texte di copy-paste dari aslinya
Peranan Awig-awigdalam Penyelesaian Sengketa Adat di Bali[1]
No.
|
Isi
Buku
|
Halaman
|
1
|
Purwa Kata
|
-
|
2
|
Piteket
|
2
|
3
|
Imba Awig-awig Desa
Adat
|
3
|
4
|
Sara Citta
|
3
|
5
|
Sarga I Aran Lan Palemahan
|
3
|
6
|
Sarga II Dasar lan
Tetujon
|
4
|
7
|
Sarga III Wewidangan lan
Teterapan
|
4
|
8
|
Sarga IV Indik Prajuru
|
5
|
9
|
Sarga V Indik Pekraman
( A dan B)
|
7
|
10
|
Sarga VI Indik Paruman
|
10
|
11
|
Sarga VII Indik Kulkul
|
12
|
12
|
Sarga VIII Leluputan
|
13
|
13
|
Sarga IX Indik Karang
|
13
|
14
|
Sarga X Indik Kahyangan
|
14
|
15
|
Sarga XI Indik Tata
Trepti Pawongan
|
16
|
16
|
Sarga XII Indik
Ngerorod/Ngerangkat
|
17
|
17
|
Sarga XIII Indik
Pewarangan miwah pakula-wargan
|
18
|
18
|
Sarga XIV Indik Kawikon/Guru
Loka
|
20
|
19
|
Sarga XVIndik Kasucian/Kasukertan
Desa
|
22
|
20
|
Sarga XVI Indik Tunon/Setra
miwah Atiwa-tiwa
|
23
|
21
|
Sarga XVII Indik Dusta
miwah Bhaya
|
24
|
22
|
Sarga XVIII Indik Wewalungan
|
25
|
23
|
Sarga XIX Indik Penyanggran
Banjar
|
26
|
24
|
Sarga XX Indik Wicara
|
27
|
25
|
Sarga XXI Indik Pamidanda
|
28
|
26
|
Sarga XXII Indik Rerampagan
|
29
|
27
|
Sarga XXIII Indik Perarem
miwah pasuara
|
29
|
28
|
Sarga XIV Indik Pamuput
|
30
|
29
|
Kutipan Bab VI UUD
pasal 18 (penjelasan Bag. II)
|
32
|
- Kahyangan maka panyiwinnya : kalih
- Dharma – Prewretinnya nyanggra kasukertan S.H. Agama pamekas ipun, manut dresta.
MURDHA – CITTA
|
||
PRATAMAS SARGAH
|
ARAN LAN WEWIDANGAN DESA
|
|
DWITYAS SARGAH
|
PATITIS LAN PAMIKUKUH
|
|
TRITYAS SARGAH
|
SUKERTA TATA PAWONGAN
|
|
Palet 1 Indik Krama
|
||
Palet 2 Indik Prajuru Miwah
Panglingsir Desa
|
||
Palet 3 Indik Kulkul
|
||
Palet 4 Indik Paruman
|
||
Palet 5 Indik Druwen Desa
|
||
Palet 6 Penyanggran Banjar
|
||
Palet 7 Kasukertan Pakeluargan
|
||
Kaping
1 Indik Pawiwahan
|
||
Kaping
2 Indik Nyapian
|
||
Kaping
3 Indik Sentana
|
||
Kaping
4 Indik Warisan
|
||
CATHURTAS SARGAH
|
SUKERTA TATA PALEMAHAN
|
|
Palet 1 Indik Telajakan
Desa
|
||
Palet 2 Karang, Tegal lan
Carik
|
||
Palet 3 Indik
Wewangunan
|
||
Palet 4 Indik Wewalungan
|
||
Palet 5 Indik Pepayonan
|
||
Palet 6 Indik Setra
|
||
PANCAMAS SARGAH
|
SUKERTA TATA PARHYANGAN
|
|
Palet 1 Indik Kahyangan
Desa
|
||
Palet 2 Indik Pemangku
Palet 3 Indik Kasukertan
Kahyangan
Palet 4 Indik Panca Yadnya
|
||
Kaping
1 Dewa Yadnya
|
||
Kaping
2 Manusa Yadnya
|
||
Kaping
3 Rsi Yadnya
|
||
Kaping
4 Pitra Yadnya
|
||
Kaping
5 Bhuta Yadnya
|
||
SASTHAS SARGAH
|
BHAYA, WICARA LAN PAMIDANDA
|
|
Palet 1 Indik Bhaya
|
||
Palet 2 Indik Wicara
|
||
Palet 3 Indik Pamidanda
|
||
SAPTAMAS SARGAH
|
NGUWAH-NGUWUHIN AWIG-AWIG
|
|
ASTAMAS SARGAH
|
SAMAPTA
|
Wayan P. Windia[2]
Pendahuluan
Makalah berjudul “Peranan
Awig-awig dalam Penyelesaian Sengketa Adat di Bali” mencoba menemukan jawab
atas pokok permasalahan “bagaimanakah peranan awig-awig desa pakraman dalam penyelesaian sengketa adat
di Bali?” Untuk menemukan jawaban yang memadai atas pertanyaan tersebut, ada
dua hal yang patut diketahui lebih awal yaitu “sengketa adat” dan “awig-awig
desa pakraman”. Itu sebabnya uraian makalah ini diawali dengan pembahasan
tentang sengketa adat di desa pakraman, dilanjutkan dengan awig-awig desa
pakraman. Sesudah itu barulah dibahas tentang peranan awig-awig bagi desa pakraman dan bagian terakhir disampaikan
beberapa saran.
Jawaban yang berhasil ditemukan, diharapkan bermanfaat bagi kepentingan
desa pakraman dalam usaha meningkatkan peran dan fungsi awig-awig sebagai salah satu sarana pengendalian sosial dan juga
memperkaya kasanah ilmu hukum adat Bali. Sementara permasalahan lain yang
muncul serangkaian dengan pembahasan pokok permasalahan, diharapkan dapat merangsang
peserta seminar untuk mendikusikannya secara lebih mendalam, guna menemukan
jawaban yang bermanfaat bagi kepentingan praktis maupun teoritis.
Sengketa Adat di Desa
Pakraman
Dalam kepustakaan hukum adat, belum ada sebutan seragam tentang
perbuatan menyimpang dengan norma yang berlaku dan menimbulkan permasalahan
dalam masyarakat yang bersangkutan. Ada yang menggunakan istilah ”pelanggaran
adat”, ada yang menyebutnya ”adat delict” atau ”delik adat”,[3] dan banyak juga
yang menyebutnya “konflik adat”.[4]
Penggunaan
istilah-istilah di atas, kurang lasim dikenal dalam masyarakat hukum adat di
Bali (desa adat atau desa pakraman).
Kalangan intelektual desa pakraman menyebut ”pelanggaran adat” sebagai parilaksana
nenten patut (perbuatan tidak terpuji) sedangkan dalam awig-awig tertulis,
umumnya digunakan istilah tan satinut
ring daging awig-awig (tidak sesuai dengan awig-awig). Untuk praktisnya
dalam penulisan, saya menggunakan istilah ”pelanggaran adat” guna menyebut parilaksana
nenten patut atau tan satinut ring
daging awig-awig. Dimaksud dengan pelanggaran adat adalah perbuatan yang tidak sesuai
dengan norma agama Hindu dan/atau kesepakatan (pasikian pasobayan) yang dituangkan dalam bentuk awig-awig dan perarem tertulis maupun tidak tertulis, yang menimbulkan
ketidakharmonisan alam nyata (sekala)
maupun alam gaib (niskala), sehingga
perlu dilakukan ”upaya tertentu”, untuk mengembalikan keharmonisan dalam
masyarakat yang bersangkutan.
Ketidakseragaman
sebutan juga tampak dalam hubungan dengan cara menyelesaikan berbagai
permasalahan yang muncul setelah terjadinya pelanggaran adat di desa pakraman. Ada yang menyebutnya ”sengketa adat”, ”perkara
adat” dan banyak juga yang menyebutnya ”kasus adat”.[5]
Sementara Ketut Sudantra, seorang dosen Hukum Adat Bali di FH Unud, menggunakan istilah ”perkara” sebagai
terjemahan dari wicara, sebuah istilah
yang umum digunakan dalam awig-awig
tertulis.[6]
”Upaya tertentu” yang dilakukan untuk mengembalikan keharmonisan dalam
masyarakat, dikenal dengan istilah danda
atau pamidanda (sanksi adat).
Seperti halnya Sudantra, saya juga menggunakan istilah wicara, hanya saja, terjemahannya bukan
”perkara”, melainkan ”perkara adat”. Istilah ini dipilih karena di dalamnya
terkandung pengertian ”pelanggaran adat” dan ”persengketaan adat” atau apa yang oleh kalangan jurnalis
disebut ”konflik adat” dan ”kasus
adat”. Selain itu, istilah wicara
juga sesuai dengan istilah yang tercantum dalam awig-awig tertulis desa pakraman. Dimaksud wicara
(perkara adat) adalah permasalahan
yang muncul antarpenduduk di desa pakraman atau antara penduduk dengan desa
pakraman, karena adanya pelanggaran adat. Dalam awig-awig tertulis ”perkara adat” dan ”sanksi adat” ditempatkan
dalam satu Sarga (Bab) berjudul Wicara
lan Pamidanda.
Keputusan
Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali, Nomor: 050/Kep/Psm-1/MDP Bali/III/2006 tentang Hasil-hasil Pasamuhan Agung I MDP Bali tanggal 3
Maret 2006, mengelompokkan penduduk Bali menjadi tiga, yaitu: krama desa
(penduduk beragama Hindu dan mipil atau tercatat sebagai anggota di desa
pakraman tempatnya berdomisili); krama tamiu (penduduk yang beragama
Hindu dan tidak mipil atau tidak tercatat sebagai anggota di desa
pakraman tempatnya berdomisili); dan tamiu (penduduk non-Hindu dan bukan
anggota desa pakraman).
Berdasarkan
pengertian pelanggaran adat dan penduduk Bali seperti di atas, saya
berpendapat, setiap penduduk Bali berpeluang melakukan pelanggaran adat (parilaksana nenten satinut ring daging
awig-awig). Pertanyaannya, mungkinkah itu dijadikan wicara dan dikenakan danda atas nama mengembalikan
keharmonisan sekala lan niskala?
Awig-awig Desa Pakraman
Salah satu perangkat hukum yang digunakan untuk mengatur tatanan
kehidupan desa pakraman dari jaman dulu hingga kini adalah awig-awig atau disebut dengan nama lain tetapi fungsinya sama.[7]
Awig-awig adalah aturan yang dibuat
oleh krama desa pakraman dan atau krama banjar
pakraman yang dipakai sebagai pedoman
dalam pelaksanaan Tri Hita Karana
sesuai dengan desa mawacara dan
dharma agama di desa pakraman/banjar pakraman
masing-masing. (Pasal 1 nomor urut 11, Perda Prov. Bali Nomor 3 Tahun 2001
tentang Desa Pakraman).[8]
Dengan demikian, awig-awig memiliki peranan yang cukup
strategis dalam menciptakan kedamaian (kasukertan)
desa. Walaupun demikian, pada umumnya awig-awig
itu tidak tertulis dan kalaupun ada yang ditulis, tetapi belum tertuangkan
dalam sistimatika yang baik, seperti dapat diketahui dari awig-awig tertulis Desa Adat Bungaya, Kabupaten Karangasem. (Lihat
lampiran 1).
Usaha
penulisan awig-awig dengan
sistimatika yang relatif bagus, dimulai sejak adanya seminar Hukum Adat I, yang
diselenggarakan oleh FH Unud tanggal 8-9 September 1969, bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Propinsi Daerah
Tingkat I Bali. Contoh substansi dan sistimatika awig-awig pada tahap awal dimulainya usaha penulisan awig-awig sesudah seminar tersebut, justru
dibuat oleh Jawatan Agama Hindu dan Budha Propinsi Bali. (Lihat lampiran 2).
Berbicara
tentang peranan awig-awig dalam penyelesaian
sengketa adat, berarti berbicara tentang desa adat atau desa pakraman, karena awig-awig dibuat untuk mengatur
kehidupan penduduk desa pakraman.[9]
Sulit dibayangkan pembicaraan tentang awig-awig
desa pakraman dapat dilakukan dengan tuntas, tanpa memahami ”saudaranya” yang
dikenal dengan ”desa dinas”, sebab, kalau dilihat dari keadaan penduduk dan
wilayahnya, kedua desa yang ada di Prov. Bali, keberadaannya tidak selalu
sejalan. Ada desa pakraman yang luas wilayah dan jumlah penduduknya persis sama
dengan desa dinas. Ada satu desa dinas terdiri dari bebrapa desa pakraman, ada
satu desa pakraman terdiri dari beberapa desa dinas, dan adakalanya juga satu
desa dinas terdiri dari beberapa desa pakraman, salah satu banjarnya masuk
menjadi bagian dari desa pakraman lain yang juga ada di desa dinas yang lain
pula.[10]
Berdasarkan variasi keadaan kedua desa seperti dikemukakan di atas, semakin
menguatkan hipotesa bahwa setiap penduduk Bali berpeluang melakukan pelanggaran
adat (parilaksana nenten patut atau tan satinut ring daging awig-awig). Tetapi
“tangan” awig-awig tidak menjangkau
ketiga golongan penduduk Bali seperti telah dikemukakan di atas. Inilah salah
satu kelemahan dari awig-awig desa
pakraman. Awig-awig lebih banyak mengatur kehidupan
internal desa pakraman, terutama krama
desa, dan nyaris tidak menyentuh kehidupan krama tamiu dan tamiu di
desa pakraman. Kalaupun ada, aturannya sangat sumir dan biasanya dituangkan
dalam bentuk perarem, dengan tingkat
varisasi yang tinggi. Dalam arti, masing-masing desa pakraman
memiliki perarem tentang krama tamiu dan tamiu, yang disusun berdasarkan semangat desa mawacara (kebiasaan dan kesepakatan desa setempat), sehingga
terbuka peluang adanya kerancuan yang cendrung merugikan krama tamiu dan tamiu. Kecedrungan
adanya kerancuan dalam merumuskan perarem
tentang krama tamiu dan tamiu sangat
terbuka, karena perarem dibuat tanpa
pendamping, baik pendamping ahli maupun dari Pemkab atau Pemprov. Bali.
Dibandingkan pererem tertulis,
sistimatika dan substansi awig-awig
tertulis relatif lebih baik karena dibuat dengan sistem dan format yang jelas,
baik mengenai pendampingan pada waktu menyusunnya, maupun kewajiban yang harus
dilaksanakan setelah awig-awig
selesai ditulis, seperti pelaksanaan upacara pasupati dan pencatatan awig-awig
tersebut pada Bagian Hukum, Pemerintah Kabupaten.[11]
Beberapa
kelemahan lainnya seperti, penentuan batas desa pakraman secara sepihak pada
waktu menlis awig-awig dan ketidakjelasan tata cara melaksanakan awig-awig (semacam hukum acara) dalam
menyelesaikan perkara adat yang muncul karena adanya pelanggaran adat. Hal
lainnya yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah ketentuan mengenai palemahan (tatanan pengelolaan
lingkungan alam) desa pakraman. Contoh (imba)
sistimatika dan substansi awig-awig
yang selama ini dijadikan pegangan dalam menulis awig-awig desa pakraman adalah “Pedoman/Teknis Penyusunan Awig-awig dan Keputusan Desa Adat”, yang
dikeluarkan oleh Biro Hukum dan HAM Setda Propinsi Bali Tahun Anggaran 2002”,
sebagai panduan. Pedoman ini menitikberatkan pada Sukerta Tata
Agama (tatanan kehidupan beragama sesuai ajaran agama Hindu) dan Sukerta Tata Pawongan (tatanan kehidupan
sebagai warga desa pakraman, kurang memperhatikan Sukerta Tata Palemahan (tatanan pekelolaan lingkungan alam). (Lebih
jauh lihat lampiran 3). Itu sebabkan saya
tawarkan agar buku pedoman tersebut disempurnakan. Tujuannya, menyesuaikan sistimatika
dan substansi awig-awig dengan ketiga
unsur desa pakraman dan perkembangan masyarakat, sehingga lebih menjamin
terwujudnya suasana kehidupan internal dan eksternal desa pakraman yang damai
dan sejuk. Saya dan Ketut Sudantra menawarkan, sistimatika awig-awig seperti tergambar pada lampiran 4.[12]
Apabila
tawaran ini disepakati, dituntut adanya prajuru (perangkat
pimpinan) desa pakraman, kemauan politik serta ahli desa pakraman yang mau
bekerja lebih serius dalam menata Bali ke depan. Tidak
sulit menemukan prajuru desa
pakraman, karena masing-masing desa pakraman memilikinya. Kemaupun politik agak
susah didapat, disebabkan ketidakkonsistenan sikap pengambil keputusan politik,
menjelang menempati jabatan politik, sesudah berada pada jabatan politik dan
pada akhir masa jabatan politik. Orang yang ahli (duweg) tentang desa pakraman dan tekun (seleg) mengamati perkembangan Bali dari berbagai perspektif, juga
lumayan banyak. Sayangnya, kebanyakan diantara mereka berasal dari luar negeri.
Dari dalam negeri sebenarnya juga ada duweg,
tetapi tidak banyak yang benar-benar seleg
menekuni awig-awig sebagai bidang
keahliannya. Kenyataan ini antara lain disebabkan karena kurangnya penghargaan
yang diberikan kepada mereka, dibandingkan dengan bidang keahlian yang lainnya.
Ahli desa pakraman, ahli awig-awig dan
ahli hukum adat, senantiasa dituntut memiliki kesadaran yang tinggi untuk siap ngayah (mengabdi), sementara tuntutan
serupa jarang dialamatkan kepada bidang keahlian yang lainnya, seperti ahli
hukum bisnis, dokter, arsitek, notaris.
Saya berpendapat, penghargaan yang sama atas pemikiran orang-orang yang duweg, seleg dan urati (peduli) terhadap awig-awig
dan desa pakraman, penting dilakukan apabila kita ingin memajukan desa pakraman
dan mewujudkan suasana kehidupan internal desa pakraman yang damai dan
sejuk, serta terbangun relasi yang
harmonis antara desa pakraman di satu pihak dengan desa dinas dan institusi di luar desa pakraman di pihak yang
lain.
Peranan Awig-awig dan
Saran
Sesudah
mengikuti penjelasan tentang pelanggaran adat, perkara adat dan awig-awig desa pakraman seperti
dikemukakan di atas, dapat dikemukakan bahwa awig-awig memiliki peran penting dalam usaha memelihara ketertiban
(kasukertan) desa pakraman, disamping
prajuru, krama desa pakraman dan perangkat penegak hukum yang lainnya.
Terlepas dari peran
tersebut, perlu disadari bahwa awig-awig
memiliki keterbatasan dan kelemahan, antara lain: kerancuan aturan tentang krama tamiu dan tamiu, ketidakjelasan aturan dalam hal terjadi perkara adat dan
pengenaan sanksi adat, belum adanya tata cara dalam menentukan batas desa
pakraman, sistimatika dan
substansinya yang belum sepenuhnya mencerminkan unsur-unsur desa pakraman, dan
belum tumbuhnya kesadaran kolektif untuk bersikap konsisten dan konsekwen dalam “menghargai” berbagai hal terkait
dengan keberadaan awig-awig dan desa
pakraman.
Agar
peran awig-awig dapat berfungsi
maksimal sebagai salah satu sarana penjaga ketertiban (kasukertan) desa pakraman,, perlu diupayakan adanya perbaikan atau
penyempurnaan terhadap beberapa kelemahan tersebut di atas. Untuk itu, pendapat
saya sebagai berikut.
1.
Kerancuan perarem tentang krama tamiu
dan tamiu, cendrung membingungkan berbagai kalangan. Untuk menghindari
hal itu, perlu adanya kesepakatan bersama (pasikian
pasubayan) yang dituangkan dalam keputusan Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali
tentang tanggung jawab (swadharma)
bagi krama desa, krama tamiu dan tamiu
terhadap desa pakraman, yang berlaku sama di seluruh Bali (Bali mawacara), melengkapi kewenangan desa
pakraman membuat aturan sendiri ssuai kondisi objektif desa pakraman setempat (desa mawacara).
2.
Batas desa pakraman yang
ditentukan secara sepihak, menyimpan potensi konflik antara desa pakraman
bertetangga. Oleh karena itu, penentuan batas desa sepatutnya didasarkan atas kesepakatan
dua atau beberapa desa pakraman bertetangga yang didasari atas asas pasuwitran nyatur desa (asas bertetangga
baik). Untuk itu, perlu disusun buku pandungan tentang tata cara menentukan
batas desa pakraman.
3.
Adanya ketidakjelasan aturan teknis
pelaksanaan awig-awig dalam hal
terjadi perkara adat terutama terkait dengan pengenaan sanksi adat, dan ketidaksesuaian
sistimatika dan substnsi awig-awig
dengan unsur-unsur desa pakraman, dapat diatasi dengan mengadakan lokakarya
yang membahas secara khusus tentang dua hal ini. Atau, sempurnakan sistimatika awig-awig, seperti tertuang dalam
lampiran 4, sekadar sebagai penawar.
4.
Memang tidak mudah menumbuhkan
kesadaran kolektif untuk bersikap konsisten dan konsekwen dalam “menghargai”
berbagai hal terkait dengan keberadaan awig-awig
dan desa pakraman. Untuk itu perlu dibangun ”koalisi” antara tokoh adat, ahli
hukum adat Bali, MDP Bali, Pemprov. Bali dan Pemkab. se-Bali guna memikirkan,
mendiskusikan, memplublikasikan secara terus menerus permasalahan ini, sampai
tumbuh kesadaran kolektif untuk menempatkan desa pakraman dan orang-orang yang duweg,
seleg lan urati terhadap
kehidupan desa pakraman pada tempat yang pantas (bebenehan).
Perlu
ditegaskan bahwa seminar Hukum Adat II yang dilaksanakan oleh FH Unud pada hari
ini, merupakan seminar desa pakraman ketiga yang digelar serangkaian dengan
Dies Natalis Unud, 29 Sept 2010. Seminar pertama tentang Lembaga Perkreditan
Desa (LPD), diselenggarakan oleh FH Unud tanggal 15 Agustus 2010, bertempat di
Inna Bali Hotel, yang dilanjutkan dengan lokakarya LPD yang diselenggarakan oleh
MDP Bali, tanggal 26 Agustus 2010, bertempat di Hotel Nikki. Seminar kedua tentang
hubungan desa pakraman dengan desa dinas yang diselenggarakan panitia Dies Natalis
Unud tanggal 18 Sept, bertempat di FK Unud. Dalam waktu dekat ini, MDP Bali
juga akan menggelar lokakarya tentang wanita dan anak-anak dalam Hukum Adat Bali.
Hasil ketiga seminar ini lokakarya tersebut, selanjutnya akan disosialisasikan
dan dibahas kembali dalam Pesamuan Agung MDP Bali, yang akan diselenggarakan
tanggal 15 Oktober mendatang. Hasil Pesamuan Agung yang diikuti oleh unsur prajuru desa dan jajaran MDP Bali, unsur
pemerintah dan kalangan intelektual,
baik berupa keputusan maupun rekomendasi, mengikat seluruh desa pakraman
di Bali dan menjadi acuan bagi pemerintah, pengusaha serta kalangan intelektual
dalam melaksanakan tanggung jawabnya (swadharma)
masing-masing Oleh karena itu disarankan kepada panitia seminar khususnya tim
perumus, untuk membuat rumusan
hasil seminar sedemikian rupa sehingga mudah dimengerti sehingga berpeluang
untuk diadopsi menjadi keputusan atau rekomendasi Paruman Agung MDP Bali.
Dengan demikian hasil seminar Hukum Adat II ini bukan saja memberi manfaat
bagi masyarakat ilmiah untuk melatih kepekaan berpikir ilmiah, tetapi juga
bermanfaat bagi desa pakraman, MDP Bali, penentu keputusan politik, dan pihak
lain yang peduli terhadap perkembangan Bali ke depan, seperti halnya seminar
serupa yang pernah digelar oleh FH Unud 40 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 8
dan 9 September 1969.
-o0o-
Daftar
Pustaka
Agung, Ida Anak Agung Gde, 1989. Bali pada Abad XIX.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Astiti, TIP, 1997. Pemberdayaan Hakim
Perdamaian Desa dalam Menyelesaikan Kasus Adat di Luar Pengadilan. Pidato
Pengenalan Jabatan Guru Besar tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat, Fakultas
Hukum Universitas Udayana, tanggal 30 Arpil1997.
Bushar Muhammad, 2000. Pokok-pokok
Hukum Adat. Cetakan ketujuh. Jakarta, Pradnya Paramita.
Dherana, Tjok Raka, 1975. Pokok-pokok
Organisasi Kemasyarakatan Adat di Bali. Denpasar: Fakultas Hukum &
Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana.
_____________, 1995. Desa Adat dan
Awig-awig dalam Struktur Pemerintahan Bali. Denpasar:
Upada Sastra.
Nordhold, Henk Schulte, 1991. State, Village,
and Ritual in Bali. A Historical Perspektive. Amsterdam: VU University
Press.
_____________,
2006. The Spell of Power. Sejarah Politik
Bali 1650 – 1940, penerjemah Putra Adnyana, Denpasar, Pustaka Larasan.
Vickers, Adrian,
1996. Bali a Paradise Created.
Periplus Editions (HK) Ltd.
Hilman Hadkusuma, 1984. Hukum Pidana Adat. Bandung, Alumni.
Pitana, I Gde, 1994. “Desa Adat dalam Arus Medernisasi” dalam Pitana (ed) Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali.
Denpasar, Bali Post.
Robinson, Geoffrey, 1995. The Dark
Side of Paradise. Political Violence in Bali. London: Cornel University
Press, terjemahan Arief B. Prasetyo, Cetakan 2006, Yogyakarta, PT.LKiS.
Soepomo, R. 2002. Sistem Hukum di
Idonesia Sebelum Perang Dunia II. Cetakan keenambelas, Jakarta, PT Pradnya
Paramita.
Sudantra, I Ketut dan Ayu Putu Nantri, 2003. “Identifikasi Pola Penyelesian
Kasus Adat Menurut Awig-awig Desa Adat di Kabupaten Badung”. Laporan Penelitian
Pusat Studi Hukum Adat, Universitas Udayana, Denpasar.
Sudantra, I Ketut, 2007. “Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam
Kondisi Dualisme Pemeritahan Desa di Bali”. Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.
Ter Haar. 1991. Azas-azas dan Susunan
Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.
Vickers, Adrian, 1996. Bali A
Paradise Created. Periplus Editions (HK) Ltd.
Warren, Carol,
1993. Adat and Dinas. Balinese Community
in The Indonesian State. Oxford University Press, Sangapure New York.
Widnyana, I Made, 1993. Kapita
Selekta Hukum Pidana Adat. Bandung: Eresco.
Windia, Wayan P. Dan Ketut Sudantra, 2006. Pengantar Hukum Adat Bali. Lembaga Dokumentasi dan Publikasi FH
Unud.
Windia, Wayan P, 2008. Menyoal Awig-awig
Desa Pakraman. Lembaga Dokumentasi dan Publikasi FH Unud.
Lampiran 1
AWIG-AWIG
DESA ADAT BUNGAYA
(1b) Pangeling-ngeling
sitan dasaring Bungahya, ulih ring kuna-kuna, wus katama katemu antuk ipun, ika
kawitaning hatur I Gusti Madhe Karangasem, I Gusti Madhe Karangasem, mawitang
hatur ring Ida I Gusti Ngurah Madhe Karangasem, kahyun I Gusti Ngurah Mahe
Karangasem, kalih I Gusti Madhe Karangasem, angunggahang ring likita, lwiring
sita ika, yan hana karusak-rusakan kahyangan idane ring Bungahya, ne awasta
ring dalem, ring Dulum Yeh, ring Bale Agung, ring Manukan, ring Paswikan, ring
Pamaksan Ujung, ring Jungutan, muwah yang karusak--/-an.
(2a) margga, peken,
kayehane ring pisaga, ika pada kawumumang antuk i keliyang desa muwah prebekel,
kliyang tempek, genahe awumuman, ring Bale Agunge ring Bungahya, tingkah
wumuman ika, yen ken kang yogya pinahayu, yan wus puput pangrawose ring
pawumuman, ika raris kalinyang desa ika angorahang ring kliyang banjare sane
mabanjar ring Bungahya, rawuhing Gahumung, Papung, Abyan Sowan, kacicang sami
rawuhing sasebun ipun, tkaning wwang tan dok desa sami tan hana luput, lyanan
ring brahmana, muwah yan hana kawulaning -/- brahmana, yan ya makrama.
(2b) mabanten
mangaturang sapuja wali ring Ida Bhatara, alinggih ring kahyangan kocap ring
arep, teka wenang antuk kaliyang desa ika angrabin angajak sareng mahayu
kahyangan-ka, saika lwire ne pacang kawumumang krawosang pada mahayu, mwang
nandangin mamargyang rawuhing sapuja waline, yan hana tan hanut sinalih
tunggal, tan anindihang sakadi pasrabe, wenang ya kasepekang antuk kaliyang
desa, prebekel, kliyang tempek, rawuhing kawulane alit, ne madesa mabanjar ring
Bungahya sami, ra--/-
(3a) wuning ka Gumung,
Papung, Abyan Sowan, Kacicang, tingkahe anepekang janmane tan hanut sakadi ne
kocap ring arep, wenang ya tan kawehan ngambil toya, maka inum, maka pandus,
rawuhing sapakurenannya ring bumyan Bungahya, rawuh ring Gahumung, Papung,
Abyan Sowan, Kacicang, tur tan kawehan lumaku adol atuku ring pekene ring
Bungahya, muwah tan kawehan iya, mangelingin mababanjaran, muwah tan kawehan
iya, mangelingin mababanjaran ring Bungahya, muwah tan kawehan iya mabanten
manungsung kahyangane -/- kocap ring arep, yan hana jadma –
(3b) ne, wus kasepekang
sakadi kocaping arep, wetu hya maksih amurugang, amrgya angawenangakene tan
wenang, wenang kadhanda gung artha, 12250, prasiddha ya amurug titi swaran ida
sang angawa bhumi, dhanda ika kang kocap ring arep, sawungkul mantuk ring i
wong desa, yan ya nora/panawuran dhanda, ring penganane nawur dhanda, wenang ya
kakesahang antuk i desa Bungahya, yan / maya nora mamargi kesah, wenang antuk i
wong desa am bhasta, tur anggenahang ring panepi, ring sawawengkon ida sang
amawa -/- bhumi, yan ya tan arep mabhasta, we-
Halaman
pertama
(12a) sami, manedunang
kliyang sami, sane mamecikang kahyangan Ida Bhtara, sami dane matutang
satingkah dhanda ika, yan wenten puja caru ring Bungahya, mawawedalan raab
ambengan, muwah sami yadin makryya, salwiring karyya de pacang pahayu, muwah
pacang becikang, pacang pahayu, yan dane i banjar tan anut mawawedalan, ya
dhandae, jinah, 1000, yan rangkungan atengah banjar, dhandane jinah, 300, yan
atengaha, muwah atempek, dhandane, -/- jinah,
(12b) 5000, mantuk ka
banjar dane, wawedalan dane muwah makaryya salwiring karyya dane mamuputang,
yan tan puput antuk dane, malih dane dhanda kadi kocaping arep, yan banjar
abanjar salwiring wawedalan, muwah makaryya arepe bisekaang, dhanda dane,
jinah, 300, mantuk ka desa sami, yan tan arep anawur dhanda, desa ika
amarggyang kadi kocap linging sittha ika, dhandane kawilang geng alite, mantuk
ka desa, satus, yan ya kliyang tempeke di desa kadi kocaping arep. Dinan rat,
-/- ka, 10, Rah,
(13a) 4, Tenggek, 7,
Isaka, 1774.
Iti Awig-awig Desa
Bungahya.
Babon puniki kasurat
antuk : Ida Bagus Ketut Rai, ring
13a) Griya Jungutan,
Desa Bungahya, Babandem, Amlapura, puput sinurat ring rahina: Ra., Ka.,
Sungsang, Tang ., Ping, 5, Sasih, Kasa, Rah, 4, Tenggek, 1, Isaka 1914.
Puput sinurat manadhun
ring dina: Ra., Pa., Paang, Titi, Pang ., Ping, 2, Sasih, 2, Rah, 4, Tenggek,
1, Isaka 1914. Tanggal Masehi, 16 Agustus 1992. Sinurat olih sang s\apanlah; I
Ketut Senged, -/- saking Desa Pidpid
(13b) Kaler Dawuh
Margga, warga Pasek, kadesan Pidpid, Kacamatan Abang, Kabhupaten Karangasem.
Nghing ksama ngwang alpa
sastra.
ITI AWIG-AWIG DESA
BUNGAHTYA; pascat tinular de :
Drs. Anak Agung Gede
Raka Buana, duk rahina Wrespati Paing Wara Julungwangi, Isaka 1917. Tanggal
Masehi, 18 Mei 1995.
Ksamakna ngwang mudhalpa
sastra.
Halaman
terakhir
Lampiran 2
ISI BUKU AWIG-AWIG DESA ADAT
RING
BALI
JAWATAN AGAMA HINDU DAN BUDHA
PROPINSI BALI
AWIG-AWIG
DESA ADAT
RING
BALI
PURWA KATA
Manut pemutus “Seminar Hukum I” sane gumana mawosang indik Awig-awig
Desa Adate ring Bali kawentenang duk tgl. 9 September 1969 sane sampun
kapariangkehin pisan munggwing Desa Adate punika wantah sinanggeh Paguyuban
Sang Megama Hindu (Lembaga masyarakat Umat Hindu). Pamutus punika melarapan
antuk cihna pamekas, munggwing Desa Adate tan maren kajangkepan antuk :
Punika
awanan titian rumasa kalih mitahen pisan, munggwing nyanggra miwah midabdabin
desa inucap wantah sinanggeh swa-dharma Jawatan Agama Hindu dan Budha, punika
awanan sakesiddhan tan maren pacang kautsahayang.
Awig-awig mula wantah pawakan sendi miwah saka, maka pamikukuh Desa
Adate, kengin momot manahe ngaturang Imba Awig-awig puniki, dumadak siddha
keanggen antuk Prajuru-Prajurune kalih para adimukaning desa, kala pacang
ngayum ngarencanayang Awig-awig nyane nungga-nunggal.
Ring ima kemon kaunggahang bantang-bantang sane mabuat, sane
sinanggeh unteng kebakuhan. Munggwing carang uparenggannyanne, katur ring
prajurune soang-soang, nganutang ring tri pramana (kala, desa, patra). Imba
Awig-awig puniki marupa taler pengelantur, putra embasan saking buku ”Tata
Nyanggra miwah Midabdabin Desa Adat ring Bali” sane sampun kawedar. Punika
awanan rikala ngangge imba puniki patut sadulurang makaklih mangda siddha
tinas-apadang tatuwek ipun.
Dumadak siddhaning don!
Denpasar,
6 Maret 1973
PJS
KEPALA JAWATAN HINDU DAN BUDHA
PROPINSI
BALI
Ttd
(I
GUSTI KTUT KALER)
NO.
TUK. 2308 P.2792.
Lampiran 3
Contoh
sistematika awig-awig desa
pakraman ini, disalin dari buku “Pedoman/Teknis Penyusunan Awig-awig dan
Keputusan Desa Adat”, yang dikeluarkan oleh Biro Hukum dan HAM Setda Propinsi
Bali Tahun Anggaran 2002.
PIDAGING MAKA BANTANG AWIG-AWIG DESA ADAT
MURDHA-CITRA
PRATAMA SARGAH ARAN
LAN WEWIDANGAN DESA
DWITYAS SARGAH PETITIS
LAN PEMIKUKUH
TRITYAS SARGAH SUKERTA
TATA PAKRAMAN
Palet 1 Indik Krama
Palet 2 Indik Prejuru/Dulu Desa
Palet 3 Indik Kulkul
Palet 4 Indik Paruman
Palet 5 Indik Druwen Desa
Palet 6 Indik Sukerta Pemitegep
Kaping 1 Karang Lan Tegal
Kaping 2 Pepayonan
Kaping 3 Wewangunan
Kaping 4 Wewalungan
Kaping 5 Bhaya
Kaping 6 Penyanggran Banjar
CATURTHAS SARGAH SUKERTA
TATA AGAMA
Palet
1 Indik Dewa Yadnya
Palet
2 Indik Resi Yadnya
Palet
3 Indik Pitra Yadnya
Palet
4 Indik Manusa Yadnya
Palet
5 Indik Bhuta Yadnya
PANCAMAS SARGAH SUKERTA
TATA PAWONGAN
Palet
1 Indik Pewiwahan
Palet
2 Indik Nyapian
Palet
3 Indik Sentana
Palet
4 Indik Warisan
SASTHAS SARGAH WICARA
LAN PEMIDANDA
Palet
1 Indik Wicara
Palet
2 Indik Pemidanda
SAPTAMAS SARGAH NGUWAH-NGUWUHIN
AWIG-AWIG
ASTAMAS SARGAH SAMAPTA
Lampiran 4
PIDAGING AWIG-AWIG
[1] Disajikan dalam Seminar Hukum Adat II, yang diselenggarakan oleh FH
Unud, tanggal 30 Sept 2010, bertempat di Aula FH Unud, serangkaian dengan
perayaan Dies Unud, 29 Sept 2010.
[2] Wayan P. Windia, Guru Besar Hukum Adat di FH Unud.
[3] Pengertian istilah-istilah tersebut dapat
diketahui dari buku-buku tentang hukum adat seperti Hukum Pidana Adat (1978) oleh Hilman Hadikusuma; Pokok-pokok Hukum Adat (2000) oleh Bushar Muhammad, Jakarta,
Pradnya Paramita; Sistem Hukum di
Indonesia Sebelum Perang Dunia II (2002) oleh R. Soepomo, Jakarta, PT Pradnya
Paramita; Azas-azas dan Susunan Hukum
Adat (1991) oleh Ter Haar, Jakarta, Pradnya Paramita. Kapita Selekta Hukum Pidana Adat (1993) oleh Made Widnyana, Bandung
Eresco; Pengantar Hukum Adat Bali
(2006) oleh Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi FH
Unud;
[4] Istilah ”konflik adat” lasim digunakan oleh kalangan jurnalis, baik
media cetak maupun elektronik, sementara dalam buku-buku tentang hukum adat,
istilah ini jarang digunakan.
[5] Seperti halnya “konflik adat”, istilah ”kasus adat” juga umumnya digunakan dalam
pemberitaan, baik media cetak maupun elektronik. Istilah “kasus adat” digunakan
dalam laporan penelitian, yang
pernah dilakukan oleh I Ketut Sudantra dan Ayu Putu Nantri (2003), berjudul
“Identifikasi Pola Penyelesian Kasus Adat Menurut Awig-awig Desa Adat di
Kabupaten Badung” dan penelitian serupa yang dilakukan oleh Anak Agung Istri
Atu Dewi dan Wayan Koti Cantika di Kabupaten Tabanan (2006).
[6] Lebih jauh tentang hal ini baca “Pelaksanaan
Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam Kondisi Dualisme Pemeritahan Desa di Bali”
(2007) oleh I Ketut Sudantra.
Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar; Pemberdayaan Hakim Perdamaian Desa dalam
Menyelesaikan Kasus Adat di Luar Pengadilan (1997) Pidato Pengenalan
Jabatan Guru Besar tetap Tjok Istri Putra Astiti dalam Bidang Ilmu Hukum Adat,
Fakultas Hukum Universitas Udayana, tanggal 30 Arpil1997.
[7] Sebutan lain awig-awig adalah sima,
dresta, adat, hukum adat, gama, perarem,
pangeling-eling, tunggul,
geguat, dll. Lebih jauh tentang hal ini baca buku Adat and Dinas. Balinese Community in The
Indonesian State (1993) oleh Carol Warren. Oxford University Press,
Sangapure New York; Menyoal Awig-awig
Desa Pakraman (2008) oleh Wayan P. Windia, Lembaga Dokumentsi dan Publikasi
FH Unud.
[8] Ketentuan yang
dirasakan kurang jelas dalam awig-awig
tertulis, dijelaskan secara lebih rinci dalam aturan pelaksana awig-awig, yang dikenal dengan nama perarem. Desa pakraman juga dimungkinkan
membuat perarem tentang sesuatu hal
yang dianggap mendesak harus ada aturannya, sedangkan hal itu belum diatur
dalam awig-awig tertulis, dikenal
dengan sebutan perarem lepas.
[9] Isitilah “desa pakraman” mulai diperkenalkan setelah berlakunya
Perda Prov. Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Sebelumnya disebut
“desa adat”. Dalam tulisan ini digunakan istilah “desa pakraman”, kecuali dalam
kutipan yang sesuai dengan aslinya.
[10] Adanya dualisme
desa yang diwarisi sampai sekarang di Bali, tidak dapat dilepaskan dari
kehadiran Pemerintah Kolonial Belanda yang mulai berkuasa penuh di seluruh Bali,
setelah jatuhnya Kerajaan Klungkung melalui perang Puputan Klungkung, 28 April
1908. Beberapa buku yang menjelaskan hal ini antara lain State,
Village, and Ritual in Bali. A Historical Perspektive (1991) oleh Henk
Schulte Nordhold, Amsterdam: VU
University Press; Bali a Paradise Created (1996) oleh
Adrian Vikers, Periplus Editions
(HK) Ltd; Bali pada Abad XIX (1989)
oleh Ida Anak Agung Gde Agung Yogyakarta:
Gajah Mada University Press; The Dark
Side of Paradise. Political Violence in Bali (1995) oleh Geoffrey Robinson,
London: Cornel University Press, terjemahan Arief B. Prasetyo, Cetakan 2006,
Yogyakarta, PT.LKiS. The Spell of Power.
Sejarah Politik Bali 1650 – 1940 (2006) oleh Henk Schulte Nordhold,
penerjemah Putra Adnyana, Denpasar, Pustaka Larasan.
Banyak buku
dan hasil penelitian yang mengulas variasi keberadaan kedua desa yang dimaksud,
seperti Pokok-pokok Organisasi
Kemasyarakatan Adat di Bali 1975) oleh Tjok Raka Dherana, Denpasar:
Fakultas Hukum & Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana; “Desa Adat
dalam Arus Medernisasi” dalam Pitana (ed) Dinamika
Masyarakat dan Kebudayaan Bali (1994) oleh I Gde Pitana, Denpasar, Bali
Post.
[11] Salah satu tujuannya, untuk menghindari adanya awig-awig
yang bertentangan (matinjakan) dengan aturan yang berlaku
dan mencegah adanya awig-awig yang tidak sesuai
dengan perkembangan jaman. Selain itu juga untuk mengetahui jumlah desa
pakraman yang telah memiliki awig-awig
tertulis.
[12] Sejak dua tahun terakhir, saya dan Ketut Sudantra, mulai penelitian
dan pengumpulan bahan untuk menyusun buku “Penuntun Penulisan Awig-awig”. Isi
buku tersebut pada dasarnya menjawab beberapa permasalahan di sekitar penulisan
awig-awig, termasuk tawaran sistimatika
yang lebih mencerminkan unsure-unsur desa pakraman. Sistimatika tesebut pernah
dibahas dalam diskusi bulanan Bagian Hukum dan Masyarakat, FH Unud, pada
tngggal 24 April 2010, bertempat di ruang rapat FH Unud, Kampus Bali, Denpasar.
Kami berharap, makalah ini dapat merangsang peserta seminar untuk memberikan
masukan terkait dengan penulisan awig-awig,
yang akan digunakan menyempurnakan rancangan buku tersebut sebelum diterbitkan.
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire