lihat artikel lainnya,
dari kiriman Dharmatula Jakarta
saya copy-paste di artikel linnya di blog ini
Silahkan lihat artikel lainnya,
dari kiriman Dharmatula Jakarta
saya copy-paste di artikel linnya di blog ini
ETOS KERJA SEBAGAI PENGAMALAN DHARMA AGAMA
(bahan
ceramah di Bank Indonesia)
PENDAHULUAN
Pengamalan agama merupakan sadhana
untuk mencapai tujuan tertinggi bagi kehidupan ini, yaitu mencapai kesejahteraan
hidup di dunia (jagadhìta) dan kedamaian abadi di alam niskala (mokûa, kaivalyam), yang dikenal dengan istilah mokûàrtham jagadhìtaya ca iti dharmah. Tujuan tertinggi itu
akan dapat diraih bila di dalam kehidupan ini manusia senantiasa memegang teguh nilai dharma (kebenaran, kebajikan, kewajiban) baik
dalam memenuhi tuntutan kebutuhan harta-benda (artha)
maupun kesenangan duniawi (kama) yang disebut preyaskara, serta kedamaian dan kesejahteraan lahir-batin yang
disebut sreyaskara.
Untuk mencapai tujuan tersebut Agama Hindu mengajarkan agar umatnya
melaksanakan Catur Marga Yoga yang sering disingkat dengan sebutan Catur Marga
atau Catur Yoga saja. Catur Yoga terdiri atas: Bhakti Yoga, Jñàna
Yoga, Karma Yoga, dan Raja Yoga. Bhakti Yoga adalah jalan pengabdian
diri atau sadhana menghubungkan diri dengan Sang Maha Pencipta yang dilandasi rasa kesujudpasrahan karena yakin bahwa
Dia merupakan maha segalanya. Jñàna
Yoga adalah jalan ilmu pengetahuan atau sadhana menghubungkan diri dengan Sang
Maha Pencipta yang dilandasi rasio untuk
mencari hakikat kebenaran sampai menyadari keagungan Tuhan. Karma Yoga adalah jalan
perbuatan atau sadhana menghubungkan diri dengan Sang Maha Pencipta melalui
kesadaran bertindak (dengan raga/fisik)
di jalan dharma. Raja Yoga adalah jalan perenungan atau sadhana menghubungkan
diri dengan Sang Maha Pencipta melalui olah jiwa (rohani) hingga mencapai penyatuan batin dengan hakikat Yang Maha
Ada.
Keempat jalan atau sadhana tersebut, menurut kitab Bhagavad Gita III.3,
dipilah ke dalam dua disiplin hidup, yaitu jalan ilmu pengetahuan bagi
cendekiawan (jñànayogena samkhyanàm), dan jalan tindakan kerja bagi karyawan (karmayogenayoginàm). Kedua disiplin hidup tersebut dijalankan dengan
dasar bhakti yoga dan dicapai melalui
perenungan di lubuk hati nurani yang terdalam (raja yoga) sehingga tidak timbul keraguan di dalam melakukannya.
Demikian pula antara karma dan jñàna, selalu saling melengkapi karena tanpa ilmu pengetahuan suatu tindakan
kerja tidak akan terarah, dan sebaliknya, tanpa tindakan maka jalan pengetahuan
hanya merupakan teori kosong semata.
Pengabdian kerja seseorang akan menjadi berkualitas apabila mereka memiliki
pengetahuan yang memadai dan keseimbangan jiwa dalam menghadapi berbagai
permasalahan dalam hidupnya. Keseimbangan jiwa tersebut dapat terwujud apabila
seseorang telah memiliki kesadaran pengetahuan tentang hakikat kemahakuasaan
Hyang Widhi Wasa atas alam semesta ini. Hyang Widhi adalah sumber kehidupan dan spirit dari setiap
tindakan berpikir, berwacana, dan berbuat. Oleh karena itu, setiap orang juga
harus bertindak sebagai wujud yajña-bhakti
kepada Hyang Widhi Wasa.
Pengabdian kerja tersebut akan berhasil apabila mereka memiliki dan
berpegang teguh pada etos kerja yang sesungguhnya telah diajarkan di dalam
berbagai susastra Veda. Melalui pengamalan etos kerja seseorang akan selalu berbuat
atau berkarya dilandasi keinginan untuk mewujudkan kualitas pengabdian yang
terbaik demi kesejahteraan dunia (maka
hitaning rat) dan ketertinan sosial (loka
samgraha). Dengan demikian, tujuan untuk mencapai preyaskara dan sreyaskara
(moksartham jagadhitaya) niscaya akan terwujud. Ini merupakan inti sari dari
pengamalan Dharma Agama.
HAKIKAT DAN BUDAYA KERJA
Di depan telah
dikemukakan bahwa Agama Hindu mengajarkan berbagai jalan pengabdian, yang
terdiri atas: Bhakti Marga Yoga, Jñàna Marga Yoga, Karma Marga Yoga, dan
Raja Marga Yoga. Bhakti adalah dasar dari segala Yoga (menggunakan rasa), Jñàna dijadikan kompas dalam pengamalan Yoga
agar tidak salah arah (menggunakan rasio),
Karma adalah tindakan Yoga atau pengabdian kerja (menggunakan raga), dan Raja Yoga adalah perenungan
yang mendalam tentang hakikat hidup dan kehidupan (menggunakan rohani) sampai menemukan sumbernya, Sang Sangkanparaning Dumadi. Pada tahap
ini seseorang akan memiliki jiwa bebas dan selalu tegar dan gembira (ramya) menghadapi setiap tugas
kewajiban yang dibebankan kepadanya.
Dalam
pandangan Hindu, pengabdian kerja merupakan kewajiban yang sangat
esensial
dalam hidup dan kehidupan ini. Pengabdian kerja merupakan bagian dari Karma Marga Yoga dan sekaligus
merupakan bagian dari kesadaran eksistensial secara biologis maupun
religius. Kerja merupakan bagian dari kesatuan kosmis, karena Brahman
sendiri senantiasa bekerja tiada henti untuk menjaga kelangsungan dan tegaknya alam semesta ini (krida Brahman). Oleh
karena itu, bekerja adalah kewajiban yang melekat pada diri setiap orang.
Manusia sebagai bagian dari
makrokosmos Brahman, tidak mungkin menghindar dari kegiatan kerja. Bhagavadgita adhyaya III mantra 4
menyatakan bahwa: “tanpa
kerja, orang tidak akan
mencapai kebebasan, mereka juga tidak
akan mencapai kesempurnaan karena menghindari kegiatan kerja” (Na
karmanām anarambhān, naiskarmyam
puruso’snute, na ca samnyasanād eva, siddhim samadhi-gacchati).
Sesungguhnya,
dunia ini terikat oleh hukum karma, karena itulah setiap
makhluk secara alami harus berbuat. Begitulah
karma memutar gerak roda kehidupan ini, orang yang tak ikut
memutarnya atau orang yang bekerja hanya untuk memenuhi nafsu indrianya, akan hidup
dalam dosa dan sia-sia belaka; demikianlah dinyatakan
dalam Bhagavadgita III.16 melalui mantra yang berbunyi: “Evam
pravartitam cakram, nānuvartayati ha yah, aghāyur indriyārāmo, mogham pārtha sa jivati”. Dengan demikian, kegiatan kerja hendaknya dilakukan
sebagai wujud pengabdian kepada Hyang Widhi Wasa, sebagai wujud pengamalan
Dharma Agama.
Kerja adalah wahana
pembentuk kesadaran eksistensi manusia sebagai vaber mundi (pencipta dan peng-ada) atau co create dalam kerja,
Hasil karya ciptannya bersifat ambigu
karena hanya Tuhan-lah sebagai pencipta yang maha sempurna. Oleh karena
itu, kegiatan
kerja harus dilakukan sebagai yoga, yakni suatu cara pengabdian dan ungkapan rasa bhakti kepada
Brahman. Dalam melakukan kerja, pikiran seseorang harus dikonsentrasikan secara
penuh (lahir dan batin) kepada Sat Cit Anandam, yakni: bekerja atas
dasar nurani yang benar (Sat), pikiran yang
suci (Cit), dan tujuan yang mulia untuk
kesejahteraan dan kebahagiaan bersama, kesejaheraan dunia (Anandam).
Bekerja dengan satu
kesatuan pikiran yang terkonsentrasi kepada Sat Cit Anandam merupakan bagian yang melekat pada bioritmik religius Tri Kona, yakni: Utpati-Sthiti-Pralina
(Penciptaan-Pemeliharaan-Peleburan). Dalam setiap gerak kerjanya, manusia mencipta hal
yang baru, memelihara dan
mempertahankan hal yang positif, serta
dengan segera melebur segala yang buruk atau negatif
agar
menjadi positif.
Dengan demikian,
kegiatan kerja yang dilakukannya merupakan refleksi dari krida Brahman yang
penuh kasih kepada semua ciptaan-Nya karena sesungguhnya, setiap manusia adalah
Nara dan Tuhan Yang Maha Esa sendiri
adalah Naràyana. Jika Naràyana selalu menegakkan dharma maka manusia pun dalam setiap kegiatan kerjanya wajib
berpegang teguh pada dharma, pada
jalan kebenaran dan kebajikan, agar aktivitas kerjanya tidak terbelenggu oleh ahamkara (egoisme individual). Aktivitas
kerjanya dipersembahkan sebagai samacara
(kesejahteraan sosial). Sekecil apapun aktivitas kerja yang dapat
dipersembahkan, asalkan dilandasi nilai dharma,
niscaya akan memperoleh enlightment
secara mental spiritual yang dapat membetuk sikap abhipraya, yaitu ketulusan hati melakukan pelayanan dalam tugas
kewajibannya.
Jadi, setiap kegiatan kerja
sesungguhnya adalah Yoga, yang pada dasarnya merupakan perwujudan ibadat
religius (yajña), maka sesungguhnya, yajña dapat
diwujudkan dalam bentuk kreativitas kerja dan merupakan wujud
bhakti yang tulus kepada Hyang Widhi Wasa. Susastra
Pancamo Veda II.50 dan III.9 menyatakan:
“Budhi yukto jahātiha, Ubhe sukåta duskåte,
Tasmād yogāya yujyasva, Yogah karmasu kauúalam”.
“Orang yang
terikat oleh budhi-nuraninya, akan terbebas
dari perbuatan baik dan keji.
Karena itu,
laksanakanlah kerja (yang menjadi tugas kewajibanmu),
Sebab,
melakukan kerja yang sempurna sama dengan yoga”.
“Yajnārthāt karmano’nyatra, loko’yam karma bandhanah,
tadartham karma kaunteya, mukta saògah samāchara.
“Kecuali
untuk tujuan berbakti dunia ini dibelenggu oleh hukum-kerja,
karenanya
bekerjalah demi berbakti, tanpa kepentingan
pribadi”.
Dengan
demikian, sesungguhnya kerja itu adalah wujud úraddha dan bhakti
(keyakinan dan kesujudpasrahan) kepada Hyang Widhi Wasa dengan cara melibatkan
diri secara aktif serta menjadi bagian dari perputaran roda kehidupan (pravartitam cakram). Hakikat kerja
menurut ajaran Karma Yoga adalah bekerja sepenuh hati tanpa egoisme (ahamkara) dan dilandasi kesadaran bahwa
kemampuan bekerja
sesungguhnya disebabkan
oleh spirit yang ada di dalam diri (Mahatma)
yang merupakan pancaran sinar suci Tuhan.
Bertolak dari ajaran
tersebut, Agama Hindu menekankan etika atau budaya kerja yang dijadikan dasar
falsafah dan pedoman di dalam melaksanakan pengabdian yang menjadi svadharmanya. Bekerja adalah kewajiban
hidup yang tidak dapat dan bahkan tidak mungkin dihindari, karena memang
merupakan bagian yang melekat pada diri setiap orang sebagai sarana penebus
karmanya. Oleh sebab itu, diperlukan pemahaman yang benar tentang etos kerja
baik pemahaman tentang hakikat kerja, prinsip kerja, maupun sikap dan perilaku
dalam bekerja.
Hakikat Kerja
Hakikat kerja dalam
ajaran Hindu adalah nilai dasar
yang harus diyakini dan dijadikan spirit di dalam melaksanakan
svadharmanya masing-masing.
Yang pertama: Bekerja merupakan kewajiban
hakiki yang melekat pada setiap orang; karena itu, bekerja harus
dilandasi persepsi yang benar. Setiap pekerja diharapkan memiliki kesadaran
untuk melayani masyarakat pengguna jasa (stake
holder dan customer), dan
berupaya menghapus keluhannya - visam visam hi gacchatah. (Sama Veda
VIII.53).
Yang ke dua: Bekerja merupakan kodrat yang diatur
oleh hukum alam/hukum suci Brahman yang disebut Åtam; karena itu, orientasi kerja bukan pada imbalan yang
diperoleh, melainkan pada kebenaran proses pelaksanaan dan tujuan pekerjaan
itu.
Yang ke tiga: Bekerja
merupakan refleksi dari krida Brahman; manusia ibarat wayang
yang digerakkan oleh Ki Dalang. Oleh karena itu, keikhlasan pengabdian sebagai
nilai dasar budaya kerja harus didasari atas kesadaran bahwa Brahman Yang Esa
juga tidak berhenti bekerja guna menjaga perputaran roda kehidupan ini, sedangkan
manusia wajib berbakti kepada-Nya melalui pengabdian kerja yang tulus.
Yang ke empat: Bekerja
merupakan wahana pembentuk kesadaran eksistensi manusia sebagai vaber mundi yang co create. Hasil karya ciptannya bersifat ambigu, karena hanya Tuhan sebagai
pencipta yang sempurna. Oleh karena itu,
kegiatan kerja
harus dilakukan sebagai yoga,
yakni suatu cara pengabdian dan ungkapan rasa bhakti kepada Brahman.
Keempat hakikat kerja
tersebut merupakan nilai dasar dalam melaksanakan pengabdian kerja. Dengan
menghayati nilai dasar tersebut maka pada diri setiap Pemimpin akan tumbuh
kesadaran pengabdian yang dilandasi kejujuran, kesungguhan, kesiapan secara
mental untuk mendedikasikan seluruh kemampuannya guna mewujudkan yang terbaik bagi
perusahaan yang dipimpinnya.
Prinsip Kerja
Di
samping hakikat kerja, di dalam susastra Veda ditemukan pula mantra/sloka
tentang prinsip kerja, yaitu: bekerja sebagai svadharma, bekerja tanpa keterikatan, bekerja untuk kepentingan
umum, bekerja untuk memberdayakan diri, dan bekerja keras sampai tuntas.
Prinsip pertama adalah bekerja sebagai svadharma. Prinsip ini
mengarahkan agar setiap orang selalu setia melaksanakan tugas yang memang
menjadi kewajibannya atau menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Setiap orang
akan menjadi besar dalam kewajibannya itu (sve-sve
karmani abhiratah, samsiddhim labhate narah). Ajaran svadharma ini dinyatakan dalam susastra Bhagavadgita
III.5 yang berbunyi:
“Sreyān svadharmo vigunah, paradharmāt svanusthitāt,
svadharme nidhanam sreyah, paradharmo bhayāvahah”.
“Lebih baik mengerjakan
kewajiban sendiri walaupun tidak sempurna,
daripada melakukan
kewajibanan orang lain dengan baik;
lebih baik mati dalam
tugas sendiri daripada dalam tugas orang lain yang sangat berbahaya”.
Prinsip ke dua adalah bekerja tanpa
keterikatan. Untuk hal ini, susastra Bhagavadgita juga mengingatkan
melalui adhyaya II mantra 47 dan adhyaya III mantra 19 yang berbunyi:
“Karmanyeva dhikāras te, mā phalesu kadācana,
mā karmaphala hetur bhūr, mā te saògo ‘stv akarmani”.
“Berbuatlah
hanya demi kewajibanmu, bukan hasil perbuatan itu yang kau pikirkan, jangan
sekali kali pahala jadi motifmu dalam bekerja, jangan pula hanya berdiam diri
tanpa kerja”.
“Tasmād asaktah satatam, kāryam karma samācara,
asakto hy ācaram karma, param āpnoti pūrusah”.
“Oleh karena
itu laksanakanlah segala kerja sebagai kewajiban tanpa terikat pada hasilnya, sebab,
dengan melakukan kerja yang bebas dari keterikatan, akan mencapai
tujuan utama”.
Prinsip ke tiga adalah bekerja untuk kepentingan umum.
Prinsip ini mengingatkan agar di dalam menjalankan svadharma hendaknya menjauhkan diri dari kepentingan pribadi (anåsamsya). Sadar dan yakin bahwa Hyang Widhi Wasa akan
senntiasa menunjukkan
kemahamurahan-Nya. Dalam kaitan ini, kitab suci Atharwaveda III.24.5 dan Bhagavadgita III.25
menyatakan:
“Sata haûþa samā hara, sahasra haûþa
saý kira”
“Perolehlah
kekayan dengan seratus tanganmu,
dermakanlah dalam kemurahan hati dengan seribu
tanganmu”.
“Saktāh karmany avidvāmso, yathā kurvanti bhārata,
kuryād vidvāms tathāsaktas, cikīrsur loka-saògraham”.
“Bilamana orang
dungu yang bekerja karena keterikatan atas kerja mereka, demikianlah seharusnya
orang pandai, bekerja tanpa kepentingan pribadi, wahai
Bhārata, melainkan untuk kesejahteraan manusia dan
memelihara ketertiban sosial”.
Selanjutnya kitab
Canakya Nitiúastra XVII.15
menyatakan:
“Paropakaranam
yesām, jāgarti hådaye
satām,
Nasyanti vipadas tesām, sampadah syuh pade-pade”.
“Dia,
yang di dalam hatinya selalu memikirkan dan melindungi kepentingan
mahluk lain, segala kesulitannya
akan
dimusnahkan dan setiap
langkahnya akan diberi keberuntungan”.
Demikianlah petunjuk etika tentang bekerja untuk
kepentingan umum. Untuk dapat merealisasikannya tentu memerlukan
profesionalisme kerja, sehingga diperlukan adanya peningkatan pengetahuan,
keterampilan, dan spiritualitas.
Prinsip ke empat adalah pemberdayaan diri.
Prinsip ini direalisasikan melalui pembelajaran, peningkatan kemampuan profesi
dan spiritualitas guna mengoptimalkan kinerja serta pengabdiannya. Susastra Rg Veda
X.31.2 dan Bhagavadgita IV.34 mengingatkan:
“Pari cinmarto
dravinam mamanyā, dåtasya pathā namasā vivāset,
uta svena kratunā sam vadeta, sreyām saý
dakûam manasā jagåbhyat”.
“Seharusnyalah
orang memikirkan rejeki atau kekayaan dan berjuang untuk memperolehnya dengan cara
yang benar disertai doa.
Seharusnya ia memakai pertimbangan hati nuraninya dan dengan penuh semangat
berusaha meningkatkan kemampuan profesinya”.
“Tad viddhi
pranipātena, pariprasnena sevayā,
Upadekûyati
te jñānam, jñāninas tattva darsinah”.
“Pelajarilah pengetahuan itu dengan sujud disiplin, dengan bertanya dan dengan
pelayanan; para bijaksana yang melihat kebenaran, akan
mengajarkan kepadamu pengetahuan itu”.
Prinsip ke lima
adalah bekerja keras
sampai tuntas. Veda mengajarkan agar setiap orang yang melakukan
KarmaYoga harus bekerja keras sepenuh hati, tidak mau menunda pekerjaan, dan
mencintai setiap pekerjaan yang dihadapi dengan penuh perhatian. Dalam kitab
Ramayana XXXV.15 disebutkan:
“Utsaha ta larapana, Karyasing pahapagëhën,
Sampay tan gawayakëna,
Ring sattwa dhama ya tuwi”.
“Usaha
yang gigih merupakan kunci utama, tekunilah setiap pekerjaan sesuai
keahlianmu secara konsisten dan profesional. Dalam bekerja janganlah gegabah
atau congkak, meski kepada yang hina-dina atau masalah kecil sekalipun”.
Selanjutnya susastra Veda
berikut mengingatkan:
“Ma sredhata
samino dakûata, mahe kånudhvam raya atuje,
Taranir ijjayati kûeti
pusyati, na devasah kavatnave”. (Ågveda VII.32.9)
“Wahai
orang-orang yang berpikiran mulia, janganlah tersesat, tanamkan tekad yang kuat
untuk mencapai tujuan yang tinggi. Bekerjalah dengan tekun untuk memperoleh
kekayaan. Orang yang bersemangat akan berhasil, hidupnya berbahagia, dan
menikmati kemakmuran. Para Deva tidak akan menolong orang yang bermalas-malasan”.
“Svah karya
madya kurvita, purvahne ca parahnikam,
Na hi pratikûate
måtyuh, kåtam vapy akåtam tatha”. (Smc. 364)
“Janganlah bersenang-senang selalu, yang harus
dikerjakan esok kerjakanlah sekarang, yang harus dikerjakan petang kerjakanlah
pada pagi itu juga. Karena Sang Maut tidak peduli menunggu, apakah
pekerjaanmu sudah selesai atau belum?”
Kitab Udyogaparva
33.78 juga mengingatkan bahwa: “Jika
seseorang menginginkan
kesejahteraan di dunia ini, maka dia harus bekerja dengan meninggalkan enam jenis sifat yang tidak baik,
yaitu: suka tidur, malas, takut, marah, tidak bersemangat, dan selalu mengulur
waktu dalam menyelesaikan pekerjaannya.
Demikian pula dalam Rgveda
IV.4.12 dinyatakan bahwa hanya
orang yang giat dan tulus hati akan berhasil dalam kehidupannya (Atandraso avåka
aúramiûþhah). Hyang Widhi Wasa tidak bersahabat dengan orang yang malas
(na åte srantàsya sakhyaya
devah). Dengan demikian, setiap karyawan (terutama
pemimpinnya) hendaknya berupaya untuk menjadi insan bintang).
Sikap dan Perilaku
Kerja
Dalam rangka mengaktualisasikan prinsip kerja,
diperlukan adanya sikap dan perilaku
kerja agar tujuan yang
ditetapkan dalam setiap pekerjaan dapat dicapai seoptimal mungkin. Sikap dan
perilaku kerja tersebut antara lain: berkepribadian jujur dan bermoral, taat asas/hukum,
serta memiliki disiplin yang tinggi. Kejujuran dan
moralitas merupakan etika utama yang berkaitan dengan sikap dan perilaku kerja.
Ada sepuluh sifat yang menunjukkan moralitas dan keteladanan perilaku kerja
yang disebut daúa
dharmalakûana, yang
tercantum di dalam kitab Manu Småti (MS VI.92)
yang slokanya berbunyi sebagai berikut:
“Dhåþih kûama damo’steyam, saucam
indriyanigrahah,
Dhirvidyā satyamakrodho, daúakam dharmalakûanam”.
“Teguh hati
dalam tujuan dan pelaksanaan tugas, suka memaafkan, mampu menasehati diri, tidak melakukan kecurangan, taat akan
peraturan penyucian diri, mengendalikan
nafsu indriya,
teguh iman, memiliki kesadaran pengetahuan/spiritual,
memegang kebenaran/kejujuran, dan
menghilangkan kemarahan,
semua ini
merupakan sepuluh hukum perbuatan yang mesti dipatuhi”.
Penekanan tentang
kejujuran dinyatakan melalui sloka berikut:
“Yad dvayoranyor vetha, karye’smincestitam
mithah,
Tad
bruta sarvam satyena, yusmakam hyata sakûitah”. (MS VIII.80)
“Apa yang kamu
kerjakan dan ketahui, katakanlah semua itu sesuai dengan kenyataan (satya), karena kamu sebagai pelaksana
dan sekaligus saksi dalam hal ini’.
“Niyatam kuru karma tvam, karma jyāyo hyakarmanah,
Úarìra yātrāpi ca te, na prasiddhyed akarmanah”. (Bhagavadgita III.8)
“Bekerjalah seperti
yang telah ditentukan, sebab berbuat lebih baik dari pada tidak berbuat, dan
bahkan tubuhpun tak akan berhasil terpelihara tanpa berkarya”.
“Tasmād dharmamyanistesu, sa wyawasye narādhipah,
Anistam cāpyanistesu, tam dharmam na wicālayet”. (M S VII.13)
“Karena itu
hendaknya janganlah seseorang melanggar peraturan
perundang-undangan yang
dikeluarkan pemerintah, baik karena menguntungkan seseorang,
maupun yang merugikan pihak yang tidak menghendakinya”.
Ketaatan pada hukum, disebutkan dalam beberapa
mantra dan sloka berikut:
“Niyatam kuru
karma tvam, karma jyāyo hyakarmanah,
Úarìra yātrāpi ca te, na prasiddhyed akarmanah”. (Bhagavadgita III.8)
“Bekerjalah seperti yang
telah ditentukan, sebab berbuat lebih baik dari pada tidak berbuat, dan bahkan
tubuh pun tak akan berhasil terpelihara tanpa berkarya”.
“Tasmād dharmamyanistesu, sa wyawasye narādhipah,
Anistam cāpyanistesu, tam dharmam na wicālayet”. (M S VII.13)
“Karena itu hendaknya
janganlah seseorang melanggar peraturan
perundang-undangan yang
dikeluarkan pemerintah, baik karena menguntungkan seseorang,
maupun yang merugikan pihak yang tidak menghendakinya”.
Setiap orang dianjurkan untuk berbuat atau bekerja secara
taat asas, baik terhadap ketentuan dharma agama maupun dharma negara. Hal ini
berarti bahwa Dharma harus dijadikan landasan utama dalam mencari kekayaan (artha) maupun dalam menikmati kehidupan
duniawi (kama).
Kesadaran menjauhi yang bukan hak, karena Antaryamitva sebagai saksi abadi.
“Eko devas sarva bhùtesu gudah, sarva vyapi sarva bhùtantaratma,
Karmàdhyaksah
sarva bhùta divasah, saksi cetta
kevalo nirgunasca”.
(Svetasvatara
Upanisad IV.17)
“Satu
sinar suci Tuhan berada secara gaib dalam setiap makhluk,
Dia
menyebar pada semua ciptaan sebagai roh kehidupan (Atman),
Dia
adalah spirit yang menggerakkan semua makhluk,
dan
menjadi saksi yang bebas dari pengaruh pikiran”.
“Iúavasyam
idam sarvam, yat kiýca
jagatyam jagat,
Tena tyaktena buñjita, ma gridah kasyàsvid dhanam”.
(Isa
Upanisad 1)
Manifestasi
kemahakuasaan Tuhan (Isvara)
bersemayam dalam semua ciptaan,
Dia
menjadi spirit dari malkluk yang bergerak maupun yang tidak bergerak,
Karena
itu, seseorang tidak diperbolehkan mengambil sesuatu yang bukan haknya”.
Mantra-mantra tersebut
mengisyaratkan bahwa seseorang tidak boleh berbuat di luar batas-batas
moralitas atau melakukan tindak pidana asusila, kekerasan, penggelapan,
pencurian, korupsi, dan lain sebagainya. Tindakan tersebut akan mengakibatkan
penderitaan semasa hidupnya (di alam sakala)
maupun setelah ia mati (di alam niskala).
Setiap
tindakan dilakukan sebagai wujud bhakti kepada Tuhan.
Disiplin dan keteguhan
hati dalam pengabdian adalah sikap kerja yang sangat mulia. Setiap karyawan
hendaknya berpegang teguh pada sumpah jabatannya dan sadar bahwa apa pun
tindakan yang dilakukannya senantiasa diniatkan sebagai wujud bhakti yang tulus
kepada Hyang Widhi Wasa.
Di dalam kitab Bhagavadgita IX.14 dan IX.14, serta Úlokàntara 8
disebutkan:
“Satatam kirtayanto mām, yatantas ca dådha-vratāh,
Namasyantas ca mām
bhaktyā, nitya-yuktā upāsate”.
“Dengan selalu
memuliakan-Ku, berusaha dengan teguh memegang sumpah,
sujud kepada-Ku dalam
pengabdian dan dengan disiplin senantiasa berbhakti kepada-Ku”.
“Yat karosi yad asnasi, yaj juhosi dadasi yat,
Yat
tapasyasi kaunteya, tat kurusva ma darpanam.
“Apa pun
yang engkau kerjakan, engkau makan, engkau persembahkan, engkau dermakan, dan
disiplin diri apa pun yang engkau lakukan, kerjakanlah itu sebagai bhakti pada-Ku”
“Nirdhano’pi narah sadhuh, karma nidyam na
karayet
Úardulaúco hinnapado’pi, tånam jatu na bhakûayet”.
“Orang yang teguh hati, walau pun amat
miskin, ia takkan mau melakukan pekerjaan
hina;
Seperti
harimau, walaupun kakinya dipotong remuk, ia takkan mau memakan
rumput”.
Demikianlah
semestinya, setiap orang atau pekerja harus memiliki sraddha yang teguh atas kemahakuasaan Hyang Widhi Wasa. Setiap
tindakannya dijadikan sarana persembahan (sadhana
yajña) untuk berbakti kepada-Nya dan senantiasa menjaga harkat dan
martabatnya yang mulia sebagai manusia terhormat.
Dengan demikian, sesungguhnya
pengamalan nilai budaya kerja itu terletak
pada kesadaran spiritual dalam bekerja,
sebagai wujud pengabdian kepada Brahman Yang Maha Esa. Sesungguhnya, Hyang Widhi Wasa adalah pekerja agung atas dunia
ini (Visvakarma Mahātma).
Hyang Widhi Wasa bersemayam di dalam hati setiap orang (hridaye sanivistah) dan yang
menggerakkan seluruh ciptaan-Nya, sekaligus sebagai
spirit kerja (yat kimca jagatyam jagat).
Apabila seseorang telah
memahami seluruh nilai-nilai budaya kerja yang diajarkan dalam susastra agama
tersebut dan mengamalkannya dengan sepenuh hati maka sesungguhnya mereka telah
mengamalkan Dharma Agama dengan baik. Pengamalan Dharma Agama bukanlah hanya
dilakukan melalui upacara atau ritual, melainkan harus ditunjukkan melalui karya
nyata yang dilandasi etos kerja, sehingga membawa kebaikan bagi semesta alam.
PENUTUP
Menyadari sedalam-dalamnya bahwa
pengabdian kerja merupakan kewajiban yang tidak dapat dihindari maka nilai
budaya kerja ini hendaknya diinternalisasikan pada setiap karyawan sebagai
landasan menjalani karma di dalam setiap langkah kehidupannya.
“Your hand on work and your heart on God”.
Semoga segala kelalaian dientaskan, sikap kerja sama dan kerja keras selalu terpatri, kecerdasan
dan kesadaran spiritual dibimbing maju, dan kesadaran
pengabdian yang tulus selalu
dibangkitkan sebagai wujud pengamalan Dharma Agama dan yajña bhakti kepada
Hyang Widhi Wasa.
Om siddhirastu tadastvastu svaha.
Jakarta, 6 Desember 2013
KOLONEL INF.(PURN) I NENGAH DANA
---------------------------------------------------------o0o----------------------------------------------------------
----------------------------------------------------o0o----------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------o0o----------------------------------------------------------
Keagungan Gīta Dalam Samkhya:
Sebuah Review terhadap
Buku Pesan Universal
Bhagavad Gīta—Swami Ranganathananda
Oleh: Tiwi Etika
I.
Pendahuluan
Buku Pesan Universal
Bhagavad Gīta-Swamī Ranganathananda ini, merupakan buku pertama yang mencoba
memahami syair-syair suci Bhagavad Gīta sedikit terlepas dari konteks teologi,
seperti yang sering kita temukan pada buku tafsiran Gīta yang lainnya selama
ini. Di dalam buku ini Gīta benar-benar mendapat ‘jiwa baru’ melalui tafsiran
kecerdasan (buddhi), logika dan etika Vedanta mapun Sāṁkhya, walaupun
kemudian dibeberapa poin pada Bab IV kembali masuk ranah teologi lagi. Namun
cukuplah sebagai sebuah usaha awal dalam rangka mendapatkan semangat baru Gīta.
Bagi saya membaca buku
Pesan Universal Bhagavad Gīta dari Swamī Ranganathananda ini, serasa masuk pada
ranah jantung ajaran Sāṁkhya. Bagaimana tidak! Karena ketika menyimak dengan
mendalam terhadap apa yang telah Swamī Ranganatananda sampaikan pada buku Pesan
Universal Bhagavad Gīta ini langsung menjurus kepada pokok kebijaksanaan atau
kemuliaan filsafat Sāṁkhya (The Wisdom of Sāṁkhya Philosophy), yakni
‘Bagaimana Hidup dan Kehidupan itu sendiri, dan tentu saja hal ini dibaca
dalam konteks ‘bagaimana harus bekerja dan pekerjaan’ itu sendiri dalam versi
beliau.
Paham Sāṁkhya yang
tersirat dari komentar-komentar Swamī Ranganathananda pada sloka Gīta pada Buku
Pesan Universal Bhagavad Gīta, sesungguhnya tidaklah dimulai dari Bab II
dimaksud, sebagaimana judul pembicaraan pada Bab II buku tersebut yakni
Sāṁkhya-Yoga. Namun dimulai sejak Swamī Ranganathananda menggunakan istilah
kata ‘Arjuna visada yoga’ atau duka Arjuna dengan kalimat sebagai
berikut:
“Bab ini
disebut Yoga dari Duka Arjuna, Arjuna-visada yoga. Visada adalah kesedihan. Itu
juga yoga, karena dari kesedihan juga muncul perkembangan yang luar biasa. Kita
mulai berpikir, dan mulai membeda-bedakan. Anda meminta saran, anda membutuhkan
filsafat untuk membimbing diri anda. Ini juga yoga, yaitu Arjuna-visada yoga”. (Lihat Hal.
88 Jilid I)
Dalam text pertama
Sāṁkhyakārikā disebutkan:
“duḥkhatrayābhighātā
jijñāsātadabhighātake hetau”–karena ada tekanan dari ketiga jenis sumber
dukha, maka muncul keinginan untuk mengetahui cara
menangkal-mengatasinya (because of the torment of the threefold suffering,
(there arises) the desire to know the means of counteracting it).
Inilah kalimat yang
menjadi pondasi dan cikal bakal tentang ajaran Sāṁkhya Ethic. Kemudian dari
text tersebut diatas, terlahirlah pertanyaan mendasar meta-epistemic Sāṁkhya,
yakni: (1) Berasal dari mana dan apa dukha itu? (2) Bagaimana cara
mengatasi atau menguranginya, (3) Bagaimana cara melenyapkan atau
melampaui-nya? dan (4) Kondisi apa yang dialami ketika mampu melampau dukha
itu? Kalimat-kalimat ini pula yang dipergunakan Sidhartha Gautama ketika memulai
spiritualnya. Karena itu banyak para peneliti Sāṁkhya menduga bahwa Sidhartha
Gautama memulai spiritualnya dengan spirit Sāṁkhya.
Penjelasan atau
ulasan-ulasan jawaban dari keempat pertanyaan tersebut diatas lah yang yang
secara eksplisit ingin disampaikan Shri Krisna kepada Arjuna dalam Gīta, serta
berusaha di-logika-kan oleh Swamī Ranganathananda dalam buku Pesan Universal
Bhagavad Gīta dalam konteks merohanikan kerja, agar kerja itu sendiri membawa
kebahagian, bukan untuk diri sendiri saja tetapi untuk masyarakat, dimana kita
termasuk di dalamnya, sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Ngakan Putu Putra
dalam kata pengatar buku tersebut. Oleh karena itu tidak heran apabila Swamī
Ranganathananda mengatakan bahwa “Bhagavad Gīta diperuntukan untuk kaum pekerja
laki-laki dan wanita.
Dalam konteks kerja dan
pekerjaan ‘dukha atau kesedihan’ merupakan ‘wujud’ dari permasalahan.
Pada bab I hingga halaman pertengahan Bab II buku pesan universal Bhagavad Gīta
dijelaskan secara simbolis tentang sumber dan apa itu kesedihan-dukha
(permasalahan kerja). Kemudian pada Bab II halaman pertengahan hingga Bab III
halaman pertengahan dijelaskan bagaimana cara mengatasi kesedihan-permasalahan
kerja tersebut. Pada Bab III halaman pertengahan terakhir hingga Bab IV halaman
awal diberikan penjelasan bagaimana cara melampaui permasalahan dalam
pekerjaan. Sedangkan pada pertengahan halaman Bab IV hingga halaman akhir
dijelaskan kondisi apa saja yang dialami ketika permasalahan pekerjaan dapat
dilampaui atau diatasi.
Saya bermaksud mencoba
memberikan sedikit informasi seperti apa ke empat pertanyaan-permasalahan
tersebut diatas dibahas dalam paham metafisika Sāṁkhya dengan me-review
beberapa komentar Swamī Ranganathananda terhadap Gīta dalam buku pesan
Universal Bhagavad Gīta dimaksud.
II.
Pembahasan
“Hidup
merupakan ‘kewajiban’ penunaian atau pelunasan karma-wasana. Dalam proses
penunaian tersebut tidak ada jalan instant, selain mengikuti prosesnya dengan
aturan-aturan yang cerdas.”
Permasalahan dalam dunia
kerja bawasanya muncul, ketika ada upaya-upaya melakukan pelanggaran terhadap
peraturan-aturan yang telah ditentukan, dan atau permasalahan hidup hadir
ketika ada upaya-upaya melakukan jalan instan (tidak mengikuti proses
sebagaimana mestinya) dalam rangka pelunasan karma-wasana dimaksud,
serta adanya ketidak-mengerti pada hakikat apa itu kehidupan. Sesungguhnya
hidup adalah aturan (Life's rule, so perform or
perish). Karena itu ia merupakan sebuah kewajiban. Kewajiban
mengikuti aturan-aturan dalam rangka penunaian karma-wasana. Oleh karena
itu Sri Krishna berkata kepada Arjuna di medan perang Kurukshetra mengatakan:
“Bangkit dan lakukanlah kewajibanmu wahai putra Kunti yang perkasa!
* Berasal dari mana dan
apa dukha itu?
Ketika Arjuna mulai
ingin tahu dan menyadari siapa musuh yang akan dihadapi-nya di medan perang,
yakni para guru, kakek, paman, saudara-saudara dst-nya, maka Arjuna bersedih,
karena merasa tidak mampu menanggung beban penderitaan yang muncul dikemudian
hari akibat melakukan perang melawan kerabatnya dimaksud. Dari kesedihan Arjuna
ini, Swami Ranganathananda memahami bahwa dukha Arjuna yang kemudian
membuat Arjuna menyadari kenyataan yang sedang ia hadapi, dan hal ini merupakan
yoga. Sebuah yoga yang muncul dari ‘kesedihan’, mendorong Arjuna berpikir,
berusaha mengidentifikasikan kesedihannya dan atau melakukan kontak-hubungan (yug)
meminta saran, bimbingan kepada Shri Krishna. Sebuah kesedihan yang melahirkan
kesadaran mendalam untuk mencari tahu sumber dan cara untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapi. Karena itu Arjuna kemudian berkata:
“Hakikat
bawaanku telah ditutupi oleh kegelapan hati dan aku bingung terhadap dharma dan
tugasku; jadi aku memohon, katakan dengan pasti apa yang nyata-nyata bermamfaat
untukku. Aku siswamu, ajari aku yang telah menyerahkan diri kepadamu” (Gīta 2.7).
Fenomena ini lah yang
dipahami Swamī Ranganathananda dengan istilah sebuah perkembangan yang luar
biasa, yang lahir dari sebuah ‘kesedihan’, karena ia dapat membawa kita untuk
melakukan kontak-hubungan melalui ‘keinginan-kesadaran untuk mengatasi
kesedihan-dukha’ dimaksud. Ketika dukha datang, tentulah kemudian
muncul keinginan untuk mengetahui sumber dan cara untuk mengatasi-nya (duḥkhatrayābhighātā
jijñāsā tadabhighātake hetau). ‘Keinginan-tahu’ inilah yang disebut
dengan ‘kesadaran’. Sebuah kesadaran yang muncul dari sebuah kesedihan (visaya-yoga).
Sebuah pemahaman yang luar biasa disampaikan Swamī Ranganathananda kepada kita,
melalui kalimat Arjuna-visada yoga ini.
Dalam Gīta yang diberi
komentar oleh Satya Sai Baba (dalam buku Bhagavad Gīta terbitan
Paramitha-Surabaya) menyebutkan bahwa kesadaran dari rasa kesedihan
Arjuna tersebut merupakan sebuah ‘kesadaran’ yang memberikan posisi
‘kepantasan’ bagi seorang Arjuna untuk mendapatkan ajaran Gīta dibandingan
dengan Pandawa lainnya. Tidak semua Pandawa memiliki sebuah kesadaran mampu
melihat sebuah effect dari perbuatan sebelum perbuatan itu dilakukan,
sebagaimana yang dimiliki oleh Arjuna. Sebagai contoh, tengok lah pada
Yudistira. Ia tidak berpikir apa akibat dari menerima tawaran bermain judi dari
Doriyodana dikemudian hari. Sehingga akhirnya Pandawa menderita akibat
perbuatan tersebut.
Dalam ajaran Sāṁkya
disebutkan bahwa dukha muncul dari tiga sumber, yakni; (1) dari dalam
diri manusia itu sendiri atau psychophysical nature of man (ādhyātmika),
(2) dari luar diri manusia (ādhibhautika), dan (3) dukha yang
datang dari pengaruh supernatural (ādhidaivika).
Kesedihan yang dialami
Arjuna adalah kesedihan yang berasal dari dalam diri Arjuna sendiri, disebut
ādhyaatmika. Oleh karena itu, kesedihan tersebut hanya mampu diatasi dengan
psychology-therapy, atau dalam istilah Swamī Ranganathananda adalah pemberian
‘tonik’, melalui wejangan dan bimbingan intensif (correct knowledge-jñāna)dari
seorang Guru spiritual seperti Shri Krishna. Sementara dua jenis sumber dukha
yang berasal dari luar diri manusia, dapat diatasi dengan karma
(perbuatan).
Swamī Ranganatananda
melihat bahwa terapi-mental (tonik) yang diberikan oleh Shri Krishna kepada
Arjuna untuk keluar dari kesedihan yang dialaminya, tersirat melalui dua sloka
Gīta sebagai berikut:
kutastvā kaśmalamidaṁ
vishame samupasthitam,
anāryajuṣṭamasvargyamakītikaram
Arjuna.
(Darimana datangnya duka
dan lemah hati pada saat-saat kritis seperti ini, semangat bukan orang
kesatria, tidak luhur dan memalukan, O Arjuna” –Gīta 2.2).
klaibyaṁ māsma gamaḥ
pārtha naitattvayyuupadyate, kshudraṁ hrdayadaurbalyaṁ tyaktvoṣṭha paramtapa.
(Jangan biarkan
kelemahan itu, oh Partha, sebab itu tidak sesuai bagimu, enyahlah rasa lemah
dan kecut itu, bangkit! Oh pahlawan jaya—Gīta 2.3)
Ada beberapa kata kunci
yang dipakai Swamī Ranganathananda dalam komentar beliau untuk menyimpulkan
bahwa Shri Krishna memberikan tonik atau terapi mental kepada Arjuna dalam
rangka mengurangi kesedihannya dengan menyampaikan kedua sloka penting tersebut
diatas, yakni; kaśmala (sikap rendah diri-lemah hati), anāryajuṣṭama (tidak
sesuai dengan sifat seorang arya (kesatriya), yakni berani, tegas agung
dan luhur budi-pekertinya), asvargyam (tidak luhur-tidak memberikan
kemulian), akītikaram (memalukan-memberikan nama buruk), klaibyaṁ (bernyali
kecil-kecut), naitattvayyuupadyate (tidak pantas bagimu). Sehingga Swamī
Ranganathananda membuat sebuah proposisi bahwa:
“Kelemahan
dapat dihilangkan dengan kekuatan. Kotoran tidak bisa dihapus dengan kekotoran,
hanya air murni (bersih) yang dapat mencuci kotoran. Jadi kelemahan lain tidak
dapat menghapus kelemahan lainnya.” (Hal. 110)
Setiap kelemahan tidak
memiliki nilai kebajikan. Kelemahan dan kebajikan tidak pernah bisa berjalan
bersamaan. Dimana tidak ada keberanian, maka disana tidak ada kebajikan.”
(Jilid I Hal. 108).
Krishna, bagaimana bisa dalam
peperangan ini saya memanah orang-orang seperti Bhisma dan Drona? Mereka
orang-orang yang patut saya sembah (Gīta 2.4)
Sloka Gīta tersebut
dipahami oleh kebanyakan para Vedantin (penganut Vedanta) termasuk Swamī
Ranganathananda, bahwa Arjuna terjebak dalam ‘ketidaktahuan’ akan hakikat ‘yang
nyata-abadi’ (sat) dan ‘tidak nyata’ (asat), sehingga Arjuna
memahami ‘kematian badan’ adalah kematian bagi Ātman juga, dan sebagai akhir
segalanya dan merupakan sebuah dosa. Berperang melawan para Guru merupakan
pembunuhan yang tidak terhingga dosa-nya. Baik dalam paham Vedanta maupun
Sāṁkhya memahami bahwa kematian hanyalah terjadi pada badan, dan tidak pada
jiwa. Oleh karena itu berperang merupakan sebuah usaha ‘membantu pembebasan
jiwa’ yang terpasung dalam badan-badan kotor dan jahat. Dalam hal tersebut
Sāṁkhya menjelaskan bahwa:
prāpte
śarῑrabhede caritārthatvāt pradhānavinivṛttau,
aikāntikam
ātyantikam ubhayaṁ kaivalyam āpnoti (Kārikā 68).
(Dengan
penghentian pengahancuran pada dimensi Prakrti, dan Puruṣa telah
terpisah dari tubuh (yang bersifat), pencapaian isolasi (kaivalya) dari
keduanya telah berakhir.
Ada
perbedaan yang mendasar antara paham Vedanta dan Sāṁkhya dalam memahami konsep
eksistensi dualitas Puruṣa dan Prakṛti. Vedanta memahami bahwa Puruṣa
adalah Brahman itu sendiri yang memiliki percikan kecil sebagai Ātman
(jiwa) yang bersemayam disetiap tubuh mahluk. Sedangkan Prakṛti adalah Pradana
(dimensi materi), dan Prakṛti berasal dari Puruṣa. Kebebasan Ātman
dengan meniadakan dimensi materi atau memunculkan eksistensi Ātman
dengan pemusnahan unsur duniawi (terutama dalam Dvaita). Sementara itu dalam paham
Sāṁkhya disebutkan bahwa:
mūlaprakṛtiavikṛtirmahadādyāḥ
prakṛtivikṛtayaḥ sapta,
ṣoḍaśakastuvikāro
naprakṛtirnavikṛtihpuruṣaḥ (Kārikā 3).
(Unsur alam
pertama-prakṛti (mūlaprakṛti) tidak diciptakan. Ketujuh bentuk
lain prakṛti [mahat, ahaṁkāra dan panca tanmatra] kedua-nya;
diciptakan dan mencipta. Demikian juga enam belas yang lainnya (manas, panca
karmendriya, panca jnanendriya dan panca mahabhuta) diciptakan.
Sedangkan Puruṣa tidak diciptakan dan tidak mencipta).
Prakṛti
adalah unsur alam pertama atau materi yang tidak diciptakan, demikian juga Puruṣa
tidak diciptakan dan tidak mencipta. Lalu pertanyaan yang akan muncul adalah
dari manakah asal segala sesuatu yang ada di dunia ini, demikian juga ‘spirit’
yang menjadi unsur yang menghidupkan segala mahluk sebagaimana dipahami sebagai
jiwa dalam Vedanta? Vedanta jelas menyebutkan bahwa semuanya berasal dari
Brahman. Namun dalam Sāṁkhya diuraikan dalam teori evolusi-nya (Pariṇamavāda),
bahwa alam semesta berserta isinya berasal dari Prakṛti yang dalam prosesnya
dibantu oleh Puruṣa. Terjadinya kontak atau kerjasama diantara Puruṣa
dan Prakṛti akibat aktivitas dari tri guṇa dalam rangka penciptaan
tersebut.
tasmāt tatsaṁyogād
acetanaṁ cetanāvad iva liṅgam,
guṇakartṛtve ca tathā
karte’va bhavaty udāsῑnaḥ (Kārikā XX).
Because of the proximity
(or association) of the two-i.e., prakṛti and puruṣa-the unconscious one
appears as if characterized by consciousness. Similarly, the indifferent one
appears as if characterized by activity, because of the activities of the three
guṇa-s.
prakṛter mahāṁs
tato’haṅkāraḥ tasmād gaṇaś ca ṣoḍaśakaḥ,
tasmād api ṣoḍaśakāt
pañcabhyaḥ pañcabhūtāni (Kārikā XXII).
From prakṛti (emerges)
the great one (mahat), from that come self-awareness (ahaṁkara), from that
comes the group of sixteen. Moreover, from five of the sixteen come the five
gross elements.
Puruṣa
dipahami sebagai dimensi kesadaran. Sebuah kesadaran yang membantu Prakṛti
menjadi ‘cerdas’ sehingga bisa mencipta atau kreatif. Oleh karena itu dalam
Sāṁkhya tidak dikenal ada kata jiwa (soul). Alam beserta isinya termasuk
manusia berasal dari dimensi materi dan kesadaran. Oleh karena itu kematian
suatu mahluk tidak menjadi kematian bagi mahluk lain, dan atau kesakitan bagi
mahluk lain tidak merupakan kesakitan bagi yang lainnya. Kemudian bagaimana
proses akhir dari tujuan kehidupan? Dalam Sāṁkhya disebutkan bahwa akhir dari
kehidupan adalah ketika kesadaran dan materi mampu melepaskan diri dari
masing-masing, dalam proses pratiloma (evolusi balik). Oleh karena itu
kesadaran akan dicapai melalui pengetahuan yang benar; yakni pengetahuan
tentang bagaimana membedakan apa yang disebut vyakta (termanifestasikan)
dan avyakta (tidak termanifestasikan) atau materi-non materi
(kesadaran), badan-bukan badan, baik-buruk dst nya. Ketika telah memiliki
pengetahuan yang benar tentang kedua hal tersebut, maka akan berdampak pada
aktivitas perbuatan (karma). Oleh karena itu Saṁkhya memahami bahwa
‘berperang’ merupakan pembebasan unsur materi (badan) melalui sebuah kesadaran.
Dan hal itu memang harus dilakukan, karena yang baik akan dipahami
keberadaannya melalui yang tidak baik, demikian juga siang diketahui karena ada
malam, Kekotoran dicuci dengan kebersihan, kelemahan dihapus dengan kekuatan,
dan demikian seterusnya pada hal yang lain.
Oleh karena
kelemahan dihapus dengan kekuatan, dan perang yang dilakukan Arjuna merupakan
sebuah keharusan (kewajiban dalam bahasa Gīta 2.33) dilakukan dalam rangka
pemisahan unsur materi (Prakṛti) dari kesadaran (Puruṣa).
Sehingga keduanya dapat mengalami pemisahan-kelepasan (kaivalya). Inilah
konsep dualitas yang mendalam diajarkan dalam metafisika Sāṁkhya. Dimana dimensi
materi dan kesadaran mesti saling bantu membantu dalam rangka pencapaian tujuan
(pemisahan). Kerjasama antara keduanya (Prakṛti dan Puruṣa) dalam
mencapai tujuan terakhir adalah seperti kerjasama yang dilakukan oleh seorang
yang buta dan seorang yang pincang dalam usaha keluar dari hutan rimba yang
dihuni oleh binatang buas. Keduanya harus berkerjasama dengan apik. Si pincang
membutuhkan kaki si buta, dan si buta membutuhkan mata si pincang.
puruṣasya darśanārthaṁ
kaivalyārthaṁ tathā pradhānasya,
paṅgvandhavad ubhayor
api saṁyogas tatkṛtaḥ sargaḥ (Kārikā XXI).
The proximity (or
association) of the two, which is like that of a blind man and a lame man, is
for seeing the Pradhana and for the purpose of the isolation of the Puruṣa.
From this association creation proceeds.
Arjuna bertanya kepada
Shri Krishna: “Tetapi apakah, oh Warsneja (Krishna) yang mendorong orang
berbuat dosa walau bertentangan dengan hatinuraninya, seolah-olah dengan paksa?
(Gīta 3.36).
Shri Krishna menjawab: “Berasal
dari amarah dan napsu yang lahir dari sifat guṇa, keduanya pemusnah, penuh
dosa, ketahuilah kedua ini adalah musuh (Gīta 3.37). Pancaindria, hati dan
pikiran adalah kenderaan baginya; dengan tertutupnya ilmu pengetahuan olehnya
(amarah dan nafsu) menyebabkan bingungnya jiwa dalam badan (Gīta 3.40)
===
* Bagaimana cara
mengatasi atau mengurangi kesedihan-dukha?
Pada pertengahan halaman
Bab II hingga halaman awal Bab III Swamī Ranganathananda mencoba menarik sebuah
kesimpulan dari wejangan Shri Krisna kepada Arjuna tentang pengendalian dan
bagaimana memanajemen pikiran sebagai usaha untuk mengurangi atau mengatasi
kesedihan-permasalahan. Menurut Swamī Ranganathananda, pikiran yang stabil,
pikiran yang kuat adalah asset terbesar yang dapat kita miliki dalam hidup
(Buku jilid II, Hal. 15).
Dalam teori evolusi
Sāṁkhya disebutkan bahwa pada alam semesta berserta isinya (include manusia)
terdapat unsur tri guṇa (tiga macam atribut, sifat, kharakter) yang
bersemayam pada setiap elemen atau komponen alam semesta dan diri setiap mahluk.
Sedangkan komposisi tri guṇa pada setiap mahluk tidak sama sebagaimana
disebutkan dalam text Sāṁkhyakārika sebagai berikut:
ūrdhvaṁ
sattvaviśālas tamoviśālaśca mūlataḥ sargaḥ,
madhye
rajoviśālo brahmādistambaparyantaḥ (Kārikā LIV)
In the upper
world, there is a predominance of sattva. In the lower creation, there is a
predominance of tamas. In the middle, there is a predominance of rajas. This is
so from Brahmā down to a blade of grass.
Pada ilmu psikologi
Sāṁkhya, tri guṇa yang terdiri dari sattvam, rajas dan tamas)
memiliki pengertian sebagai sifat atau atribut kebijaksanaan, emosi-semangat
dan kemalasan-kesedihan, berfungsi untuk mewujudkan, mengaktifkan dan
membatasi. Mereka selalu saling mendominasi, mendukung, mengaktifkan, dan
berinteraksi antara satu sama lain (Sāṁkhyakārikā XII).
Dalam
Sāṁkhya, manusia terdiri dari badan halus dan kasar. Badan halus terdiri dari
komponen antaḥ karaṇa (buddhi, ahaṁkāra dan manas).
Sedangkan badan kasar terdiri dari lima belas tattwa (pañca
karmendria, pañca jñānendria dan pañca mahabhutha). Semua komponen
badan halus dan kasar mengandung unsur tri guṇa. Dalam buddhi
unsur sattvam lebih dominan dari unsur rajas dan tamas.
Dalam ahaṁkāra terdapat unsur rajas yang lebih dominan dari sattvam
dan tamas. Sementara dalam manas, unsur tamas lah yang
dominan dari sattvam dan rajas. Terkait dengan ketidak-seimbangan
dan atau tidak terkendalinya kondisi Arjuna dalam kesedihan, maka mengaburkan
pemahaman Arjuna tentang sat dan asat ketika menghadapi perang.
Dalam teori evolusi metafisika Sāṁkhya hal ini terjadi akibat manas yang
didominasi oleh unsur tamas mendominasi keberadaan buddhi dan ahaṁkāra
dalam komponen antaḥ karaṇa, sehingga terjadilah kesenjangan dan atau
ketidakseimbangan pada elemen halus manusia, yang mengakibatkan pikir, emosi
dan kebijaksanaan yang ada dalam diri Arjuna tidak terkendali sebagai akibat
pergolakan manas menguasai buddhi dan ahaṁkāra.
Kemudian
bagaimana mengatasi atau mengurangi kesedihan seperti yang dialami oleh Arjuna
tersebut? Kriṣṇa menjelaskan dalam Gīta 2.50 yakni; “karena diseimbangi
buddhi, seseorang membebaskan dirinya dalam kehidupan ini, tiada beda antara
kebajikan dan keburukan, baktikan dirimu, oleh karena itu, kepada yoga ini.
Yoga adalah efisiensi dalam tindakan.” Swamī Ranganathananda memberikan
komentar terhadap sloka tersebut yakni: “dualitas ini, sukṛta dan duskṛta,
perbuatan baik dan buruk, yang kita lakukan dalam kehidupan yang lebih rendah
penuh dengan konflik-konflik. Tapi ketika anda naik ke tingkat buddhi, anda melampaui
dualitas yang penuh konflik ini.”
Sāmkhya
telah clear menjelaskan hal tersebut diatas, yakni ketika unsur tri guṇa
dalam komponen antaḥ karaṇa bergejolak, maka akan terjadi
ketidakseimbangan pada komponen halus manusia, atau dengan kata lain memicu
ketidakseimbangan antara sifat kebijaksanaan, emosi dan pikir. Ketika ketiga
hal tersebut tidak seimbang maka laku manusia akan mengalami ketidakwajaran.
Hanya dengan mendorong atau melakukan penguatan unsur sattvam (baca, buddhi)
pada komponen halus manusia-lah, maka keseimbangan akan tercapai. Dalam konteks
dukha Arjuna ini, yang terjadi adalah adanya distorsi manas terhadap buddhi dan
ahaṁkāra, sehingga adanya ketikseimbangan diantara ketiganya, yang kemudian
melahirkan dukha.
===
* Bagaimana cara
melenyapkan atau melampaui dukha?
“Orang tidak
akan mencapai kebebasan karena diam tidak bekerja, juga ia tak akan mencapai
kesempurnaan karena menghindari kegiatan kerja.” (Gīta 3.4)
“Tidak
seorangpun tidak bekerja walaupun untuk sesaat jua karena dengan tiada berdaya
manusia dibuat bertindak oleh hukum alam.” (Gīta 3.5)
“Apa yang
tiada, tak akan pernah ada, apa yang ada, tak akan berhenti ada, keduanya hanya
dapat dimengerti oleh orang yang melihat kebenaran.” (Gīta 2.16)
Beberapa kalimat menarik
yang dilontarkan oleh Swamī Ranganathananda mengomentari ketiga sloka tersebut
diatas. Dengan mengutif sloka bahasa Sansekerta tradisional yakni “Laksmi
(keberuntungan) datang kepasa Singa diantara manusia yang rajin, Singa itu
diantara manusia, Laksmi datang kepada orang yang seperti itu dengan anugrah.”
Dan bahkan Swamī mengatakan bahwa “Laksmi lahir dari Saraswati” (Buku
jilid II, Hal. 27-28)
Setidaknya dari ketiga
sloka tersebut diatas merupakan referensi kuat bagi Sāṁkhya untuk
mendeklarasikan eksistensi teori satkāryavāda (causality-sebab dan
akibat-karma dan pahala) yangtak terbantahkan kebenarannya, serta
merupakan senjata utama Sāṁkhya dalam memberikan argumentasi pada paham
metafisika-nya. Kritikan-kritikan tajam disampaikan kaum Vedantin, ketika para
Sāṁkhyas (sebutan bagi kaum penganut Sāṁkhya) memberikan penjelasan berbeda
dari paham yang lazim dipahami tentang hukum karma-pahala atau satkāryavāda
ini (Lih. A History of Indian Philosophy-Surendranath Dasgupta, hal. 267).
Menurut Sāṁkhya, secara esensial-hakikat bahwa akibat tidak-lah berbeda dari
sebab [penyebab]. Karena itu tidak ada sesuatu yang baru yang hadir kedunia
ini. Hukum sebab akibat menurut Sāṁkhya tidak hanya sebatas membicarakan ‘apa
yang kita tanam itulah yang kita panen’, namun lebih spesifik tentang ‘apa yang
kita panen adalah tidak berbeda dengan apa yang kita tanam’. Seperti minyak
sawit yang datang dari biji sawit. Demikianlah akibat itu, ia datang dari
sebab, dan sebab tidaklah berbeda dari akibat. Secara esensial minyak sawit
yang kita gunakan untuk menggoreng makanan tidaklah berbeda dari minyak sawit
yang masih ada dalam biji sawit. Ketika argumentasi meta-epistemik Sāṁkhya
tersebut dibawa kedalam diskusi eksistensi Tuhan sebagai pencipta, maka banyak
ditolak oleh kaum Vedantin. Sebab ajaran Vedanta, memposisikan Tuhan sebagai
yang maha tunggal sebagai pencipta dan tempat berlabuhnya segala sesuatu yang
ada diakhir kehidupan. Lalu pertanyaan dari Sāṁkhya tentang eksistensi hyang
maha tunggal tersebut adalah ‘apakah mungkin prakṛti (materi) memiliki
kesamaan secara esensial adalah sama dengan puruṣa, atau Ātman adalah
sama dengan Badan? Eksistensi tentang satkāryavāda inilah yang menjadi
membedakan paham Sāṁkhya dengan paham filsafat Hindu lainnya.
asadakaraṇād
upādānagrahaṇāt sarvasambhavābhavāt,
śaktasyaśakyakaraṇāt
kāraṇabhāvāc ca satkāryam. (Kārikā IX)
The effect
exists (before the operation of cause/satkārya).
1. because
of the non-productivity of non-being
2. because
of the need for an (appropriate) material cause,
3. because
of the impossibility of all things coming from all things,
4. because
something can produce what it is capable of producing,
5. because
of the natural of the cause (or, because the effect is non-different from
cause).
“Sekalipun
anda adalah orang yang paling berdosa diantara semua yang penuh dosa, namun
dengan perahu pengetahuan itu saja, anda akan bisa menyeberang semua dosa itu.” (Gīta 4.36)
Sāṁkhya menawarkan jalan
jñāna (pengetahuan yang benar) sebagai sarana untuk melampaui aktivitas tri
guṇa. Pengetahuan yang benar diperoleh melalui penggunaan sarana (metode)
yang benar. Ada tiga jenis metode disebutkan dalam epistemology Sāṁkhya untuk
memperoleh pengetahuan yang benar, yakni; (a) persepsi, (b) inferensi, (c)
otoritas terpercaya atau sabda. Sebuah pengetahuan yang mampu mambawa manusia
untuk membedakan dualitas vyakta dan avyakta serta memahami
eksistensi Puruṣa dan Prakṛti sehingga mampu melampaui aktivtas tri
guṇa. Sehingga kemudian pada akhirnya dapat membuat prakṛti dan puruṣa
terlepas dari pengaruh aktivitas tri guṇa dan kemudian mencapai kaivalya.
Sesungguhnya Sāṁkhya mengajarkan bagaimana pengetahuan yang benar tersebut dapat
diiplementasikan melalui perbuatan (baca, karma). Sehingga kedua jalan
Jñāna dan karma dapat berjalan seiring dalam pelakonannya, bukan terlepas, atau
dilaksanakan hanya pada salah satu jalan saja. Hal itu tersirat dari
penyampaian penggunaan metode dalam mendapatkan pengetahuan yang benar
dimaksud.
Demikianlah Kerja itu
dilakukan, bukan hanya sekedar sebuah kewajiban untuk sebuah penunaian dalam
motif atau tanpa motif sekalipun, namun lebih dari itu ia merupakan sebuah
gerak hukum alam (causality-satkāryavāda), dipengaruhi aktivitas tri guṇa yang
ada pada setiap mahluk yang akan terus terjadi hingga kesadaran dan materi
saling melepaskan diri satu sama lain. Karena itu Gīta mengatakan bahwa
‘manusia bertindak karena hukum alam.’
“traiguṇya
vishayā vedā’rjuna, nirdvandvo nitya sattvastho niryogakshema ātmavān”.
(Gīta 2.45)
“Veda
berurusan dengan tri guṇa, bebaskan dirimu, O Arjuna, dari serangkaian tiga
guṇa, benaskan dari pasangan yang bertentangan, selalu seimbang, bebas dari
pikiran untuk mendapatkan dan menyimpan, dan berdiri teguh dalam diri.”
Sloka ini disebut sebuah
penyataan revolusioner oleh Swamī Ranganathanda. Beliau memahami bahwa:
“Melampaui tri
guṇa berarti melampaui Veda” (Buku jilid I hal. 211). Kemudian Swamī mengutif
Bṛhadāraṇyaka Upaniṣad; “benar-benar dikatakan bahwa orang yang mengetahui
Brahman, kenyataan terakhir, Veda tidak lagi berarti baginya (vedo-vedo
bhavati), Veda jadi bukan Veda.” Sāṇkarācharya juga menafsirkan dengan
mengatakan di dalam suatu kalimat “seperti seorang pelayan yang membawa sebuah
lampu di depan anda untuk menemukan jalan anda, dan anda sudah menemukannya,
sehingga menjadi Veda bagi orang itu. Apakah Veda itu? Ucapan-ucapan dari
mereka mengetahui Kebenaran itu. Disini orang yang telah mengetahui kebenaran; mengapa
ia tergantung pada Veda? Pengalaman yang nyata membawa anda melampaui buku-buku
itu. Pada suatu langkah tertentu, buku menjadi sebuah gangguan. upaniṣad itu
sendiri mengatakan bahwa: vaca viglapanaṁ hi tat, kata-kata hanya lebih banyak
sebagai pengacau bagi pikiran seperti itu.” (Hal. 206 buku jilid
II)
Terjemahan dan komentar
Gīta sloka 2.45 disampaikan Swamī Ranganathananda sebagaimana tersebut diatas,
sangat-sangat-lah risakan (menakutkan) bila salah dalam memahaminya. Dan hal
ini lah yang menjadi ‘pembenaran’ bagi ‘kelompok tertentu’yang selama ini
mengesampingkan Veda Sṛuti.
Sloka Gīta 2.45 tersebut
diatas dalam terjemahan lain menyebutkan:
“Veda
menguraikan tentang tri guṇa, Arjuna bebesakan dirimu daripadanya, juga dari
dualism pusatkan pikiranmu kepada yang kesucian lepaskan dirimu dari duniawi,
bersatu dengan Ātman.” (Lihat Gīta terjemahan Nyoman S Pendit)
Sāṁkhya mamahami sloka
tersebut diatas, bukan pada pengertian melampaui atau melepaskan diri dari
Veda. Bahkan Sāṁkhya menerima otoritas Veda Sṛuti sepenuhnya, karena itu ada
dalam salah satu sloka pada text Sāṁkhya menyebutkan kata Bṛhma. Brhma dipahami
sebagai kekuatan ‘supranatural’ (bukan sebagai Tuhan, yang memiliki konotasi
sebagai pencipta), karena itu Sāṁkhya dikatagorikan oleh para ilmuwan masuk
kedalam kelompok filsafat Hindu. Dalam metafisika Sāṁkhya dijelaskan bahwa;
‘yang harus dilampaui adalah tri guṇa. Karena yang membuat terjadinya kontak
antara prakṛti dan puruṣa adalah tri guṇa. Ketika terjadi
kontak antara prakṛti dan puruṣa, maka kehidupan terus berjalan
dan berjalan, dan apabila kehidupan terus berjalan, disana kaivalya tidak ada
dan roda saṁsāra terus berputar.
tasmāt
tatsaṁyogād acetanaṁ cetanāvad iva liṅgam,
guṇakartṛtve
ca tathā karte’va bhavaty udāsῑnaḥ. (Kārikā XX)
Because of
the proximity (or association) of the two-i.e., prakṛti and puruṣa-the
unconscious one appears as if characterized by consciousness. Similarly, the
indifferent one appears as if characterized by activity, because of the
activities of the three guṇa-s.
===
* Kondisi apa yang
dialami ketika mampu melampau dukha itu? *
dwa suprṇa sayuja śakhaya sananaṁ vṛksaṁ pari sasvajate,
tyor anyaḥ pippalaṁ svaduaṭṭianasnan anyo abhi cakasiti. (Rg.Veda
1.164.20)
Ada dua ekor burung yang dipersatukan dengan ikatan persahabatan,
bertempat tinggal diatas pohon yang sama. Salah satu dari mereka menikmati buah
matang yang manis, sedangkan yang lainnya merhatikan tanpa menikmati
buah-buahnya [hanya sebagai saksi].
Swamī Ranganathananda memberikan komentar kepada sloka Veda tersebut
yakni:
“burung yang pertama adalah adalah jiwa yang
menderita dan bersenang-senang, melakukan kejahatan, melakukan kebaikan dll.
Kita merasakan bahwa kita adalah itu, tapi sifat sejati kita adalah burung yang
satunya.”
Dalam text Sāṁkyakārikā menyebutkan:
tena
nivṛttaprasavām arthavaśāt saptarūpavinivṛttām,
prakṛtiṁ
paśyati puruṣaḥ prekṣakavad avasthitaḥ svasthaḥ Kārikā LXV
Then, the
puruṣa, comfortably situated like a spectator, sees prakṛti whose activity has
ceased due to the completion of her purpose, and who has turned back from the
seven forms (rūpa or bhāva).
tasmāc ca
viparyāsāt siddhaṁ sākṣitvam asya puruṣasya,
kaivalyaṁ
mādhyasthyaṁ draṣṭṛtvam akartṛbhāvaś ca. (Kārikā XIX)
The purusa
is the opposite of the un-manifest, it is established that puruṣa is a:
1. witness
2. possess
of isolation or freedom
3. indifferent
4. a
spectator
5. and
inactive
Demikain keadaaan Puruṣa
disebutkan dalam text Sāṁkhyakārika sebagaimana tersebut diatas. Ia hanya-lah
sebagai penonton yang menyaksikan prakṛti melakukan aktivitas. Selain itu ia
juga terisolasi, bebas, acuh tak acuh, penonton dan tidak aktif. Ketika puruṣa
dan prakṛti dalam kondisi seperti sebagaimana dalam sloka diatas (tidak
melakukan kerjasama), maka tidak ada aktivitas pencitaan. Ketika tidak ada
aktivitas penciptaan, maka kaivalya (pemisahan) pun tidak akan diperoleh.
Oleh karena itu kondisi yang dialami Ātman (Vedanta) dan Puruṣa
(Sāṁkhya) ketika mendapatkan kaivalya (dalam Sāṁkhya) dan atau mokṣa
(dalam Vedanta), bukan dalam kondisi sebagaimana disebutkan dalam sloka-sloka
diatas. Namun bersatunya Ātman dengan Brahman (Vedanta). Sedangkan
menurut Sāṁkhya adalah terpisahnya Puruṣa dan Prakṛti setelah
melakukan aktivitas dalam rangka merealisasi diri masing-masing.
samyagjñānādhigamād
dharmādῑnām akāraṇaprāptau,
tiṣṭhati
saṁskāravaśāc cakrabhramivad dhṛtaśarῑraḥ. Kārikā LXVII
Having
arrived at the point at which virtue, etc, has no (further) cause, because of
the attainment of direct knowledge (samyagjñānādhigamād), the endowed body (i.e.,
the body in association with puruṣa) yet continues because of the force of past
impressions (saṁskāras), like a potter’s wheel.
prāpte
śarῑrabhede caritārthatvāt pradhānavinivṛttau,
aikāntikam
ātyantikam ubhayaṁ kaivalyam āpnoti. (Kārikā LXVIII)
With the
cessation of prakṛti due to its purpose having been accomplished, (the puruṣa)
on attaining separation from the body, attains isolation (kaivalya) which is
both certain and final.
III. Kesimpulan
Dalam konteks
kerja (bekerja), pesan universal Gīta memberikan gambaran bahwa
dukha-kesedihan-permasalahan kerja bersumber dari diri kita sendiri, luar diri
(aturan-sistem,), dan dari ‘pemilik’ tempat kerja (tujuan-misivisi pekerjaan).
Kemudian bagaimana cara mengatasi atau menguranginya permasalahan kerja? Tentu
saja dengan mengidentifikas permasalahan (mengetahui sumber dan apa permasalah
kerja) sebagaimana dijelaskan dalam Bab I buku pesan universal Gīta dimaksud.
Kemudian permasalahan harus dihadapi dengan mengikuti prosesnya secara baik
(tanpa melalui jalan instant). Sedangkan bagaimana cara melenyapkan atau
melampaui-nya pekerjaan itu? Yakni dengan melakukan kerja atau bekerja dan
bekerja dengan kecerdasan (jñāna) dan tulus-iklas (yadnya) dan
atau tanpa motif selain hanya ingin melakukan pekerjaan itu sendiri. Lalu
kondisi apa yang dialami ketika mampu melampau permasalahan kerja? Adalah tidak
lain yakni, keberhasilan hidup karena telah melakoni swadharma kita
sebaik mungkin sebagai sarana penunaian karma-wasana kita.
Tiwi
Etika
terimakasih atas artikelnya. Ini sangat penting dalam membina umat Hindu. Umat kita khususnya di Bali yang masih bergulat tentant ritual, dan belum mengaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Apa yang tertulis ini sangat penting untuk diketahui oleh Umat Hindu. Agama Hindu ternyata mengajarkan Cara Hidup yang Modern.
RépondreSupprimer