vendredi 24 octobre 2014

Peran Strategis MDP Bali .......








Peran Strategis MDP Bali
dalam Menjawab Tantangan Bali Masa Depan[1]


Wayan P. Windia[2]



Om Swastiastu
             Ratu sulingging sane wangiang tityang.
Yang saya hormati Wakil Gubernur Bali dan Bendesa Agung Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali, undangan lainnya, beserta peserta Pesamuahan Agung yang juga saya hormati.
Ada pertanyaan penting yang perlu dijawab lebih awal, sebelum dibukanya secara resmi Pesamuhan Agung hari ini oleh Wakil Gubernur Bali.
Benarkah Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali dan Pesamuhan Agung ini mempunyai peran strategis dalam mempertahankan “jiwa” Bali dan menjawab tantangan Bali masa depan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pemaparan materi Pesamuhan Agung ini disusun berturut-turut sebagai berikut. Diawali dengan penjelaskan tentang ”jiwa” Bali, dilanjutkan dengan keadaan desa pakraman pada jaman kerajaan dan jaman Belanda. Kemudian desa pakraman sebelum dan sesudah terbentuk MDP Bali, peran strategis MDP Bali, dan pada bagian akhir diuraikan tentang arti penting penyelenggaraan Pesamuhan Agung.

“Jiwa” Bali dan Desa Pakraman
Berbicara tentang Bali sebenarnya berbicara tentang desa pakraman atau desa adat, karena “jiwa” Bali, yaitu agama Hindu,  secara konsisten dan konsekuen dipertahankan oleh desa pakraman. Ini dapat diketahui dari tujuan (patitis) awig-awig desa pakraman, yang menentuan sebagai berikut: (1) Ngukuhang miwah ngerajegang agama Hindu (Mempertahankan dan melestarikan agama Hindu). (2) Nginggilang tata prawertine magama (Mengutamakan tingkah laku yang baik dalam beragama). (3) Ngerajegang kasukertan desa saha pawongannya sekala lan niskala (Menegakkan kedamaian warga desa pakraman secara nyata maupun gaib).
Keutuhan, kesehatan dan kelestarian jiwa di dalam badan amat penting dipertahankan oleh setiap mahluk hidup, kalau ingin tetap hidup. Kalau jiwa sudah lepas dari badan dan hilang entah kemana, mahluk hidup tidak lagi hidup, tetapi mati. Kalau jira sudah lepas dari badan seseorang, maka orang itu tidak lagi disebut manusia atau orang, melainkan  disebut mayat. Demikian pulalah halnya dengan Bali. Kalau agama Hindu tidak lagi “menjiwai” kehidupan sosial budaya di desa pakraman dan Bali, maka Bali juga tidak hidup, tetapi akan jadi “mayat” atau Bali tidak berkembang sesuai dengan agama Hindu, melainkan berkembang sesuai dengan keyakinan agama yang menjiwainya. Suasana desa pakraman tampak seperti gambar 1.
Desa pakraman telah terbukti  secara konsisten dan konsekuen mempertahankan “jiwa” Bali (parhyangan Hindu), melalui berbagai aktivitas warganya (pawongan), dan tata kelola lingkungan alam  (palemahan) yang sesuai dengan agama Hindu. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah desa pakraman mendapat perhatian khusus dari semua pihak yang peduli (urati) terhadap Bali dan sungguh-sungguh menginginkan Bali tetap “hidup”.

Desa Pakraman Jaman Kerajaan
Pada jaman kerajaan (sebelum 1908), raja menjadi satu-satunya institusi di luar desa pakraman yang mengatur tatanan kehidupan desa pakraman. Desa pakraman dengan segala unsurnya seolah-olah milik raja. Raja dapat berbuat apa saja terhadap desa pakraman yang ada di wilayah kekuasaan raja bersangkutan, termasuk menjual rakyatnya sebagai bukan dan menghibahkan beberapa desa berikut penduduknya kepada seseorang.[3] Cengkraman raja begitu kuatnya, sehingga konflik antara desa pakraman seperti dewasa ini, hampir tidak ditemukan, kecuali peperangan antara kerajaan satu dengan kerajaan lainnya yang ada di Bali.[4] Apabila keberadaan desa pakraman jaman keranaan diilustrasikan dalam gambar, tampak seperti gambar 2.

Desa Pakraman Jaman Belanda
Sesudah Belanda datang, menguasai Buleleng (1849) dan mengusai seluruh Bali (1908),  suasana menjadi agak berbeda. Selain raja, pemerintah kolonial Belanda juga mempengaruhi tatanan kehidupan desa pakraman. Salah satu contoh, Belanda mulai memperkenalkan tata cara pengelolaan pemerintahan desa berdasarkan sistem administrasi yang baru, yang diformat sesuai dengan kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Desa pakraman yang wilayahnya luas, dipecah menjadi beberapa ”desa baru” dan yang wilayahnya sempit, digabung menjadi satu, untuk memudahkan dalam mengaturnya.  Desa baru bentukan pemerintah kolonial Belanda  inilah yang sampai sekarang  dikenal dengan sebutan ”desa dinas”.[5] Selain itu, pelaksanaan upacara ngaben bagi seorang raja yang wafat yang sebelumnya disetai masatya dan mabela, secara tegas juga dilarang oleh Belanda. Raja-raja di Bali taat penuh atas larangan tersebut.[6]
Situasi dan kondisi masyarakat yang masih sederhana ketika itu, menyebabkan permasalahan yang muncul di desa pakraman juga sederhana dan dapat diselesaikan dengan cara yang sederhana pula. Permasalahan adat dan pelaksanaan agama Hindu yang muncul, akan diselesaikan  oleh perangkat pimpinan (prajuru) desa pakraman, melalui mekanisme internal desa pakraman, sesuai situasi dan kondisi objektif desa pakraman setempat, berdasarkan asas desa mawacara. Dalam konteks kehidupan organisasi tradisional Bali yang dikenal dengan desa pakraman,  desa mawacara  mengandung arti bahwa tiap-tiap desa pakraman di Bali mempunyai adat kebiasaan atau awig-awig dan perarem sendiri untuk mengatur tatanan kehidupan di desanya, sesuai dengan situasi dan kondisi objektif  masing-masing desa pakraman. Dalam lalu lintas kehidupan warga desa pakraman, desa mawacara dikenal pula dengan istilah desa dresta.[7]
Permasalahan adat dan agama Hindu yang tidak berhasil diselesaikan oleh prajuru desa pakraman,  akan dimintakan penyelesaian (katunasang pematut) kepada pihak berwenang (sang rumawos), dalam hal ini penguasa kerajaan, pendeta Hindu (pedanda), atau diserahkan kepada penguasa Belanda, tergantng dari masalah yang dihadapi. Keputusannya final tanpa dapat ditawar, dan desa pakraman tugasnya melaksanakan (ngamargiang) apa yang telah diputuskan, terlepas apakah keputusan yang diberikan mencerminkan rasa keadilan masyarakat ataukah tidak. Suasana semacam inilah agaknya yang disaksikan oleh Hickman Powell dalam lawatannya ke Bali pada tahun 1920-an, yang kemudian dituangkan dalam buku berjudul ”The Last Paradise”. Judul buku tersebut, sampai sekarang senantiasa menjadi rujukan pidato mulai pejabat terendah sampai pejabat tinggi, mulai kelian dinas sampai kepala dinas.[8] Apabila keberadaan desa pakraman pada jaman kolonial Belanda diilustrasikan dalam gambar, tampak seperti dalam gambar 3.

Desa Pakraman Sebelum Terbentuk MDP
Pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dan delapan kerajaan yang ada di Bali, berubah menjadi kabupaten. Kemerdekaan Indonesia juga membawa dampak tersendiri terhadap tatanan kehidupan desa pakraman. Lembaga yang terlibat langsung dalam mengurusan kehidupan desa pakraman lebih banyak lagi. Hal ini agaknya ada hubungan dengan masalah yang dihadapi desa pakraman yang semakin kompleks. Lembaga yang dimaksud seperti: Jawatan Agama Hindu dan Budha, Parisada Hindu Dharma Indonesia, Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I dan Kabupaten Daerah Tingkat II, Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA), Lembaga Swadaya Masyarkat (LSM), Partai Politik (Parpol) terutama menjelang pemilihan umum), dan berbagai organisasi sosial yang lainnya. Apabila diilustrasikan dalam gambar, tampak seperti dalam diagram 4.
Selama rentang waktu 65 tahun Indonesia merdeka (1945 – 2010), dapat dibagi menjadi beberapa periode, yang masing-masing membawa pengaruh tersendiri terhadap kehidupan desa pakraman, yaitu periode awal kemerdekaan (1945) sampai tahun 1965, periode tahun 1965 sampai 1998, dan periode 1998 sampai sekarang (2010).
Terlepas dari perbedaan pengaruh pada masing-masing periode tersebut, sejalan dengan perkembangan jaman dan era globalisasi, desa pakraman di Bali dewasa ini harus berhadapan dengan masalah klasik internal desa pakraman dan  masalah eksternal yang datang dari ”empat jurusan”.
Masalah internal desa pakraman,  antara  lain: (a) Adanya tuntutan sebagian warga desa untuk penyamarataan berbagai kewajiban fisik terhadap desa pekraman (ayah-ayahan) dan urunan (pawedalan atau paturunan) bagi  semua warga desa, tanpa mengindahkan profesi  dan kedudukan  seseorang di  di dalam maupun di luar  desa pekraman.  Sepintas, tuntutan  semacam ini terkesan “adil dan demokratis”, tetapi dalam banyak hal, cendrung menimbulkan masalah. Desa pakraman sulit   berkembang,   karena  cendrung akan ditinggalkan oleh warganya yang   relatif  berkualitas.  (b) Ada  sementara  warga desa  yang terlalu  bernafsu peningkatan  kualitas  ekonominya dibandingkan  dengan  meningkatkan kualitas  manusianya,  dengan memindahtangankan (menjual dan menyewakan)  tanah, tanpa mengiraukan apakah tanah milik pribadi (gunakaya) atau tanah milik (duwe) desa pakraman. (c) Adanya  sistem  sosial (warna, kasta atau apapun sebutannya) yang rumit, dengan berbagai konsekwensi perbedaan tanggung jawab (swadharma) dalam masyarakat yang susah dimengerti oleh orang Bali sendiri, sehingga menjadi tidak mengherankan apabila cendrung menimbulkan masalah.[9] 
Masalah eksternal desa pakraman datang dari ”empat jurusan”, antara lain:
Pertama, belum adanya keputusan politik dalam bentuk undang-undang atau aturan lainnya, yang secara tegas mengakui keberadaan masyarakat hukum adat (desa pakraman di Bali), sebagai subjek hukum yang dapat memiliki hak atas tanah, sebagai bentuk nyata dari pengakuan negara terhadap keberadaan masyarakat hukum adat, sebagaimana diatur dalam pasal 18 B UUD 1945.[10] Selain itu, ada sementara kebijakan  Pemprov. Bali dan Pemkab. di Bali)  yang  terlalu kreatif  dalam  meingkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan mengabaikan upaya  pelestarian tempat suci, kawasan suci  dan tanah Bali, sehingga cendrung menimbulkan gejolak di desa pakraman.[11]
Kedua, berkembangnya nilai-nilai baru dalam kehidupan di desa pakraman yang disebabkan derasnya arus informasi, arus barang dan arus jasa mengalir ke Bali, sebagai dampak dari globalisasi. Nilai baru tersebut didasari atas spirit individu, demokrasi, dan hak asasi manusia, yang dalam beberapa hal cendrung memunculkan berbagai masalah dan konflik di desa pakraman yang secara tradisional hidup dan berkembang atas spirit pada payu (dapat bersama) pada mamargi (jalan bersama), pada gelahang (miliki bersama), atas dasar pasikian (kebersamaan).
Ketiga, ada sementara pengusaha yang menanamkan modalnya di Bali,  menjalankan roda usaha dengan mengadopsi sepenuhnya prinsip management modern dan mengabaikan norma adat Bali dan agama Hindu.
Keempat, banjirnya orang luar (tamiu) ke Bali. Mereka datang untuk rupa-rupa kepentingan, seperti berwisata (melali), mencari pekerjaan (ngalih pangupajiwa), membeli tanah untuk tempat tinggal tetap (ngalih  genah), dan ada juga yang datang dengan niat jahat (medaya jelek). Sampai di sini, menarik untuk diktahui pendapat Henk Nordolt (2010: 67), seorang peneliti Bali dari Belanda yang mengemukakan ”....tetapi sejak otonomi daerah digulirkan, dikotomi moral artifisial antara Bali yang tidak berdosa  dan dunia luar yang jahanam, sulit dipertahankan. Tidak bisa dipungkiri, ”kejahanaman” kini hadir mencolok mata di Bali”. Di bagian lain dkemkakan ”Dilema Bali sebagai benteng terbuka tidak dapat dipecahkan, karena perekonomian terbuka dan identitas kultural tertutup tidak cocok satu sama lain”. (Nordolt, 2010: 10).
Bersyukur (astungkara), di samping tekanan yang semakin menghimpit dan rupa-rupa masalah yang dihadapi, desa pakraman masih menyisakan sejumlah   kekuatan (potensi).  Potensi yang dimaksud antara  lain: (a) Desa pakraman  hidup dalam  satu tempat (Pulau Bali) yang telanjur   terkenal ke seantero dunia. (b) Sebagian besar (90 %) penduduk Pulau Bali adalah etnik Bali  yang   beragama Hindu. (c) Warga  desa  pakraman   mempunnyai  rasa seni  yang  tinggi. (d) Budayanya  kaya  dan unik. (e) Mempunyai satu bahasa dan huruf  (bahasa   Bali  dan huruf  Bali). (f) Mempunyai  jaringan  kekrabatan (keluarga) yang kuat. (g) Seluruh warga desa pakraman,  mempunyai visi   yang sama, yaitu mengembangkan budaya Bali dan melestarikan  agama Hindu. (h) Ada U.U.Nomor: 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberi ruang kepada Pemkab se-Bali untuk memperhatikan desa pakraman dan  Perda  Prop. Bali Nomor: 3/2001 tentang Desa Pakraman yang memberikan peluang kepada desa pakraman  untuk meningkatkan kualitas  dan partisipasinya diberbagai  bidang  kehidupan. (i) Sudah ada jaringan kerjasama antardesa pakraman dalam satu organisasi desa pakraman, yaitu MDP Bali.
Desa Pakraman Sesudah Terbentuk MDP
Baik potensi yang dimiliki, pengaruh negatif maupun positif yang datang, baru dapat memberi makna positif dalam mewujudkan kedamaian Bali (Bali shanti), apabila dihadapi oleh desa pakraman secara bersama-sama. Dengan kata lain, tidak cukup apabila dihadapi oleh satu desa pakraman dengan semangat desa mawacara, melainkan harus dihadapi dengan cara dan semangat yang kebersamaan oleh seluruh desa pakraman di Bali (Bali mawacara).[12] Wujud nyata kebersamaan tersebut mulai tampak setelah terbentuknya Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali pada tahun 2004, sebagai satu-satunya organisasi tempat berhimpunnya desa pakraman yang ada di Bali.[13] Sampai di sini mulai tampak betapa strategisnya peranan MDP Bali dalam usaha meningkatkan kualitas desa pakraman, baik dalam hubungtan dengan parhyangan, pawongan maupun palemahan.  ”Bali mawacara menuju Bali shanti” layak dijadikan motto MDP Bali, dalam usaha menata Bali ke depan agar ”Bali bangkit jadi terhormat”. Keberadaan MDP Bali diantara desa pakraman di Bali dan berbagai lembaga di luar desa pakraman dengan rupa-rupa aktivitas yang menyertainya, tampak seperti dalam gambar 6.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa sampai di sini warga desa pakraman patut bersyukur karena telah terbentuk MDP Bali sebagai wadah desa pakraman di seluruh Bali, sebagai tempat berkomunikasi, bertukar pikiran menemukan jawab atas permasalahan dan tantangan yang sama dengan cara yang sama pada waktu bersamaan. Pertanyaannya, bagaimana peran strategis itu harus dimainkan oleh MDP Bali? Jawabannya seperti diuraikan di bawah ini.

Peran Strategis MDP Bali
Memperhatikan dengan cermat situasi dan kondisi desa pakraman sebelum dan sesudah jaman kemerdekaan, dan “empat jurusan” yang mempengaruhi kehidupan Bali dan desa pakraman dewasa ini, tampak benderang bahwa MDP Bali dapat memainkan peran strategis dalam menjawab tantangan dan permasalahan tersebut untuk mewujudkan Bali shanti. Peran strategis yang dimaksud antara lain:
Pertama, memperkuat kelembagaan desa pakraman. Hal ini dapat dilakukan melalui kerja sama dengan Pemprov. Bali dan Pemkab. Se-Bali, dalam usaha melestarikan agama Hindu sebagai ”jiwa” desa pakraman dan “jiwa” Bali, mengusahakan adanya pengakuan negara terhadap desa pakraman sebagai subjek hukum yang dituangkan dalam bentuk undang-undang atau aturan lainnya, memperjuangkan tetap tegaknya hukum adat Bali sepanjang yang berhubungan dengan kekeluargaan dan ajaran agama Hindu, penggunaan asset desa pakraman hanya untuk aktivitas desa pakraman, dan adanya pelajaran hukum adat Bali pada jalur pendidikan formal tingkat SMP dan SMA.  
Kedua, sebagai media komunikasi antarkrama desa dan antardesa pakraman berdasarkan spirit Bali mawacara. Terjalinnya lalu-lintas komunikasi antardesa pakraman penting dijaga,  baik dalam suasana damai maupun dalam suasana konflik. Dalam suasana damai komuniasi dibangun untuk meningkatkan kualitas kesejahtraan dan sumber daya manusia, dan dalam suasana konflik komunikasi penting guna memudahkan menemukan jalan penyelesaian konflik.
Ketiga, menjadi filter terhadap pengaruh yang datang dari “empat jurusan” di luar  desa pakraman. Untuk itu, MDP Bali perlu menyusun prosedur tetap (protap) kerjasama desa pakraman, yang dapat dijadikan panduan bagi lembaga pemerintah maupun swasta, organisasi politik maupun  Lembaga Swadaya Masyarakat, dan organsasi sosial lainnya, yang bermaksud mengadakan kontak dengan desa pakraman, baik untuk tujuan sosial, tujuan ekonomi maupun tujuan politik.   
Keempat, secara proaktif membangun komunikasi dan hubungan baik dengan organisasi lain di luar desa pakraman dalam usaha mewujudkan kedamaian di Bali (Bali shanti). Hal ini antara lain dapat diusahakan dengan mengadakan diklat bersama guna menumbuhkan saling pengertian tentang keberadaan masing-masing serta memahami tugas pokok, fungsi dan tanggung jawab (swadharma) masing-masing, dalam usaha bersama meningkatkan kesejahtraan masyarakat dan kemajuan kebudayaan Bali.

Arti Penting Pasamuhan Agung
Sesudah memaparkan peran strategis MDP Bali dalam menjawab masalah desa pakraman dan tantangan Bali masa depan, selanjutnya akan dipaparkan arti dan makna Pasamuhan Agung yang digelar hari ini.
Pasamuhan Agung MDP Bali yang dilaksanakan pada hari ini, Jumat 15 Okt 2010, mengandung arti dan makna yang sama dengan rapat kerja (raker) kalau dalam organisasi sosial politik pada umumnya. Diadakan  untuk mengevaluasi pelaksanaan program tahun sebelumnya dan menyusun skala prioritas program untuk tahun berikutnya, agar program umum yang ditetapkan dalam Paruman Agung  pada tahun 2009 yang lalu, menjadi lebih sesuai dengan kondisi objektif desa pakraman dewasa ini, lebih fokus, dan lebih terukur, sehingga  lebih mudah dilaksanakan oleh MDP Bali.
Selain itu, melalui Pesamuhan Agung ini diharapkan dapat ditetapkan arah perjuangan MDP Bali yang dituangkan dalam program unggulan (ipian) dan kesatuan tafsir hukum adat Bali. Arah perjuangan penting, agar perjuangan mewujudkan cita-cita  lebih terarah. Kesatuan tafsir juga penting, untuk memperkaya kasanah ilmu hukum adat Bali (manfaat teoritis) dan dapat dijadikan acuan bagi kalangan praktisi dalam menangani berbagai hal yang terkait dengan agama Hindu dan hukum adat Bali (manfaat praktis).
Berdasarkan kedua hal tersebut, panitia pengarah telah menyiapkan rancangan program unggulan dan sejumlah rumusan kesatuan tafsir yang perlu dibahas dan disempurnakan dalam sidang-sidang komisi, sebelum ditetapkan menjadi keputusan Pasamuhan Agung 2010. Pengurus MDP Bali dapat berganti setiap lima tahun, tetapi program unggulan (ipian) itu harus diperjuangkan sampai berhasil dan sesudah itu dipertahankan selamanya. Program ini diunggulkan karena menyangkut kehidupan dan kedudukan (linggih) desa pakraman. Rancangan materi program unggulan yang dimaksud antara lain sebagai berikut:
1.                       Mepertahankan ”jiwa” desa pakraman atau ”jiwa” Bali, yaitu agama Hindu.
2.     Memperjuangkan diakuinya secara tegas desa pakraman  sebagai subjek hukum berdasarkan undang-undang atau peraturan lainnya yang berlaku.
3.     Mempertahankan hukum adat Bali sepanjang berkaitan dengan hukum keluarga  dan ajaran agama Hindu. 
4.     Mempertahankan kewenangan desa pakraman dan MDP Bali menyelesaikan perkara adat berdasarkan hukum adat Bali.
5.     Memperjuangkan penyelesaian perkara adat yang telah diselesaikan oleh desa pakraman dan MDP Bali, mendapat legitimasi lembaga peradilan negara.
6.     Memperjuangkan dibebaskannya kekayaan desa pakraman tertentu dari kewajiban membayar pajak terhadap negara.[14]  
7.     Memperjuangkan adanya mata pelajaran hukum adat Bali, pada jalur pendidikan formal pada jenjang SMP dan SMA.




1.     Kedudukan wanita Bali dalam keluarga dan pewarisan.
2.     Pelaksanaan perkawinan dan perceraian.
3.     Kedudukan dan tata kelola Lembaga Perkreditan Desa (LPD).
4.     Tata hubungan desa pakraman dengan desa dinas.
5.     Tata hubungan desa pakraman dengan institusi lain di luar desa pakraman.
6.     Swadharma krama tamiu dan tamiu.
7.     Desa pakraman bermasalah dan masalah desa pakraman.
8.     Pengenaan sanksi adat kasepekang.[15]

Penutup
Demikian pemaparan materi Pesamuan Agung yang dapat disampaikan pada desempatan ini. Diharapkan, Pasamuhan Agung yang digelar hari ini, benar-benar memberi manfaat bagi desa pakraman dan MDP dan Bali pada umumnya. Lebih dari itu, semua pihak diharapkan menjadi paham tentang peran strategis MDP Bali dalam menjawab masalah desa pakraman dan tantangan Bali masa depan. Dalam arti, walaupun desa pakraman menghadapi rupa-rupa masalah internal dan pengaruh dari ”empat jurusan” dari luar desa pakraman, namun desa pakraman dan Bali tetap tegak (jegjeg),  gigih mempertahankan ”jiwa”-nya, luwes dalam mewujudkan  “Bali mawacara menuju Bali shanti”,  agar “Bali bangkit jadi terhormat”.
Sekian dan terima kasih.
Selamat mengikuti Pesamuhan Agung.



.    






Daftar Pustaka
Agung, Ida Anak Agung Gde, 1989. Bali pada Abad XIX. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Arsip Nasinal, Jakarta, 1964. Surat-Surat Perjanjian Antara Kerajaan-Kerajaan Bali/Lombok dengan Pemerintah Hindia belanda 1841 s/d 1938.
Boon, James A, 1977. The Anthrophological Romance of Bali 1597 – 1972. Cambridge University Press. Cambridge, London, New York, Melbourne.
Djilantik, Goesti Poetoe en Ida Bagus Oka, 1909. Adi Agama. Oud Balisch Wetbook. Batavia: Lansdrukkerij.
Geertz, Clifford, 1979. Negara Teater. Kerajaan-Kerajaan di Bali Abad Kesembilan Belas. Bentang.
Keputusan DPRD Bali, Nomor: 10/DPRD, Tanggal 12 Juli 1951, tentang Penghapusan “Manak Salah”.
Keputusan DPRD Bali, Nomor: 11/DPRD Tanggal 12 Juli 1951, tentang Penghapusan Perkawianan Anglangkahi Karang Hulu dan Asu Pundung.
Kerepun, Made Kembar, 2004. Benang Kusut Nama Gelar di Bali. Denpasar. C.V.Bali Media Adhikarsa.
Mudana, I Gede, 2005. ”Pembangunan Bali Nirwana Resort di Kawasan Tanah Lot: Hegemoni dan Perlawanan di Desa Beraban, Tabanan, Bali”. Disertasi pada Program Studi Kajian Budaya, Program Pascasarjana, Universitas Udayana.
Nordholt, Henk Schulte, 2004. ”Desa Adat, Desa Dinas, dan Desa Pakraman di Bali: Tinjauan Historis Kritis”, dalam I Wayan Ardika dan I Nyoman Darma Putra, 2004. Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik. Denpasar: Fakultas Sastra Unud.
_____________, 1991. State, Village, and Ritual in Bali. A Historical Perspektive. Amsterdam: VU University Press.
_____________, 2006. The Spell of Power. Sejarah Politik Bali 1650 – 1940, penerjemah Putra Adnyana, Denpasar, Pustaka Larasan.
______________, 2010.  Bali Benteng Terbuka 1995 – 2005. Otonomi Daerah, Demokrasi Elektoral dan Identitas-identitas Defensif. Penerjemah Arief B. Prasetyo. Denpasar, Pustaka Larasan.
Panetje, 1989. Aneka Catatan tentang Hukum Adat Bali. Gunung Agung Denpasar.
Pitana, I Gde, 1997. “In Search of Diffrence: Origin Groups, Status and Identity in Contemporery Bali”. A thesis submited for the degree of Doctor of Philosophy of The Australian National University, 1997.
Powell, Hickman, 1989. The Last Paradise. An American’s ‘discovery’ of Bali in the 1920s, 1930. Singapure, Oxford University Press, Oxford, New York.
Putra Agung, Anak Agung, 2001. Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Raka Santeri dan Ketut Wiana, 1993. Kasta dalam Hindu. Kesalahpahaman Berabad-abad. Denpasar, Yayasan Dharma Naradha.
Robinson, Geoffrey, 1995. The Dark Side of Paradise. Political Violence in Bali. London: Cornel University Press.
Suetha, I Ketut, 1999. ”Gerakan Sosial Menuju Masyarakat Sipil. Studi Kasus Padanggalak Akibat Pariwisata di Desa Adat Kesiman”. Tesis pada Program Studi Kajian Budaya, Program Pascasarjana, Universitas Udayana.
Vickers, Adrian, 1996. Bali a Paradise Created. Periplus Editions (HK) Ltd.
Windia, Wayan P., 2010. Dari Bali Mawacara Menuju Bali Santi. Denpasar, Unud Press.
____________, 2010. “Peranan Awig-awig dalam Penyelesaian Persengketaan Adat di Bali”. Makalah dalam seminar nasional Hukum Adat II di Fakultas Hukum Universitas Udayana, 30 Sept – 1 Okt 2010.
                      



[1] Paparan materi ini disajikan dalam upacara pembukaan Pasamuhan Agung III MDP Bali, yang dilaksanakan pada hari/tgl, Jumat, 15 Oktober 2010, bertempat di Wiswasabha, Kantor Gubernur Bali.
[2] Wayan P. Windia adalah Guru Besar Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Udayana dan Ketua Panitia Pengarah Pasamuhan Agung III MDP Bali.
[3] Pada waktu perkawinan Dewa Agung (Raja Klungkung) dengan seorang putri dari Kerajaan Karangasem, pihak perempuan membawa bebaktan (harta bawaan)  Desa Besan, Pikat, Dawan Kaler, dan Dawan Kelod, sehingga keempat desa tersebut yang sebelumnya termasuk wilayah Karangasem, kemudian menjadi wilayah Kerajaan Klungkung. (Putra Agung, 2001: 102).
[4] R. Van Eck mencatat konflik-konflik  besar yang terjadi di Bali antara  1800  sampai dengan  1840 sebagai berikut. Dalam  1800 Klungkung  dan Gianyar (yaitu dadia-dadia  tinggi Klungkung dan Gianyar ditambah sebanyak  mungkin klien  mereka yang bisa  mereka bujuk untuk  membantu) bersekutu melawan  Bangli,  sementara Karangasem  menyerang Lombok dan Buleleng. Sedang Buleleng berperang dengan  Jembrana dalam tahun  1804 dan kembali menyerang  Karangasem  sebentar kemudian. Di Badung,  bendero-bendero utama  dari dadia saling berperang  diantara mereka sendiri dalam tahun  1813, menjadikan  mereka lemah terhadap  serangan-serangan  dari beberapa jurusan; dan  setelah  1820 para bendero Gianyar tidak saja berperang  dengan Badung, tetapi juga dengan  Klungkung, Mengwi, dan Bangli. Di Bangli salah satu dari  tiga bersaudara  yang bersaing merebut  kekuasaan dan sekutunya, mula-mula dengan  Karangasem menyerang Klungkung dan kemudian  dengan Klungkung menyerang  Buleleng. Tabanan berperang dengan Badung  sekitar  1808; dan Mengwi, bersekutu  dengan Klungkung,  menyerang Badung dalam tahun 1813. (Geertz, 1979: 84-85).
[5] Pembentukan ”desa dinas” di Bali oleh pemerintah Kolonial Belanda dilakukan setelah Belanda berkuasa penuh di seluruh Bali, dengan jatuhnya Kerajaan Klungkung melalui perang Puputan Klungkung, 28 April 1908. Beberapa buku yang menjelaskan tentang ini antara lain ditulis oleh Henk Schulte Nordhold (1991),  Ida Anak Agung Gde Agung (1995),  Adrian Vikers (1996), Geoffrey Robinson (1995), Henk Schulte Nordhold (2006).
[6] Mabela = bunuh diri dengan keris. Dilakukan sendiri atau dengan bantuan orang lain. Sesudah mati, mayatnya dilemparkan ke dalam kobaran api pada saat upacara pengabenan seorang raja, sebagai tanda kesetiaan kepada raja yang dimaksud. Biasanya dilakukan oleh para pembantu raja. Mesatya = menceburkan diri ke dalam kobaran api pada saat upacara pengabenan seorang raja, sebagai tanda kesetiaan kepada raja yang dimaksud. Dilakukan oleh janda raja. Istri yang rela masatya disebut satya dan orang yang rela mabela disebut bela. Lebih jauh tentang hal ini baca Arsip Nasional (1967), Boon (1977), Vickers (1996).
[7] Pengertian desa dresta yang berkembang dan dipahami oleh warga desa pakraman dewasa ini, berbeda dengan desa dresta seperti yang tercantum dalam kitab Adi Agama (salah satu kitab perundang-undangan pada jaman Kerajaan Majapahit). Kitab Adi Agama mengenal catur dresta sebagai tatenger indik wicara (bahan pertimbangan penyelesaian masalah), yaitu loka-dresta (sinah laksanane  ala moewang ajoe/jelas tampak baik atau buruknya), poerwa-dresta (manoet pamargine saking  rihin/menurut adat kebiasaan dari jaman dulu), desa-dresta (manoet tata-krama  negarane/sesuai dengan hukum negara), sastra-dresta (manoet linging toetoer moewah babad/sesuai filsafat dan catatan sejarah keluarga). (Djilantik, 1909: 28).
Pengertian desa dresta yang dipergunakan dalam tulisan ini mengacu kepada pengertian yang berkembang dan dipahami oleh warga desa pakraman dewasa ini, yaitu  mempunyai arti yang sama dengan desa mawacara.
[8] Untuk dapat memberikan penilaian yang lebih objektif terhadap situasi dan kondisi desa pakraman serta  Bali pada umumnya, buku yang perlu dibaca antara lain ditulis oleh Hickman Powel (1930), Geoffrey Robinson (1995), Wayan P. Windia (2010).

[9] Pengertian kasta (atau apapun istilahnya) dalam buku, berbeda dengan kenyataan di masyarakat. Tentang hal ini dapat diketahui dari tulisan  Korn (1932), Keputusan DPRD Bali (1951), Panetje (1989), Pitana (1997), Raka Santeri dan Ketut Wiana (1993), Kerepun (2004).
[10] Pasal 18 B UUD 1945 menentukan (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Dalam hubungan dengan desa pakraman dan pura sebagai subjek hukum, ada sesuatu yang aneh bin ajaib di Bali. Pura sebagai salah satu duwe (milik) desa pakraman, diakui sebagai subjek hukum yang dapat memiliki hak atas tanah berdasarkan Surat Keputusan Mendagri NOMOR: SK 556/DJA/1986, Tgl: 24 September 1986, sementara desa pakraman sebagai pihak yang maduwe (pemilik) pura, sampai sekarang belum diakui secara tegas berdasarkan undang-undang atau aturan lainnya di bawah UUD 1945 sebagai subjek hukum, sehingga menyulitkan dalam mensertipikatkan tanah desa pakraman.
[11] Tentang hal ini, lebih jauh baca  tulisan I Ketut Suetha (1999), I Gede Mudana (2005).  
[12] Sepanjang diketahui, istilah Bali mawacara muncul pertama kali lewat artikel di harian Bali Post, tanggal 1 Mei 2002 dengan judul ”Satu Awig-awig untuk Semua Desa Adat di Bali”. Bali mawacara kemudian dijadikan judul buku Bali Mawacara. Gagasan Satu Hukum Adat (Awig-awig) dan Pemerintahan di Bali (2008). Dari Bali Mawacara Menuju Bali Santi (2010).
Bali mawacara secara harfiah berarti ”Bali memiliki cara”. Dalam konteks pelaksanaan awig-awig desa pakraman di Bali, Bali mawacara mengandung arti, adanya satu kesatuan (unfikasi) awig-awig yang disusun secara sistematis dalam bentuk buku (kodifikasi), untuk  bidang kehidupan tertentu sebagai hukum adat Bali, sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam NKRI (negara mawatata),  untuk menuju suasana kehidupan Bali yang tentram dan damai (Bali shanti). Bali mawacara ditawarkan bukan untuk meniadakan desa mawacara, melainkan melengkapi desa mawacara.
[13] Wacana MDP sebagai wadah tunggal desa pakraman (dalam ungkapan Ketut Sumarta disebut, “satu payung langit Bali”), baru muncul sekitar tahun 2002, seiring meledaknya Bom Bali I, 12 Oktober 2002, dan pada akhirnya MDP berhasil dibentuk pada tanggal 27 Februari 2004.
Ketut Sumarta (Penyarikan Agung  Majelis Utama Desa Pakraman 2009 – 2014) adalah salah seorang pendiri dan Pemimpin Redaksi Majalah Sarad.  Pimpinan dan staf majalah Gumi Bali ini beserta berbagai komponen masyarakat Bali lainnya serta Pemprov Bali,  berperan aktif  dalam proses pembentukan MDP Bali, sehingga motto majalah Sarad,  ”Bali itu Spirit. Mari Bangkit Jadi Terhormat”, mewarnai langkah MDP Bali.

[14] Dimaksud kekayaan desa pakraman tertentu dalam hal ini adalah tanah desa atau karang desa atau tanah duwe desa (tanah adat ) dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Tanah desa meliputi antara lain tegak desa (tempat pemukiman tradisinal Bali), karang ayahan desa, tanah laba  (lahan pertanian milik desa pakraman atau pura tertentu) dan tanah duwe (milik) desa yang lainnya.
Kekayaan desa pakraman ini perlu dibebaskan dari kewajiban membayar pajak , dilatarbelakangi pemikiran bahwa sebagian besar kekayaan desa pakraman tersebut, dimanfaatkan untuk mempertahankan kelangsungan salah satu aset bangsa dan negara Indonesia, yang berupa desa pakraman serta adat dan budaya Bali dengan segala keunikannya,  sehingga senantiasa dapat menarik perhatian wisatawan, dan dapat menjadi lokomotif penggerak perekonomian Bali khususnnya, dan perekonomian Indonesia pada umumnya.
              
[15] Masing-masing sudah disiapkan detail rancangannya, untuk lebih mudah membahasnya dalam sidang-sidang komisi, sebelum dibahas dalam sindang paripurna.

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire