vendredi 24 octobre 2014

Desa Adat, desa Pekraman,

 

 Sedikit tentang Desa Adat atau  Desa Pakraman *


Wayan  P. Windia **

Desa
Kata “desa” mengandung beberapa pengertian. “desa” dapat   berarti suatu “wilayah pemukiman penduduk yang beragama Hindu”. Seperti misalnya, Desa Peliatan, Desa Penestanan, dll. “Desa” juga dapat berarti “situasi”, seperti dalam ungkapan “desa, kala, patra”.  Ada  ungkapan jelema desa atau desa sajan. Dalam hal ini “desa” berarti  “perilaku yang sangat terkebelakang” atau lebih dikenal dengan sebutan “kampungan”.

Peraturan tentang Desa
Dari jaman Belanda sampai sekarang, ada beberapa peraturan  yang pernah mengatur tentang  desa,  antara lain : Staatblad 1906 No. 83 tentang Inlandsche Gemeente Ordonantie (IGO). Staatblad 1938 No. 490 tentang Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten (IGOB). UU No. 22  Tahun 1948  tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU. No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU. No. 19 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. UU No. 5  Tahun 1979 tentang  Pemerintahan Desa.  UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, kemudian dirubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 (Lebih dikenal dengan sebutan undang-undang otonomi daerah).

Desa Dinas
Di Bali, dikenal ada dua desa, yaitu “desa dinas” (desa) dan “desa adat”. Pengertian desa dinas (desa), mengacu kepada U.U. Nomor : 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Desa menurut undang-undang ini adalah : “Satu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat, termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia” (pasal 1 huruf  a).
Sebelum berlakunya U.U. Nomor : 5/1979 (U.U. Pemerintahan Desa), desa ini dikenal dengan “keperbekelan”. Pimpinannya disebut “perbekel”. Satu keperbekelan terdiri dari beberapa banjar. Pimpinan banjar disebut kelihan banjar. Setelah berlakunya undang-undang tersebut diatas (U.U. Nomor : 5/1979 yang semula disebut keperbekelan, diseragamkan  menjadi “desa” (desa dinas) dan banjar menjadi “dusun”. Pimpinan desa disebut “kepala desa” (kades) dan pimpinan dusun disebut “kepala dusun” (kadus).

Kelurahan
Berdasarkan beberapa pertimbangan (antara lain, heterogenitas penduduknya), desa yang ada di daerah perkotaan,  dijadikan “kelurahan”. Kelurahan adalah : “Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan langsung dibawah camat yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. (pasal 1 huruf  b). Kelurahan dipimpin oleh  “lurah”. Satu kelurahan, terdiri dari beberapa “lingkungan”. Pimpinannya disebut “kepala lingkungan” (kaling).
Desa dan kelurahan dalam pengertian ini, mempunyai tugas antara lain, melaksanakan berbagai  kegiatan  pemerintahan atau kedinasan. Oleh karena itu, desa ini dikenal dengan sebutan “desa dinas” atau “desa administratif”. Kini (dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah atau dikenal dengan undang-undang otonomi daerah), ada kabupaten/kota yang mengembalikan sebutan “desa” (desa administratif) dan “kelurahan” menjadi “perbekel”.

Desa Adat
Apa yang sekarang dikenal dengan  “desa adat”, pada jaman Bali kuna disebut banwa atau banua. Perda Tingkat I Bali Nomor : 06 tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi Dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Prop. Daerah Tingkat I Bali, memberi batasan tentang desa adat  sbb : “Desa adat sebagai desa dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan  tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kayangan Tiga atau Kayangan Desa, yang mempunyai wilayah tertentu serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. (Pasal 1 a).

Desa Pakraman

Sejak berlakunya Perda  Propinsi Bali Nomor 3  Tahun  2001, tentang  Desa  Pakraman, sebutan “desa adat”  diganti  dengan  “desa pakraman”. Desa pakraman adalah  kesatuan masyarakat hukum adat di  Propinsi   Bali yang mempunyai satu kesatuan     tradisi dan tata krama pergaulan  hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan  Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai   wilayah  tertentu  dan harta kekayaan  sendiri  serta berhak mengurus    rumah  tangganya  sendiri. (Pasal 1  nomor urut  4).

Unsur-Unsur Desa Adat/Desa Pakraman

Dari batasan desa adat/desa pakraman seperti  diatas, dapat diketahui bahwa sebutan “desa”, mengandung beberapa pengertian antara lain   dapat berarti “desa dinas” dan “desa adat/desa pakraman”. Dalam hubungannya dengan desa pakraman secara sederhana dapat dikatakan bahwa desa pakraman terdiri dari tiga unsur, yaitu :  (1) Unsur parahyangan (berupa pura atau tempat suci umat Hindu). (2) Unsur pawongan (warga desa yang beragama Hindu). (3) Unsur palemahan (wilayah desa yang berupa karang ayahan desa dan karang gunakaya).

Tipe Desa Pakraman

Berdasarkan berbagai tradisi dominan  yang menjadi ciri  desa  adat, MPLA  Bali  (1990 :1991, Dherana, 1995) membedakan  desa adat atas  tiga tipe, yaitu  :
1. Desa  Bali  Aga  (Bali  Mula), yaitu desa adat  yang  masih tetap menganut tradisi pra-Majapahit. Kebanyakan    berada di sekitar Kintamani dan  daerah   pegunungan lainnya di  Bali. Perangkat  pimpinan  desa yang  disebut dulu-dulu desa. Desa    ini    umumnya   hanya terdiri dari satu  “banjar”.

2. Desa Apanaga, yaitu desa adat yang  sistem  kemasyarakatannya sangat  dipengaruhi oleh   Majapahit. Desa-desa   ini  umumnya  terletak didaerah  Bali dataran.  Kepemimpinan pada desa adat   tipe  ini umumnya merupakan  pola tunggal,  disebut prajuru  desa.

3. Desa Anyar (Desa Baru),   yaitu  desa  yang terbentuk relatif   baru,  sebagai  akibat    dari  adanya   perpindahan   penduduk     (transmigrasi  lokal)  dengan tujuan awal mencari penghidupan. Desa-desa seperti  ini  misalnya  dapat  ditemui  di  daerah  Jembrana  dan  Buleleng  Barat.

Prajuru Desa  Pakraman dan Perangkat Desa.
1.     Desa atau keperbekelan, biasanya terdiri dari beberapa “dusun” atau “banjar”.  Kelurahan, pada umumnya terdiri dari beberapa  “lingkungan”.  Perangkat pimpinan desa atau  keperbekelan  disebut “perangkat desa”, dipimpin oleh seorang  “kepala desa” atau “perbekel”.  Perangkat pimpinan kelurahan disebut “perangkat kelurahan”,  dipimpin oleh seorang “lurah”.

2.     Desa pakraman  pada umumnya terdiri dari beberapa banjar, tetapi adakalanya juga hanya terdiri dari satu banjar. Pimpinan desa pakraman disebut “prajuru desa”. Pucuk pimpinannya disebut “bendesa”.

3.     Pimpinan banjar disebut “prajuru banjar”, dipimpin oleh seorang “kelihan banjar”. Pimpinan dusun disebut “kepala dusun”, dan pimpinan lingkungan disebut “kepala lingkungan”.

Desa Pakraman dan Desa

            Karena persyaratan dan dasar pembentukan desa adat dan desa (dinas) berbeda, maka batas-batas wilayah dan jumlah penduduk pendukung kedua desa tersebut tidak selamanya sejalan.  Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan, yaitu :
1.     Satu desa, terdiri dari satu desa pakraman.
2.     Satu desa, terdiri dari beberapa desa pakraman.
3.     Satu desa pakraman, terdiri dari beberapa desa.
4.     Salah satu banjar di Desa Pakraman A (terletak di Desa B), menjadi bagian dari Desa Pakraman C (terletak di Desa B).
5.     Salah satu banjar di Desa Pakraman A (terletak di Desa B), menjadi bagian dari Desa Pakraman C (terletak di Desa D).

Tugas  dan Wewenang Desa Pakraman
Dalam Perda Prop. Bali Nomor : 3 Tahun 2001 (Desa Pakraman), hal ini diatur pada pasal 5 dan 6, yang menentukan bahwa  tugas dan wewenang desa pakraman, adalah sebagai berikut :
1.     Membuat awig-awig.
2.     Mengatur krama desa.
3.     Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa.
4.     Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan disegala bidang terutama dibidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan. 
5.     Membina dan mengembangan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan paras-paros, sagilik saguluk salunglung sabayantaka (musyawarah mufakat).
6.     Mengayomi krama desa. (pasal 5).

Pasal 6 mengatur mengenai wewenang desa pakraman, sbb :
1.     Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat.
2.     Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya, terutama yang berkaitan dengan tri hita karana.
3.     Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman.

Prajuru  Desa Adat/Pakraman
Perangkat pimpinan desa adat/desa pakraman disebut prajuru desa. Pada umumnya, diketuai oleh seorang bendesa adat dan dibantu oleh beberapa orang petajuh (wakil), penyarikan (juru tulis), petengen (bendahara), dll. Adanya tiga tipe desa pakraman di Bali (Bali Aga, Apanaga dan Bali Anyar),  disertai dengan sifat otonom yang dimiliki (seperti telah dikemukakan secara singkat diatas), menyebabkan terbukanya peluang bagi masing-masing desa pakraman untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Kenyataan ini mendorong munculnya berbagai perbedaan dalam hubungan dengan cara pemilihan prajuru,  struktur prajuru dan mekanisme pembagian tugas diantara sesama anggota prajuru, pada masing-masing desa pakraman. Contohnya, di Desa Pakraman Sebetan, Selumbung (Karangasem) dan Kubutambahan (Singaraja),  bendesa adat ditunjuk berdasarkan keturunan. Kalau di Desa Pakraman  Singapadu dan Tangsub (Gianyar), bendesa adat ditunjuk berdasarkan urutan pipil desa (daftar absen) atau tempat kediaman (dikenal dengan sebutan  ririgan).  Ada juga yang  ditunjuk berdasarkan senioritas (mauluapad). Cara ini dapat dilihat pada desa-desa Bali aga,  seperti di Desa Pakraman Trunyan,  Penglipuran  (Bangli), dll. Tetapi untuk desa pakraman pada umumnya (Desa apanaga dan Bali anyar), pucuk pimpinan desa adat  (bendesa adat atau apapun namanya),  dipilih secara langsung oleh krama (warga) desa bersangkutan, melalui musyawarah mufakat atau suara terbanyak.




Masa Pengabdian dan Olih-olihan Prajuru
Berkaitan dengan masa pengabdian prajuru, umumnya desa pakraman menetapkan masa pengabdian prajuru selama 5 tahun. Desa Pakraman Rendang, Karangasem, 8 tahun.  Ada juga masa pengabdian prajuru yang “tidak karuan”. Artinya, walaupun masa pengabdiannya jelas ditentukan dalam awig-awig, tetapi prajuru (khususnya bendesa adat), seolah-olah ditetapkan seumur hidup. Contohnya di Desa Adat Taro Kaja, Desa Adat Manukaya Anyar. Di desa pakraman ini rata-rata bendesa adatnya telah mengabdi  diatas 30 tahun. Beberapa peristiwa lucu terjadi sekitar lengsernya Presiden Soeharto tahun 1998 dan segera setelah pemilu 1999. Beberapa desa pakraman memanfaatkan suasana kurang menguntungkan saat itu, dengan maksud melengserkan (istilah kerennya “mereformasi”) prajuru yang sepak terjangnya dianggap tidak sejalan dengan lingkungannya. Prajuru mendapat penghargaan (semacam tunjangan atau keistimewaan) dari warganya, yang dikenal dengan olih-olihan (berupa leluputan, tanding tengah, dll).

Awig-awig Desa Pakraman
Awig-awig adalah aturan yang dibuat  oleh  krama  desa pakraman dan atau  krama banjar  pakraman  yang  dipakai sebagai  pedoman  dalam pelaksanaan tri  hita karana, sesuai   dengan desa   mawacara  dan dharma   agama  di  desa  pakraman/banjar  pakraman  masing-masing. (Pasal 1 nomor urut 11 Perda Provinsi  Bali   Nomor 3  Tahun  2001, tentang  Desa  Pakraman). Selain itu, awig-awig juga  dibuat oleh  organisasi  tradisional Bali (sekeha, subak, pemaksan, dll), dan berlaku hanya untuk lingkungan organisasi bersangkutan. Sebutan  lainnya, sima, dresta, adat, gama. Umumnya awig-awig itu tidak tertulis. Kalau ada satu dua ketentuan  yang ditulis, hal ini (pada mulanya) disebut  pengeling-eling atau tunggul (catatan). Sekarang banyak yang telah tertulis, yang disebut awig-awig tertulis. Pada  mulanya awig-awig ditulis di  atas  perunggu, kemudian ditulis  diatas  lontar,  dan   belakangan ini ditulis diatas kertas.

Danda atau Sanksi 
Sanksi adat dikenal pula dengan sebutan danda. Secara  umum, sanksi adat  dapat dikelompokkan  menjadi tiga yang dikenal dengan  tri danda, terdiri dari :  arta danda (sanksi berupa materi, misalnya berupa denda), jiwa danda (sanksi jiwa, misalnya pengaksama atau minta maaf) dan sangaskara danda (sanksi berupa pelaksanaan upacara tertentu, sesuai dengan ajaran agama Hindu). Beberapa  jenis danda, antara lain : (1)  Ayah-ayahan panukun kasisipan. (Kewajiban melaksanakan sesuatu pekerjaan, sebagai pengganti atas kesalahan yang dilakukan). (2) Danda arta, dosa saha panikel-panikelnya miwah panikel-panikel urunan  (Denda berupa uang beserta denda tambahan atas kelalaian membayar).c. Rerampagan (Dirampas). (3) Kasepekang (Dikucikan).  (4) Kawusang mekrama kawaliang pipilnyane (Diberhentikan sebagai warga dan sekalian mengembalikan catatannya).

 

Masalah Desa Pakraman
 Perlu ditegaskan bahwa kehidupan desa pakraman  pada  era  otonomi daerah dan globalisasi seperti sekarang  ini, bukannya  semakin ringan,  melainkan  justru bertambah berat. Masalah yang harus dihadapi semakin rumit dan  tekanan yang datang lebih   menghimpit, baik yang dari dalam maupun dari luar desa pakraman.
Masalah  dari dalam,  antara  lain : (1) Ada tuntutan sebagian warga desa untuk penyamarataan  tetegenan desa (berbagai kewajiban terhadap desa pakraman), dengan mengatasnamakan HAM. (2) Adanya perangkat desa (prajuru dan awig-awig), yang sulit disesuaikan dengan globalisasi (masyarakat dan budaya moderen). (3) Adanya tuntutan untuk  mengerti  arti sarana upakara secara berlebihan. (4) Banjirnya tamiu (pendatang) dari  berbagai  tempat dan penjuru dunia. (5) Munculnya nilai-nilai  baru, serta berbagai pekakas  (sarana) berteknologi canggih, yang  kadang-kadang  matinjakan  dengan  nilai-nilai  budaya Bali.

Upaya Mengatasi Masalah
Bila desa pakraman (dalam hal ini krama desa, prajuru desa) ingin mengatasi masalah tersebut,  caranya antara lain, berusaha untuk  memanfaatkan dengan baik dan benar kekuatan yang dimiliki oleh desa pakraman dan mengurangi kelemahan desa   pakraman. Untuk itu, ada beberapa langkah penting yang sepatutnya dilakukan antara lain : (1) Lebih mengetahui dan memahami keberadaan desa adat/pakraman, baik bagi krama desa maupun tamiu. (2) Membuka peluang kearah peningkatan kualitas (otak,  otot  dan ekonomi)  krama desa pakraman, dengan jalan  memberikan kesempatan kepada  warga desa  yang   mempunyai potensi dibidang tertentu, untuk berkembang dan mengabdi kepada desa pakraman, sesuai profesi dan keahliannya.



-o0o-





*  Pokok-pokok pikiran ini disajikan dalam “Penataran Pengetahuan Teritorial bagi Bintara/Babinsa Jajaran Korem 163/Wirasatya”, yang dilaksanakan oleh Korem 183/Wirasatya Bali, bertempat  di Gedung Pertemuan Wirasatya, Jln. P.B. Sudirman Denpasar, pada tanggal  7 – 8 Januari 2003.
**  Wayan  P. Windia adalah seorang peneliti hukum adat Bali dari  Fakultas Hukum UNUD, Denpasar.

2 commentaires:

  1. suksma niki atas penjelasannya mengenai pengklasifikasian desa ring Bali.

    RépondreSupprimer
  2. Napi tugas bendesa adat di desa taler tugas wakil bendesa ring desa, sksm

    RépondreSupprimer