Peran
Strategis MDP Bali
Om Swastiastu
Ratu sulingging sane wangiang tityang.
Yang saya hormati Wakil Gubernur Bali dan Bendesa Agung Majelis Utama Desa
Pakraman (MUDP) Bali, undangan lainnya, beserta peserta Pesamuahan Agung yang
juga saya hormati.
Ada pertanyaan penting yang perlu dijawab lebih
awal, sebelum dibukanya secara resmi Pesamuhan Agung hari ini oleh Wakil Gubernur
Bali.
Benarkah Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali dan Pesamuhan
Agung ini mempunyai peran strategis dalam mempertahankan “jiwa” Bali dan
menjawab tantangan Bali masa depan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pemaparan
materi Pesamuhan Agung ini disusun berturut-turut sebagai berikut. Diawali
dengan penjelaskan tentang ”jiwa” Bali, dilanjutkan dengan keadaan desa
pakraman pada jaman kerajaan dan jaman Belanda. Kemudian desa pakraman sebelum
dan sesudah terbentuk MDP Bali, peran strategis MDP Bali, dan pada bagian akhir
diuraikan tentang arti penting penyelenggaraan Pesamuhan Agung.
“Jiwa” Bali dan Desa
Pakraman
Berbicara tentang Bali sebenarnya berbicara tentang desa pakraman atau desa
adat, karena “jiwa” Bali, yaitu agama Hindu, secara konsisten dan konsekuen dipertahankan oleh desa
pakraman. Ini dapat diketahui dari tujuan (patitis)
awig-awig desa pakraman, yang
menentuan sebagai berikut: (1) Ngukuhang
miwah ngerajegang agama Hindu (Mempertahankan dan melestarikan agama
Hindu). (2) Nginggilang tata prawertine
magama (Mengutamakan tingkah laku yang baik dalam beragama). (3) Ngerajegang kasukertan desa saha pawongannya
sekala lan niskala (Menegakkan kedamaian warga desa pakraman secara nyata
maupun gaib).
Keutuhan, kesehatan dan kelestarian jiwa di dalam badan amat penting
dipertahankan oleh setiap mahluk hidup, kalau ingin tetap hidup. Kalau jiwa
sudah lepas dari badan dan hilang entah kemana, mahluk hidup tidak lagi hidup,
tetapi mati. Kalau jira sudah lepas dari badan seseorang, maka orang itu tidak
lagi disebut manusia atau orang, melainkan disebut mayat. Demikian pulalah halnya dengan Bali. Kalau
agama Hindu tidak lagi “menjiwai” kehidupan sosial budaya di desa pakraman dan
Bali, maka Bali juga tidak hidup, tetapi akan jadi “mayat” atau Bali tidak
berkembang sesuai dengan agama Hindu, melainkan berkembang sesuai dengan
keyakinan agama yang menjiwainya. Suasana desa pakraman tampak seperti gambar
1.
Desa pakraman telah terbukti secara
konsisten dan konsekuen mempertahankan “jiwa” Bali (parhyangan Hindu), melalui berbagai aktivitas warganya (pawongan), dan tata kelola lingkungan
alam (palemahan) yang sesuai dengan agama Hindu. Oleh karena itu, sudah
sepatutnyalah desa pakraman mendapat perhatian khusus dari semua pihak yang peduli
(urati) terhadap Bali dan sungguh-sungguh
menginginkan Bali tetap “hidup”.
Desa Pakraman Jaman Kerajaan
Pada jaman kerajaan (sebelum 1908), raja menjadi
satu-satunya institusi di luar desa pakraman yang mengatur tatanan kehidupan
desa pakraman. Desa pakraman
dengan segala unsurnya seolah-olah milik raja. Raja dapat berbuat apa saja terhadap
desa pakraman yang ada di wilayah kekuasaan raja bersangkutan, termasuk menjual
rakyatnya sebagai bukan dan menghibahkan beberapa desa berikut penduduknya
kepada seseorang.[3] Cengkraman
raja begitu kuatnya, sehingga konflik antara desa pakraman seperti dewasa ini,
hampir tidak ditemukan, kecuali peperangan antara kerajaan satu dengan kerajaan
lainnya yang ada di Bali.[4]
Apabila keberadaan desa pakraman jaman keranaan diilustrasikan dalam gambar,
tampak seperti gambar 2.
Desa Pakraman Jaman Belanda
Sesudah Belanda datang, menguasai Buleleng (1849)
dan mengusai seluruh Bali (1908),
suasana menjadi agak berbeda. Selain raja, pemerintah kolonial Belanda
juga mempengaruhi tatanan kehidupan desa pakraman. Salah satu contoh, Belanda
mulai memperkenalkan tata cara pengelolaan pemerintahan desa berdasarkan sistem
administrasi yang baru, yang diformat sesuai dengan kepentingan pemerintah
kolonial Belanda. Desa pakraman yang wilayahnya luas, dipecah menjadi beberapa
”desa baru” dan yang wilayahnya sempit, digabung menjadi satu, untuk memudahkan
dalam mengaturnya. Desa baru bentukan pemerintah
kolonial Belanda inilah yang
sampai sekarang dikenal dengan
sebutan ”desa dinas”.[5] Selain itu,
pelaksanaan upacara ngaben bagi seorang raja yang wafat yang sebelumnya disetai
masatya dan mabela, secara tegas juga dilarang oleh Belanda. Raja-raja di Bali
taat penuh atas larangan tersebut.[6]
Situasi dan kondisi
masyarakat yang masih sederhana ketika itu, menyebabkan permasalahan yang muncul
di desa pakraman juga sederhana dan dapat diselesaikan dengan cara yang
sederhana pula. Permasalahan adat dan pelaksanaan agama Hindu yang muncul, akan
diselesaikan oleh perangkat
pimpinan (prajuru) desa pakraman,
melalui mekanisme internal desa pakraman, sesuai situasi dan kondisi objektif desa
pakraman setempat, berdasarkan asas desa
mawacara. Dalam konteks kehidupan
organisasi tradisional Bali yang dikenal dengan desa pakraman, desa
mawacara mengandung arti bahwa tiap-tiap desa pakraman di Bali
mempunyai adat kebiasaan atau awig-awig
dan perarem sendiri untuk mengatur
tatanan kehidupan di desanya, sesuai dengan situasi dan kondisi objektif masing-masing desa pakraman. Dalam lalu
lintas kehidupan warga desa pakraman, desa
mawacara dikenal pula dengan istilah desa
dresta.[7]
Permasalahan adat dan agama Hindu yang tidak
berhasil diselesaikan oleh prajuru
desa pakraman, akan dimintakan
penyelesaian (katunasang pematut) kepada
pihak berwenang (sang rumawos), dalam
hal ini penguasa kerajaan, pendeta Hindu (pedanda),
atau diserahkan kepada penguasa Belanda, tergantng dari masalah yang dihadapi. Keputusannya
final tanpa dapat ditawar, dan desa pakraman tugasnya melaksanakan (ngamargiang) apa yang telah diputuskan,
terlepas apakah keputusan yang diberikan mencerminkan rasa keadilan masyarakat
ataukah tidak. Suasana semacam inilah agaknya yang disaksikan oleh Hickman
Powell dalam lawatannya ke Bali pada tahun 1920-an, yang kemudian dituangkan
dalam buku berjudul ”The Last Paradise”. Judul buku tersebut, sampai sekarang
senantiasa menjadi rujukan pidato mulai pejabat terendah sampai pejabat tinggi,
mulai kelian dinas sampai kepala dinas.[8] Apabila
keberadaan desa pakraman pada jaman kolonial Belanda diilustrasikan dalam
gambar, tampak seperti dalam gambar 3.
Desa Pakraman Sebelum Terbentuk MDP
Pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya dan delapan kerajaan yang ada di Bali, berubah
menjadi kabupaten. Kemerdekaan Indonesia juga membawa dampak tersendiri
terhadap tatanan kehidupan desa pakraman. Lembaga yang terlibat langsung dalam
mengurusan kehidupan desa pakraman lebih banyak lagi. Hal ini agaknya ada
hubungan dengan masalah yang dihadapi desa pakraman yang semakin kompleks. Lembaga
yang dimaksud seperti: Jawatan Agama Hindu dan Budha, Parisada Hindu Dharma
Indonesia, Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I dan Kabupaten Daerah Tingkat
II, Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA), Lembaga Swadaya Masyarkat (LSM), Partai
Politik (Parpol) terutama menjelang pemilihan umum), dan berbagai organisasi
sosial yang lainnya. Apabila diilustrasikan dalam gambar, tampak seperti dalam
diagram 4.
Selama rentang waktu 65 tahun Indonesia merdeka
(1945 – 2010), dapat dibagi menjadi beberapa periode, yang masing-masing
membawa pengaruh tersendiri terhadap kehidupan desa pakraman, yaitu periode
awal kemerdekaan (1945) sampai tahun 1965, periode tahun 1965 sampai 1998, dan
periode 1998 sampai sekarang (2010).
Terlepas dari perbedaan pengaruh pada
masing-masing periode tersebut, sejalan dengan perkembangan jaman dan era
globalisasi, desa pakraman di Bali dewasa ini harus berhadapan dengan masalah
klasik internal desa pakraman dan masalah eksternal yang datang dari ”empat jurusan”.
Masalah internal desa pakraman, antara lain: (a) Adanya tuntutan sebagian warga desa untuk penyamarataan
berbagai kewajiban fisik terhadap desa pekraman (ayah-ayahan) dan urunan (pawedalan
atau paturunan) bagi semua warga desa, tanpa mengindahkan
profesi dan kedudukan seseorang di di dalam maupun di luar desa pekraman. Sepintas,
tuntutan semacam ini terkesan “adil
dan demokratis”, tetapi dalam banyak hal, cendrung menimbulkan masalah. Desa
pakraman sulit berkembang,
karena cendrung akan ditinggalkan
oleh warganya yang
relatif berkualitas. (b) Ada sementara warga
desa yang terlalu bernafsu peningkatan kualitas ekonominya dibandingkan dengan meningkatkan
kualitas manusianya, dengan memindahtangankan (menjual dan
menyewakan) tanah, tanpa
mengiraukan apakah tanah milik pribadi (gunakaya)
atau tanah milik (duwe) desa pakraman.
(c) Adanya sistem sosial (warna, kasta atau apapun
sebutannya) yang rumit, dengan berbagai konsekwensi perbedaan tanggung jawab (swadharma) dalam masyarakat yang susah
dimengerti oleh orang Bali sendiri, sehingga menjadi tidak mengherankan apabila
cendrung menimbulkan masalah.[9]
Masalah eksternal desa pakraman datang dari ”empat
jurusan”, antara lain:
Pertama, belum adanya keputusan politik dalam
bentuk undang-undang atau aturan lainnya, yang secara tegas mengakui keberadaan
masyarakat hukum adat (desa pakraman di Bali), sebagai subjek hukum yang dapat
memiliki hak atas tanah, sebagai bentuk nyata dari pengakuan negara terhadap keberadaan
masyarakat hukum adat, sebagaimana diatur dalam pasal 18 B UUD 1945.[10]
Selain itu, ada sementara kebijakan
Pemprov. Bali dan Pemkab. di Bali)
yang terlalu kreatif dalam meingkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan mengabaikan
upaya pelestarian tempat suci, kawasan
suci dan tanah Bali, sehingga cendrung
menimbulkan gejolak di desa pakraman.[11]
Kedua, berkembangnya nilai-nilai baru dalam kehidupan
di desa pakraman yang disebabkan derasnya arus informasi, arus barang dan arus
jasa mengalir ke Bali, sebagai dampak dari globalisasi. Nilai baru tersebut
didasari atas spirit individu, demokrasi, dan hak asasi manusia, yang dalam
beberapa hal cendrung memunculkan berbagai masalah dan konflik di desa pakraman
yang secara tradisional hidup dan berkembang atas spirit pada payu (dapat bersama) pada
mamargi (jalan bersama), pada
gelahang (miliki bersama), atas dasar pasikian
(kebersamaan).
Ketiga, ada sementara pengusaha yang menanamkan modalnya
di Bali, menjalankan roda usaha
dengan mengadopsi sepenuhnya prinsip management modern dan mengabaikan norma
adat Bali dan agama Hindu.
Keempat, banjirnya orang luar (tamiu) ke Bali. Mereka datang untuk rupa-rupa
kepentingan, seperti berwisata (melali),
mencari pekerjaan (ngalih pangupajiwa),
membeli tanah untuk tempat tinggal tetap (ngalih
genah), dan ada juga yang datang dengan niat jahat (medaya jelek). Sampai di sini, menarik
untuk diktahui pendapat Henk Nordolt (2010: 67), seorang peneliti Bali dari
Belanda yang mengemukakan ”....tetapi sejak otonomi daerah digulirkan, dikotomi
moral artifisial antara Bali yang tidak berdosa dan dunia luar yang jahanam, sulit dipertahankan. Tidak bisa
dipungkiri, ”kejahanaman” kini hadir mencolok mata di Bali”. Di bagian lain
dkemkakan ”Dilema Bali sebagai benteng terbuka tidak dapat dipecahkan, karena
perekonomian terbuka dan identitas kultural tertutup tidak cocok satu sama
lain”. (Nordolt, 2010: 10).
Bersyukur (astungkara), di samping tekanan yang semakin menghimpit dan
rupa-rupa masalah yang dihadapi, desa pakraman masih menyisakan sejumlah kekuatan (potensi). Potensi yang dimaksud antara lain: (a) Desa pakraman hidup dalam satu tempat (Pulau Bali) yang telanjur terkenal ke seantero dunia. (b)
Sebagian besar (90 %) penduduk Pulau Bali adalah etnik Bali yang beragama Hindu. (c) Warga desa
pakraman
mempunnyai rasa seni yang tinggi. (d) Budayanya
kaya dan unik. (e)
Mempunyai satu bahasa dan huruf (bahasa Bali dan huruf
Bali). (f) Mempunyai
jaringan kekrabatan
(keluarga) yang kuat. (g) Seluruh warga desa pakraman, mempunyai visi yang sama, yaitu mengembangkan budaya
Bali dan melestarikan agama Hindu.
(h) Ada U.U.Nomor: 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberi ruang
kepada Pemkab se-Bali untuk memperhatikan desa pakraman dan Perda Prop. Bali Nomor: 3/2001 tentang Desa Pakraman yang
memberikan peluang kepada desa pakraman
untuk meningkatkan kualitas
dan partisipasinya diberbagai
bidang kehidupan. (i) Sudah
ada jaringan kerjasama antardesa pakraman dalam satu organisasi desa pakraman,
yaitu MDP Bali.
Desa Pakraman Sesudah
Terbentuk MDP
Baik potensi yang dimiliki, pengaruh negatif
maupun positif yang datang, baru dapat memberi makna positif dalam mewujudkan
kedamaian Bali (Bali shanti), apabila
dihadapi oleh desa pakraman secara bersama-sama. Dengan kata lain, tidak cukup
apabila dihadapi oleh satu desa pakraman dengan semangat desa mawacara, melainkan harus dihadapi dengan
cara dan semangat yang kebersamaan oleh seluruh desa pakraman di Bali (Bali mawacara).[12]
Wujud nyata kebersamaan tersebut mulai tampak setelah terbentuknya Majelis Desa
Pakraman (MDP) Bali pada tahun 2004, sebagai satu-satunya organisasi tempat
berhimpunnya desa pakraman yang ada di Bali.[13]
Sampai di sini mulai tampak betapa strategisnya peranan MDP Bali dalam usaha
meningkatkan kualitas desa pakraman, baik dalam hubungtan dengan parhyangan, pawongan maupun palemahan. ”Bali mawacara menuju
Bali shanti” layak dijadikan motto
MDP Bali, dalam usaha menata Bali ke depan agar ”Bali bangkit jadi terhormat”. Keberadaan
MDP Bali diantara desa pakraman di Bali dan berbagai lembaga di luar desa
pakraman dengan rupa-rupa aktivitas yang menyertainya, tampak seperti dalam
gambar 6.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa sampai di sini
warga desa pakraman patut bersyukur karena telah terbentuk MDP Bali sebagai
wadah desa pakraman di seluruh Bali, sebagai tempat berkomunikasi, bertukar
pikiran menemukan jawab atas permasalahan dan tantangan yang sama dengan cara
yang sama pada waktu bersamaan. Pertanyaannya, bagaimana peran strategis itu
harus dimainkan oleh MDP Bali? Jawabannya seperti diuraikan di bawah ini.
Peran Strategis MDP Bali
Memperhatikan dengan cermat situasi dan kondisi desa
pakraman sebelum dan sesudah jaman kemerdekaan, dan “empat jurusan” yang
mempengaruhi kehidupan Bali dan desa pakraman dewasa ini, tampak benderang
bahwa MDP Bali dapat memainkan peran strategis dalam menjawab tantangan dan
permasalahan tersebut untuk mewujudkan Bali shanti.
Peran strategis yang dimaksud
antara lain:
Pertama, memperkuat
kelembagaan desa pakraman. Hal
ini dapat dilakukan melalui kerja sama dengan Pemprov. Bali dan Pemkab. Se-Bali, dalam usaha melestarikan
agama Hindu sebagai ”jiwa” desa pakraman dan “jiwa” Bali, mengusahakan adanya pengakuan
negara terhadap desa pakraman sebagai subjek hukum yang dituangkan dalam bentuk
undang-undang atau aturan lainnya, memperjuangkan tetap tegaknya hukum adat
Bali sepanjang yang berhubungan dengan kekeluargaan dan ajaran agama Hindu, penggunaan
asset desa pakraman hanya untuk aktivitas desa pakraman, dan adanya pelajaran
hukum adat Bali pada jalur pendidikan formal tingkat SMP dan SMA.
Kedua, sebagai media
komunikasi antarkrama desa dan antardesa pakraman berdasarkan spirit Bali mawacara. Terjalinnya lalu-lintas
komunikasi antardesa pakraman penting dijaga, baik dalam suasana damai maupun dalam suasana konflik. Dalam
suasana damai komuniasi dibangun untuk meningkatkan kualitas kesejahtraan dan
sumber daya manusia, dan dalam suasana konflik komunikasi penting guna
memudahkan menemukan jalan penyelesaian konflik.
Ketiga, menjadi filter
terhadap pengaruh yang datang dari “empat jurusan” di luar desa pakraman. Untuk itu, MDP Bali perlu
menyusun prosedur tetap (protap) kerjasama desa pakraman, yang dapat dijadikan
panduan bagi lembaga pemerintah maupun swasta, organisasi politik maupun Lembaga Swadaya Masyarakat, dan
organsasi sosial lainnya, yang bermaksud mengadakan kontak dengan desa
pakraman, baik untuk tujuan sosial, tujuan ekonomi maupun tujuan politik.
Keempat, secara
proaktif membangun komunikasi dan hubungan baik dengan organisasi lain di luar
desa pakraman dalam usaha mewujudkan kedamaian di Bali (Bali shanti). Hal ini antara lain dapat
diusahakan dengan mengadakan diklat bersama guna menumbuhkan saling pengertian
tentang keberadaan masing-masing serta memahami tugas pokok, fungsi dan
tanggung jawab (swadharma) masing-masing,
dalam usaha bersama meningkatkan kesejahtraan masyarakat dan kemajuan kebudayaan
Bali.
Arti Penting Pasamuhan Agung
Sesudah memaparkan peran strategis MDP Bali dalam
menjawab masalah desa pakraman dan tantangan Bali masa depan, selanjutnya akan
dipaparkan arti dan makna Pasamuhan Agung yang digelar hari ini.
Pasamuhan Agung MDP Bali yang dilaksanakan pada
hari ini, Jumat 15 Okt 2010, mengandung arti dan makna yang sama dengan rapat
kerja (raker) kalau dalam organisasi sosial politik pada umumnya. Diadakan untuk mengevaluasi pelaksanaan program
tahun sebelumnya dan menyusun skala prioritas program untuk tahun berikutnya,
agar program umum yang ditetapkan dalam Paruman Agung pada tahun 2009 yang lalu, menjadi lebih sesuai dengan
kondisi objektif desa pakraman dewasa ini, lebih fokus, dan lebih terukur,
sehingga lebih mudah dilaksanakan
oleh MDP Bali.
Selain itu, melalui Pesamuhan Agung ini diharapkan
dapat ditetapkan arah perjuangan MDP Bali yang dituangkan dalam program
unggulan (ipian) dan kesatuan tafsir hukum
adat Bali. Arah perjuangan
penting, agar perjuangan mewujudkan cita-cita lebih terarah. Kesatuan tafsir juga penting, untuk memperkaya kasanah ilmu hukum adat Bali
(manfaat teoritis) dan dapat dijadikan acuan bagi kalangan praktisi dalam
menangani berbagai hal yang terkait dengan agama Hindu dan hukum adat Bali (manfaat
praktis).
Berdasarkan kedua hal tersebut, panitia pengarah
telah menyiapkan rancangan program unggulan dan sejumlah rumusan kesatuan
tafsir yang perlu dibahas dan disempurnakan dalam sidang-sidang komisi, sebelum
ditetapkan menjadi keputusan Pasamuhan Agung 2010. Pengurus MDP Bali dapat
berganti setiap lima tahun, tetapi program unggulan (ipian) itu harus diperjuangkan sampai berhasil dan sesudah itu dipertahankan
selamanya. Program ini diunggulkan karena menyangkut kehidupan dan kedudukan (linggih) desa pakraman. Rancangan materi
program unggulan yang dimaksud antara lain sebagai berikut:
1.
Mepertahankan
”jiwa” desa pakraman atau ”jiwa” Bali, yaitu agama Hindu.
2. Memperjuangkan diakuinya secara tegas desa
pakraman sebagai subjek hukum
berdasarkan undang-undang atau peraturan lainnya yang berlaku.
3. Mempertahankan hukum adat Bali sepanjang
berkaitan dengan hukum keluarga dan
ajaran agama Hindu.
4. Mempertahankan kewenangan desa pakraman
dan MDP Bali menyelesaikan perkara adat berdasarkan hukum adat Bali.
5. Memperjuangkan penyelesaian perkara adat yang
telah diselesaikan oleh desa pakraman dan MDP Bali, mendapat legitimasi lembaga
peradilan negara.
6. Memperjuangkan dibebaskannya kekayaan desa
pakraman tertentu dari kewajiban membayar pajak terhadap negara.[14]
7. Memperjuangkan adanya mata pelajaran hukum
adat Bali, pada jalur pendidikan formal pada jenjang SMP dan SMA.
1.
Kedudukan
wanita Bali dalam keluarga dan pewarisan.
2.
Pelaksanaan
perkawinan dan perceraian.
3.
Kedudukan
dan tata kelola Lembaga Perkreditan Desa (LPD).
4.
Tata
hubungan desa pakraman dengan desa dinas.
5.
Tata
hubungan desa pakraman dengan institusi lain di luar desa pakraman.
6.
Swadharma
krama tamiu dan tamiu.
7.
Desa
pakraman bermasalah dan masalah desa pakraman.
8.
Pengenaan
sanksi adat kasepekang.[15]
Penutup
Demikian pemaparan materi Pesamuan Agung yang
dapat disampaikan pada desempatan ini. Diharapkan, Pasamuhan Agung yang digelar
hari ini, benar-benar memberi manfaat bagi desa pakraman dan MDP dan Bali pada
umumnya. Lebih dari itu, semua pihak diharapkan menjadi paham tentang peran
strategis MDP Bali dalam menjawab masalah desa pakraman dan tantangan Bali masa
depan. Dalam arti, walaupun desa pakraman menghadapi rupa-rupa masalah internal
dan pengaruh dari ”empat jurusan” dari luar desa pakraman, namun desa pakraman
dan Bali tetap tegak (jegjeg), gigih mempertahankan ”jiwa”-nya, luwes
dalam mewujudkan “Bali mawacara menuju Bali shanti”, agar “Bali bangkit jadi terhormat”.
Sekian dan terima kasih.
Selamat mengikuti Pesamuhan Agung.
.
Daftar Pustaka
Agung, Ida Anak Agung Gde, 1989. Bali pada Abad XIX. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Arsip Nasinal, Jakarta, 1964. Surat-Surat
Perjanjian Antara Kerajaan-Kerajaan Bali/Lombok dengan Pemerintah Hindia
belanda 1841 s/d 1938.
Boon,
James A, 1977. The Anthrophological
Romance of Bali 1597 – 1972. Cambridge University Press. Cambridge, London,
New York, Melbourne.
Djilantik, Goesti Poetoe en Ida Bagus Oka, 1909. Adi
Agama. Oud Balisch Wetbook. Batavia: Lansdrukkerij.
Geertz, Clifford, 1979. Negara Teater. Kerajaan-Kerajaan di Bali
Abad Kesembilan Belas. Bentang.
Keputusan DPRD Bali, Nomor: 10/DPRD, Tanggal 12
Juli 1951, tentang Penghapusan “Manak Salah”.
Keputusan DPRD Bali, Nomor: 11/DPRD Tanggal 12
Juli 1951, tentang Penghapusan Perkawianan Anglangkahi Karang Hulu dan
Asu Pundung.
Kerepun, Made Kembar, 2004. Benang Kusut Nama Gelar di Bali. Denpasar. C.V.Bali Media Adhikarsa.
Mudana, I Gede, 2005. ”Pembangunan Bali
Nirwana Resort di Kawasan Tanah Lot: Hegemoni dan Perlawanan di Desa Beraban,
Tabanan, Bali”. Disertasi pada Program Studi Kajian Budaya, Program
Pascasarjana, Universitas Udayana.
Nordholt, Henk Schulte, 2004. ”Desa Adat, Desa Dinas, dan Desa
Pakraman di Bali: Tinjauan Historis Kritis”, dalam I Wayan Ardika dan I Nyoman
Darma Putra, 2004. Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik. Denpasar: Fakultas Sastra Unud.
_____________, 1991. State,
Village, and Ritual in Bali. A Historical Perspektive. Amsterdam: VU
University Press.
_____________, 2006. The Spell
of Power. Sejarah Politik Bali 1650 – 1940, penerjemah Putra Adnyana,
Denpasar, Pustaka Larasan.
______________, 2010. Bali Benteng Terbuka
1995 – 2005. Otonomi Daerah,
Demokrasi Elektoral dan Identitas-identitas Defensif. Penerjemah Arief B.
Prasetyo. Denpasar, Pustaka Larasan.
Panetje, 1989. Aneka Catatan tentang Hukum Adat Bali. Gunung
Agung Denpasar.
Pitana, I Gde, 1997. “In Search of Diffrence: Origin Groups, Status and Identity in
Contemporery Bali”. A thesis submited for the degree of
Doctor of Philosophy of The Australian National University, 1997.
Powell, Hickman, 1989. The Last Paradise. An American’s ‘discovery’ of
Bali in the 1920s, 1930. Singapure, Oxford University Press, Oxford, New
York.
Putra Agung, Anak Agung, 2001. Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional
ke Kolonial. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Raka Santeri dan Ketut Wiana, 1993. Kasta dalam Hindu. Kesalahpahaman Berabad-abad. Denpasar, Yayasan Dharma Naradha.
Robinson, Geoffrey, 1995. The
Dark Side of Paradise. Political Violence in Bali. London: Cornel University Press.
Suetha, I Ketut, 1999.
”Gerakan Sosial Menuju Masyarakat Sipil. Studi Kasus Padanggalak Akibat
Pariwisata di Desa Adat Kesiman”. Tesis pada Program Studi Kajian Budaya,
Program Pascasarjana, Universitas Udayana.
Vickers, Adrian, 1996. Bali a
Paradise Created. Periplus Editions (HK) Ltd.
Windia, Wayan P., 2010. Dari Bali Mawacara Menuju Bali Santi. Denpasar, Unud Press.
____________, 2010. “Peranan Awig-awig
dalam Penyelesaian Persengketaan Adat di Bali”. Makalah dalam seminar nasional Hukum Adat II di
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 30 Sept – 1 Okt 2010.
[1] Paparan materi ini disajikan dalam
upacara pembukaan Pasamuhan Agung III MDP Bali, yang dilaksanakan pada
hari/tgl, Jumat, 15 Oktober 2010, bertempat di Wiswasabha, Kantor Gubernur
Bali.
[2] Wayan P. Windia adalah Guru Besar Hukum
Adat Fakultas Hukum Universitas Udayana dan Ketua Panitia Pengarah Pasamuhan
Agung III MDP Bali.
[3] Pada waktu perkawinan Dewa Agung (Raja Klungkung) dengan seorang putri dari
Kerajaan Karangasem, pihak perempuan membawa bebaktan (harta bawaan)
Desa Besan, Pikat, Dawan Kaler, dan Dawan Kelod, sehingga keempat desa
tersebut yang sebelumnya termasuk wilayah Karangasem, kemudian menjadi wilayah
Kerajaan Klungkung. (Putra Agung, 2001: 102).
[4] R. Van Eck mencatat
konflik-konflik besar yang terjadi
di Bali antara 1800 sampai dengan 1840 sebagai berikut. Dalam 1800 Klungkung
dan Gianyar (yaitu dadia-dadia tinggi Klungkung dan Gianyar ditambah
sebanyak mungkin klien mereka yang bisa mereka bujuk untuk membantu) bersekutu melawan Bangli, sementara Karangasem
menyerang Lombok dan Buleleng. Sedang Buleleng berperang dengan Jembrana dalam tahun 1804 dan kembali menyerang Karangasem sebentar kemudian. Di Badung, bendero-bendero utama
dari dadia saling berperang
diantara mereka sendiri dalam tahun 1813, menjadikan
mereka lemah terhadap
serangan-serangan dari
beberapa jurusan; dan setelah 1820 para bendero Gianyar tidak saja
berperang dengan Badung, tetapi
juga dengan Klungkung, Mengwi, dan
Bangli. Di Bangli salah satu dari
tiga bersaudara yang
bersaing merebut kekuasaan dan
sekutunya, mula-mula dengan
Karangasem menyerang Klungkung dan kemudian dengan Klungkung menyerang Buleleng. Tabanan berperang dengan Badung sekitar 1808; dan Mengwi, bersekutu dengan Klungkung,
menyerang Badung dalam tahun 1813. (Geertz, 1979: 84-85).
[5] Pembentukan ”desa dinas” di Bali oleh pemerintah Kolonial Belanda dilakukan
setelah Belanda berkuasa penuh di seluruh Bali, dengan jatuhnya Kerajaan
Klungkung melalui perang Puputan Klungkung, 28 April 1908. Beberapa buku yang
menjelaskan tentang ini antara lain ditulis oleh Henk Schulte Nordhold
(1991), Ida Anak Agung Gde Agung
(1995), Adrian Vikers (1996), Geoffrey
Robinson (1995), Henk Schulte Nordhold (2006).
[6] Mabela = bunuh diri dengan keris. Dilakukan sendiri atau dengan
bantuan orang lain. Sesudah mati, mayatnya dilemparkan ke dalam kobaran api
pada saat upacara pengabenan seorang raja, sebagai tanda kesetiaan kepada raja
yang dimaksud. Biasanya dilakukan oleh para pembantu raja. Mesatya = menceburkan diri ke dalam kobaran api pada saat upacara
pengabenan seorang raja, sebagai tanda kesetiaan kepada raja yang dimaksud.
Dilakukan oleh janda raja. Istri yang rela masatya
disebut satya dan orang yang rela mabela disebut bela. Lebih jauh tentang hal ini baca Arsip Nasional (1967), Boon
(1977), Vickers (1996).
[7] Pengertian desa dresta yang
berkembang dan dipahami oleh warga desa pakraman dewasa ini, berbeda dengan desa dresta seperti yang tercantum dalam
kitab Adi Agama (salah satu kitab perundang-undangan pada jaman Kerajaan
Majapahit). Kitab Adi Agama mengenal catur
dresta sebagai tatenger indik wicara
(bahan pertimbangan penyelesaian masalah), yaitu loka-dresta (sinah
laksanane ala moewang ajoe/jelas
tampak baik atau buruknya), poerwa-dresta
(manoet pamargine saking rihin/menurut adat kebiasaan dari
jaman dulu), desa-dresta (manoet tata-krama negarane/sesuai dengan hukum negara), sastra-dresta (manoet linging toetoer moewah babad/sesuai filsafat dan catatan
sejarah keluarga). (Djilantik, 1909: 28).
Pengertian desa
dresta yang dipergunakan dalam tulisan ini mengacu kepada pengertian yang
berkembang dan dipahami oleh warga desa pakraman dewasa ini, yaitu mempunyai arti yang sama dengan desa mawacara.
[8] Untuk dapat memberikan penilaian
yang lebih objektif terhadap situasi dan kondisi desa pakraman serta Bali pada umumnya, buku yang perlu
dibaca antara lain ditulis oleh Hickman Powel (1930), Geoffrey Robinson (1995),
Wayan P. Windia (2010).
[9] Pengertian kasta (atau apapun istilahnya)
dalam buku, berbeda dengan kenyataan di masyarakat. Tentang hal ini dapat
diketahui dari tulisan Korn
(1932), Keputusan DPRD Bali (1951), Panetje (1989), Pitana (1997), Raka Santeri
dan Ketut Wiana (1993), Kerepun (2004).
[10] Pasal 18 B UUD 1945 menentukan (1) Negara mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.
Dalam hubungan dengan
desa pakraman dan pura sebagai subjek hukum, ada sesuatu yang aneh bin ajaib di
Bali. Pura sebagai salah satu duwe
(milik) desa pakraman, diakui sebagai subjek hukum yang dapat memiliki hak atas
tanah berdasarkan Surat Keputusan Mendagri NOMOR: SK 556/DJA/1986, Tgl: 24
September 1986, sementara desa pakraman sebagai pihak yang maduwe (pemilik) pura, sampai sekarang belum diakui secara tegas
berdasarkan undang-undang atau aturan lainnya di bawah UUD 1945 sebagai subjek
hukum, sehingga menyulitkan dalam mensertipikatkan tanah desa pakraman.
[11] Tentang hal ini, lebih jauh baca tulisan I Ketut Suetha (1999), I Gede
Mudana (2005).
[12]
Sepanjang diketahui, istilah Bali
mawacara muncul pertama kali lewat artikel di harian Bali Post, tanggal 1
Mei 2002 dengan judul ”Satu Awig-awig untuk Semua Desa Adat di Bali”. Bali mawacara kemudian dijadikan judul buku Bali Mawacara. Gagasan Satu Hukum Adat
(Awig-awig) dan Pemerintahan di Bali (2008). Dari Bali Mawacara Menuju Bali Santi (2010).
Bali mawacara secara harfiah berarti ”Bali
memiliki cara”. Dalam konteks pelaksanaan awig-awig
desa pakraman di Bali, Bali mawacara
mengandung arti, adanya satu kesatuan (unfikasi) awig-awig yang disusun secara sistematis dalam bentuk buku
(kodifikasi), untuk bidang
kehidupan tertentu sebagai hukum adat Bali, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dalam NKRI (negara
mawatata), untuk menuju
suasana kehidupan Bali yang tentram dan damai (Bali shanti). Bali mawacara
ditawarkan bukan untuk meniadakan desa mawacara,
melainkan melengkapi desa mawacara.
[13] Wacana MDP sebagai wadah tunggal desa pakraman
(dalam ungkapan Ketut Sumarta disebut, “satu payung langit Bali”), baru muncul
sekitar tahun 2002, seiring meledaknya Bom Bali I, 12 Oktober 2002, dan pada
akhirnya MDP berhasil dibentuk pada tanggal 27 Februari 2004.
Ketut Sumarta (Penyarikan Agung Majelis Utama Desa Pakraman 2009 – 2014)
adalah salah seorang pendiri dan Pemimpin Redaksi Majalah Sarad. Pimpinan dan
staf majalah Gumi Bali ini beserta berbagai komponen masyarakat Bali lainnya
serta Pemprov Bali, berperan
aktif dalam proses pembentukan MDP
Bali, sehingga motto majalah Sarad, ”Bali itu Spirit. Mari Bangkit Jadi
Terhormat”, mewarnai langkah MDP Bali.
[14] Dimaksud kekayaan desa pakraman tertentu dalam hal
ini adalah tanah desa atau karang desa atau tanah duwe desa (tanah adat ) dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Tanah desa meliputi
antara lain tegak desa (tempat
pemukiman tradisinal Bali), karang ayahan
desa, tanah laba (lahan pertanian milik desa pakraman
atau pura tertentu) dan tanah duwe
(milik) desa yang lainnya.
Kekayaan desa pakraman ini perlu dibebaskan dari
kewajiban membayar pajak , dilatarbelakangi pemikiran bahwa sebagian besar
kekayaan desa pakraman tersebut, dimanfaatkan untuk mempertahankan kelangsungan
salah satu aset bangsa dan negara Indonesia, yang berupa desa pakraman serta adat
dan budaya Bali dengan segala keunikannya, sehingga senantiasa dapat menarik perhatian wisatawan, dan
dapat menjadi lokomotif penggerak perekonomian Bali khususnnya, dan
perekonomian Indonesia pada umumnya.
[15] Masing-masing sudah disiapkan detail
rancangannya, untuk lebih mudah membahasnya dalam sidang-sidang komisi, sebelum
dibahas dalam sindang paripurna.
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire