vendredi 24 octobre 2014

Peranan Awig-awig dalam Penyelesaian Sengketa Adat di Bali

texte di copy-paste dari aslinya 

  Peranan Awig-awig
dalam Penyelesaian Sengketa Adat di Bali[1]
No.
Isi Buku
Halaman
1
Purwa Kata
-
2
Piteket
2
3
Imba Awig-awig Desa Adat
3
4
Sara Citta
3
5
Sarga I Aran Lan Palemahan
3
6
Sarga II Dasar lan Tetujon
4
7
Sarga III Wewidangan lan Teterapan
4
8
Sarga IV Indik Prajuru
5
9
Sarga V Indik Pekraman ( A dan B)
7
10
Sarga VI Indik Paruman
10
11
Sarga VII Indik Kulkul
12
12
Sarga VIII Leluputan
13
13
Sarga IX Indik Karang
13
14
Sarga X Indik Kahyangan
14
15
Sarga XI Indik Tata Trepti Pawongan
16
16
Sarga XII Indik Ngerorod/Ngerangkat
17
17
Sarga XIII Indik Pewarangan miwah pakula-wargan
18
18
Sarga XIV Indik Kawikon/Guru Loka
20
19
Sarga XVIndik Kasucian/Kasukertan Desa
22
20
Sarga XVI Indik Tunon/Setra miwah Atiwa-tiwa
23
21
Sarga XVII Indik Dusta miwah Bhaya
24
22
Sarga XVIII Indik Wewalungan
25
23
Sarga XIX Indik Penyanggran Banjar
26
24
Sarga XX Indik Wicara
27
25
Sarga XXI Indik Pamidanda
28
26
Sarga XXII Indik Rerampagan
29
27
Sarga XXIII Indik Perarem miwah pasuara
29
28
Sarga XIV Indik Pamuput
30
29
Kutipan Bab VI UUD pasal 18 (penjelasan Bag. II)
32

  1. Kahyangan maka panyiwinnya : kalih
  1. Dharma – Prewretinnya nyanggra kasukertan S.H. Agama pamekas ipun, manut dresta.
MURDHA – CITTA 


PRATAMAS SARGAH
ARAN LAN WEWIDANGAN DESA

DWITYAS SARGAH
PATITIS LAN PAMIKUKUH

TRITYAS SARGAH     
SUKERTA TATA PAWONGAN

                                
Palet 1 Indik Krama


Palet 2 Indik Prajuru Miwah Panglingsir Desa


Palet 3 Indik Kulkul


Palet 4 Indik Paruman


Palet 5 Indik Druwen Desa


Palet 6 Penyanggran Banjar


Palet 7 Kasukertan Pakeluargan


Kaping 1 Indik Pawiwahan


Kaping 2 Indik Nyapian


Kaping 3 Indik Sentana


Kaping 4 Indik Warisan

CATHURTAS SARGAH
SUKERTA TATA PALEMAHAN


Palet 1 Indik Telajakan Desa


Palet 2 Karang, Tegal lan Carik


Palet 3 Indik Wewangunan


Palet 4 Indik Wewalungan


Palet 5 Indik Pepayonan


Palet 6 Indik Setra

PANCAMAS SARGAH
SUKERTA TATA PARHYANGAN


Palet 1 Indik Kahyangan Desa


Palet 2 Indik Pemangku
Palet 3 Indik Kasukertan Kahyangan
Palet 4 Indik Panca Yadnya


Kaping 1 Dewa Yadnya


Kaping 2 Manusa Yadnya


Kaping 3 Rsi Yadnya


Kaping 4 Pitra Yadnya


Kaping 5 Bhuta Yadnya

SASTHAS SARGAH
BHAYA, WICARA LAN PAMIDANDA


Palet 1 Indik Bhaya


Palet 2 Indik Wicara


Palet 3 Indik Pamidanda

SAPTAMAS SARGAH
NGUWAH-NGUWUHIN AWIG-AWIG

ASTAMAS SARGAH
SAMAPTA



Wayan P. Windia[2]


Pendahuluan
Makalah berjudul  “Peranan Awig-awig dalam Penyelesaian Sengketa Adat di Bali” mencoba menemukan jawab atas pokok permasalahan “bagaimanakah  peranan awig-awig desa pakraman dalam penyelesaian sengketa adat di Bali?” Untuk menemukan jawaban yang memadai atas pertanyaan tersebut, ada dua hal yang patut diketahui lebih awal yaitu “sengketa adat” dan “awig-awig desa pakraman”. Itu sebabnya uraian makalah ini diawali dengan pembahasan tentang sengketa adat di desa pakraman, dilanjutkan dengan awig-awig desa pakraman. Sesudah itu barulah dibahas tentang peranan awig-awig bagi desa pakraman dan bagian terakhir disampaikan beberapa saran.
Jawaban yang berhasil ditemukan, diharapkan bermanfaat bagi kepentingan desa pakraman dalam usaha meningkatkan peran dan fungsi awig-awig sebagai salah satu sarana pengendalian sosial dan juga memperkaya kasanah ilmu hukum adat Bali. Sementara permasalahan lain yang muncul serangkaian dengan pembahasan pokok permasalahan, diharapkan dapat merangsang peserta seminar untuk mendikusikannya secara lebih mendalam, guna menemukan jawaban yang bermanfaat bagi kepentingan praktis maupun teoritis.

Sengketa Adat di Desa Pakraman
Dalam kepustakaan hukum adat, belum ada sebutan seragam tentang perbuatan menyimpang dengan norma yang berlaku dan menimbulkan permasalahan dalam masyarakat yang bersangkutan. Ada yang menggunakan istilah ”pelanggaran adat”, ada yang menyebutnya ”adat delict” atau ”delik adat”,[3] dan banyak juga yang menyebutnya “konflik adat”.[4]
Penggunaan istilah-istilah di atas, kurang lasim dikenal dalam masyarakat hukum adat di Bali (desa adat atau desa pakraman).  Kalangan intelektual desa pakraman menyebut ”pelanggaran adat” sebagai  parilaksana nenten patut (perbuatan tidak terpuji) sedangkan dalam awig-awig tertulis, umumnya digunakan istilah tan satinut ring daging awig-awig (tidak sesuai dengan awig-awig). Untuk praktisnya dalam penulisan, saya menggunakan istilah ”pelanggaran adat” guna menyebut  parilaksana nenten patut atau tan satinut ring daging awig-awig. Dimaksud dengan pelanggaran adat  adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan norma agama Hindu dan/atau kesepakatan (pasikian pasobayan) yang dituangkan dalam bentuk awig-awig dan perarem tertulis maupun tidak tertulis, yang menimbulkan ketidakharmonisan alam nyata (sekala) maupun alam gaib (niskala), sehingga perlu dilakukan ”upaya tertentu”, untuk mengembalikan keharmonisan dalam masyarakat yang bersangkutan.
Ketidakseragaman sebutan juga tampak dalam hubungan dengan cara menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul setelah terjadinya  pelanggaran adat di desa pakraman.  Ada yang menyebutnya ”sengketa adat”, ”perkara adat” dan banyak juga yang menyebutnya ”kasus adat”.[5] Sementara Ketut Sudantra, seorang dosen Hukum Adat Bali di FH Unud,  menggunakan istilah ”perkara” sebagai terjemahan dari wicara, sebuah istilah yang umum digunakan dalam awig-awig tertulis.[6] ”Upaya tertentu” yang dilakukan untuk mengembalikan keharmonisan dalam masyarakat, dikenal dengan istilah danda atau pamidanda (sanksi adat).
Seperti halnya Sudantra, saya juga menggunakan istilah wicara, hanya saja, terjemahannya bukan ”perkara”, melainkan ”perkara adat”. Istilah ini dipilih karena di dalamnya terkandung pengertian ”pelanggaran adat” dan ”persengketaan adat”  atau apa yang oleh kalangan jurnalis disebut ”konflik adat” dan  ”kasus adat”. Selain itu, istilah wicara juga sesuai dengan istilah yang tercantum dalam awig-awig tertulis desa pakraman. Dimaksud  wicara (perkara adat) adalah  permasalahan yang muncul antarpenduduk di desa pakraman atau antara penduduk dengan desa pakraman, karena adanya pelanggaran adat. Dalam awig-awig tertulis ”perkara adat” dan ”sanksi adat” ditempatkan dalam satu Sarga (Bab) berjudul  Wicara lan Pamidanda.
Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali, Nomor: 050/Kep/Psm-1/MDP Bali/III/2006 tentang Hasil-hasil Pasamuhan Agung I MDP Bali tanggal 3 Maret 2006, mengelompokkan penduduk Bali menjadi tiga, yaitu: krama desa (penduduk beragama Hindu dan mipil atau tercatat sebagai anggota di desa pakraman tempatnya berdomisili); krama tamiu (penduduk yang beragama Hindu dan tidak mipil atau tidak tercatat sebagai anggota di desa pakraman tempatnya berdomisili); dan tamiu (penduduk non-Hindu dan bukan anggota desa pakraman).
Berdasarkan pengertian pelanggaran adat dan penduduk Bali seperti di atas, saya berpendapat, setiap penduduk Bali berpeluang melakukan pelanggaran adat (parilaksana nenten satinut ring daging awig-awig). Pertanyaannya, mungkinkah itu dijadikan wicara dan dikenakan danda atas nama mengembalikan keharmonisan sekala lan niskala?  

Awig-awig Desa Pakraman
Salah satu perangkat hukum yang digunakan untuk mengatur tatanan kehidupan desa pakraman dari jaman dulu hingga kini adalah awig-awig atau disebut dengan nama lain tetapi fungsinya sama.[7] Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau krama banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama di desa pakraman/banjar  pakraman masing-masing. (Pasal 1 nomor urut 11, Perda Prov. Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman).[8]  Dengan demikian, awig-awig memiliki peranan yang cukup strategis dalam menciptakan kedamaian (kasukertan) desa. Walaupun demikian, pada umumnya awig-awig itu tidak tertulis dan kalaupun ada yang ditulis, tetapi belum tertuangkan dalam sistimatika yang baik, seperti dapat diketahui dari awig-awig tertulis Desa Adat Bungaya, Kabupaten Karangasem. (Lihat lampiran 1).
Usaha penulisan awig-awig dengan sistimatika yang relatif bagus, dimulai sejak adanya seminar Hukum Adat I, yang diselenggarakan oleh FH Unud tanggal 8-9 September 1969,  bekerja sama dengan  Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Contoh substansi dan sistimatika awig-awig pada tahap awal dimulainya usaha penulisan awig-awig sesudah seminar tersebut, justru dibuat oleh Jawatan Agama Hindu dan Budha Propinsi Bali. (Lihat lampiran 2).
Berbicara tentang peranan awig-awig dalam penyelesaian sengketa adat, berarti berbicara tentang desa adat atau desa pakraman, karena awig-awig dibuat untuk mengatur kehidupan penduduk desa pakraman.[9] Sulit dibayangkan pembicaraan tentang awig-awig desa pakraman dapat dilakukan dengan tuntas, tanpa memahami ”saudaranya” yang dikenal dengan ”desa dinas”, sebab, kalau dilihat dari keadaan penduduk dan wilayahnya, kedua desa yang ada di Prov. Bali, keberadaannya tidak selalu sejalan. Ada desa pakraman yang luas wilayah dan jumlah penduduknya persis sama dengan desa dinas. Ada satu desa dinas terdiri dari bebrapa desa pakraman, ada satu desa pakraman terdiri dari beberapa desa dinas, dan adakalanya juga satu desa dinas terdiri dari beberapa desa pakraman, salah satu banjarnya masuk menjadi bagian dari desa pakraman lain yang juga ada di desa dinas yang lain pula.[10]
Berdasarkan variasi keadaan kedua desa seperti dikemukakan di atas, semakin menguatkan hipotesa bahwa setiap penduduk Bali berpeluang melakukan pelanggaran adat (parilaksana nenten patut atau tan satinut ring daging awig-awig). Tetapi “tangan” awig-awig tidak menjangkau ketiga golongan penduduk Bali seperti telah dikemukakan di atas. Inilah salah satu kelemahan dari awig-awig desa pakraman. Awig-awig  lebih banyak mengatur kehidupan internal desa pakraman, terutama krama desa, dan nyaris tidak menyentuh kehidupan krama tamiu dan tamiu di desa pakraman. Kalaupun ada, aturannya sangat sumir dan biasanya dituangkan dalam bentuk perarem, dengan tingkat varisasi yang tinggi. Dalam arti, masing-masing desa pakraman memiliki perarem tentang krama tamiu dan tamiu, yang disusun berdasarkan semangat desa mawacara (kebiasaan dan kesepakatan desa setempat), sehingga terbuka peluang adanya kerancuan yang cendrung merugikan krama tamiu dan tamiu. Kecedrungan adanya kerancuan dalam merumuskan perarem tentang krama tamiu dan tamiu sangat terbuka, karena perarem dibuat tanpa pendamping, baik pendamping ahli maupun dari Pemkab atau Pemprov. Bali. Dibandingkan pererem tertulis, sistimatika dan substansi awig-awig tertulis relatif lebih baik karena dibuat dengan sistem dan format yang jelas, baik mengenai pendampingan pada waktu menyusunnya, maupun kewajiban yang harus dilaksanakan setelah awig-awig selesai ditulis, seperti pelaksanaan upacara pasupati dan pencatatan awig-awig tersebut pada Bagian Hukum, Pemerintah Kabupaten.[11]
 Beberapa kelemahan lainnya seperti, penentuan batas desa pakraman secara sepihak pada waktu menlis awig-awig dan ketidakjelasan tata cara melaksanakan awig-awig (semacam hukum acara) dalam menyelesaikan perkara adat yang muncul karena adanya pelanggaran adat. Hal lainnya yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah ketentuan mengenai palemahan (tatanan pengelolaan lingkungan alam) desa pakraman. Contoh (imba) sistimatika dan substansi awig-awig yang selama ini dijadikan pegangan dalam menulis awig-awig desa pakraman adalah “Pedoman/Teknis Penyusunan Awig-awig dan Keputusan Desa Adat”, yang dikeluarkan oleh Biro Hukum dan HAM Setda Propinsi Bali Tahun Anggaran 2002”, sebagai panduan. Pedoman ini menitikberatkan  pada Sukerta Tata Agama (tatanan kehidupan beragama sesuai ajaran agama Hindu) dan Sukerta Tata Pawongan (tatanan kehidupan sebagai warga desa pakraman, kurang memperhatikan Sukerta Tata Palemahan (tatanan pekelolaan lingkungan alam). (Lebih jauh lihat lampiran 3). Itu sebabkan saya tawarkan agar buku pedoman tersebut disempurnakan. Tujuannya, menyesuaikan sistimatika dan substansi awig-awig dengan ketiga unsur desa pakraman dan perkembangan masyarakat, sehingga lebih menjamin terwujudnya suasana kehidupan internal dan eksternal desa pakraman yang damai dan sejuk. Saya dan Ketut Sudantra menawarkan, sistimatika awig-awig seperti tergambar pada lampiran 4.[12]
Apabila tawaran ini disepakati, dituntut adanya  prajuru (perangkat pimpinan) desa pakraman, kemauan politik serta ahli desa pakraman yang mau bekerja lebih serius dalam menata Bali ke depan. Tidak sulit menemukan prajuru desa pakraman, karena masing-masing desa pakraman memilikinya. Kemaupun politik agak susah didapat, disebabkan ketidakkonsistenan sikap pengambil keputusan politik, menjelang menempati jabatan politik, sesudah berada pada jabatan politik dan pada akhir masa jabatan politik. Orang yang ahli (duweg) tentang desa pakraman dan tekun (seleg) mengamati perkembangan Bali dari berbagai perspektif, juga lumayan banyak. Sayangnya, kebanyakan diantara mereka berasal dari luar negeri. Dari dalam negeri sebenarnya juga ada duweg, tetapi tidak banyak yang benar-benar seleg menekuni awig-awig sebagai bidang keahliannya. Kenyataan ini antara lain disebabkan karena kurangnya penghargaan yang diberikan kepada mereka, dibandingkan dengan bidang keahlian yang lainnya. Ahli desa pakraman, ahli awig-awig dan ahli hukum adat, senantiasa dituntut memiliki kesadaran yang tinggi untuk siap ngayah (mengabdi), sementara tuntutan serupa jarang dialamatkan kepada bidang keahlian yang lainnya, seperti ahli hukum bisnis, dokter, arsitek, notaris.  Saya berpendapat, penghargaan yang sama atas pemikiran orang-orang yang duweg, seleg dan urati (peduli) terhadap awig-awig dan desa pakraman, penting dilakukan apabila kita ingin memajukan desa pakraman dan mewujudkan suasana kehidupan internal desa pakraman yang damai dan sejuk,  serta terbangun relasi yang harmonis antara desa pakraman di satu pihak dengan  desa dinas dan institusi di luar desa pakraman di pihak yang lain. 

Peranan Awig-awig dan Saran
Sesudah mengikuti penjelasan tentang pelanggaran adat, perkara adat dan awig-awig desa pakraman seperti dikemukakan di atas, dapat dikemukakan bahwa awig-awig memiliki peran penting dalam usaha memelihara ketertiban (kasukertan) desa pakraman, disamping prajuru, krama desa pakraman dan perangkat penegak hukum yang lainnya.
Terlepas dari peran tersebut, perlu disadari bahwa awig-awig memiliki keterbatasan dan kelemahan, antara lain: kerancuan aturan tentang krama tamiu dan tamiu, ketidakjelasan aturan dalam hal terjadi perkara adat dan pengenaan sanksi adat, belum adanya tata cara dalam menentukan batas desa pakraman,  sistimatika dan substansinya yang belum sepenuhnya mencerminkan unsur-unsur desa pakraman, dan belum tumbuhnya kesadaran kolektif untuk bersikap konsisten dan konsekwen  dalam “menghargai” berbagai hal terkait dengan keberadaan awig-awig dan desa pakraman.
Agar peran awig-awig dapat berfungsi maksimal sebagai salah satu sarana penjaga ketertiban (kasukertan) desa pakraman,, perlu diupayakan adanya perbaikan atau penyempurnaan terhadap beberapa kelemahan tersebut di atas. Untuk itu, pendapat saya sebagai berikut.
1.     Kerancuan perarem tentang krama tamiu dan tamiu,  cendrung membingungkan berbagai kalangan. Untuk menghindari hal itu, perlu adanya kesepakatan bersama (pasikian pasubayan) yang dituangkan dalam keputusan Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali tentang tanggung jawab (swadharma) bagi krama desa, krama tamiu dan tamiu terhadap desa pakraman, yang berlaku sama di seluruh Bali (Bali mawacara), melengkapi kewenangan desa pakraman membuat aturan sendiri ssuai kondisi objektif desa pakraman setempat (desa mawacara).
2.     Batas desa pakraman yang ditentukan secara sepihak, menyimpan potensi konflik antara desa pakraman bertetangga. Oleh karena itu, penentuan batas desa sepatutnya didasarkan atas kesepakatan dua atau beberapa desa pakraman bertetangga yang didasari atas asas pasuwitran nyatur desa (asas bertetangga baik). Untuk itu, perlu disusun buku pandungan tentang tata cara menentukan batas desa pakraman.
3.     Adanya ketidakjelasan aturan teknis pelaksanaan awig-awig dalam hal terjadi perkara adat terutama terkait dengan pengenaan sanksi adat, dan ketidaksesuaian sistimatika dan substnsi awig-awig dengan unsur-unsur desa pakraman, dapat diatasi dengan mengadakan lokakarya yang membahas secara khusus tentang dua hal ini. Atau, sempurnakan sistimatika awig-awig, seperti tertuang dalam lampiran 4, sekadar sebagai penawar.
4.     Memang tidak mudah menumbuhkan kesadaran kolektif untuk bersikap konsisten dan konsekwen dalam “menghargai” berbagai hal terkait dengan keberadaan awig-awig dan desa pakraman. Untuk itu perlu dibangun ”koalisi” antara tokoh adat, ahli hukum adat Bali, MDP Bali, Pemprov. Bali dan Pemkab. se-Bali guna memikirkan, mendiskusikan, memplublikasikan secara terus menerus permasalahan ini, sampai tumbuh kesadaran kolektif untuk menempatkan desa pakraman dan orang-orang yang  duweg, seleg lan urati terhadap kehidupan desa pakraman pada tempat yang pantas (bebenehan).

Perlu ditegaskan bahwa seminar Hukum Adat II yang dilaksanakan oleh FH Unud pada hari ini, merupakan seminar desa pakraman ketiga yang digelar serangkaian dengan Dies Natalis Unud, 29 Sept 2010. Seminar pertama tentang Lembaga Perkreditan Desa (LPD), diselenggarakan oleh FH Unud tanggal 15 Agustus 2010, bertempat di Inna Bali Hotel, yang dilanjutkan dengan lokakarya LPD yang diselenggarakan oleh MDP Bali, tanggal 26 Agustus 2010, bertempat di Hotel Nikki. Seminar kedua tentang hubungan desa pakraman dengan desa dinas yang diselenggarakan panitia Dies Natalis Unud tanggal 18 Sept, bertempat di FK Unud. Dalam waktu dekat ini, MDP Bali juga akan menggelar lokakarya tentang wanita dan anak-anak dalam Hukum Adat Bali. Hasil ketiga seminar ini lokakarya tersebut, selanjutnya akan disosialisasikan dan dibahas kembali dalam Pesamuan Agung MDP Bali, yang akan diselenggarakan tanggal 15 Oktober mendatang. Hasil Pesamuan Agung yang diikuti oleh unsur prajuru desa dan jajaran MDP Bali, unsur pemerintah dan kalangan intelektual,  baik berupa keputusan maupun rekomendasi, mengikat seluruh desa pakraman di Bali dan menjadi acuan bagi pemerintah, pengusaha serta kalangan intelektual dalam melaksanakan tanggung jawabnya (swadharma) masing-masing Oleh karena itu disarankan kepada panitia seminar khususnya tim perumus, untuk  membuat rumusan hasil seminar sedemikian rupa sehingga mudah dimengerti sehingga berpeluang untuk diadopsi menjadi keputusan atau rekomendasi Paruman Agung MDP Bali.
Dengan demikian hasil seminar Hukum Adat II ini bukan saja memberi manfaat bagi masyarakat ilmiah untuk melatih kepekaan berpikir ilmiah, tetapi juga bermanfaat bagi desa pakraman, MDP Bali, penentu keputusan politik, dan pihak lain yang peduli terhadap perkembangan Bali ke depan, seperti halnya seminar serupa yang pernah digelar oleh FH Unud 40 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 8 dan 9 September 1969.
            -o0o-           





Daftar Pustaka
Agung, Ida Anak Agung Gde, 1989. Bali pada Abad XIX. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Astiti, TIP, 1997. Pemberdayaan Hakim Perdamaian Desa dalam Menyelesaikan Kasus Adat di Luar Pengadilan. Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat, Fakultas Hukum Universitas Udayana, tanggal 30 Arpil1997. 
Bushar Muhammad, 2000. Pokok-pokok Hukum Adat. Cetakan ketujuh. Jakarta, Pradnya Paramita.
Dherana, Tjok Raka, 1975. Pokok-pokok Organisasi Kemasyarakatan Adat di Bali. Denpasar: Fakultas Hukum & Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana.
_____________, 1995. Desa Adat dan Awig-awig dalam Struktur Pemerintahan Bali. Denpasar: Upada Sastra.
Djawatan Agama Hindu dan Budha Propinsi Bali, 1973. “ Tata Nuntun Miwah Midabdabin Desa Adat ring Bali”.
Fakultas Hukum & PengetahuanMasyarakat Universitas Udayana, Denpasar, 1970. “Pembinaan Awig-awig Desa dalam Tertib Masyarakat”.
Nordhold, Henk Schulte, 1991. State, Village, and Ritual in Bali. A Historical Perspektive. Amsterdam: VU University Press.
_____________, 2006. The Spell of Power. Sejarah Politik Bali 1650 – 1940, penerjemah Putra Adnyana, Denpasar, Pustaka Larasan.
Vickers, Adrian, 1996. Bali a Paradise Created. Periplus Editions (HK) Ltd.
Hilman Hadkusuma,  1984. Hukum Pidana Adat. Bandung, Alumni.
Pitana, I Gde,  1994. “Desa Adat dalam Arus Medernisasi” dalam Pitana (ed) Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar, Bali Post.
Robinson, Geoffrey, 1995. The Dark Side of Paradise. Political Violence in Bali. London: Cornel University Press, terjemahan Arief B. Prasetyo, Cetakan 2006, Yogyakarta, PT.LKiS.
Soepomo, R. 2002. Sistem Hukum di Idonesia Sebelum Perang Dunia II. Cetakan keenambelas, Jakarta, PT Pradnya Paramita.
Sudantra, I Ketut dan Ayu Putu Nantri, 2003. “Identifikasi Pola Penyelesian Kasus Adat Menurut Awig-awig Desa Adat di Kabupaten Badung”. Laporan Penelitian Pusat Studi Hukum Adat, Universitas Udayana, Denpasar.
Sudantra, I Ketut, 2007. “Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam Kondisi Dualisme Pemeritahan Desa di Bali”.  Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.
Ter Haar. 1991. Azas-azas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.
Vickers, Adrian, 1996. Bali A Paradise Created. Periplus Editions (HK) Ltd.   
Warren, Carol, 1993. Adat and Dinas. Balinese Community in The Indonesian State. Oxford University Press, Sangapure New York.
Widnyana, I Made, 1993. Kapita Selekta Hukum Pidana Adat. Bandung: Eresco.
Windia, Wayan P. Dan Ketut Sudantra, 2006. Pengantar Hukum Adat Bali. Lembaga Dokumentasi dan Publikasi FH Unud.
Windia, Wayan P, 2008. Menyoal Awig-awig Desa Pakraman. Lembaga Dokumentasi dan Publikasi FH Unud.

Lampiran 1


AWIG-AWIG DESA ADAT BUNGAYA

(1b) Pangeling-ngeling sitan dasaring Bungahya, ulih ring kuna-kuna, wus katama katemu antuk ipun, ika kawitaning hatur I Gusti Madhe Karangasem, I Gusti Madhe Karangasem, mawitang hatur ring Ida I Gusti Ngurah Madhe Karangasem, kahyun I Gusti Ngurah Mahe Karangasem, kalih I Gusti Madhe Karangasem, angunggahang ring likita, lwiring sita ika, yan hana karusak-rusakan kahyangan idane ring Bungahya, ne awasta ring dalem, ring Dulum Yeh, ring Bale Agung, ring Manukan, ring Paswikan, ring Pamaksan Ujung, ring Jungutan, muwah yang karusak--/-an.

(2a) margga, peken, kayehane ring pisaga, ika pada kawumumang antuk i keliyang desa muwah prebekel, kliyang tempek, genahe awumuman, ring Bale Agunge ring Bungahya, tingkah wumuman ika, yen ken kang yogya pinahayu, yan wus puput pangrawose ring pawumuman, ika raris kalinyang desa ika angorahang ring kliyang banjare sane mabanjar ring Bungahya, rawuhing Gahumung, Papung, Abyan Sowan, kacicang sami rawuhing sasebun ipun, tkaning wwang tan dok desa sami tan hana luput, lyanan ring brahmana, muwah yan hana kawulaning -/- brahmana, yan ya makrama.

(2b) mabanten mangaturang sapuja wali ring Ida Bhatara, alinggih ring kahyangan kocap ring arep, teka wenang antuk kaliyang desa ika angrabin angajak sareng mahayu kahyangan-ka, saika lwire ne pacang kawumumang krawosang pada mahayu, mwang nandangin mamargyang rawuhing sapuja waline, yan hana tan hanut sinalih tunggal, tan anindihang sakadi pasrabe, wenang ya kasepekang antuk kaliyang desa, prebekel, kliyang tempek, rawuhing kawulane alit, ne madesa mabanjar ring Bungahya sami, ra--/-

(3a) wuning ka Gumung, Papung, Abyan Sowan, Kacicang, tingkahe anepekang janmane tan hanut sakadi ne kocap ring arep, wenang ya tan kawehan ngambil toya, maka inum, maka pandus, rawuhing sapakurenannya ring bumyan Bungahya, rawuh ring Gahumung, Papung, Abyan Sowan, Kacicang, tur tan kawehan lumaku adol atuku ring pekene ring Bungahya, muwah tan kawehan iya, mangelingin mababanjaran, muwah tan kawehan iya, mangelingin mababanjaran ring Bungahya, muwah tan kawehan iya mabanten manungsung kahyangane -/- kocap ring arep, yan hana jadma –

(3b) ne, wus kasepekang sakadi kocaping arep, wetu hya maksih amurugang, amrgya angawenangakene tan wenang, wenang kadhanda gung artha, 12250, prasiddha ya amurug titi swaran ida sang angawa bhumi, dhanda ika kang kocap ring arep, sawungkul mantuk ring i wong desa, yan ya nora/panawuran dhanda, ring penganane nawur dhanda, wenang ya kakesahang antuk i desa Bungahya, yan / maya nora mamargi kesah, wenang antuk i wong desa am bhasta, tur anggenahang ring panepi, ring sawawengkon ida sang amawa -/- bhumi, yan ya tan arep mabhasta, we-


Halaman pertama
(12a) sami, manedunang kliyang sami, sane mamecikang kahyangan Ida Bhtara, sami dane matutang satingkah dhanda ika, yan wenten puja caru ring Bungahya, mawawedalan raab ambengan, muwah sami yadin makryya, salwiring karyya de pacang pahayu, muwah pacang becikang, pacang pahayu, yan dane i banjar tan anut mawawedalan, ya dhandae, jinah, 1000, yan rangkungan atengah banjar, dhandane jinah, 300, yan atengaha, muwah atempek, dhandane, -/- jinah,

(12b) 5000, mantuk ka banjar dane, wawedalan dane muwah makaryya salwiring karyya dane mamuputang, yan tan puput antuk dane, malih dane dhanda kadi kocaping arep, yan banjar abanjar salwiring wawedalan, muwah makaryya arepe bisekaang, dhanda dane, jinah, 300, mantuk ka desa sami, yan tan arep anawur dhanda, desa ika amarggyang kadi kocap linging sittha ika, dhandane kawilang geng alite, mantuk ka desa, satus, yan ya kliyang tempeke di desa kadi kocaping arep. Dinan rat, -/- ka, 10, Rah,

(13a) 4, Tenggek, 7, Isaka, 1774.

Iti Awig-awig Desa Bungahya.
Babon puniki kasurat antuk : Ida Bagus Ketut Rai, ring

13a) Griya Jungutan, Desa Bungahya, Babandem, Amlapura, puput sinurat ring rahina: Ra., Ka., Sungsang, Tang ., Ping, 5, Sasih, Kasa, Rah, 4, Tenggek, 1, Isaka 1914.
Puput sinurat manadhun ring dina: Ra., Pa., Paang, Titi, Pang ., Ping, 2, Sasih, 2, Rah, 4, Tenggek, 1, Isaka 1914. Tanggal Masehi, 16 Agustus 1992. Sinurat olih sang s\apanlah; I Ketut Senged, -/- saking Desa Pidpid

(13b) Kaler Dawuh Margga, warga Pasek, kadesan Pidpid, Kacamatan Abang, Kabhupaten Karangasem.
Nghing ksama ngwang alpa sastra.

ITI AWIG-AWIG DESA BUNGAHTYA; pascat tinular de :
Drs. Anak Agung Gede Raka Buana, duk rahina Wrespati Paing Wara Julungwangi, Isaka 1917. Tanggal Masehi, 18 Mei 1995.
Ksamakna ngwang mudhalpa sastra.



Halaman terakhir

           








Lampiran 2


ISI BUKU AWIG-AWIG DESA ADAT
RING BALI




JAWATAN AGAMA HINDU DAN BUDHA
PROPINSI BALI



AWIG-AWIG DESA ADAT
RING BALI

PURWA KATA
Manut pemutus “Seminar Hukum I” sane gumana mawosang indik Awig-awig Desa Adate ring Bali kawentenang duk tgl. 9 September 1969 sane sampun kapariangkehin pisan munggwing Desa Adate punika wantah sinanggeh Paguyuban Sang Megama Hindu (Lembaga masyarakat Umat Hindu). Pamutus punika melarapan antuk cihna pamekas, munggwing Desa Adate tan maren kajangkepan antuk :
Punika awanan titian rumasa kalih mitahen pisan, munggwing nyanggra miwah midabdabin desa inucap wantah sinanggeh swa-dharma Jawatan Agama Hindu dan Budha, punika awanan sakesiddhan tan maren pacang kautsahayang.
Awig-awig mula wantah pawakan sendi miwah saka, maka pamikukuh Desa Adate, kengin momot manahe ngaturang Imba Awig-awig puniki, dumadak siddha keanggen antuk Prajuru-Prajurune kalih para adimukaning desa, kala pacang ngayum ngarencanayang Awig-awig nyane nungga-nunggal.
Ring ima kemon kaunggahang bantang-bantang sane mabuat, sane sinanggeh unteng kebakuhan. Munggwing carang uparenggannyanne, katur ring prajurune soang-soang, nganutang ring tri pramana (kala, desa, patra). Imba Awig-awig puniki marupa taler pengelantur, putra embasan saking buku ”Tata Nyanggra miwah Midabdabin Desa Adat ring Bali” sane sampun kawedar. Punika awanan rikala ngangge imba puniki patut sadulurang makaklih mangda siddha tinas-apadang tatuwek ipun.
Dumadak siddhaning don!

Denpasar, 6 Maret 1973
PJS KEPALA JAWATAN HINDU DAN BUDHA
PROPINSI BALI

Ttd
(I GUSTI KTUT KALER)
NO. TUK. 2308 P.2792.





Lampiran 3
Contoh  sistematika awig-awig desa pakraman ini, disalin dari buku “Pedoman/Teknis Penyusunan Awig-awig dan Keputusan Desa Adat”, yang dikeluarkan oleh Biro Hukum dan HAM Setda Propinsi Bali Tahun Anggaran 2002.



PIDAGING MAKA BANTANG AWIG-AWIG DESA ADAT
       MURDHA-CITRA
      
PRATAMA SARGAH            ARAN LAN WEWIDANGAN DESA
DWITYAS SARGAH            PETITIS LAN PEMIKUKUH
TRITYAS SARGAH              SUKERTA TATA PAKRAMAN
       Palet 1 Indik Krama
       Palet 2 Indik Prejuru/Dulu Desa
       Palet 3 Indik Kulkul
       Palet 4 Indik Paruman
       Palet 5 Indik Druwen Desa
       Palet 6 Indik Sukerta Pemitegep
       Kaping 1 Karang Lan Tegal
       Kaping 2 Pepayonan
       Kaping 3 Wewangunan
       Kaping 4 Wewalungan
       Kaping 5 Bhaya
       Kaping 6 Penyanggran Banjar





CATURTHAS SARGAH            SUKERTA TATA AGAMA
            Palet 1 Indik Dewa Yadnya
            Palet 2 Indik Resi Yadnya
            Palet 3 Indik Pitra Yadnya
            Palet 4 Indik Manusa Yadnya
            Palet 5 Indik Bhuta Yadnya

PANCAMAS SARGAH            SUKERTA TATA PAWONGAN
            Palet 1 Indik Pewiwahan
            Palet 2 Indik Nyapian
            Palet 3 Indik Sentana
            Palet 4 Indik Warisan

SASTHAS SARGAH            WICARA LAN PEMIDANDA
            Palet 1 Indik Wicara
            Palet 2 Indik Pemidanda

SAPTAMAS SARGAH             NGUWAH-NGUWUHIN AWIG-AWIG

ASTAMAS SARGAH            SAMAPTA









Lampiran 4
PIDAGING AWIG-AWIG






[1] Disajikan dalam Seminar Hukum Adat II, yang diselenggarakan oleh FH Unud, tanggal 30 Sept 2010, bertempat di Aula FH Unud, serangkaian dengan perayaan Dies Unud, 29 Sept 2010.
[2] Wayan P. Windia, Guru Besar Hukum Adat di FH Unud.
[3] Pengertian istilah-istilah tersebut dapat diketahui dari buku-buku tentang hukum adat seperti Hukum Pidana Adat (1978) oleh Hilman Hadikusuma;  Pokok-pokok Hukum Adat (2000) oleh Bushar Muhammad, Jakarta, Pradnya Paramita; Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II (2002) oleh R. Soepomo, Jakarta, PT Pradnya Paramita; Azas-azas dan Susunan Hukum Adat (1991) oleh Ter Haar, Jakarta, Pradnya Paramita. Kapita Selekta Hukum Pidana Adat (1993) oleh Made Widnyana, Bandung Eresco; Pengantar Hukum Adat Bali (2006) oleh Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi FH Unud;
[4] Istilah ”konflik adat” lasim digunakan oleh kalangan jurnalis, baik media cetak maupun elektronik, sementara dalam buku-buku tentang hukum adat, istilah ini jarang digunakan.
[5] Seperti halnya “konflik adat”, istilah ”kasus adat”  juga umumnya digunakan dalam pemberitaan, baik media cetak maupun elektronik. Istilah “kasus adat” digunakan dalam  laporan penelitian, yang pernah dilakukan oleh I Ketut Sudantra dan Ayu Putu Nantri (2003), berjudul “Identifikasi Pola Penyelesian Kasus Adat Menurut Awig-awig Desa Adat di Kabupaten Badung” dan penelitian serupa yang dilakukan oleh Anak Agung Istri Atu Dewi dan Wayan Koti Cantika di Kabupaten Tabanan  (2006).
[6] Lebih jauh tentang hal ini baca “Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam Kondisi Dualisme Pemeritahan Desa di Bali” (2007) oleh I Ketut Sudantra.  Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar; Pemberdayaan Hakim Perdamaian Desa dalam Menyelesaikan Kasus Adat di Luar Pengadilan (1997) Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar tetap Tjok Istri Putra Astiti dalam Bidang Ilmu Hukum Adat, Fakultas Hukum Universitas Udayana, tanggal 30 Arpil1997. 
[7] Sebutan lain awig-awig adalah sima, dresta, adat, hukum adat, gama, perarem, pangeling-elingtunggul, geguat, dll. Lebih jauh tentang hal ini baca buku Adat and Dinas. Balinese Community in The Indonesian State (1993) oleh Carol Warren. Oxford University Press, Sangapure New York; Menyoal Awig-awig Desa Pakraman (2008) oleh Wayan P. Windia, Lembaga Dokumentsi dan Publikasi FH Unud.
[8] Ketentuan yang dirasakan kurang jelas dalam awig-awig tertulis, dijelaskan secara lebih rinci dalam aturan pelaksana awig-awig, yang dikenal dengan nama perarem. Desa pakraman juga dimungkinkan membuat perarem tentang sesuatu hal yang dianggap mendesak harus ada aturannya, sedangkan hal itu belum diatur dalam awig-awig tertulis, dikenal dengan sebutan perarem lepas.
[9] Isitilah “desa pakraman” mulai diperkenalkan setelah berlakunya Perda Prov. Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Sebelumnya disebut “desa adat”. Dalam tulisan ini digunakan istilah “desa pakraman”, kecuali dalam kutipan yang sesuai dengan aslinya.
[10] Adanya dualisme desa yang diwarisi sampai sekarang di Bali, tidak dapat dilepaskan dari kehadiran Pemerintah Kolonial Belanda yang mulai berkuasa penuh di seluruh Bali, setelah jatuhnya Kerajaan Klungkung melalui perang Puputan Klungkung, 28 April 1908. Beberapa buku yang menjelaskan hal ini antara lain  State, Village, and Ritual in Bali. A Historical Perspektive (1991) oleh Henk Schulte Nordhold,  Amsterdam: VU University Press;  Bali a Paradise Created (1996) oleh Adrian Vikers,  Periplus Editions (HK) Ltd; Bali pada Abad XIX (1989) oleh Ida Anak Agung Gde Agung  Yogyakarta: Gajah Mada University Press; The Dark Side of Paradise. Political Violence in Bali (1995) oleh Geoffrey Robinson, London: Cornel University Press, terjemahan Arief B. Prasetyo, Cetakan 2006, Yogyakarta, PT.LKiS. The Spell of Power. Sejarah Politik Bali 1650 – 1940 (2006) oleh Henk Schulte Nordhold, penerjemah Putra Adnyana, Denpasar, Pustaka Larasan.
Banyak buku dan hasil penelitian yang mengulas variasi keberadaan kedua desa yang dimaksud, seperti Pokok-pokok Organisasi Kemasyarakatan Adat di Bali 1975) oleh Tjok Raka Dherana, Denpasar: Fakultas Hukum & Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana; “Desa Adat dalam Arus Medernisasi” dalam Pitana (ed) Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali (1994) oleh I Gde Pitana, Denpasar, Bali Post.
[11] Salah satu tujuannya, untuk menghindari adanya  awig-awig  yang bertentangan (matinjakan) dengan aturan yang berlaku dan mencegah adanya  awig-awig  yang  tidak sesuai dengan perkembangan jaman. Selain itu juga untuk mengetahui jumlah desa pakraman yang telah memiliki awig-awig tertulis.
[12] Sejak dua tahun terakhir, saya dan Ketut Sudantra, mulai penelitian dan pengumpulan bahan untuk menyusun buku “Penuntun Penulisan Awig-awig”. Isi buku tersebut pada dasarnya menjawab beberapa permasalahan di sekitar penulisan awig-awig, termasuk tawaran sistimatika yang lebih mencerminkan unsure-unsur desa pakraman. Sistimatika tesebut pernah dibahas dalam diskusi bulanan Bagian Hukum dan Masyarakat, FH Unud, pada tngggal 24 April 2010, bertempat di ruang rapat FH Unud, Kampus Bali, Denpasar. Kami berharap, makalah ini dapat merangsang peserta seminar untuk memberikan masukan terkait dengan penulisan awig-awig, yang akan digunakan menyempurnakan rancangan buku tersebut sebelum diterbitkan.


Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire