Sedikit tentang Desa Adat
atau Desa Pakraman *
Wayan P. Windia **
Desa
Kata “desa”
mengandung beberapa pengertian. “desa” dapat berarti suatu “wilayah pemukiman penduduk yang
beragama Hindu”. Seperti misalnya, Desa Peliatan, Desa Penestanan, dll. “Desa”
juga dapat berarti “situasi”, seperti dalam ungkapan “desa, kala, patra”. Ada ungkapan jelema desa
atau desa sajan. Dalam hal ini “desa”
berarti “perilaku yang sangat
terkebelakang” atau lebih dikenal dengan sebutan “kampungan”.
Peraturan tentang Desa
Dari jaman
Belanda sampai sekarang, ada beberapa peraturan yang pernah mengatur tentang desa, antara
lain : Staatblad 1906 No. 83 tentang Inlandsche Gemeente Ordonantie (IGO).
Staatblad 1938 No. 490 tentang Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten
(IGOB). UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 1
Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU. No. 18 Tahun 1965
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU. No. 19 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. UU No. 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa. UU No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, kemudian dirubah dengan UU No. 32
Tahun 2004 (Lebih dikenal dengan sebutan undang-undang otonomi daerah).
Desa Dinas
Di Bali, dikenal ada dua desa, yaitu “desa dinas” (desa) dan “desa
adat”. Pengertian desa dinas (desa), mengacu kepada U.U. Nomor : 5 tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa. Desa menurut undang-undang ini adalah : “Satu
wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat,
termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi
pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah
tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia” (pasal 1
huruf a).
Sebelum berlakunya U.U. Nomor : 5/1979 (U.U. Pemerintahan Desa),
desa ini dikenal dengan “keperbekelan”. Pimpinannya disebut “perbekel”. Satu
keperbekelan terdiri dari beberapa banjar.
Pimpinan banjar disebut kelihan banjar.
Setelah berlakunya undang-undang tersebut diatas (U.U. Nomor : 5/1979 yang
semula disebut keperbekelan, diseragamkan
menjadi “desa” (desa dinas) dan banjar menjadi “dusun”. Pimpinan desa
disebut “kepala desa” (kades) dan pimpinan dusun disebut “kepala dusun”
(kadus).
Kelurahan
Berdasarkan beberapa pertimbangan (antara lain, heterogenitas
penduduknya), desa yang ada di daerah perkotaan, dijadikan “kelurahan”. Kelurahan adalah : “Suatu wilayah
yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan
langsung dibawah camat yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya
sendiri. (pasal 1 huruf b).
Kelurahan dipimpin oleh “lurah”.
Satu kelurahan, terdiri dari beberapa “lingkungan”. Pimpinannya disebut “kepala
lingkungan” (kaling).
Desa dan kelurahan dalam pengertian ini, mempunyai tugas antara
lain, melaksanakan berbagai
kegiatan pemerintahan atau
kedinasan. Oleh karena itu, desa ini dikenal dengan sebutan “desa dinas” atau
“desa administratif”. Kini (dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah atau dikenal dengan undang-undang otonomi daerah), ada
kabupaten/kota yang mengembalikan sebutan “desa” (desa administratif) dan
“kelurahan” menjadi “perbekel”.
Desa Adat
Apa yang
sekarang dikenal dengan “desa
adat”, pada jaman Bali kuna disebut banwa
atau banua. Perda Tingkat I Bali
Nomor : 06 tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi Dan Peranan Desa Adat sebagai
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Prop. Daerah Tingkat I Bali, memberi
batasan tentang desa adat sbb :
“Desa adat sebagai desa dresta adalah kesatuan masyarakat hukum
adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu
secara turun temurun dalam ikatan Kayangan Tiga atau Kayangan Desa, yang
mempunyai wilayah tertentu serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”.
(Pasal 1 a).
Desa Pakraman
Sejak
berlakunya Perda Propinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2001, tentang Desa Pakraman,
sebutan “desa adat” diganti dengan “desa pakraman”. Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata
krama pergaulan hidup masyarakat
umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan
harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. (Pasal 1
nomor urut 4).
Unsur-Unsur Desa Adat/Desa Pakraman
Dari batasan desa adat/desa pakraman
seperti diatas, dapat diketahui
bahwa sebutan “desa”, mengandung beberapa pengertian antara lain dapat berarti “desa dinas” dan
“desa adat/desa pakraman”. Dalam hubungannya dengan desa pakraman secara
sederhana dapat dikatakan bahwa desa pakraman terdiri dari tiga unsur, yaitu
: (1) Unsur parahyangan (berupa pura atau tempat suci umat Hindu). (2) Unsur pawongan (warga desa yang beragama
Hindu). (3) Unsur palemahan (wilayah
desa yang berupa karang ayahan desa dan karang gunakaya).
Tipe Desa Pakraman
Berdasarkan berbagai
tradisi dominan yang menjadi
ciri desa adat, MPLA Bali (1990
:1991, Dherana, 1995) membedakan
desa adat atas tiga tipe,
yaitu :
1. Desa Bali Aga (Bali Mula), yaitu desa adat yang masih
tetap menganut tradisi pra-Majapahit. Kebanyakan berada di sekitar Kintamani dan daerah pegunungan lainnya di Bali. Perangkat
pimpinan desa yang disebut dulu-dulu desa. Desa ini umumnya hanya terdiri dari satu “banjar”.
2. Desa Apanaga, yaitu desa
adat yang sistem kemasyarakatannya sangat dipengaruhi oleh Majapahit. Desa-desa ini umumnya
terletak didaerah Bali dataran. Kepemimpinan pada desa adat tipe ini umumnya merupakan
pola tunggal, disebut prajuru desa.
3. Desa Anyar (Desa
Baru), yaitu desa yang terbentuk relatif baru,
sebagai akibat dari adanya perpindahan penduduk (transmigrasi lokal) dengan
tujuan awal mencari penghidupan. Desa-desa seperti ini
misalnya dapat ditemui di daerah Jembrana dan Buleleng Barat.
Prajuru
Desa Pakraman dan Perangkat Desa.
1. Desa atau
keperbekelan, biasanya terdiri dari beberapa “dusun” atau “banjar”. Kelurahan, pada umumnya terdiri dari
beberapa “lingkungan”. Perangkat pimpinan desa atau keperbekelan disebut “perangkat desa”, dipimpin oleh seorang “kepala desa” atau “perbekel”. Perangkat pimpinan kelurahan disebut “perangkat
kelurahan”, dipimpin oleh seorang
“lurah”.
2. Desa
pakraman pada umumnya terdiri dari
beberapa banjar, tetapi adakalanya juga hanya terdiri dari satu banjar.
Pimpinan desa pakraman disebut “prajuru desa”. Pucuk pimpinannya disebut
“bendesa”.
3.
Pimpinan banjar disebut “prajuru banjar”, dipimpin oleh
seorang “kelihan banjar”. Pimpinan dusun disebut “kepala dusun”, dan pimpinan
lingkungan disebut “kepala lingkungan”.
Desa Pakraman dan Desa
Karena
persyaratan dan dasar pembentukan desa adat dan desa (dinas) berbeda, maka
batas-batas wilayah dan jumlah penduduk pendukung kedua desa tersebut tidak
selamanya sejalan. Dalam hal ini
ada beberapa kemungkinan, yaitu :
1. Satu desa,
terdiri dari satu desa pakraman.
2. Satu desa,
terdiri dari beberapa desa pakraman.
3. Satu desa
pakraman, terdiri dari beberapa desa.
4. Salah satu
banjar di Desa Pakraman A (terletak di Desa B), menjadi bagian dari Desa
Pakraman C (terletak di Desa B).
5. Salah satu
banjar di Desa Pakraman A (terletak di Desa B), menjadi bagian dari Desa
Pakraman C (terletak di Desa D).
Tugas dan Wewenang Desa Pakraman
Dalam Perda
Prop. Bali Nomor : 3 Tahun 2001 (Desa Pakraman), hal ini diatur pada pasal 5
dan 6, yang menentukan bahwa tugas
dan wewenang desa pakraman, adalah sebagai berikut :
1.
Membuat awig-awig.
2.
Mengatur krama desa.
3.
Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa.
4.
Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan disegala
bidang terutama dibidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan.
5.
Membina dan mengembangan nilai-nilai budaya Bali dalam
rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada
umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan paras-paros, sagilik saguluk salunglung sabayantaka (musyawarah
mufakat).
6.
Mengayomi krama desa. (pasal 5).
Pasal 6
mengatur mengenai wewenang desa pakraman, sbb :
1.
Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan
wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai
dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat.
2.
Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan
pembangunan yang ada di wilayahnya, terutama yang berkaitan dengan tri hita karana.
3.
Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa
pakraman.
Prajuru Desa Adat/Pakraman
Perangkat pimpinan desa adat/desa pakraman
disebut prajuru desa. Pada umumnya,
diketuai oleh seorang bendesa adat
dan dibantu oleh beberapa orang petajuh
(wakil), penyarikan (juru tulis), petengen (bendahara), dll. Adanya tiga
tipe desa pakraman di Bali (Bali Aga, Apanaga dan Bali Anyar), disertai dengan sifat otonom yang
dimiliki (seperti telah dikemukakan secara singkat diatas), menyebabkan
terbukanya peluang bagi masing-masing desa pakraman untuk mengatur rumah
tangganya sendiri. Kenyataan ini mendorong munculnya berbagai perbedaan dalam
hubungan dengan cara pemilihan prajuru, struktur prajuru dan mekanisme pembagian tugas diantara sesama anggota prajuru, pada masing-masing desa
pakraman. Contohnya, di Desa Pakraman Sebetan, Selumbung (Karangasem) dan
Kubutambahan (Singaraja), bendesa
adat ditunjuk berdasarkan keturunan. Kalau di Desa Pakraman Singapadu dan Tangsub (Gianyar),
bendesa adat ditunjuk berdasarkan urutan pipil
desa (daftar absen) atau tempat kediaman (dikenal dengan sebutan ririgan). Ada juga yang ditunjuk berdasarkan senioritas (mauluapad). Cara ini dapat dilihat pada desa-desa Bali aga, seperti di Desa Pakraman Trunyan, Penglipuran (Bangli), dll. Tetapi untuk desa pakraman pada umumnya (Desa
apanaga dan Bali anyar), pucuk pimpinan desa adat (bendesa adat atau apapun namanya), dipilih secara langsung oleh krama (warga) desa bersangkutan, melalui
musyawarah mufakat atau suara terbanyak.
Masa Pengabdian dan Olih-olihan Prajuru
Berkaitan
dengan masa pengabdian prajuru,
umumnya desa pakraman menetapkan masa pengabdian prajuru selama 5 tahun. Desa Pakraman Rendang, Karangasem, 8 tahun. Ada juga masa pengabdian prajuru yang “tidak karuan”. Artinya,
walaupun masa pengabdiannya jelas ditentukan dalam awig-awig, tetapi prajuru (khususnya bendesa adat),
seolah-olah ditetapkan seumur hidup. Contohnya di Desa Adat Taro Kaja, Desa
Adat Manukaya Anyar. Di desa pakraman ini rata-rata bendesa adatnya telah
mengabdi diatas 30 tahun. Beberapa
peristiwa lucu terjadi sekitar lengsernya Presiden Soeharto tahun 1998 dan
segera setelah pemilu 1999. Beberapa desa pakraman memanfaatkan suasana kurang
menguntungkan saat itu, dengan maksud melengserkan (istilah kerennya
“mereformasi”) prajuru yang sepak
terjangnya dianggap tidak sejalan dengan lingkungannya. Prajuru mendapat penghargaan (semacam tunjangan atau keistimewaan)
dari warganya, yang dikenal dengan olih-olihan
(berupa leluputan, tanding tengah,
dll).
Awig-awig Desa Pakraman
Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau krama
banjar pakraman yang dipakai sebagai
pedoman dalam pelaksanaan tri
hita karana, sesuai
dengan desa mawacara dan dharma agama
di desa pakraman/banjar pakraman masing-masing. (Pasal 1 nomor urut 11 Perda Provinsi Bali Nomor 3
Tahun 2001, tentang Desa Pakraman). Selain itu, awig-awig juga dibuat oleh organisasi
tradisional Bali (sekeha, subak, pemaksan, dll), dan berlaku hanya untuk
lingkungan organisasi bersangkutan. Sebutan lainnya, sima, dresta,
adat, gama. Umumnya awig-awig itu tidak tertulis. Kalau ada satu dua
ketentuan yang ditulis, hal ini
(pada mulanya) disebut pengeling-eling atau tunggul (catatan). Sekarang banyak yang
telah tertulis, yang disebut awig-awig tertulis. Pada mulanya awig-awig ditulis di atas perunggu,
kemudian ditulis diatas lontar, dan
belakangan ini ditulis diatas kertas.
Danda atau
Sanksi
Sanksi adat
dikenal pula dengan sebutan danda.
Secara umum, sanksi adat dapat dikelompokkan menjadi tiga yang dikenal dengan tri
danda, terdiri dari : arta danda (sanksi berupa materi,
misalnya berupa denda), jiwa danda
(sanksi jiwa, misalnya pengaksama
atau minta maaf) dan sangaskara danda
(sanksi berupa pelaksanaan upacara tertentu, sesuai dengan ajaran agama Hindu).
Beberapa jenis danda, antara lain : (1) Ayah-ayahan panukun kasisipan. (Kewajiban melaksanakan
sesuatu pekerjaan, sebagai pengganti atas kesalahan yang dilakukan). (2) Danda arta, dosa saha panikel-panikelnya
miwah panikel-panikel urunan (Denda
berupa uang beserta denda tambahan atas kelalaian membayar).c. Rerampagan
(Dirampas). (3) Kasepekang (Dikucikan). (4) Kawusang
mekrama kawaliang pipilnyane (Diberhentikan sebagai warga dan sekalian
mengembalikan catatannya).
Perlu ditegaskan bahwa kehidupan desa pakraman pada era otonomi
daerah dan globalisasi seperti sekarang
ini, bukannya semakin
ringan, melainkan justru bertambah berat. Masalah yang
harus dihadapi semakin rumit dan
tekanan yang datang lebih
menghimpit, baik yang dari dalam maupun dari luar desa pakraman.
Masalah dari
dalam, antara lain : (1) Ada tuntutan sebagian warga
desa untuk penyamarataan tetegenan desa (berbagai kewajiban
terhadap desa pakraman), dengan mengatasnamakan HAM. (2) Adanya perangkat desa
(prajuru dan awig-awig), yang sulit disesuaikan dengan globalisasi (masyarakat
dan budaya moderen). (3) Adanya tuntutan untuk mengerti arti
sarana upakara secara berlebihan. (4) Banjirnya tamiu (pendatang) dari
berbagai tempat dan penjuru
dunia. (5) Munculnya nilai-nilai
baru, serta berbagai pekakas (sarana) berteknologi canggih,
yang kadang-kadang matinjakan
dengan nilai-nilai budaya Bali.
Upaya Mengatasi Masalah
Bila
desa pakraman (dalam hal ini krama
desa, prajuru desa) ingin mengatasi
masalah tersebut, caranya antara
lain, berusaha untuk memanfaatkan
dengan baik dan benar kekuatan yang dimiliki oleh desa pakraman dan mengurangi
kelemahan desa pakraman.
Untuk itu, ada beberapa langkah penting yang sepatutnya dilakukan antara lain :
(1) Lebih mengetahui dan memahami keberadaan desa adat/pakraman, baik bagi
krama desa maupun tamiu. (2) Membuka
peluang kearah peningkatan kualitas (otak, otot dan
ekonomi) krama desa pakraman, dengan jalan memberikan kesempatan kepada warga desa
yang mempunyai
potensi dibidang tertentu, untuk berkembang dan mengabdi kepada desa pakraman,
sesuai profesi dan keahliannya.
-o0o-
* Pokok-pokok pikiran
ini disajikan dalam “Penataran Pengetahuan Teritorial bagi Bintara/Babinsa
Jajaran Korem 163/Wirasatya”, yang dilaksanakan oleh Korem 183/Wirasatya Bali,
bertempat di Gedung Pertemuan
Wirasatya, Jln. P.B. Sudirman Denpasar, pada tanggal 7 – 8 Januari 2003.
** Wayan P. Windia adalah seorang peneliti hukum
adat Bali dari Fakultas Hukum
UNUD, Denpasar.
suksma niki atas penjelasannya mengenai pengklasifikasian desa ring Bali.
RépondreSupprimerNapi tugas bendesa adat di desa taler tugas wakil bendesa ring desa, sksm
RépondreSupprimer