mercredi 22 octobre 2014

Artikel Dharma tula, kiriman dari Jakarta


Terima kasih kiriman dari bapak I Nyoman Ariawan Atmaja, naskah Dharma tula dari bapak
KOLONEL INF.(PURN) I NENGAH DANA
Terlampir bahan dharmatula tgl 19 September 2014.
Matur Suksma

Silahkan lihat artikel lainnya, 
dari kiriman Dharmatula Jakarta 
saya copy-paste di artikel linnya di blog ini


ETOS KERJA SEBAGAI PENGAMALAN DHARMA AGAMA
(bahan ceramah di Bank Indonesia)

PENDAHULUAN
Pengamalan agama merupakan sadhana untuk mencapai tujuan tertinggi bagi kehidupan ini, yaitu mencapai kesejahteraan hidup di dunia (jagadhìta) dan kedamaian abadi di alam niskala (mokûa, kaivalyam), yang dikenal dengan istilah mokûàrtham jagadhìtaya ca iti dharmah. Tujuan tertinggi itu akan dapat diraih bila di dalam kehidupan ini manusia senantiasa memegang teguh nilai dharma (kebenaran, kebajikan, kewajiban) baik dalam memenuhi tuntutan kebutuhan harta-benda (artha) maupun kesenangan duniawi (kama) yang disebut preyaskara, serta kedamaian dan kesejahteraan lahir-batin yang disebut sreyaskara.
Untuk mencapai tujuan tersebut Agama Hindu mengajarkan agar umatnya melaksanakan Catur Marga Yoga yang sering disingkat dengan sebutan Catur Marga atau Catur Yoga saja. Catur Yoga terdiri atas: Bhakti Yoga, Jñàna Yoga, Karma Yoga, dan Raja Yoga. Bhakti Yoga adalah jalan pengabdian diri atau sadhana menghubungkan diri dengan Sang Maha Pencipta yang dilandasi rasa kesujudpasrahan karena yakin bahwa Dia merupakan maha segalanya. Jñàna Yoga adalah jalan ilmu pengetahuan atau sadhana menghubungkan diri dengan Sang Maha Pencipta yang dilandasi rasio untuk mencari hakikat kebenaran sampai menyadari keagungan Tuhan. Karma Yoga adalah jalan perbuatan atau sadhana menghubungkan diri dengan Sang Maha Pencipta melalui kesadaran bertindak (dengan raga/fisik) di jalan dharma. Raja Yoga adalah jalan perenungan atau sadhana menghubungkan diri dengan Sang Maha Pencipta melalui olah jiwa (rohani) hingga mencapai penyatuan batin dengan hakikat Yang Maha Ada.
Keempat jalan atau sadhana tersebut, menurut kitab Bhagavad Gita III.3, dipilah ke dalam dua disiplin hidup, yaitu jalan ilmu pengetahuan bagi cendekiawan (ànayogena samkhyanàm), dan jalan tindakan kerja bagi karyawan (karmayogenayoginàm). Kedua disiplin hidup tersebut dijalankan dengan dasar bhakti yoga dan dicapai melalui perenungan di lubuk hati nurani yang terdalam (raja yoga) sehingga tidak timbul keraguan di dalam melakukannya. Demikian pula antara karma dan àna, selalu saling melengkapi karena tanpa ilmu pengetahuan suatu tindakan kerja tidak akan terarah, dan sebaliknya, tanpa tindakan maka jalan pengetahuan hanya merupakan teori kosong semata.
Pengabdian kerja seseorang akan menjadi berkualitas apabila mereka memiliki pengetahuan yang memadai dan keseimbangan jiwa dalam menghadapi berbagai permasalahan dalam hidupnya. Keseimbangan jiwa tersebut dapat terwujud apabila seseorang telah memiliki kesadaran pengetahuan tentang hakikat kemahakuasaan Hyang Widhi Wasa atas alam semesta ini.  Hyang Widhi adalah sumber kehidupan dan spirit dari setiap tindakan berpikir, berwacana, dan berbuat. Oleh karena itu, setiap orang juga harus bertindak sebagai wujud yajña-bhakti kepada Hyang Widhi Wasa.
Pengabdian kerja tersebut akan berhasil apabila mereka memiliki dan berpegang teguh pada etos kerja yang sesungguhnya telah diajarkan di dalam berbagai susastra Veda. Melalui pengamalan etos kerja seseorang akan selalu berbuat atau berkarya dilandasi keinginan untuk mewujudkan kualitas pengabdian yang terbaik demi kesejahteraan dunia (maka hitaning rat) dan ketertinan sosial (loka samgraha). Dengan demikian, tujuan untuk mencapai preyaskara dan sreyaskara (moksartham jagadhitaya) niscaya akan terwujud. Ini merupakan inti sari dari pengamalan Dharma Agama.
HAKIKAT DAN BUDAYA KERJA 
Di depan telah dikemukakan bahwa Agama Hindu mengajarkan berbagai jalan pengabdian, yang terdiri atas: Bhakti Marga Yoga, Jñàna Marga Yoga, Karma Marga Yoga, dan Raja Marga Yoga. Bhakti adalah dasar dari segala Yoga (menggunakan rasa), Jñàna dijadikan kompas dalam pengamalan Yoga agar tidak salah arah (menggunakan rasio), Karma adalah tindakan Yoga atau pengabdian kerja (menggunakan raga), dan Raja Yoga adalah perenungan yang mendalam tentang hakikat hidup dan kehidupan (menggunakan rohani) sampai menemukan sumbernya, Sang Sangkanparaning Dumadi. Pada tahap ini seseorang akan memiliki jiwa bebas dan selalu tegar dan gembira (ramya) menghadapi setiap tugas kewajiban yang dibebankan kepadanya.
Dalam pandangan Hindu, pengabdian kerja merupakan kewajiban yang sangat esensial dalam hidup dan kehidupan ini. Pengabdian kerja merupakan bagian dari Karma Marga Yoga dan sekaligus merupakan bagian dari kesadaran eksistensial secara biologis maupun religius. Kerja merupakan bagian dari kesatuan kosmis, karena Brahman sendiri senantiasa bekerja tiada henti untuk menjaga kelangsungan dan tegaknya alam semesta ini (krida Brahman). Oleh karena itu, bekerja adalah kewajiban yang melekat pada diri setiap orang.
Manusia sebagai bagian dari makrokosmos Brahman, tidak mungkin menghindar dari kegiatan kerja. Bhagavadgita  adhyaya III mantra 4 menyatakan bahwa:tanpa kerja, orang tidak akan mencapai kebebasan, mereka juga tidak akan mencapai kesempurnaan karena menghindari kegiatan kerja” (Na karmanām anarambhān, naiskarmyam puruso’snute, na ca samnyasanād eva, siddhim samadhi-gacchati).

Sesungguhnya, dunia ini terikat oleh hukum karma,  karena itulah setiap makhluk secara alami harus berbuat. Begitulah karma memutar gerak roda kehidupan ini,  orang yang tak ikut memutarnya atau orang yang bekerja hanya untuk memenuhi nafsu indrianya, akan hidup dalam dosa dan sia-sia belaka; demikianlah dinyatakan dalam   Bhagavadgita III.16 melalui mantra yang berbunyi: Evam pravartitam cakram, nānuvartayati ha yah, aghāyur indriyārāmo, mogham pārtha sa jivati. Dengan demikian, kegiatan kerja hendaknya dilakukan sebagai wujud pengabdian kepada Hyang Widhi Wasa, sebagai wujud pengamalan Dharma Agama.
Kerja adalah wahana pembentuk kesadaran eksistensi manusia sebagai vaber mundi (pencipta dan peng-ada) atau co create dalam kerja, Hasil karya ciptannya bersifat ambigu karena hanya Tuhan-lah sebagai pencipta yang maha sempurna. Oleh karena itu,  kegiatan kerja harus dilakukan sebagai yoga, yakni suatu cara pengabdian dan ungkapan rasa bhakti kepada Brahman. Dalam melakukan kerja, pikiran seseorang harus dikonsentrasikan secara penuh (lahir dan batin) kepada Sat Cit Anandam, yakni: bekerja atas dasar nurani yang benar (Sat), pikiran yang suci (Cit), dan tujuan yang mulia untuk kesejahteraan dan kebahagiaan bersama, kesejaheraan dunia (Anandam).
Bekerja dengan satu kesatuan pikiran yang terkonsentrasi kepada Sat Cit Anandam merupakan bagian yang melekat pada bioritmik religius Tri Kona, yakni: Utpati-Sthiti-Pralina (Penciptaan-Pemeliharaan-Peleburan). Dalam setiap gerak kerjanya, manusia mencipta hal yang baru, memelihara dan mempertahankan hal yang positif,  serta dengan segera melebur segala yang buruk atau negatif  agar  menjadi  positif.
Dengan demikian, kegiatan kerja yang dilakukannya merupakan refleksi dari krida Brahman yang penuh kasih kepada semua ciptaan-Nya karena sesungguhnya, setiap manusia adalah Nara dan Tuhan Yang Maha Esa sendiri adalah Naràyana. Jika Naràyana selalu menegakkan dharma maka manusia pun dalam setiap kegiatan kerjanya wajib berpegang teguh pada dharma, pada jalan kebenaran dan kebajikan, agar aktivitas kerjanya tidak terbelenggu oleh ahamkara (egoisme individual). Aktivitas kerjanya dipersembahkan sebagai samacara (kesejahteraan sosial). Sekecil apapun aktivitas kerja yang dapat dipersembahkan, asalkan dilandasi nilai dharma, niscaya akan memperoleh enlightment secara mental spiritual yang dapat membetuk sikap abhipraya, yaitu ketulusan hati melakukan pelayanan dalam tugas kewajibannya.
Jadi, setiap kegiatan kerja sesungguhnya adalah Yoga, yang pada dasarnya merupakan perwujudan ibadat religius (yajña), maka sesungguhnya, yajña dapat diwujudkan dalam bentuk kreativitas kerja dan merupakan wujud bhakti yang tulus kepada Hyang Widhi Wasa. Susastra Pancamo Veda II.50 dan III.9 menyatakan:
Budhi yukto jahātiha, Ubhe sukåta duskåte,
Tasmād yogāya yujyasva, Yogah karmasu kauúalam”.
“Orang yang terikat oleh budhi-nuraninya, akan terbebas dari perbuatan baik dan keji.
 Karena itu, laksanakanlah kerja (yang menjadi tugas kewajibanmu),
Sebab, melakukan kerja yang sempurna sama dengan yoga”.

Yajnārthāt karmano’nyatra, loko’yam karma bandhanah,
tadartham karma kaunteya, mukta saògah samāchara.
“Kecuali untuk tujuan berbakti dunia ini dibelenggu oleh hukum-kerja,
karenanya bekerjalah demi berbakti, tanpa kepentingan pribadi”.

Dengan demikian, sesungguhnya kerja itu adalah wujud úraddha dan bhakti (keyakinan dan kesujudpasrahan) kepada Hyang Widhi Wasa dengan cara melibatkan diri secara aktif serta menjadi bagian dari perputaran roda kehidupan (pravartitam cakram). Hakikat kerja menurut ajaran Karma Yoga adalah bekerja sepenuh hati tanpa egoisme (ahamkara) dan dilandasi kesadaran bahwa kemampuan bekerja  sesungguhnya  disebabkan oleh spirit yang ada di dalam diri (Mahatma) yang merupakan pancaran sinar suci Tuhan.

Bertolak dari ajaran tersebut, Agama Hindu menekankan etika atau budaya kerja yang dijadikan dasar falsafah dan pedoman di dalam melaksanakan pengabdian yang menjadi svadharmanya. Bekerja adalah kewajiban hidup yang tidak dapat dan bahkan tidak mungkin dihindari, karena memang merupakan bagian yang melekat pada diri setiap orang sebagai sarana penebus karmanya. Oleh sebab itu, diperlukan pemahaman yang benar tentang etos kerja baik pemahaman tentang hakikat kerja, prinsip kerja, maupun sikap dan perilaku dalam bekerja.

Hakikat Kerja

Hakikat kerja dalam ajaran Hindu adalah nilai dasar  yang harus diyakini dan dijadikan spirit di dalam melaksanakan svadharmanya masing-masing.
Yang pertama: Bekerja merupakan kewajiban hakiki yang melekat pada setiap orang; karena itu, bekerja harus dilandasi persepsi yang benar. Setiap pekerja diharapkan memiliki kesadaran untuk melayani masyarakat pengguna jasa (stake holder dan customer), dan berupaya menghapus keluhannya  - visam visam hi gacchatah. (Sama Veda VIII.53).
Yang ke dua:  Bekerja merupakan kodrat yang diatur oleh hukum alam/hukum suci Brahman yang disebut Åtam; karena itu, orientasi kerja bukan pada imbalan yang diperoleh, melainkan pada kebenaran proses pelaksanaan dan tujuan pekerjaan itu.
Yang ke tiga:  Bekerja  merupakan refleksi dari krida Brahman; manusia ibarat wayang yang digerakkan oleh Ki Dalang. Oleh karena itu, keikhlasan pengabdian sebagai nilai dasar budaya kerja harus didasari atas kesadaran bahwa Brahman Yang Esa juga tidak berhenti bekerja guna menjaga perputaran roda kehidupan ini, sedangkan manusia wajib berbakti kepada-Nya melalui pengabdian kerja yang tulus.
Yang ke empat: Bekerja merupakan wahana pembentuk kesadaran eksistensi manusia sebagai vaber mundi  yang co create. Hasil karya ciptannya bersifat ambigu, karena hanya Tuhan sebagai pencipta yang sempurna. Oleh karena itu,  kegiatan kerja harus dilakukan sebagai yoga, yakni suatu cara pengabdian dan ungkapan rasa bhakti kepada Brahman.
Keempat hakikat kerja tersebut merupakan nilai dasar dalam melaksanakan pengabdian kerja. Dengan menghayati nilai dasar tersebut maka pada diri setiap Pemimpin akan tumbuh kesadaran pengabdian yang dilandasi kejujuran, kesungguhan, kesiapan secara mental untuk mendedikasikan seluruh kemampuannya guna mewujudkan yang terbaik bagi perusahaan yang dipimpinnya.

Prinsip Kerja
Di samping hakikat kerja, di dalam susastra Veda ditemukan pula mantra/sloka tentang prinsip kerja, yaitu: bekerja sebagai svadharma, bekerja tanpa keterikatan, bekerja untuk kepentingan umum, bekerja untuk memberdayakan diri, dan bekerja keras sampai tuntas.
Prinsip pertama adalah bekerja sebagai svadharma. Prinsip ini mengarahkan agar setiap orang selalu setia melaksanakan tugas yang memang menjadi kewajibannya atau menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Setiap orang akan menjadi besar dalam kewajibannya itu (sve-sve karmani abhiratah, samsiddhim labhate narah).  Ajaran svadharma ini dinyatakan dalam susastra Bhagavadgita III.5 yang berbunyi:
“Sreyān svadharmo vigunah, paradharmāt svanusthitāt,
svadharme nidhanam sreyah, paradharmo bhayāvahah.
“Lebih baik mengerjakan kewajiban sendiri walaupun tidak sempurna,
 daripada melakukan kewajibanan orang lain dengan baik;
lebih baik mati dalam tugas sendiri daripada dalam tugas orang lain yang sangat berbahaya”.

Prinsip ke dua adalah bekerja tanpa keterikatan. Untuk hal ini, susastra Bhagavadgita juga mengingatkan melalui adhyaya II mantra 47 dan adhyaya III mantra 19 yang berbunyi:
Karmanyeva dhikāras te, mā phalesu kadācana,
mā karmaphala hetur bhūr, mā te saògo ‘stv akarmani”.
“Berbuatlah hanya demi kewajibanmu, bukan hasil perbuatan itu yang kau pikirkan, jangan sekali kali pahala jadi motifmu dalam bekerja, jangan pula hanya berdiam diri tanpa kerja”.

Tasmād asaktah satatam, kāryam karma samācara,
asakto hy ācaram karma, param āpnoti pūrusah”.
“Oleh karena itu laksanakanlah segala kerja sebagai kewajiban tanpa terikat pada hasilnya, sebab, dengan melakukan kerja yang bebas dari keterikatan, akan mencapai tujuan utama”.

Prinsip ke tiga adalah bekerja untuk kepentingan umum. Prinsip ini mengingatkan agar di dalam menjalankan svadharma hendaknya menjauhkan diri dari kepentingan pribadi (anåsamsya). Sadar dan yakin bahwa Hyang Widhi Wasa akan senntiasa  menunjukkan kemahamurahan-Nya. Dalam kaitan ini, kitab suci Atharwaveda III.24.5 dan  Bhagavadgita III.25 menyatakan:
“Sata haûþa samā hara, sahasra haûþa saý kira”
“Perolehlah kekayan dengan seratus tanganmu,
dermakanlah dalam kemurahan hati dengan seribu tanganmu”.
Saktāh karmany avidvāmso, yathā kurvanti bhārata,
kuryād vidvāms tathāsaktas, cikīrsur loka-saògraham”.
Bilamana orang dungu yang bekerja karena keterikatan atas kerja mereka, demikianlah seharusnya orang pandai, bekerja tanpa kepentingan pribadi, wahai Bhārata, melainkan untuk kesejahteraan manusia dan memelihara ketertiban sosial”.

Selanjutnya kitab Canakya Nitiúastra XVII.15 menyatakan:
“Paropakaranam yesām,  jāgarti hådaye satām,
Nasyanti vipadas tesām, sampadah syuh pade-pade”.
“Dia, yang di dalam hatinya selalu memikirkan dan melindungi kepentingan mahluk lain, segala kesulitannya akan dimusnahkan dan setiap langkahnya akan diberi keberuntungan”.

Demikianlah petunjuk etika tentang bekerja untuk kepentingan umum. Untuk dapat merealisasikannya tentu memerlukan profesionalisme kerja, sehingga diperlukan adanya peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan spiritualitas.

Prinsip ke empat adalah pemberdayaan diri. Prinsip ini direalisasikan melalui pembelajaran, peningkatan kemampuan profesi dan spiritualitas guna mengoptimalkan kinerja serta pengabdiannya. Susastra Rg Veda X.31.2 dan Bhagavadgita IV.34 mengingatkan:
“Pari cinmarto dravinam mamanyā, dåtasya pathā namasā vivāset,
uta svena kratunā sam vadeta, sreyām saý dakûam manasā jagåbhyat.
“Seharusnyalah orang memikirkan rejeki atau kekayaan dan berjuang untuk memperolehnya dengan cara yang benar  disertai doa. Seharusnya ia memakai pertimbangan hati nuraninya dan dengan penuh semangat berusaha meningkatkan kemampuan profesinya”.

“Tad viddhi pranipātena, pariprasnena sevayā,
Upadekûyati te jñānam,  jñāninas tattva darsinah.
“Pelajarilah pengetahuan itu dengan sujud disiplin, dengan bertanya dan dengan pelayanan; para bijaksana yang melihat kebenaran, akan mengajarkan kepadamu pengetahuan itu”.

Prinsip ke lima adalah bekerja keras sampai tuntas. Veda mengajarkan agar setiap orang yang melakukan KarmaYoga harus bekerja keras sepenuh hati, tidak mau menunda pekerjaan, dan mencintai setiap pekerjaan yang dihadapi dengan penuh perhatian. Dalam kitab Ramayana XXXV.15 disebutkan:
“Utsaha ta larapana, Karyasing pahapagëhën,
Sampay tan gawayakëna, Ring sattwa dhama ya tuwi”.
“Usaha yang gigih merupakan kunci utama, tekunilah setiap pekerjaan sesuai keahlianmu secara konsisten dan profesional. Dalam bekerja janganlah gegabah atau congkak, meski kepada yang hina-dina atau masalah kecil sekalipun”.
Selanjutnya susastra  Veda berikut mengingatkan:
“Ma sredhata samino dakûata, mahe kånudhvam raya atuje,
Taranir ijjayati kûeti pusyati, na devasah kavatnave”.  (Ågveda VII.32.9)
“Wahai orang-orang yang berpikiran mulia, janganlah tersesat, tanamkan tekad yang kuat untuk mencapai tujuan yang tinggi. Bekerjalah dengan tekun untuk memperoleh kekayaan. Orang yang bersemangat akan berhasil, hidupnya berbahagia, dan menikmati kemakmuran. Para Deva tidak akan menolong orang yang bermalas-malasan”.
“Svah karya madya kurvita, purvahne ca parahnikam,
Na hi pratikûate måtyuh, kåtam vapy akåtam tatha. (Smc. 364)
“Janganlah bersenang-senang selalu, yang harus dikerjakan esok kerjakanlah sekarang, yang harus dikerjakan petang kerjakanlah pada pagi itu juga. Karena Sang Maut tidak peduli menunggu, apakah pekerjaanmu sudah selesai atau belum?
Kitab Udyogaparva 33.78 juga mengingatkan bahwa: “Jika seseorang menginginkan kesejahteraan di dunia ini, maka dia harus bekerja dengan meninggalkan enam jenis sifat yang tidak baik, yaitu: suka tidur, malas, takut, marah, tidak bersemangat, dan selalu mengulur waktu dalam menyelesaikan pekerjaannya. Demikian pula dalam Rgveda IV.4.12 dinyatakan bahwa  hanya orang yang giat dan tulus hati akan berhasil dalam kehidupannya (Atandraso avåka aúramiûþhah). Hyang Widhi Wasa tidak bersahabat dengan orang yang malas (na åte srantàsya sakhyaya devah). Dengan demikian, setiap karyawan (terutama pemimpinnya) hendaknya berupaya untuk menjadi insan bintang).

Sikap dan Perilaku Kerja

Dalam rangka mengaktualisasikan prinsip kerja, diperlukan adanya sikap dan perilaku  kerja agar  tujuan yang ditetapkan dalam setiap pekerjaan dapat dicapai seoptimal mungkin. Sikap dan perilaku kerja tersebut antara lain: berkepribadian jujur dan bermoral, taat asas/hukum, serta memiliki disiplin yang tinggi. Kejujuran dan moralitas merupakan etika utama yang berkaitan dengan sikap dan perilaku kerja. Ada sepuluh sifat yang menunjukkan moralitas dan keteladanan perilaku kerja yang disebut daúa dharmalakûana, yang tercantum  di dalam kitab Manu Småti (MS VI.92) yang slokanya berbunyi sebagai berikut:

Dhåþih kûama damo’steyam, saucam indriyanigrahah,
Dhirvidyā satyamakrodho, daúakam dharmalakûanam.
“Teguh hati dalam tujuan dan pelaksanaan tugas, suka memaafkan, mampu menasehati diri, tidak melakukan kecurangan, taat akan peraturan penyucian diri, mengendalikan
nafsu indriya, teguh iman, memiliki kesadaran pengetahuan/spiritual,
 memegang kebenaran/kejujuran, dan menghilangkan kemarahan,
semua ini merupakan sepuluh hukum perbuatan yang mesti  dipatuhi”.
Penekanan tentang kejujuran dinyatakan melalui sloka berikut:
Yad dvayoranyor vetha, karye’smincestitam mithah,
Tad bruta sarvam satyena,  yusmakam hyata sakûitah”. (MS VIII.80)
“Apa yang kamu kerjakan dan ketahui, katakanlah semua itu sesuai dengan kenyataan (satya), karena kamu sebagai pelaksana dan sekaligus saksi dalam hal ini’.
Niyatam kuru karma tvam, karma jyāyo hyakarmanah,
                Úarìra yātrāpi ca te, na prasiddhyed akarmanah. (Bhagavadgita III.8)

“Bekerjalah seperti yang telah ditentukan, sebab berbuat lebih baik dari pada tidak berbuat, dan bahkan tubuhpun tak akan berhasil terpelihara tanpa berkarya”.

Tasmād dharmamyanistesu, sa wyawasye narādhipah,
Anistam cāpyanistesu, tam dharmam na wicālayet”. (M S VII.13)

“Karena itu hendaknya janganlah seseorang melanggar peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah, baik karena menguntungkan seseorang, maupun yang merugikan pihak yang tidak menghendakinya”.

Ketaatan pada hukum, disebutkan dalam beberapa mantra dan sloka berikut:

Niyatam kuru karma tvam, karma jyāyo hyakarmanah,
                Úarìra yātrāpi ca te, na prasiddhyed akarmanah. (Bhagavadgita III.8)
“Bekerjalah seperti yang telah ditentukan, sebab berbuat lebih baik dari pada tidak berbuat, dan bahkan tubuh pun tak akan berhasil terpelihara tanpa berkarya”.

Tasmād dharmamyanistesu, sa wyawasye narādhipah,
Anistam cāpyanistesu, tam dharmam na wicālayet”. (M S VII.13)
“Karena itu hendaknya janganlah seseorang melanggar peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah, baik karena menguntungkan seseorang, maupun yang merugikan pihak yang tidak menghendakinya”.

Setiap orang dianjurkan untuk berbuat atau bekerja secara taat asas, baik terhadap ketentuan dharma agama maupun dharma negara. Hal ini berarti bahwa Dharma harus dijadikan landasan utama dalam mencari kekayaan (artha) maupun dalam menikmati kehidupan duniawi (kama).

Kesadaran menjauhi yang bukan hak, karena Antaryamitva sebagai saksi abadi.

“Eko devas sarva bhùtesu gudah, sarva vyapi sarva bhùtantaratma,
Karmàdhyaksah sarva bhùta divasah, saksi cetta kevalo nirgunasca”.
(Svetasvatara Upanisad IV.17)

“Satu sinar suci Tuhan berada secara gaib dalam setiap makhluk,
Dia menyebar pada semua ciptaan sebagai roh kehidupan (Atman),
Dia adalah spirit yang menggerakkan semua makhluk,
dan menjadi saksi yang bebas dari pengaruh pikiran”.

“Iúavasyam idam sarvam, yat kiýca jagatyam jagat,
Tena tyaktena buñjita, ma gridah kasyàsvid dhanam”.
(Isa Upanisad 1)

Manifestasi kemahakuasaan Tuhan (Isvara) bersemayam dalam semua ciptaan,
Dia menjadi spirit dari malkluk yang bergerak maupun yang tidak bergerak,
Karena itu, seseorang tidak diperbolehkan mengambil sesuatu yang bukan haknya”.

Mantra-mantra tersebut mengisyaratkan bahwa seseorang tidak boleh berbuat di luar batas-batas moralitas atau melakukan tindak pidana asusila, kekerasan, penggelapan, pencurian, korupsi, dan lain sebagainya. Tindakan tersebut akan mengakibatkan penderitaan semasa hidupnya (di alam sakala) maupun setelah ia mati (di alam niskala).

Setiap tindakan dilakukan sebagai wujud bhakti kepada Tuhan.
Disiplin dan keteguhan hati dalam pengabdian adalah sikap kerja yang sangat mulia. Setiap karyawan hendaknya berpegang teguh pada sumpah jabatannya dan sadar bahwa apa pun tindakan yang dilakukannya senantiasa diniatkan sebagai wujud bhakti yang tulus kepada Hyang Widhi Wasa.
Di dalam kitab Bhagavadgita IX.14 dan IX.14, serta Úlokàntara 8 disebutkan:
Satatam kirtayanto mām, yatantas ca dådha-vratāh,
Namasyantas ca mām bhaktyā, nitya-yuktā upāsate.
“Dengan selalu memuliakan-Ku, berusaha dengan teguh memegang sumpah,
sujud kepada-Ku dalam pengabdian dan dengan disiplin senantiasa berbhakti kepada-Ku”.
“Yat karosi yad asnasi, yaj juhosi dadasi yat,
Yat tapasyasi kaunteya, tat kurusva ma darpanam.
“Apa pun yang engkau kerjakan, engkau makan, engkau persembahkan, engkau dermakan, dan disiplin diri apa pun yang engkau lakukan,  kerjakanlah itu sebagai bhakti pada-Ku”

Nirdhano’pi narah sadhuh, karma nidyam na karayet
Úardulaúco hinnapado’pi,  tånam jatu na bhakûayet.
“Orang yang teguh hati, walau pun amat miskin, ia takkan mau melakukan pekerjaan hina;
Seperti harimau, walaupun kakinya dipotong remuk, ia takkan mau memakan rumput”.

Demikianlah semestinya, setiap orang atau pekerja harus memiliki sraddha yang teguh atas kemahakuasaan Hyang Widhi Wasa. Setiap tindakannya dijadikan sarana persembahan (sadhana yajña) untuk berbakti kepada-Nya dan senantiasa menjaga harkat dan martabatnya yang mulia sebagai manusia terhormat.

Dengan demikian, sesungguhnya pengamalan nilai budaya kerja itu terletak pada kesadaran spiritual dalam bekerja, sebagai wujud pengabdian kepada Brahman Yang Maha Esa. Sesungguhnya, Hyang Widhi Wasa adalah pekerja agung atas dunia ini (Visvakarma Mahātma). Hyang Widhi Wasa bersemayam di dalam hati setiap orang (hridaye sanivistah) dan yang menggerakkan seluruh ciptaan-Nya, sekaligus sebagai spirit kerja (yat kimca  jagatyam jagat).

Apabila seseorang telah memahami seluruh nilai-nilai budaya kerja yang diajarkan dalam susastra agama tersebut dan mengamalkannya dengan sepenuh hati maka sesungguhnya mereka telah mengamalkan Dharma Agama dengan baik. Pengamalan Dharma Agama bukanlah hanya dilakukan melalui upacara atau ritual, melainkan harus ditunjukkan melalui karya nyata yang dilandasi etos kerja, sehingga membawa kebaikan bagi semesta alam.


PENUTUP
 Menyadari sedalam-dalamnya bahwa pengabdian kerja merupakan kewajiban yang tidak dapat dihindari maka nilai budaya kerja ini hendaknya diinternalisasikan pada setiap karyawan sebagai landasan menjalani karma di dalam setiap langkah kehidupannya.
Your hand on work and your heart on God”.
Semoga segala kelalaian dientaskan, sikap kerja sama dan kerja keras selalu terpatri, kecerdasan dan kesadaran spiritual dibimbing maju, dan kesadaran pengabdian yang tulus selalu dibangkitkan sebagai wujud pengamalan Dharma Agama dan  yajña bhakti kepada Hyang Widhi Wasa.

Om siddhirastu tadastvastu svaha.

                                                                        Jakarta,  6 Desember 2013
                                                                           

                                                                            KOLONEL INF.(PURN) I NENGAH DANA



---------------------------------------------------------o0o----------------------------------------------------------



Keagungan Gīta Dalam Samkhya:
Sebuah Review terhadap Buku Pesan Universal
Bhagavad Gīta—Swami Ranganathananda


Oleh: Tiwi Etika
      I.         Pendahuluan
Buku Pesan Universal Bhagavad Gīta-Swamī Ranganathananda ini, merupakan buku pertama yang mencoba memahami syair-syair suci Bhagavad Gīta sedikit terlepas dari konteks teologi, seperti yang sering kita temukan pada buku tafsiran Gīta yang lainnya selama ini. Di dalam buku ini Gīta benar-benar mendapat ‘jiwa baru’ melalui tafsiran kecerdasan (buddhi), logika dan etika Vedanta mapun Sāṁkhya, walaupun kemudian dibeberapa poin pada Bab IV kembali masuk ranah teologi lagi. Namun cukuplah sebagai sebuah usaha awal dalam rangka mendapatkan semangat baru Gīta.
Bagi saya membaca buku Pesan Universal Bhagavad Gīta dari Swamī Ranganathananda ini, serasa masuk pada ranah jantung ajaran Sāṁkhya. Bagaimana tidak! Karena ketika menyimak dengan mendalam terhadap apa yang telah Swamī Ranganatananda sampaikan pada buku Pesan Universal Bhagavad Gīta ini langsung menjurus kepada pokok kebijaksanaan atau kemuliaan filsafat Sāṁkhya (The Wisdom of Sāṁkhya Philosophy), yakni ‘Bagaimana Hidup dan Kehidupan itu sendiri, dan tentu saja hal ini dibaca dalam konteks ‘bagaimana harus bekerja dan pekerjaan’ itu sendiri dalam versi beliau.
Paham Sāṁkhya yang tersirat dari komentar-komentar Swamī Ranganathananda pada sloka Gīta pada Buku Pesan Universal Bhagavad Gīta, sesungguhnya tidaklah dimulai dari Bab II dimaksud, sebagaimana judul pembicaraan pada Bab II buku tersebut yakni Sāṁkhya-Yoga. Namun dimulai sejak Swamī Ranganathananda menggunakan istilah kata ‘Arjuna visada yoga’ atau duka Arjuna dengan kalimat sebagai berikut:
Bab ini disebut Yoga dari Duka Arjuna, Arjuna-visada yoga. Visada adalah kesedihan. Itu juga yoga, karena dari kesedihan juga muncul perkembangan yang luar biasa. Kita mulai berpikir, dan mulai membeda-bedakan. Anda meminta saran, anda membutuhkan filsafat untuk membimbing diri anda. Ini juga yoga, yaitu Arjuna-visada yoga”. (Lihat Hal. 88 Jilid I)
Dalam text pertama Sāṁkhyakārikā disebutkan:

duḥkhatrayābhighātā jijñāsātadabhighātake hetau”–karena ada tekanan dari ketiga jenis sumber dukha, maka muncul keinginan untuk mengetahui cara menangkal-mengatasinya (because of the torment of the threefold suffering, (there arises) the desire to know the means of counteracting it).

Inilah kalimat yang menjadi pondasi dan cikal bakal tentang ajaran Sāṁkhya Ethic. Kemudian dari text tersebut diatas, terlahirlah pertanyaan mendasar meta-epistemic Sāṁkhya, yakni: (1) Berasal dari mana dan apa dukha itu? (2) Bagaimana cara mengatasi atau menguranginya, (3) Bagaimana cara melenyapkan atau melampaui-nya? dan (4) Kondisi apa yang dialami ketika mampu melampau dukha itu? Kalimat-kalimat ini pula yang dipergunakan Sidhartha Gautama ketika memulai spiritualnya. Karena itu banyak para peneliti Sāṁkhya menduga bahwa Sidhartha Gautama memulai spiritualnya dengan spirit Sāṁkhya.

Penjelasan atau ulasan-ulasan jawaban dari keempat pertanyaan tersebut diatas lah yang yang secara eksplisit ingin disampaikan Shri Krisna kepada Arjuna dalam Gīta, serta berusaha di-logika-kan oleh Swamī Ranganathananda dalam buku Pesan Universal Bhagavad Gīta dalam konteks merohanikan kerja, agar kerja itu sendiri membawa kebahagian, bukan untuk diri sendiri saja tetapi untuk masyarakat, dimana kita termasuk di dalamnya, sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Ngakan Putu Putra dalam kata pengatar buku tersebut. Oleh karena itu tidak heran apabila Swamī Ranganathananda mengatakan bahwa “Bhagavad Gīta diperuntukan untuk kaum pekerja laki-laki dan wanita.

Dalam konteks kerja dan pekerjaan ‘dukha atau kesedihan’ merupakan ‘wujud’ dari permasalahan. Pada bab I hingga halaman pertengahan Bab II buku pesan universal Bhagavad Gīta dijelaskan secara simbolis tentang sumber dan apa itu kesedihan-dukha (permasalahan kerja). Kemudian pada Bab II halaman pertengahan hingga Bab III halaman pertengahan dijelaskan bagaimana cara mengatasi kesedihan-permasalahan kerja tersebut. Pada Bab III halaman pertengahan terakhir hingga Bab IV halaman awal diberikan penjelasan bagaimana cara melampaui permasalahan dalam pekerjaan. Sedangkan pada pertengahan halaman Bab IV hingga halaman akhir dijelaskan kondisi apa saja yang dialami ketika permasalahan pekerjaan dapat dilampaui atau diatasi.
Saya bermaksud mencoba memberikan sedikit informasi seperti apa ke empat pertanyaan-permasalahan tersebut diatas dibahas dalam paham metafisika Sāṁkhya dengan me-review beberapa komentar Swamī Ranganathananda terhadap Gīta dalam buku pesan Universal Bhagavad Gīta dimaksud.

    II.         Pembahasan
Hidup merupakan ‘kewajiban’ penunaian atau pelunasan karma-wasana. Dalam proses penunaian tersebut tidak ada jalan instant, selain mengikuti prosesnya dengan aturan-aturan yang cerdas.”
Permasalahan dalam dunia kerja bawasanya muncul, ketika ada upaya-upaya melakukan pelanggaran terhadap peraturan-aturan yang telah ditentukan, dan atau permasalahan hidup hadir ketika ada upaya-upaya melakukan jalan instan (tidak mengikuti proses sebagaimana mestinya) dalam rangka pelunasan karma-wasana dimaksud, serta adanya ketidak-mengerti pada hakikat apa itu kehidupan. Sesungguhnya hidup adalah aturan (Life's rule, so perform or perish). Karena itu ia merupakan sebuah kewajiban. Kewajiban mengikuti aturan-aturan dalam rangka penunaian karma-wasana. Oleh karena itu Sri Krishna berkata kepada Arjuna di medan perang Kurukshetra mengatakan: “Bangkit dan lakukanlah kewajibanmu wahai putra Kunti yang perkasa!


* Berasal dari mana dan apa dukha itu?
Ketika Arjuna mulai ingin tahu dan menyadari siapa musuh yang akan dihadapi-nya di medan perang, yakni para guru, kakek, paman, saudara-saudara dst-nya, maka Arjuna bersedih, karena merasa tidak mampu menanggung beban penderitaan yang muncul dikemudian hari akibat melakukan perang melawan kerabatnya dimaksud. Dari kesedihan Arjuna ini, Swami Ranganathananda memahami bahwa dukha Arjuna yang kemudian membuat Arjuna menyadari kenyataan yang sedang ia hadapi, dan hal ini merupakan yoga. Sebuah yoga yang muncul dari ‘kesedihan’, mendorong Arjuna berpikir, berusaha mengidentifikasikan kesedihannya dan atau melakukan kontak-hubungan (yug) meminta saran, bimbingan kepada Shri Krishna. Sebuah kesedihan yang melahirkan kesadaran mendalam untuk mencari tahu sumber dan cara untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Karena itu Arjuna kemudian berkata:
Hakikat bawaanku telah ditutupi oleh kegelapan hati dan aku bingung terhadap dharma dan tugasku; jadi aku memohon, katakan dengan pasti apa yang nyata-nyata bermamfaat untukku. Aku siswamu, ajari aku yang telah menyerahkan diri kepadamu” (Gīta 2.7).
Fenomena ini lah yang dipahami Swamī Ranganathananda dengan istilah sebuah perkembangan yang luar biasa, yang lahir dari sebuah ‘kesedihan’, karena ia dapat membawa kita untuk melakukan kontak-hubungan melalui ‘keinginan-kesadaran untuk mengatasi kesedihan-dukha’ dimaksud. Ketika dukha datang, tentulah kemudian muncul keinginan untuk mengetahui sumber dan cara untuk mengatasi-nya (duḥkhatrayābhighātā jijñāsā tadabhighātake hetau). ‘Keinginan-tahu’ inilah yang disebut dengan ‘kesadaran’. Sebuah kesadaran yang muncul dari sebuah kesedihan (visaya-yoga). Sebuah pemahaman yang luar biasa disampaikan Swamī Ranganathananda kepada kita, melalui kalimat Arjuna-visada yoga ini.
Dalam Gīta yang diberi komentar oleh Satya Sai Baba (dalam buku Bhagavad Gīta terbitan Paramitha-Surabaya) menyebutkan bahwa kesadaran dari rasa kesedihan Arjuna tersebut merupakan sebuah ‘kesadaran’ yang memberikan posisi ‘kepantasan’ bagi seorang Arjuna untuk mendapatkan ajaran Gīta dibandingan dengan Pandawa lainnya. Tidak semua Pandawa memiliki sebuah kesadaran mampu melihat sebuah effect dari perbuatan sebelum perbuatan itu dilakukan, sebagaimana yang dimiliki oleh Arjuna. Sebagai contoh, tengok lah pada Yudistira. Ia tidak berpikir apa akibat dari menerima tawaran bermain judi dari Doriyodana dikemudian hari. Sehingga akhirnya Pandawa menderita akibat perbuatan tersebut.

Dalam ajaran Sāṁkya disebutkan bahwa dukha muncul dari tiga sumber, yakni; (1) dari dalam diri manusia itu sendiri atau psychophysical nature of man (ādhyātmika), (2) dari luar diri manusia (ādhibhautika), dan (3) dukha yang datang dari pengaruh supernatural (ādhidaivika).

Kesedihan yang dialami Arjuna adalah kesedihan yang berasal dari dalam diri Arjuna sendiri, disebut ādhyaatmika. Oleh karena itu, kesedihan tersebut hanya mampu diatasi dengan psychology-therapy, atau dalam istilah Swamī Ranganathananda adalah pemberian ‘tonik’, melalui wejangan dan bimbingan intensif (correct knowledge-jñāna)dari seorang Guru spiritual seperti Shri Krishna. Sementara dua jenis sumber dukha yang berasal dari luar diri manusia, dapat diatasi dengan karma (perbuatan).

Swamī Ranganatananda melihat bahwa terapi-mental (tonik) yang diberikan oleh Shri Krishna kepada Arjuna untuk keluar dari kesedihan yang dialaminya, tersirat melalui dua sloka Gīta sebagai berikut:

kutastvā kaśmalamidaṁ vishame samupasthitam,
anāryajuṣṭamasvargyamakītikaram Arjuna.

(Darimana datangnya duka dan lemah hati pada saat-saat kritis seperti ini, semangat bukan orang kesatria, tidak luhur dan memalukan, O Arjuna” –Gīta 2.2).

klaibyaṁ māsma gamaḥ pārtha naitattvayyuupadyate, kshudraṁ hrdayadaurbalyaṁ tyaktvoṣṭha paramtapa.

(Jangan biarkan kelemahan itu, oh Partha, sebab itu tidak sesuai bagimu, enyahlah rasa lemah dan kecut itu, bangkit! Oh pahlawan jaya—Gīta 2.3)

Ada beberapa kata kunci yang dipakai Swamī Ranganathananda dalam komentar beliau untuk menyimpulkan bahwa Shri Krishna memberikan tonik atau terapi mental kepada Arjuna dalam rangka mengurangi kesedihannya dengan menyampaikan kedua sloka penting tersebut diatas, yakni; kaśmala (sikap rendah diri-lemah hati), anāryajuṣṭama (tidak sesuai dengan sifat seorang arya (kesatriya), yakni berani, tegas agung dan luhur budi-pekertinya), asvargyam (tidak luhur-tidak memberikan kemulian), akītikaram (memalukan-memberikan nama buruk), klaibyaṁ (bernyali kecil-kecut), naitattvayyuupadyate (tidak pantas bagimu). Sehingga Swamī Ranganathananda membuat sebuah proposisi bahwa:

Kelemahan dapat dihilangkan dengan kekuatan. Kotoran tidak bisa dihapus dengan kekotoran, hanya air murni (bersih) yang dapat mencuci kotoran. Jadi kelemahan lain tidak dapat menghapus kelemahan lainnya.” (Hal. 110)

Setiap kelemahan tidak memiliki nilai kebajikan. Kelemahan dan kebajikan tidak pernah bisa berjalan bersamaan. Dimana tidak ada keberanian, maka disana tidak ada kebajikan.” (Jilid I Hal. 108).

Krishna, bagaimana bisa dalam peperangan ini saya memanah orang-orang seperti Bhisma dan Drona? Mereka orang-orang yang patut saya sembah (Gīta 2.4)

Sloka Gīta tersebut dipahami oleh kebanyakan para Vedantin (penganut Vedanta) termasuk Swamī Ranganathananda, bahwa Arjuna terjebak dalam ‘ketidaktahuan’ akan hakikat ‘yang nyata-abadi’ (sat) dan ‘tidak nyata’ (asat), sehingga Arjuna memahami ‘kematian badan’ adalah kematian bagi Ātman juga, dan sebagai akhir segalanya dan merupakan sebuah dosa. Berperang melawan para Guru merupakan pembunuhan yang tidak terhingga dosa-nya. Baik dalam paham Vedanta maupun Sāṁkhya memahami bahwa kematian hanyalah terjadi pada badan, dan tidak pada jiwa. Oleh karena itu berperang merupakan sebuah usaha ‘membantu pembebasan jiwa’ yang terpasung dalam badan-badan kotor dan jahat. Dalam hal tersebut Sāṁkhya menjelaskan bahwa:

prāpte śarῑrabhede caritārthatvāt pradhānavinivṛttau,
aikāntikam ātyantikam ubhayaṁ kaivalyam āpnoti (Kārikā 68).

(Dengan penghentian pengahancuran pada dimensi Prakrti, dan Puruṣa telah terpisah dari tubuh (yang bersifat), pencapaian isolasi (kaivalya) dari keduanya telah berakhir.

Ada perbedaan yang mendasar antara paham Vedanta dan Sāṁkhya dalam memahami konsep eksistensi dualitas Puruṣa dan Prakṛti. Vedanta memahami bahwa Puruṣa adalah Brahman itu sendiri yang memiliki percikan kecil sebagai Ātman (jiwa) yang bersemayam disetiap tubuh mahluk. Sedangkan Prakṛti adalah Pradana (dimensi materi), dan Prakṛti berasal dari Puruṣa. Kebebasan Ātman dengan meniadakan dimensi materi atau memunculkan eksistensi Ātman dengan pemusnahan unsur duniawi (terutama dalam Dvaita). Sementara itu dalam paham Sāṁkhya disebutkan bahwa:

mūlaprakṛtiavikṛtirmahadādyāḥ prakṛtivikṛtayaḥ sapta,
ṣoḍaśakastuvikāro naprakṛtirnavikṛtihpuruṣaḥ (Kārikā 3).

(Unsur alam pertama-prakṛti (mūlaprakṛti) tidak diciptakan. Ketujuh bentuk lain prakṛti [mahat, ahaṁkāra dan panca tanmatra] kedua-nya; diciptakan dan mencipta. Demikian juga enam belas yang lainnya (manas, panca karmendriya, panca jnanendriya dan panca mahabhuta) diciptakan. Sedangkan Puruṣa tidak diciptakan dan tidak mencipta).

Prakṛti adalah unsur alam pertama atau materi yang tidak diciptakan, demikian juga Puruṣa tidak diciptakan dan tidak mencipta. Lalu pertanyaan yang akan muncul adalah dari manakah asal segala sesuatu yang ada di dunia ini, demikian juga ‘spirit’ yang menjadi unsur yang menghidupkan segala mahluk sebagaimana dipahami sebagai jiwa dalam Vedanta? Vedanta jelas menyebutkan bahwa semuanya berasal dari Brahman. Namun dalam Sāṁkhya diuraikan dalam teori evolusi-nya (Pariṇamavāda), bahwa alam semesta berserta isinya berasal dari Prakṛti yang dalam prosesnya dibantu oleh Puruṣa. Terjadinya kontak atau kerjasama diantara Puruṣa dan Prakṛti akibat aktivitas dari tri guṇa dalam rangka penciptaan tersebut.

tasmāt tatsaṁyogād acetanaṁ cetanāvad iva liṅgam,
guṇakartṛtve ca tathā karte’va bhavaty udāsῑnaḥ (Kārikā XX).

Because of the proximity (or association) of the two-i.e., prakṛti and puruṣa-the unconscious one appears as if characterized by consciousness. Similarly, the indifferent one appears as if characterized by activity, because of the activities of the three guṇa-s.

prakṛter mahāṁs tato’haṅkāraḥ tasmād gaṇaś ca ṣoḍaśakaḥ,
tasmād api ṣoḍaśakāt pañcabhyaḥ pañcabhūtāni (Kārikā XXII).

From prakṛti (emerges) the great one (mahat), from that come self-awareness (ahaṁkara), from that comes the group of sixteen. Moreover, from five of the sixteen come the five gross elements.

Puruṣa dipahami sebagai dimensi kesadaran. Sebuah kesadaran yang membantu Prakṛti menjadi ‘cerdas’ sehingga bisa mencipta atau kreatif. Oleh karena itu dalam Sāṁkhya tidak dikenal ada kata jiwa (soul). Alam beserta isinya termasuk manusia berasal dari dimensi materi dan kesadaran. Oleh karena itu kematian suatu mahluk tidak menjadi kematian bagi mahluk lain, dan atau kesakitan bagi mahluk lain tidak merupakan kesakitan bagi yang lainnya. Kemudian bagaimana proses akhir dari tujuan kehidupan? Dalam Sāṁkhya disebutkan bahwa akhir dari kehidupan adalah ketika kesadaran dan materi mampu melepaskan diri dari masing-masing, dalam proses pratiloma (evolusi balik). Oleh karena itu kesadaran akan dicapai melalui pengetahuan yang benar; yakni pengetahuan tentang bagaimana membedakan apa yang disebut vyakta (termanifestasikan) dan avyakta (tidak termanifestasikan) atau materi-non materi (kesadaran), badan-bukan badan, baik-buruk dst nya. Ketika telah memiliki pengetahuan yang benar tentang kedua hal tersebut, maka akan berdampak pada aktivitas perbuatan (karma). Oleh karena itu Saṁkhya memahami bahwa ‘berperang’ merupakan pembebasan unsur materi (badan) melalui sebuah kesadaran. Dan hal itu memang harus dilakukan, karena yang baik akan dipahami keberadaannya melalui yang tidak baik, demikian juga siang diketahui karena ada malam, Kekotoran dicuci dengan kebersihan, kelemahan dihapus dengan kekuatan, dan demikian seterusnya pada hal yang lain.

Oleh karena kelemahan dihapus dengan kekuatan, dan perang yang dilakukan Arjuna merupakan sebuah keharusan (kewajiban dalam bahasa Gīta 2.33) dilakukan dalam rangka pemisahan unsur materi (Prakṛti) dari kesadaran (Puruṣa). Sehingga keduanya dapat mengalami pemisahan-kelepasan (kaivalya). Inilah konsep dualitas yang mendalam diajarkan dalam metafisika Sāṁkhya. Dimana dimensi materi dan kesadaran mesti saling bantu membantu dalam rangka pencapaian tujuan (pemisahan). Kerjasama antara keduanya (Prakṛti dan Puruṣa) dalam mencapai tujuan terakhir adalah seperti kerjasama yang dilakukan oleh seorang yang buta dan seorang yang pincang dalam usaha keluar dari hutan rimba yang dihuni oleh binatang buas. Keduanya harus berkerjasama dengan apik. Si pincang membutuhkan kaki si buta, dan si buta membutuhkan mata si pincang.

puruṣasya darśanārthaṁ kaivalyārthaṁ tathā pradhānasya,
paṅgvandhavad ubhayor api saṁyogas tatkṛtaḥ sargaḥ (Kārikā XXI).

The proximity (or association) of the two, which is like that of a blind man and a lame man, is for seeing the Pradhana and for the purpose of the isolation of the Puruṣa. From this association creation proceeds.

Arjuna bertanya kepada Shri Krishna: “Tetapi apakah, oh Warsneja (Krishna) yang mendorong orang berbuat dosa walau bertentangan dengan hatinuraninya, seolah-olah dengan paksa? (Gīta 3.36).
Shri Krishna menjawab: “Berasal dari amarah dan napsu yang lahir dari sifat guṇa, keduanya pemusnah, penuh dosa, ketahuilah kedua ini adalah musuh (Gīta 3.37). Pancaindria, hati dan pikiran adalah kenderaan baginya; dengan tertutupnya ilmu pengetahuan olehnya (amarah dan nafsu) menyebabkan bingungnya jiwa dalam badan (Gīta 3.40)

===

* Bagaimana cara mengatasi atau mengurangi kesedihan-dukha?

Pada pertengahan halaman Bab II hingga halaman awal Bab III Swamī Ranganathananda mencoba menarik sebuah kesimpulan dari wejangan Shri Krisna kepada Arjuna tentang pengendalian dan bagaimana memanajemen pikiran sebagai usaha untuk mengurangi atau mengatasi kesedihan-permasalahan. Menurut Swamī Ranganathananda, pikiran yang stabil, pikiran yang kuat adalah asset terbesar yang dapat kita miliki dalam hidup (Buku jilid II, Hal. 15).

Dalam teori evolusi Sāṁkhya disebutkan bahwa pada alam semesta berserta isinya (include manusia) terdapat unsur tri guṇa (tiga macam atribut, sifat, kharakter) yang bersemayam pada setiap elemen atau komponen alam semesta dan diri setiap mahluk. Sedangkan komposisi tri guṇa pada setiap mahluk tidak sama sebagaimana disebutkan dalam text Sāṁkhyakārika sebagai berikut:

ūrdhvaṁ sattvaviśālas tamoviśālaśca mūlataḥ sargaḥ,
madhye rajoviśālo brahmādistambaparyantaḥ (Kārikā LIV)

In the upper world, there is a predominance of sattva. In the lower creation, there is a predominance of tamas. In the middle, there is a predominance of rajas. This is so from Brahmā down to a blade of grass.

Pada ilmu psikologi Sāṁkhya, tri guṇa yang terdiri dari sattvam, rajas dan tamas) memiliki pengertian sebagai sifat atau atribut kebijaksanaan, emosi-semangat dan kemalasan-kesedihan, berfungsi untuk mewujudkan, mengaktifkan dan membatasi. Mereka selalu saling mendominasi, mendukung, mengaktifkan, dan berinteraksi antara satu sama lain (Sāṁkhyakārikā XII).

Dalam Sāṁkhya, manusia terdiri dari badan halus dan kasar. Badan halus terdiri dari komponen antaḥ karaṇa (buddhi, ahaṁkāra dan manas). Sedangkan badan kasar terdiri dari lima belas tattwa (pañca karmendria, pañca jñānendria dan pañca mahabhutha). Semua komponen badan halus dan kasar mengandung unsur tri guṇa. Dalam buddhi unsur sattvam lebih dominan dari unsur rajas dan tamas. Dalam ahaṁkāra terdapat unsur rajas yang lebih dominan dari sattvam dan tamas. Sementara dalam manas, unsur tamas lah yang dominan dari sattvam dan rajas. Terkait dengan ketidak-seimbangan dan atau tidak terkendalinya kondisi Arjuna dalam kesedihan, maka mengaburkan pemahaman Arjuna tentang sat dan asat ketika menghadapi perang. Dalam teori evolusi metafisika Sāṁkhya hal ini terjadi akibat manas yang didominasi oleh unsur tamas mendominasi keberadaan buddhi dan ahaṁkāra dalam komponen antaḥ karaṇa, sehingga terjadilah kesenjangan dan atau ketidakseimbangan pada elemen halus manusia, yang mengakibatkan pikir, emosi dan kebijaksanaan yang ada dalam diri Arjuna tidak terkendali sebagai akibat pergolakan manas menguasai buddhi dan ahaṁkāra.

Kemudian bagaimana mengatasi atau mengurangi kesedihan seperti yang dialami oleh Arjuna tersebut? Kriṣṇa menjelaskan dalam Gīta 2.50 yakni; “karena diseimbangi buddhi, seseorang membebaskan dirinya dalam kehidupan ini, tiada beda antara kebajikan dan keburukan, baktikan dirimu, oleh karena itu, kepada yoga ini. Yoga adalah efisiensi dalam tindakan.” Swamī Ranganathananda memberikan komentar terhadap sloka tersebut yakni: “dualitas ini, sukṛta dan duskṛta, perbuatan baik dan buruk, yang kita lakukan dalam kehidupan yang lebih rendah penuh dengan konflik-konflik. Tapi ketika anda naik ke tingkat buddhi, anda melampaui dualitas yang penuh konflik ini.”

Sāmkhya telah clear menjelaskan hal tersebut diatas, yakni ketika unsur tri guṇa dalam komponen antaḥ karaṇa bergejolak, maka akan terjadi ketidakseimbangan pada komponen halus manusia, atau dengan kata lain memicu ketidakseimbangan antara sifat kebijaksanaan, emosi dan pikir. Ketika ketiga hal tersebut tidak seimbang maka laku manusia akan mengalami ketidakwajaran. Hanya dengan mendorong atau melakukan penguatan unsur sattvam (baca, buddhi) pada komponen halus manusia-lah, maka keseimbangan akan tercapai. Dalam konteks dukha Arjuna ini, yang terjadi adalah adanya distorsi manas terhadap buddhi dan ahaṁkāra, sehingga adanya ketikseimbangan diantara ketiganya, yang kemudian melahirkan dukha.

===




* Bagaimana cara melenyapkan atau melampaui dukha?

Orang tidak akan mencapai kebebasan karena diam tidak bekerja, juga ia tak akan mencapai kesempurnaan karena menghindari kegiatan kerja.” (Gīta 3.4)

Tidak seorangpun tidak bekerja walaupun untuk sesaat jua karena dengan tiada berdaya manusia dibuat bertindak oleh hukum alam.” (Gīta 3.5)

Apa yang tiada, tak akan pernah ada, apa yang ada, tak akan berhenti ada, keduanya hanya dapat dimengerti oleh orang yang melihat kebenaran.” (Gīta 2.16)

Beberapa kalimat menarik yang dilontarkan oleh Swamī Ranganathananda mengomentari ketiga sloka tersebut diatas. Dengan mengutif sloka bahasa Sansekerta tradisional yakni “Laksmi (keberuntungan) datang kepasa Singa diantara manusia yang rajin, Singa itu diantara manusia, Laksmi datang kepada orang yang seperti itu dengan anugrah.” Dan bahkan Swamī mengatakan bahwa “Laksmi lahir dari Saraswati” (Buku jilid II, Hal. 27-28)

Setidaknya dari ketiga sloka tersebut diatas merupakan referensi kuat bagi Sāṁkhya untuk mendeklarasikan eksistensi teori satkāryavāda (causality-sebab dan akibat-karma dan pahala) yangtak terbantahkan kebenarannya, serta merupakan senjata utama Sāṁkhya dalam memberikan argumentasi pada paham metafisika-nya. Kritikan-kritikan tajam disampaikan kaum Vedantin, ketika para Sāṁkhyas (sebutan bagi kaum penganut Sāṁkhya) memberikan penjelasan berbeda dari paham yang lazim dipahami tentang hukum karma-pahala atau satkāryavāda ini (Lih. A History of Indian Philosophy-Surendranath Dasgupta, hal. 267). Menurut Sāṁkhya, secara esensial-hakikat bahwa akibat tidak-lah berbeda dari sebab [penyebab]. Karena itu tidak ada sesuatu yang baru yang hadir kedunia ini. Hukum sebab akibat menurut Sāṁkhya tidak hanya sebatas membicarakan ‘apa yang kita tanam itulah yang kita panen’, namun lebih spesifik tentang ‘apa yang kita panen adalah tidak berbeda dengan apa yang kita tanam’. Seperti minyak sawit yang datang dari biji sawit. Demikianlah akibat itu, ia datang dari sebab, dan sebab tidaklah berbeda dari akibat. Secara esensial minyak sawit yang kita gunakan untuk menggoreng makanan tidaklah berbeda dari minyak sawit yang masih ada dalam biji sawit. Ketika argumentasi meta-epistemik Sāṁkhya tersebut dibawa kedalam diskusi eksistensi Tuhan sebagai pencipta, maka banyak ditolak oleh kaum Vedantin. Sebab ajaran Vedanta, memposisikan Tuhan sebagai yang maha tunggal sebagai pencipta dan tempat berlabuhnya segala sesuatu yang ada diakhir kehidupan. Lalu pertanyaan dari Sāṁkhya tentang eksistensi hyang maha tunggal tersebut adalah ‘apakah mungkin prakṛti (materi) memiliki kesamaan secara esensial adalah sama dengan puruṣa, atau Ātman adalah sama dengan Badan? Eksistensi tentang satkāryavāda inilah yang menjadi membedakan paham Sāṁkhya dengan paham filsafat Hindu lainnya.

asadakaraṇād upādānagrahaṇāt sarvasambhavābhavāt,
śaktasyaśakyakaraṇāt kāraṇabhāvāc ca satkāryam. (Kārikā IX)

The effect exists (before the operation of cause/satkārya).
1.     because of the non-productivity of non-being
2.     because of the need for an (appropriate) material cause,
3.     because of the impossibility of all things coming from all things,
4.     because something can produce what it is capable of producing,
5.     because of the natural of the cause (or, because the effect is non-different from cause).

Sekalipun anda adalah orang yang paling berdosa diantara semua yang penuh dosa, namun dengan perahu pengetahuan itu saja, anda akan bisa menyeberang semua dosa itu.” (Gīta 4.36)
Sāṁkhya menawarkan jalan jñāna (pengetahuan yang benar) sebagai sarana untuk melampaui aktivitas tri guṇa. Pengetahuan yang benar diperoleh melalui penggunaan sarana (metode) yang benar. Ada tiga jenis metode disebutkan dalam epistemology Sāṁkhya untuk memperoleh pengetahuan yang benar, yakni; (a) persepsi, (b) inferensi, (c) otoritas terpercaya atau sabda. Sebuah pengetahuan yang mampu mambawa manusia untuk membedakan dualitas vyakta dan avyakta serta memahami eksistensi Puruṣa dan Prakṛti sehingga mampu melampaui aktivtas tri guṇa. Sehingga kemudian pada akhirnya dapat membuat prakṛti dan puruṣa terlepas dari pengaruh aktivitas tri guṇa dan kemudian mencapai kaivalya. Sesungguhnya Sāṁkhya mengajarkan bagaimana pengetahuan yang benar tersebut dapat diiplementasikan melalui perbuatan (baca, karma). Sehingga kedua jalan Jñāna dan karma dapat berjalan seiring dalam pelakonannya, bukan terlepas, atau dilaksanakan hanya pada salah satu jalan saja. Hal itu tersirat dari penyampaian penggunaan metode dalam mendapatkan pengetahuan yang benar dimaksud.
Demikianlah Kerja itu dilakukan, bukan hanya sekedar sebuah kewajiban untuk sebuah penunaian dalam motif atau tanpa motif sekalipun, namun lebih dari itu ia merupakan sebuah gerak hukum alam (causality-satkāryavāda), dipengaruhi aktivitas tri guṇa yang ada pada setiap mahluk yang akan terus terjadi hingga kesadaran dan materi saling melepaskan diri satu sama lain. Karena itu Gīta mengatakan bahwa ‘manusia bertindak karena hukum alam.’
traiguṇya vishayā vedā’rjuna, nirdvandvo nitya sattvastho niryogakshema ātmavān”.
(Gīta 2.45)

Veda berurusan dengan tri guṇa, bebaskan dirimu, O Arjuna, dari serangkaian tiga guṇa, benaskan dari pasangan yang bertentangan, selalu seimbang, bebas dari pikiran untuk mendapatkan dan menyimpan, dan berdiri teguh dalam diri.”

Sloka ini disebut sebuah penyataan revolusioner oleh Swamī Ranganathanda. Beliau memahami bahwa:
Melampaui tri guṇa berarti melampaui Veda” (Buku jilid I hal. 211). Kemudian Swamī mengutif Bṛhadāraṇyaka Upaniṣad; “benar-benar dikatakan bahwa orang yang mengetahui Brahman, kenyataan terakhir, Veda tidak lagi berarti baginya (vedo-vedo bhavati), Veda jadi bukan Veda.” Sāṇkarācharya juga menafsirkan dengan mengatakan di dalam suatu kalimat “seperti seorang pelayan yang membawa sebuah lampu di depan anda untuk menemukan jalan anda, dan anda sudah menemukannya, sehingga menjadi Veda bagi orang itu. Apakah Veda itu? Ucapan-ucapan dari mereka mengetahui Kebenaran itu. Disini orang yang telah mengetahui kebenaran; mengapa ia tergantung pada Veda? Pengalaman yang nyata membawa anda melampaui buku-buku itu. Pada suatu langkah tertentu, buku menjadi sebuah gangguan. upaniṣad itu sendiri mengatakan bahwa: vaca viglapanaṁ hi tat, kata-kata hanya lebih banyak sebagai pengacau bagi pikiran seperti itu.” (Hal. 206 buku jilid II)

Terjemahan dan komentar Gīta sloka 2.45 disampaikan Swamī Ranganathananda sebagaimana tersebut diatas, sangat-sangat-lah risakan (menakutkan) bila salah dalam memahaminya. Dan hal ini lah yang menjadi ‘pembenaran’ bagi ‘kelompok tertentu’yang selama ini mengesampingkan Veda Sṛuti.

Sloka Gīta 2.45 tersebut diatas dalam terjemahan lain menyebutkan:
Veda menguraikan tentang tri guṇa, Arjuna bebesakan dirimu daripadanya, juga dari dualism pusatkan pikiranmu kepada yang kesucian lepaskan dirimu dari duniawi, bersatu dengan Ātman.” (Lihat Gīta terjemahan Nyoman S Pendit)

Sāṁkhya mamahami sloka tersebut diatas, bukan pada pengertian melampaui atau melepaskan diri dari Veda. Bahkan Sāṁkhya menerima otoritas Veda Sṛuti sepenuhnya, karena itu ada dalam salah satu sloka pada text Sāṁkhya menyebutkan kata Bṛhma. Brhma dipahami sebagai kekuatan ‘supranatural’ (bukan sebagai Tuhan, yang memiliki konotasi sebagai pencipta), karena itu Sāṁkhya dikatagorikan oleh para ilmuwan masuk kedalam kelompok filsafat Hindu. Dalam metafisika Sāṁkhya dijelaskan bahwa; ‘yang harus dilampaui adalah tri guṇa. Karena yang membuat terjadinya kontak antara prakṛti dan puruṣa adalah tri guṇa. Ketika terjadi kontak antara prakṛti dan puruṣa, maka kehidupan terus berjalan dan berjalan, dan apabila kehidupan terus berjalan, disana kaivalya tidak ada dan roda saṁsāra terus berputar.

tasmāt tatsaṁyogād acetanaṁ cetanāvad iva liṅgam,
guṇakartṛtve ca tathā karte’va bhavaty udāsῑnaḥ. (Kārikā XX)

Because of the proximity (or association) of the two-i.e., prakṛti and puruṣa-the unconscious one appears as if characterized by consciousness. Similarly, the indifferent one appears as if characterized by activity, because of the activities of the three guṇa-s.


===


* Kondisi apa yang dialami ketika mampu melampau dukha itu? *

dwa suprṇa sayuja śakhaya sananaṁ vṛksaṁ pari sasvajate,
tyor anyaḥ pippalaṁ svaduaṭṭianasnan anyo abhi cakasiti. (Rg.Veda 1.164.20)

Ada dua ekor burung yang dipersatukan dengan ikatan persahabatan, bertempat tinggal diatas pohon yang sama. Salah satu dari mereka menikmati buah matang yang manis, sedangkan yang lainnya merhatikan tanpa menikmati buah-buahnya [hanya sebagai saksi].

Swamī Ranganathananda memberikan komentar kepada sloka Veda tersebut yakni:
burung yang pertama adalah adalah jiwa yang menderita dan bersenang-senang, melakukan kejahatan, melakukan kebaikan dll. Kita merasakan bahwa kita adalah itu, tapi sifat sejati kita adalah burung yang satunya.”

Dalam text Sāṁkyakārikā menyebutkan:
tena nivṛttaprasavām arthavaśāt saptarūpavinivṛttām,
prakṛtiṁ paśyati puruṣaḥ prekṣakavad avasthitaḥ svasthaḥ Kārikā LXV

Then, the puruṣa, comfortably situated like a spectator, sees prakṛti whose activity has ceased due to the completion of her purpose, and who has turned back from the seven forms (rūpa or bhāva).

tasmāc ca viparyāsāt siddhaṁ sākṣitvam asya puruṣasya,
kaivalyaṁ mādhyasthyaṁ draṣṭṛtvam akartṛbhāvaś ca. (Kārikā XIX)

The purusa is the opposite of the un-manifest, it is established that puruṣa is a:
1.     witness
2.     possess of isolation or freedom
3.     indifferent
4.     a spectator
5.     and inactive

Demikain keadaaan Puruṣa disebutkan dalam text Sāṁkhyakārika sebagaimana tersebut diatas. Ia hanya-lah sebagai penonton yang menyaksikan prakṛti melakukan aktivitas. Selain itu ia juga terisolasi, bebas, acuh tak acuh, penonton dan tidak aktif. Ketika puruṣa dan prakṛti dalam kondisi seperti sebagaimana dalam sloka diatas (tidak melakukan kerjasama), maka tidak ada aktivitas pencitaan. Ketika tidak ada aktivitas penciptaan, maka kaivalya (pemisahan) pun tidak akan diperoleh.

Oleh karena itu kondisi yang dialami Ātman (Vedanta) dan Puruṣa (Sāṁkhya) ketika mendapatkan kaivalya (dalam Sāṁkhya) dan atau mokṣa (dalam Vedanta), bukan dalam kondisi sebagaimana disebutkan dalam sloka-sloka diatas. Namun bersatunya Ātman dengan Brahman (Vedanta). Sedangkan menurut Sāṁkhya adalah terpisahnya Puruṣa dan Prakṛti setelah melakukan aktivitas dalam rangka merealisasi diri masing-masing.

samyagjñānādhigamād dharmādῑnām akāraṇaprāptau,
tiṣṭhati saṁskāravaśāc cakrabhramivad dhṛtaśarῑraḥ. Kārikā LXVII

Having arrived at the point at which virtue, etc, has no (further) cause, because of the attainment of direct knowledge (samyagjñānādhigamād), the endowed body (i.e., the body in association with puruṣa) yet continues because of the force of past impressions (saṁskāras), like a potter’s wheel.

prāpte śarῑrabhede caritārthatvāt pradhānavinivṛttau,
aikāntikam ātyantikam ubhayaṁ kaivalyam āpnoti. (Kārikā LXVIII)

With the cessation of prakṛti due to its purpose having been accomplished, (the puruṣa) on attaining separation from the body, attains isolation (kaivalya) which is both certain and final.

III. Kesimpulan
Dalam konteks kerja (bekerja), pesan universal Gīta memberikan gambaran bahwa dukha-kesedihan-permasalahan kerja bersumber dari diri kita sendiri, luar diri (aturan-sistem,), dan dari ‘pemilik’ tempat kerja (tujuan-misivisi pekerjaan). Kemudian bagaimana cara mengatasi atau menguranginya permasalahan kerja? Tentu saja dengan mengidentifikas permasalahan (mengetahui sumber dan apa permasalah kerja) sebagaimana dijelaskan dalam Bab I buku pesan universal Gīta dimaksud. Kemudian permasalahan harus dihadapi dengan mengikuti prosesnya secara baik (tanpa melalui jalan instant). Sedangkan bagaimana cara melenyapkan atau melampaui-nya pekerjaan itu? Yakni dengan melakukan kerja atau bekerja dan bekerja dengan kecerdasan (jñāna) dan tulus-iklas (yadnya) dan atau tanpa motif selain hanya ingin melakukan pekerjaan itu sendiri. Lalu kondisi apa yang dialami ketika mampu melampau permasalahan kerja? Adalah tidak lain yakni, keberhasilan hidup karena telah melakoni swadharma kita sebaik mungkin sebagai sarana penunaian karma-wasana kita.
Tiwi Etika






----------------------------------------------------o0o---------------------------------------------------------- 

1 commentaire:

  1. terimakasih atas artikelnya. Ini sangat penting dalam membina umat Hindu. Umat kita khususnya di Bali yang masih bergulat tentant ritual, dan belum mengaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Apa yang tertulis ini sangat penting untuk diketahui oleh Umat Hindu. Agama Hindu ternyata mengajarkan Cara Hidup yang Modern.

    RépondreSupprimer