ajaran dharma
Sekilas ajaran Sanata dharma – HINDU
Agama Hindu (Bahasa
Sanskerta: Sanātana Dharma सनातन धर्म "Kebenaran Abadi"), dan
Vaidika-Dharma ("Pengetahuan Kebenaran"). kata Hindu berakar dari
kata Sindhu. Dalam Reg Weda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta
Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anak benua India, yang salah
satu sungai tersebut bernama sungai Indus). Hal ini mendekati dengan kata
Hapta-Hendu yang termuat dalam Zend Avesta (Vendidad: Fargard 1.18) — sastra
suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya kata Hindu merujuk pada
masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu.
Kata "agama"
yang dipergunakan oleh umat Hindu dalam hidup berketuhanan Yang Maha Esa
berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata "gam" yang artinya
"pergi" atau "perjalanan". Urat kata "gam" ini
mendapat prefix "a" yang berarti "tidak" dan tambahan
"a" di belakang yang berarti "sesuatu" atau dapat berfungsi
sebagai suffix dalam bahasa Sanskerta guna mengubah kata kerja menjadi kata
sifat. Dengan demikian kata agama diartikan "sesuatu yang tidak
pergi", tidak berubah atau tetap, langgeng (abadi). Yang tidak pernah
berubah- ubah atau kekal abadi itu hanyalah Tuhan beserta ajarannya. Sebagai
suatu istilah kemudian kata agama mengandung suatu pengertian aturan- aturan
atau ajaran- ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi
Wasa) diturunkan berupa wahyu (Sruti) melalui para Nabi (Maha Resi) untuk
mengatur alam semesta beserta isinya baik dalam kehidupan rohaniah maupun dalam
kehidupan jasmaniah.
DHARMA
Kata "Dharma"
berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata "dhr" (baca: dri) yang
artinya menjinjing, memangku, memelihara, mengatur, atau menuntun. Akar kata
"dhr" ini kemudian berkembang menjadi kata dharma yang mengandung
arti hukum yang mengatur dan memelihara alam semesta beserta segala isinya.
Dalam hubungan dengan peredaran alam semesta, kata dharma dapat pula berarti
kodrat. Sedangkan dalam kehidupan manusia, dharma dapat berarti ajaran,
kewajiban atau peraturan- peraturan suci yang memelihara dan menuntun manusia
untuk mencapai kesempurnaan hidup yaitu tingkah laku dan budi pekerti yang
luhur.
Pustaka Smrti Santi
Parwa 109.11:
Dharanad
dharma ityahur
Dharmena
widrtah prajah
Artinya:
Kata dharma dikatakan
datang dari kata Dharana (yang berarti memangku, menjunjung, atau mengatur).
Dengan dharma semua
makhluk diatur
Istilah Hindu yang
dipergunakan sekarang sebagai nama agama pada umumnya tidak dikenal pada jaman
klasik. Beratus- ratus tahun sebelum tahun masehi, penganut ajaran kitab suci
Weda tumbuh subur dan berkembang pesat dalam masyarakat, sehingga para ahli
menyebutkannya dengan nama agama Weda atau Jaman Weda.
Kemudian Hindu dipakai
nama dengan mengambil nama tempat di mana agama itu mulai berkembang, yakni di
sekitar sungai Sindu atau Indus. Kata Sindu inilah yang kemudian berubah
menjadi kata Hindu karena terkena pengaruh hukum metathesis dalam bahasa
Sanskerta di mana penggunaan huruf "s" dan "h" dapat
ditukar- tukar, misalnya kata "Soma" dapat menjadi kata Homa, kata
"Satima" dapat menjadi Hatima, dan sebagainya.
Kata Hindu atau Sindu
dalam bahasa Sanskerta adalah tergolong kata benda masculine, yang berarti
titik- titik air, sungai, laut, atau samudra. Air melambangkan Amrita yang
diartikan air kehidupan yang kekal abadi, dipergunakan dalam upacara- upacara
agama Hindu dalam bentuk tirtha (air suci).
Istilah agama dengan
istilah dharma mempunyai pengertian yang sulit dibedakan, maka dalam kaitannya
dengan nama agama Hindu biasa juga disebut Hindu Dharma, bahkan di India lebih
umum nama ini dipakai.
Tujuan Agama Hindu
MOKSARTHAM JAGADHITA YA
CA ITI DHARMAH
Jadi secara garis besar
tujuan agama Hindu adalah untuk mengantarkan umatnya dalam mencapai
kesejahteraan hidup di dunia ini maupun mencapai moksa yaitu kebahagiaan di
akhirat kelak. Di dalam kitab suci Weda dijelaskan tujuan agama sebagai
tercantum dalam sloka "Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharmah"
yang artinya bahwa tujuan agama atau dharma adalah untuk mencapai jagadhita dan
moksa, dengan kata lain bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai
kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara
lahir dan bathin.
Moksa juga disebut Mukti
artinya mencapai kebebasan jiwatman atau juga disebut mencapai kebahagiaan rohani
yang langgeng di akhirat. Jagadhita juga disebut bhukti yaitu kemakmuran dan
kebahagiaan setiap orang, masyarakat, maupun negara.
Salam Agama Hindu
Untuk membina hubungan
yang harmonis dan mempererat rasa persaudaraan dalam pergaulan di masyarakat,
agama Hindu mengajarkan salam persaudaraan (panganjali) dengan ucapan "Om
Swastiastu". Salam ini dapat juga dipergunakan dalam memulai dan
mengakhiri suatu kegiatan. Khusus dalam mengakhiri sesuatu kegiatan dapat juga
memakai "OM SANTI, SANTI, SANTI, OM" yang artinya semoga
damai.
Pada waktu mengucapkan
salam, kedua tangan dicakupkan di depan dada dengan ujung jari mengarah ke
atas, tetapi kalau keadaan tidak memungkinkan, sikap ini boleh tidak dilakukan.
Yang menerima salam seyogyanya memberikan jawaban dengan ucapan "Om
Swastiastu" dengan sikap yang sama pula.
"Om" artinya
Tuhan, "Su" artinya baik, "Asti" artinya ada dan
"Astu" artinya semoga, jadi keseluruhannya berarti SEMOGA SELAMAT
ATAS RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Dengan demikian maka pada setiap kegiatan
telah dilaksanakan saling doa mendoakan satu sama lain.
Namaste berasal dari 2
kata "Namah" yang artinya menunduk, hormat; dan "Te" yang
artinya padamu, merupakan cara yang lazim digunakan untuk menyapa atau memberi
salam di Asia Selatan. Namaste digunakan oleh multi-agama dan lebih ditekankan
pada representasi arti dari "Saya Menghormati Anda". Ketika berbicara
dengan orang lain, biasanya diikuti oleh gerakan mencakupkan kedua tangan di
depan dada.
Filosofi Namaste bagi
saya pribadi lebih ke arah sifat diri yang rendah hati. Sebuah ungkapan yang
dengan sangat elegan memberi penghormatan kepada siapa saja tanpa memandang
atribut orang tersebut, apakah dia kaya, miskin, rupawan, buruk, terhormat,
hina, sehat, sakit, dsb. Mendalami filosofi Namaste, mengajarkan saya untuk
lebih mencintai semua ciptaan Tuhan. Tak akan ada niat untuk menindas,
membunuh, menfitnah, mencaci-maki, ataupun sekedar menggosipkan orang lain di
belakang. Tindakan-tindakan tersebut sangat melukai rasa penghormatan saya
kepada sesama. Dan otomatis mencederai rasa bakti kepada Tuhan yang saya
sembah.
Menghormati orang lain
sama dengan menghormati diri sendiri. Karena sejatinya, di dalam diri saya dan
orang lain memiliki satu kesamaan yang agung. Yang Agung inilah yang disebut
dengan "Jiwa". Dan Jiwa inilah "cahaya" Tuhan yang paling
kecil yang berada di dalam diri kita yang harus kita berikan penghormatan
tertinggi. Namaste…!
Lambang Agama Hindu
Lambang atau simbul
dalam keagamaan merupakan sarana pengikat keyakinan umatnya untuk lebih
mendekatkan hati dan perasaannya kepada cita- cita hidup keagamaan, disebut
juga Niyasa atau Murti Puja. Agama Hindu mempergunakan Swastika sebagai
lambang.
Adapun bentuk asli dari
lambang SWASTIKA
ialah dua garis vertikal dan horisontal bersilang sama sisi, tegak lurus di
tengah- tengah (+).Sebagai kreasi seni budaya yang selalu berkembang, Swastika
juga mengalami perkembangan sehingga kemudian menjadi berbentuk :
Swastika menggambarkan
keharmonisan perputaran alam semesta dengan segala romantika, dinamika dan
dialektikanya. Hal mana pada hakekatnya menunjukkan kemahabesaran Sang Hyang
Widhi Wasa selaku Maha Pencipta. Kata Swastika berarti keselamatan atau
kesejahteraan. Garis vertikal menunjukkan keharmonisan hubungan manusia dengan
pencipta- Nya yaitu Sang Hyang Widhi Wasa, sedangkan garis horisontal
menunjukkan keharmonisan hubungan manusia dengan sesamanya, termasuk hubungan
manusia dengan alam.
Apabila hubungan manusia
dengan penciptanya dan hubungan manusia dengan lingkungannya terjalin dengan
harmonis, maka manusia akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan.
Keselamatan dan kesejahteraan adalah hakekat tujuan agama. Keempat garis di
ujung- ujung garis vertikal dan garis horisontal menunjukkan arah perputaran
Swastika, yaitu berputar ke arah kanan. Jadi Swastika juga melukiskan gerak,
yaitu gerak alam semesta yang berputar ke arah kanan. Pada hakekatnya semua isi
alam juga mengalami perputaran seperti angin, air, dan sebagainya, untuk
menimbulkan keharmonisan di alam ini.
Kitab Suci
Kitab suci agama Hindu
disebut Weda. Adapun kata Weda ini berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata
"Wid" berkembang menjadi kata WEDA atau WIDYA yang berarti
pengetahuan. Sebagai kitab suci kata Weda mengandung pengertian himpunan ilmu
pengetahuan suci yang bersumber dari Sang Hyang Widhi Wasa diterima atau
didengar oleh para Maha Resi dalam keadaan samadhi. Oleh karena itu disebut
juga Sruti yang berarti Sabda suci yang didengar (wahyu). Jadi Weda merupakan
himpunan wahyu- wahyu Tuhan.
Weda Sruti yaitu Weda
dalam bentuk himpunan wahyu (Sruti), disebut juga Weda Samhita terdiri dari:
Kelompok Catur Weda:
1.
Rig Weda, Dihimpun oleh Maha Resi Pulaha
2.
Yajur Weda, Dihimpun oleh Maha Resi Waisampayana
3.
Sama Weda, Dihimpun oleh Maha Resi Jaimini
4.
Atharwa Weda, Dihimpun oleh Maha Resi Sumantu
Pancamo Weda:
Bhagavad-Gita,
Dihimpun oleh Maha Resi Byasa.
Weda Smrti yaitu tafsir
dari Weda Sruti, disusun dengan maksud mempermudah mempelajarinya, terdiri dari
dua kelompok yaitu:
Kelompok Wedangga
1.
Siksa, Isinya tentang ilmu tentang phonetics
2.
Wyakarana, Isinya tentang ilmu tata bahasa
3.
Chanda, Isinya tentang pengetahuan tentang lagu
4.
Nirukta, Isinya tentang pengetahuan tentang sinonim dan akronim
5.
Jyotisa, Isinya tentang ilmu astronomi
6.
Kalpa, Isinya tentang tentang ritual
Kelompok Upaweda
1.
Itihasa, Isinya tentang ceritera- ceritera kepahlawanan (epos)
terdiri dari Mahabarata dan Ramayana
2.
Purana, Isinya tentang himpunan ceritera- ceritera (mirip
sejarah) tentang peristiwa- peristiwa tertentu dan tentang tradisi.
3.
Arthasastra, Isinya tentang pengetahuan tentang pemerintahan.
4.
Ayurweda, Isinya tentang ilmu obat- obatan.
5.
Gandarwa
Weda, Isinya tentang ilmu tentang
seni
6.
Sarasamuçcaya dan Slokantara , Isinya tentang etika dan tata
susila.
Resi / Maha Resi
Resi adalah orang yang
atas usahanya melakukan tapa brata yoga samadhi, memiliki kesucian, terpilih
oleh Tuhan, dapat menghubungkan diri dengan Tuhan, sehingga dengan kuasa- Nya
dapat melihat hal yang sudah lampau, sekarang, dan yang akan datang, serta
dapat menerima wahyu (Sruti). Istilah Resi sebenarnya tidak sama artinya dengan
Pendeta, namun kadang- kadang diartikan sama, seperti terdapat di beberapa
daerah. Untuk membedakan pengertian Resi sebagai Pendeta dan Resi sebagai Nabi,
maka dipakailah istilah Maha Resi untuk menyatakan Resi sebagai Nabi.
Diantaranya:
Swayambhu, Bharadwaja,
Wrhaspati, Krtyaya, Sandhyaya, Agastya, Wasistha, Tridhatu, Gotama, Wajrasrawa,
Grtsamada, Kanwa, Trinawindhu, Aryadatta, Dharma, Wiswamitra, Narayana, Usana,
Somayan, Parasara, Warmadewa, Prajapati, Tryaguna, Rutsa, Byasa, Atri,
Hiranyagarbha, Dhananjaya dan Sakri
Maha Resi Byasa beserta
murid- muridnya terkenal karena karyanya membukukan (kodifikasi) kitab- kitab
Weda, sehingga terhimpunlah kitab Catur Weda.
Avatara
Awatara adalah
perwujudan Sang Hyang Widhi turun ke dunia untuk karya penyelamatan terutama
pada saat dharma mengalami tantangan dan saat- saat adharma mulai merajalela.
Bedanya dengan Maha Resi ialah bahwa Awatara itu adalah perwujudan Hyang Widhi
yang turun ke dunia, sedangkan Maha Resi adalah manusia terpilih karena dapat
meningkatkan jiwanya ke kesempurnaan sehingga dapat menerima wahyu. Dalam Wisnu
Purana dikenal sepuluh perwujudan Sang Hyang Widhi Wasa dalam penyelamatan
dunia ialah:
1.
Matsya
Awatara, Ikan yang maha besar
2.
Kurma
Awatara, Kura-kura (penyu)
raksasa yang diceritakan menopang semesta
3.
Waraha
Awatara, Badak Agung
4.
Narasingha
Awatara, manusia berkepala Singa,
membunuh Raja Hirania Kasipu sebagai tokoh Adharma saat itu.
5.
Wamana
Awatara, Orang Kerdil yang membunuh Raja Bali sebagai tokoh Adharma.
6.
Rama Parasu
Awatara, Pandita yang selalu membawa
kampak, memberi kesadaran kepada para kesatria untuk mengendalikan Dharma atau
kepemimpinan dengan sebaik- baiknya.
7.
Rama Awatara, putra Prabu Dasarata guna membela dharma melawan
adharma yang dipimpin oleh Rawana yang pasukannya terbasmi.
8.
Krisna
Awatara, sebagai putra Prabu Wasudewa
dengan Dewi Dewaki menghancurkan Raja Kangsa dan Jarasanda golongan adharma
pada saat itu.
9.
Budha
Awatara, sebagai putra Prabu Sudodana
dengan Dewi Maya bertugas menyadarkan umat manusia, agar bebas dari penderitaan
melalui jalan tengah di antara delapan cakram (putaran hidup).
10.
Kalki
Awatara, penunggang kuda putih dengan
membawa pedang terhunus dan akan membasmi makhluk yang adharma. Awatara ini
adalah yang ke-10, Menurut keyakinan kita beliau akan datang nanti bila adharma
sudah betul- betul merajalela (pralaya -
kiamat).
TIGA KERANGKA DASAR AGAMA HINDU
Ajaran Agama Hindu dapat
dibagi menjadi tiga bagian yang dikenal dengan "Tiga Kerangka Dasar",
di mana bagian yang satu dengan lainnya saling isi mengisi dan merupakan satu
kesatuan yang bulat untuk dihayati dan diamalkan guna mencapai tujuan agama
yang disebut Jagadhita dan Moksa.
Tiga Kerangka Dasar
tersebut adalah:
1.
Tatwa
2.
Susila
3.
Upakara
TATWA
Sebenarnya agama Hindu
mempunyai kerangka dasar kebenaran yang sangat kokoh karena masuk akal dan
konseptual. Konsep pencarian kebenaran yang hakiki di dalam Hindu diuraikan
dalam ajaran filsafat yang disebut Tattwa. Tattwa dalam agama Hindu dapat
diserap sepenuhnya oleh pikiran manusia melalui beberapa cara dan pendekatan
yang disebut Pramana.
TRI PRAMANA
Ada 3 (tiga) cara
penyerapan pokok yang disebut Tri Pramana.
Tri Pramana,
"Tri" artinya tiga, "Pramana" artinya jalan, cara, atau
ukuran. Jadi Tri Pramana adalah tiga jalan/ cara untuk mengetahui hakekat
kebenaran sesuatu, baik nyata maupun abstrak. Dalam Wrhaspati Tattwa sloka 26
disebutkan:
Pratyaksanumanasca
krtan tad wacanagamah pramananitriwidamproktam tat samyajnanam uttamam. Ikang
sang kahanan dening pramana telu, ngaranya, pratyaksanumanagama.
Pratyaksa
ngaranya katon kagamel. Anumana ngaranya kadyangganing anon kukus ring kadohan,
yata manganuhingganing apuy, yeka Anumana ngaranya.
Agama
ngaranya ikang aji inupapattyan desang guru, yeka Agama ngaranya. Sang
kinahanan dening pramana telu Pratyaksanumanagama, yata sinagguh Samyajnana
ngaranya.
Artinya:
Adapun orang yang
dikatakan memiliki tiga cara untuk mendapat pengetahuan yang disebut Pratyaksa,
Anumana, dan Agama.
Pratyaksa namanya
(karena) terlihat (dan) terpegang. Anumana sebutannya sebagai melihat asap di
tempat jauh, untuk membuktikan kepastian (adanya) api, itulah disebut Anumana.
Agama disebut
pengetahuan yang diberikan oleh para guru (sarjana), itulah dikatakan Agama.
Orang yang memiliki tiga cara untuk mendapat pengetahuan Pratyaksa, Anumana,
dan Agama, dinamakan Samyajnana (serba tahu).
Tri Premana meliputi:
1.
Agama
Pramana adalah suatu ukuran atau cara
yang dipakai untuk mengetahui dan meyakini sesuatu dengan mempercayai ucapan-
ucapan kitab suci, karena sering mendengar petuah- petuah dan ceritera para
guru, Resi atau orang- orang suci lainnya. Ceritera- ceritera itu dipercayai
dan diyakini karena kesucian batin dan keluhuran budi dari para Maha Resi itu.
Apa yang diucapkan atau diceriterakannya menjadi pengetahuan bagi pendengarnya.
Misalnya: Guru ilmu pengetahuan alam berceritera bahwa di angkasa luar banyak
planet- planet, sebagaimana juga bumi berbentuk bulat dan berputar. Setiap
murid percaya kepada apa yang diceriterakan gurunya, oleh karena itu tentang
planet dan bumi bulat serta berputar menjadi pengetahuan yang diyakini
kebenarannya, walaupun murid- murid tidak pernah membuktikannya. Demikianlah
umat Hindu meyakini Sang Hyang Widhi Wasa berdasarkan kepercayaan kepada ajaran
Weda, melalui penjelasan- penjelasan dari para Maha Resi atau guru- guru agama,
karena sebagai kitab suci agama Hindu memang mengajarkan tentang Tuhan itu
demikian.
2.
Anumana
Pramana adalah cara atau ukuran untuk
mengetahui dan meyakini sesuatu dengan menggunakan perhitungan logis
berdasarkan tanda- tanda atau gejala- gejala yang dapat diamati. Dari tanda-
tanda atau gejala- gejala itu ditarik suatu kesimpulan tentang obyek yang
diamati tadi. Cara menarik kesimpulan adalah dengan dalil sebagai berikut:
YATRA YATRA DHUMAH, TATRA TATRA WAHNIH artinya Di mana ada asap di sana pasti
ada api. Contoh: Seorang dokter dalam merawat pasiennya selalu mulai dengan
menanyakan keluhan- keluhan yang dirasakan si pasien sebagai gejala- gejala
dari penyakit yang diidapnya. Dengan menganalisa keluhan- keluhan tadi dokter
dapat menyimpulkan penyakit pasiennya, sehingga mudah melakukan pengobatan.
Demikian pula jika memperhatikan keadaan dunia ini, maka banyak sekali ada
gejala- gejala alam yang teratur. Hal itu menurut logika kita hanya mungkin
dapat terjadi apabila ada yang mengaturnya.
3.
Pratyaksa
Pramana adalah cara untuk mengetahui
dan meyakini sesuatu dengan cara mengamati langsung terhadap sesuatu obyek,
sehingga tidak ada yang perlu diragukan tentang sesuatu itu selain hanya harus
meyakini. Misalnya menyaksikan atau melihat dengan mata kepala sendiri, kita
jadi tahu dan yakin terhadap suatu benda atau kejadian yang kita amati. Untuk
dapat mengetahui serta merasakan adanya Sang Hyang Widhi Wasa dengan pengamatan
langsung haruslah didasarkan atas kesucian batin yang tinggi dan kepekaan
intuisi yang mekar dengan pelaksanaan yoga samadhi yang sempurna.
Tri Pramana ini,
menyebabkan akal budi dan pengertian manusia dapat menerima kebenaran hakiki
dalam tattwa, sehingga berkembang menjadi keyakinan dan kepercayaan.
Kepercayaan dan keyakinan dalam Hindu disebut dengan sradha. Dalam Hindu,
sradha disarikan menjadi 5 (lima) esensi, disebut Panca Sradha.
PANCA SRADHA
Dalam Agama Hindu ada
lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Panca sradha. Pancasradha
merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:
1.
Widhi Tattwa
- percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya
2.
Atma Tattwa
- percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk
4.
Punarbhava
Tattwa - percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi)
5.
Moksa Tattwa
- percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia
Berbekal Panca Sradha
yang diserap menggunakan Tri Pramana ini, perjalanan hidup seorang Hindu menuju
ke satu tujuan yang pasti. Ke arah kesempurnaan lahir dan batin yaitu Jagadhita
dan Moksa. Ada 4 (empat) jalan yang bisa ditempuh, jalan itu disebut Catur
Marga.
CATUR MARGA YOGA
Dalam usaha perjalanan
manusia menuju kepada Tuhan, ada empat jalan yang harus ditempuh yaitu Catur
Marga. Catur artinya empat dan Marga artinya jalan. Jadi Catur Marga artinya:
empat jalan yang harus ditempuh dalam usaha manusia menuju kepada Tuhan Sang
Maha Pencipta. Empat jalan itu disebut Catur Marga, yaitu:
1.
Yoga Marga /
Raja Yoga : menuju pada kebenaran
dengan jalan disiplin tertentu dengan metode-metode Yoga. Raja Yoga Marga ialah
suatu jalan dan usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa melalui pengabdian
diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa yaitu mulai berlangsung dan berakhir pada
konsentrasi. Dalam arti yang lebih luas yoga ini mengandung pengertian tentang
pengekangan diri. Dengan pengendalian diri yang ketat, tekun dalam yoga, maka
persatuan Atman dengan Brahman akan tercapai.
2.
Jnana Marga
/ Jnana Yoga : menuju persatuan dengan
Tuhan dengan cara terus menerus mempelajarinya. Jnana Marga ialah suatu jalan
dan usaha untuk mencapai jagadhita dan Moksa dengan mempergunakan kebijaksanaan
filsafat (Jnana). Di dalam usaha untuk mencapai kesempurnaan dengan
kebijaksanaan itu, para arif bijaksana (Jnanin) melaksanakan dengan keinsyafan
bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta yang bersumber pada suatu sumber
alam, yang di dalam kitab suci Weda disebut Brahman atau Purusa. Di dalam Upanishad
dijelaskan bahwa Brahman atau Purusa adalah sebagai sumber unsur- unsur rohani
maupun jasmani semua makhluk dan sumber segala benda yang terdapat di alam ini.
Brahman sebagai sumber segala- galanya mempunyai kekuatan yang dapat dikatakan
hukum kodrat, atau sifatnya yang menyebabkan Brahman berubah menjadi serba
segala, rohaniah maupun jasmaniah (sekala- niskala). Menginsyafi bahwa segala
yang ada, rohani maupun jasmani, benda yang berwujud (Sthula) maupun abstrak
(suksma) bersumber pada Brahman, maka para bijaksana (Jnanin) memandang bahwa
semua benda jasmaniah (jasad) dan wujud rohani (alam pikiran dan sebagainya)
yang timbul dari Brahman adalah benda dan wujud yang bersifat sementara
(relatif). Hanya sumbernya yaitu Brahman (Siwa) Yang Maha Agung yang sungguh-
sungguh ada dan mutlak (absolut). Dengan kebijaksanaan (Jnana) mereka dapat
mencapai dharma yang memberikan kebahagiaan lahir batin dalam hidupnya
sekarang, di akhirat (Swarga) dan dalam penjelmaan yang akan datang (Swarga
Cyuta). Andaikata rahmat melimpah akhirnya mereka dapat menginjak alam Moksa
yaitu kebahagiaan yang kekal, yang menyebabkan roh (Atma) bebas dari
penjelmaan.
3.
Bhakti Marga
/ Bhakti Yoga : menyerahkan diri
dengan tulus kepada Tuhan sebagai seorang poenyembah yang penuh kecintaan.
Bhakti Marga adalah usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan jalan sujud
bakti kepada Tuhan. Dengan sujud dan cinta kepada Tuhan Pelindung dan
Pemelihara semua makhluk, maka Tuhan akan menuntun seorang Bhakta, yakni orang
yang cinta, bakti dan sujud kepada- Nya untuk mencapai kesempurnaan. Dengan
menambah dan berdoa mohon perlindungan dan ampun atas dosa- dosanya yang pernah
dilaksanakan serta mengucap syukur atas perlindungannya, kian hari cinta
baktinya kepada Tuhan makin mendalam hingga Tuhan menampakkan diri (manifest)
di hadapan Bhakta itu. Tuhan memelihara dan melindungi orang yang beriman itu,
supaya hidupnya tetap tenang dan tenteram. Jalan yang utama untuk memupuk
perasaan bakti ialah rajin menyembah Tuhan dengan hati yang tulus ikhlas, seperti
melaksanakan Tri Sandhya yaitu sembahyang tiga kali dalam sehari, pagi, siang,
dan sore hari dan bersembahyang hari suci lainnya.
4.
Karma Marga
/ Karma Yoga : menuju pembebasan dengan
jalan bekerja tanpa mengharapkan hasil. Karma Marga berarti jalan atau usaha
untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan melakukan kebajikan, tiada terikat
oleh nafsu hendak mendapat hasilnya berupa kemasyhuran, kewibawaan, keuntungan,
dan sebagainya, melainkan melakukan kewajiban demi untuk mengabdi, berbuat amal
kebajikan untuk kesejahteraan umat manusia dan sesama makhluk. Selain itu Karma
Marga berhampiran inti ajarannya dengan Bhakti Marga, yaitu mengarahkan segala
usaha, pengabdian kebijaksanaan, amal dan pengorbanan itu bukan dari dirinya
sendiri melainkan dari Tuhan.
Demikianlah tattwa Hindu
Dharma. Tidak terlalu rumit, namun penuh kepastian. Istilah- istilah yang
disebutkan di atas janganlah dianggap sebagai dogma, karena dalam Hindu tidak
ada dogma. Yang ada adalah kata- bantu yang telah disarikan dari sastra dan veda,
oleh para pendahulu kita, agar lebih banyak lagi umat yang mendapatkan
pencerahan, dalam pencarian kebenaran yang hakiki.
SUSILA
Susila merupakan
kerangka dasar Agama Hindu yang kedua setelah filsafat (Tattwa). Susila
memegang peranan penting bagi tata kehidupan manusia sehari- hari. Realitas
hidup bagi seseorang dalam berkomunikasi dengan lingkungannya akan menentukan
sampai di mana kadar budi pekerti yang bersangkutan. la akan memperoleh simpati
dari orang lain manakala dalam pola hidupnya selalu mencerminkan ketegasan
sikap yang diwarnai oleh ulah sikap simpatik yang memegang teguh sendi- sendi
kesusilaan.
Di dalam filsafat
(Tattwa) diuraikan bahwa agama Hindu membimbing manusia untuk mencapai
kesempurnaan hidup seutuhnya, oleh sebab itu ajaran sucinya cenderung kepada
pendidikan sila dan budi pekerti yang luhur, membina umatnya menjadi manusia
susila demi tercapainya kebahagiaan lahir dan batin.
Kata Susila terdiri dari
dua suku kata: "Su" dan "Sila". "Su" berarti
baik, indah, harmonis. "Sila" berarti perilaku, tata laku. Jadi
Susila adalah tingkah laku manusia yang baik terpancar sebagai cermin obyektif
kalbunya dalam mengadakan hubungan dengan lingkungannya.
Pengertian Susila
menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbal balik yang
selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan)
yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih sayang.
Pola hubungan tersebut
adalah berprinsip pada ajaran Tat Twam Asi (Ia adalah engkau) mengandung makna
bahwa hidup segala makhluk sama, menolong orang lain berarti menolong diri
sendiri, dan sebaliknya menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri
sendiri. Jiwa sosial demikian diresapi oleh sinar tuntunan kesucian Tuhan dan
sama sekali bukan atas dasar pamrih kebendaan. Dalam hubungan ajaran susila
beberapa aspek ajaran sebagai upaya penerapannya sehari- hari diuraikan lagi
secara lebih terperinci.
TRI KAYA PARISUDHA
Untuk bisa menjalankan
dharma diperlukan prilaku dasar yang disebut: Tri Kaya Parisuda artinya
tiga gerak perilaku manusia yang harus disucikan. Tri Kaya Parisudha adalah
tiga jenis perbuatan yang merupakan landasan ajaran Etika Agama Hindu yang
dipedomani oleh setiap individu guna mencapai kesempurnaan dan kesucian
hidupnya, meliputi:
1.
Berpikir
yang benar (Manacika) - Satya Hrdaya - satunya pikiran
2.
Berkata yang
benar (Wacika) - Satya Wacana - satunya tutur
3.
Berbuat yang
benar (Kayika) - Satya Laksana - satunya laku
Dari tiap arti kata di
dalamnya, Tri berarti tiga; Kaya bararti Karya atau perbuatan atau kerja atau
prilaku; sedangkan Parisudha berarti "upaya penyucian".Jadi
"Trikaya-Parisudha berarti "upaya pembersihan/penyucian atas tiga
perbuatan atau prilaku kita".
Tri Kaya Parisudha yang
menjadi konsentrasi pembahasan kali ini adalah merupakan salah satu aplikasi
dan perbuatan baik (subha karma). Secara hirarki bermula dan pikiran yang baik
dan benarlah akan mengalir ucapan dan perbuatan yang baik dan benar pula. Jadi
kuncinya adalah pada pikiran, yang dalam pepatah sama dengan “dan telaga yang
jernihlah mengalir air yang jernih pula”. Kalau pikirannya kacau, apalagi
memikirkan yang macam-macam dan bukan-bukan niscaya perkataan dan
perbuatannyapun akan amburadul yang bermuara pada kehancuran dan penderitaan.
CATUR PARAMITA
Pada hakekatnya hanya
dari adanya pikiran yang benar akan menimbulkan perkataan yang benar sehingga
mewujudkan perbuatan yang benar pula. Dengan ungkapan lain adalah satunya
pikiran, perkataan, dan perbuatan dalam Catur Paramita, diantaranya:
1.
Maitri yaitu sifat suka menolong orang lain yang dalam kesusahan
dengan ikhlas
2.
Karuna yaitu sifat kasih sayang dan cinta kepada sesama tanpa
meminta balasan
3.
Mudita yaitu sifat simpatik dan ramah tamah menghormati oang
lain dengan tulus
4.
Upeksa yaitu sifat mawas diri, tepa sarira, bisa menempatkan
diri, rendah hati
PANCA YAMA BRATA
adalah lima jenis
pengekangan diri berdasarkan atas upaya menjauhi larangan agama sebagai norma
kehidupan sebagai berikut:
1.
Ahimsa yaitu Kasih kepada makhluk lain, tidak membunuh atau
menganiaya
2.
Brahmacari yaitu Berguru dengan sungguh- sungguh, tidak melakukan
hubungan kelamin (sanggama) selama menuntut ilmu.
3.
Satya yaitu Setia, pantang ingkar kepada janji
4.
Awyawaharika yaitu Cinta kedamaian, tidak suka bertengkar dan
mengumbar bicara yang tidak bermanfaat
5.
Astenya yaitu Jujur, pantang melakukan pencurian
PANCA NIYAMA BRATA
adalah lima jenis
pengekangan diri berdasarkan atau tunduk (mengikuti) peraturan Dharma yang
telah ditentukan, sebagai berikut:
1.
Akrodha yaitu Tidak dikuasai oleh nafsu kemarahan.
2.
Guru Susrusa yaitu Hormat dan taat kepada guru serta patuh pada
ajaran- ajarannya.
3.
Sauca yaitu Senantiasa menyucikan diri lahir batin.
4.
Aharalagawa yaitu Pengaturan makan (makanan bergizi) dan tidak hidup
berfoya- foya/ boros.
5.
Apramada yaitu Tidak menyombongkan diri dan takabur.
TRI MALA
merupakan tiga jenis
kekotoran dan kebatilan jiwa manusia akibat pengaruh negatif dan nafsu yang
sering tidak dapat terkendalikan dan sangat bertentangan dengan etika
kesusilaan. Trimala patut diwaspadai dan diredam, karena ia akan menghancurkan
hidup, meliputi:
1.
Mithya hrdya yaitu berperasaan dan berpikiran buruk
2.
Mithya
wacana yaitu berkata sombong,
angkuh, tidak menepati janji
3.
Mithya
laksana yaitu berbuat yang curang /
culas / licik (merugikan orang lain)
Apabila Trimala telah
menguasai seluruh hidup manusia timbullah kegelapan (Awidya) mengakibatkan ia
tidak mampu lagi melakukan pertimbangan budi, kegelapan yang mempengaruhi
pandangan hidupnya.
SAD RIPU
adalah enam musuh di
dalam diri manusia yang selalu menggoda, yang mengakibatkan ketidakstabilan
emosi. Apabila tidak mampu menguasainya akan membawa bencana dan kehancuran
total kehidupan manusia. Karena itu Sad Ripu patut dikendalikan dengan budi
susila. Sad Ripu terdiri dari:
1.
Kama yaitu hawa nafsu yang tidak terkendalikan
2.
Lobha yaitu kelobaan (ketamakan), ingin selalu mendapatkan
yang lebih.
3.
Krodha yaitu kemarahan yang melampaui batas (tidak
terkendalikan).
4.
Mada yaitu kemabukan yang membawa kegelapan pikiran.
5.
Moha yaitu kebingungan/ kurang mampu berkonsentrasi sehingga
akibatnya individu tidak dapat menyelesaikan tugas dengan sempurna.
6.
Matsarya yaitu iri hati/ dengki yang menyebabkan permusuhan.
CATUR ASRAMA
Hubungan tata
kemasyarakatan Hindu dibagi menjadi empat tingkat kehidupan yang dikenal dengan
Catur Asrama. Catur Asrama adalah empat lapangan atau tingkatan hidup
manusia atas dasar keharmonisan hidup. Tiap- tiap tingkat kehidupan manusia
diwarnai oleh adanya ciri- ciri tugas kewajiban yang berbeda antara satu masa
(asrama) dengan masa lainnya, tetapi merupakan kesatuan yang tak dapat
dipisahkan. Sebagai contoh adanya perbedaan sifat tugas dan kewajiban seorang
bapak dengan ibu dengan anak- anaknya.
Menurut agama Hindu
pembagian tingkat kehidupan manusia sesuai dengan sistem Catur Asrama, ialah
sebagai berikut:
1.
Brahmacari
Asrama Adalah tingkat masa menuntut
ilmu/masa mencari ilmu. Masa Brahmacari diawali dengan upacara Upanayana dan
diakhiri dengan pengakuan dan pemberian Samawartana (Ijazah).
2.
Grhasta
Asrama Adalah tingkat kehidupan
berumahtangga. Masa Grehasta Asrama ini adalah merupakan tingkatan kedua
setelah Brahmacari Asrama. Dalam memasuki masa Grehasta diawali dengan suatu
upacara yang disebut Wiwaha Samskara (Perkawinan) yang bermakna sebagai
pengesahan secara agama dalam rangka kehidupan berumahtangga (melanjutkan
keturunan, melaksanakan yadnya dan kehidupan sosial lainnya).
3.
Wanaprastha
Asrama Merupakan tingkat kehidupan
ketiga. Dimana berkewajiban untuk menjauhkan diri dari nafsu keduniawian. Pada
masa ini hidupnya diabdikan kepada pengamalan ajaran Dharma. Dalam masa ini
kewajiban kepada keluarga sudah berkurang, melainkan ia mencari dan mendalami
arti hidup yang sebenarnya, aspirasi untuk memperoleh kelepasan/moksa
dipraktekkannya dalam kehidupan sehari- hari.
4.
Sanyasin
Asrama (bhiksuka) Merupakan tingkat
terakhir dari catur asrama, di mana pengaruh dunia sama sekali lepas.
Mengabdikan diri pada nilai-nilai dari keutamaan Dharma dan hakekat hidup yang
benar. Pada tingkatan ini, ini banyak dilakukan kunjungan (Dharma yatra, Tirtha
yatra) ke tempat suci, di mana seluruh sisa hidupnya hanya diserahkan kepada
Sang Pencipta untuk mencapai Moksa
CATUR PURUSA ARTHA
Agama Hindu memberikan
tempat yang utama terhadap ajaran tentang dasar dan tujuan hidup manusia. Dalam
ajaran Agama Hindu ada suatu sloka yang berbunyi: "Moksartham
Jagadhita ya ca iti dharmah", yang berarti bahwa tujuan beragama
adalah untuk mencapai kesejahteraan jasmani dan ketentraman batin (kedamaian
abadi). Ajaran tersebut selanjutnya dijabarkan dalam konsepsi Catur Purusa
Artha atau Catur Warga yang berarti empat dasar dan tujuan hidup manusia,
yang terdiri dari:
1.
Dharma Merupakan kebenaran absolut yang mengarahkan manusia
untuk berbudi pekerti luhur sesuai dengan ajaran agama yang menjadi dasar
hidup. Dharma itulah yang mengatur dan menjamin kebenaran hidup manusia. Keutamaan
dharma sesungguhnya merupakan sumber datangnya kebahagiaan, memberikan
keteguhan budi, dan menjadi dasar dan jiwa dari segala usaha tingkah laku
manusia. kebenaran dan kebajikan, yang menuntun umat manusia untuk mencapai
kebahagiaan dan keselamatan.
2.
Artha adalah benda-benda atau materi yang dapat memenuhi atau
memuaskan kebutuhan hidup manusia. Adalah kekayaan dalam bentuk materi/ benda-
benda duniawi yang merupakan penunjang hidup manusia. Pengadaan dan pemilikan
harta benda sangat mutlak adanya, tetapi yang perlu diingat agar kita jangan
sampai diperbudak oleh nafsu keserakahan yang berakibat mengaburkan wiweka
(pertimbangan rasional) tidak mampu membedakan salah ataupun benar. Nafsu
keserakahan materi melumpuhkan sendi- sendi kehidupan beragama, menghilangkan
kewibawaan. Bahwa artha merupakan unsur sosial ekonomi bersifat tidak kekal
berfungsi selaku penunjang hidup dan bukan tujuan hidup. Artha perlu diamalkan
(dana punia) bagi kepentingan kemanusiaan (fakir miskin, cacat, yatim piatu,
dan lain- lain)
3.
Kama artinya hawa nafsu, keinginan, juga berarti kesenangan.
merupakan keinginan untuk memperoleh kenikmatan (wisaya). Kama berfungsi
sebagai penunjang hidup yang bersifat tidak kekal. Manusia dalam hidup memiliki
kecenderungan untuk memuaskan nafsu, tetapi sebagai makhluk berbudi ia mampu
menilai perilaku mana yang baik dan benar untuk diterapkan. Dengan ungkapan
lain bahwa perilaku yang baik dimaksudkan adalah selarasnya kebutuhan manusia
dengan norma kebenaran yang berlaku.
4.
Moksa berarti kebahagiaan yang tertinggi, pelepasan kebebasan
atau kemerdekaan (kadyatmikan atau Nirwana) manunggalnya hidup dengan Pencipta
(Sang Hyang Widhi Wasa) sebagai tujuan utama, tertinggi, dan terakhir, bebasnya
Atman dan pengaruh maya serta ikatan subha asubha karma (suka tan pawali duka).
CATUR WARNA
Kata Catur Warna
berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata ''Catur" berarti
empat dan kata "warna" yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri)
artinya memilih. Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian
dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma)
seseorang, serta kwalitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan,
pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan
mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian
terkenal dengan istilah Catur Warna itu ialah:
1.
Warna
Brahmana adalah golongan fungsional di
dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam
swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.
2.
Warna
Ksatrya adalah golongan fungsional di
dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam
swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan
negara.
3.
Warna Wesya adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang
setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan
masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain).
4.
Warna Sudra adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang
setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan
Dalam perjalanan
kehidupan di masyarakat dari masa ke masa pelaksanaan sistem Catur Warna
cenderung membaur mengarah kepada sistem yang tertutup yang disebut Catur
Wangsa atau Turunan darah (Wangsa di Bali). Pada hal Catur Warna menunjukkan
pengertian golongan fungsional, sedangkan Catur Wangsa menunjukkan Turunan
darah.
CATUR GURU
Untuk mewujudkan
keserasian, keselarasan dan keseimbangan dalam masyarakat Hindu tidak terlepas
dari disiplin dalam setiap tingkah laku kita sehari- hari lebih- lebih terhadap
catur kang Sinangguh Guru. Kata Guru dalam bahasa Sanskerta berarti berat.
Dalam Agama Hindu ada 4 yang dianggap guru adalah:
1.
Guru
Swadyaya. Tuhan yang Maha Esa
dalam fungsinya sebagai guru sejati maha guru alam semesta atau Sang Hyang
Paramesti guru. Agama dan ilmu pengetahuan dengan segala bentuknya adalah
bersumber dari beliau. SARWAM IDAM KHALUBRAHMAN (segala yang ada tidak lain
dari Brahman). Demikian disebutkan dalam kitab Upanishad
2.
Guru Wisesa. Wisesa dalam bahasa Sanskerta berarti purusa/ Sangkapurusan
yaitu pihak penguasa yang dimaksud adalah Pemerintah. Pemerintah adalah guru
dan masyarakat umum yang berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan Bangsa dan
memberikan kesejahteraan material dan spiritual.
3.
Guru
Pengajian / Guru Parampara. Guru di
sekolah yang telah benar- benar sepenuh hati dan ikhlas mengabdikan diri untuk
mendidik serta mencerdaskan kehidupan Bangsa.
4.
Guru Rupaka Orang yang melahirkan (orang tua), tanpa orang tua kita
tak akan ada oleh karena itu betapa besarnya jasa- jasa orang tua dalam
membimbing putra- putranya untuk melahirkan putra yang baik (suputra).
UPACARA – YADNYA
Yadnya adalah suatu
karya suci yang dilaksanakan dengan ikhlas karena getaran jiwa/ rohani dalam
kehidupan ini berdasarkan dharma, sesuai ajaran sastra suci Hindu yang ada
(Weda). Yadnya dapat pula diartikan memuja, menghormati, berkorban, mengabdi,
berbuat baik (kebajikan), pemberian, dan penyerahan dengan penuh kerelaan
(tulus ikhlas) berupa apa yang dimiliki demi kesejahteraan serta kesempurnaan
hidup bersama dan kemahamuliaan Sang Hyang Widhi Wasa.
Di dalamnya terkandung
nilai- nilai:
1.
Rasa tulus
ikhlas dan kesucian.
2.
Rasa bakti
dan memuja (menghormati) Sang Hyang Widhi Wasa, Dewa, Bhatara, Leluhur, Negara
dan Bangsa, dan kemanusiaan.
3.
Di dalam
pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan masing- masing menurut tempat
(desa), waktu (kala), dan keadaan (patra).
4.
Suatu ajaran
dan Catur Weda yang merupakan sumber ilmu pengetahuan suci dan kebenaran yang
abadi.
Konsep keseimbangan
TRI HITA KARANA
Istilah Tri Hita Karana
pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu diselenggarakan
Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan
Dwijendra Denpasar. Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat
Hindu akan dharmanya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju
masyarakat sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah
Tri Hita Karana ini berkembang, meluas, dan memasyarakat.
Secara leksikal Tri Hita
Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera,
Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga
penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara:
1.
Manusia
dengan Tuhannya (Parhyangan)
2.
Manusia
dengan alam lingkungannya (Palemahan)
3.
Manusia
dengan sesamanya (Pawongan)
Unsur- unsur Tri Hita
Karana ini meliputi:
1.
Sanghyang
Jagatkarana. (tuhan)
2.
Bhuana (alam
dan lingkungan)
3.
Manusia
Unsur- unsur Tri Hita
Karana itu terdapat dalam kitab suci Bagawad Gita (III.10), berbunyi sebagai
berikut:
Sahayajnah
prajah sristwa pura waca prajapatih anena prasawisya dhiwan esa wo'stiwistah
kamadhuk
Artinya :
Pada jaman dahulu
Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: dengan ini engkau
akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.
Dalam sloka
Bhagavad-Gita tersebut ada nampak tiga unsur yang saling beryadnya untuk
mendapatkan yaitu terdiri dari:
•
Prajapati =
Tuhan Yang Maha Esa
•
Praja =
Manusia
Penerapan Tri Hita
Karana.
Penerapan Tri Hita
Karana dalam kehidupan umat Hindu sebagai berikut
1.
Hubungan
antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa yadnya.
2.
Hubungan
manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta yadnya.
3.
Hubungan
antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra, Resi, Manusia Yadnya.
Penerapan Tri Hita
Karana dalam kehidupan umat Hindu di Bali dapat dijumpai dalam perwujudan:
1.
Parhyangan.
yaitu: Parahyangan untuk di tingkat daerah berupa Kahyangan Jagat,Di tingkat
desa adat berupa Kahyangan desa atau Kahyangan Tiga,Di tingkat keluarga berupa
pemerajan atau sanggah.
2.
Pelemahan
yaitu Pelemahan di tingkat daerah meliputi wilayah Propinsi Bali, Di tingkat
desa adat meliputi "asengken" bale agung, Di tingkat keluarga
meliputi pekarangan perumahan.
3.
Pawongan
yaitu Pawongan untuk di tingkat daerah meliputi umat Hindu di Bali, Untuk di
desa adat meliputi krama desa adat, Tingkat keluarga meliputi seluruh anggota
keluarga
Dengan menerapkan Tri
Hita Karana secara mantap, kreatif dan dinamis akan terwujudlah kehidupan
harmonis yang meliputi pembangunan manusia seutuhnya yang astiti bakti terhadap
Sanghyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada kelestarian lingkungan
serta rukun dan damai dengan sesamanya
Konsep toleransi dan ketuhanan
Agama Hindu memiliki
ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran, yang mana di dalam
kitabWeda dalam salah satu baitnya memuat kalimat berikut:
Tat Twam Asi – (Candayoga Upanisad)
ia adalah kamu, saya
adalah kamu, dan semua makhluk adalah sama
Ekam eva advityam Brahma - (Ch.U.IV.2.1)
Tuhan hanya satu tidak
ada yang kedua.
Eko Narayanad na dvityo
Sti kaccit - (Weda Sanggraha)
Hanya satu Tuhan sama
sekali tidak ada duanya.
Bhineka Tungal Ika, tan
hana Darma mangrwa - (Lontar Sutasoma)
Berbeda-beda tetapi satu
tidak ada Dharma yang dua.
Ekam Sat Vipraaha
Bahudhaa Vadanti —Rg Weda (Buku I, Gita
CLXIV, Bait 46)
Hanya ada satu kebenaran
tetapi para orang pandai menyebut-Nya dengan banyak nama.
Ye yathā mām prapadyante
tāms tathaiva bhajāmy aham, mama vartmānuvartante manusyāh pārtha sarvaśah - (Bhagavad Gītā, 4.11)
Jalan mana pun yang
ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang
mencari-Ku, dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)
Yo yo yām yām tanum
bhaktah śraddhayārcitum icchati, tasya tasyācalām śraddhām tām eva vidadhāmy
aham - (Bhagavad Gītā, 7.21)
Kepercayaan apapun yang
ingin dipeluk seseorang, Aku perlakukan mereka sama dan Ku-berikan berkah yang
setimpal supaya ia lebih mantap
ye ‘py
anya-devatā-bhaktā yajante śraddhayānvitāḥ, te ‘pi mām
eva kaunteya yajanty avidhi-pūrvakam -
(Bhagavad Gītā, IX.23)
Orang-orang yang
menyembah Dewa-Dewa dengan penuh keyakinannya, sesungguhnya hanya menyembah-Ku,
tetapi mereka melakukannya, dengan cara yang keliru, wahai putera Kunti
(Arjuna)
Karena Tuhan tidak terjangkau
oleh pikiran, maka orang membayangkan bermacam-macam sesuai dengan
kemampuannya. Tuhan yang tunggal (Esa) itu dipanggilnya dengan banyak nama
sesuai dengan fungsinya. Ia dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai
pemelihara dan Shiwa sebagai pemralina. Banyak lagi panggilannya yang lain. Ia
Maha Tahu, berada di mana-mana. Karena itu tak ada apapun yang dapat kita
sembunyikan dihadapan-Nya. Orang-orang menyembah-Nya dengan bermacam-macam cara
pada tempat yang berbeda-beda. Kepada-Nyalah orang menyerahkan diri, mohon
perlindungan dan petunjuk-Nya agar dia menemukan jalan terang dalam mengarungi
hidup ini.
tambahan dari internet lainnya:
Organe de connaissance (jñānendriya)
|
Objet de perception (tanmātra)
|
Élément grossier (mahābhūta)
|
śrotra (oreille)
|
śabda (son)
|
ākāśa (espace
ou éther)
|
tvak (peau)
|
sparśa (toucher ou
contact)
|
vāyu (air)
|
cakṣus (œil)
|
rūpa (forme)
|
tejas (feu)
|
jihvā (langue)
|
rasa (goût ou saveur)
|
ap (eau)
|
ghrāṇa (nez)
|
gandha (odeur)
|
pṛthivī (terre)
|
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire