Terimakasih kepada bapak I Nyoman Ariawan Atmaja
yang telah mengirim naskah ini untuk dihatur dijagat raya internet.
terima kasih kepada penyusun
Bapak I Nengah Dana
maaf atas tampilnya beberapa huruf yang tak mampu diterjemahkan
oleh computer saya
hmmm
computer teknologik dan biologik
d---alam
menterjemah huruf hidup (vocal) dan huruf mati (consonant)
merupakan seni maya-maya
titi marga hidup-mati
ada dan tiada
mengerti
sang arti
is the ART how to reveal step by step the mystery that embrace us.
bila yang dua telah menyatu
sinar dan bayangan
dulu dan nanti
tahu dan tak diketahui
Shiva dan shaktinya (Parwati, Durga)
purusha - pradana
linggam - yoni
laki dan perempuan
langit dan bumi
matter and spirit
yin & yang
electicity & gravity
...
tangan kiri & kanan menyakup
OM TAT SAT
OM SWASTY ASTU
maaf atas tampilnya beberapa huruf yang tak mampu diterjemahkan
oleh computer saya
hmmm
computer teknologik dan biologik
d---alam
menterjemah huruf hidup (vocal) dan huruf mati (consonant)
merupakan seni maya-maya
titi marga hidup-mati
ada dan tiada
mengerti
sang arti
is the ART how to reveal step by step the mystery that embrace us.
bila yang dua telah menyatu
sinar dan bayangan
dulu dan nanti
tahu dan tak diketahui
Shiva dan shaktinya (Parwati, Durga)
purusha - pradana
linggam - yoni
laki dan perempuan
langit dan bumi
matter and spirit
yin & yang
electicity & gravity
...
tangan kiri & kanan menyakup
OM TAT SAT
OM SWASTY ASTU
PENGANTAR MEMAHAMI
UPANIÛAD
PENDAHULUAN
Kitab Upaniûad merupakan bagian dari kitab Veda Úruti yang memberikan sumbangan pemikiran ke arah perkembangan
filsafat Agama Hindu. Kitab ini dinyatakan sebagai bagian terakhir dari ajaran
Veda, yang disebut Vedanta (Vedasyàntah). Hal ini mengandung makna bahwa Upaniûad secara kronologi dianggap sebagai bagian penutup dari
kitab Veda.
Kitab Veda Úruti terdiri atas: Ågveda,
Sàmaveda, Yajurveda, dan Atharvaveda
sehingga dikenal dengan sebutan Catur Veda. Menurut sifat isinya, tiap-tiap
Veda itu berisi tiga bagian pokok, yaitu: mantra atau himpunan mantra (mantra saýhità), bràhmana (karma kàóða), dan Upaniûad/Araóyaka (jñàna
kàóða).
Kitab Araóyaka adalah Upaniûad juga, hanya saja kitab tersebut
merupakan hasil perenungan para Maharûi
yang tinggal pada pertapaan atau aúramnya di hutan, sedangkan Upaniûad adalah merupakan hasil perenungan para Maharûi yang tinggal pada pertapaan atau aúramnya di pedesaan baik sebagai snataka maupun gåhastin. Seluruh kitab Araóyaka dan Upaniûad brjumlah 108 buah yang dibagi atas
empat kelmpok besar, menurut jenis Úruti atau mantra saýhità
yang ada, yaitu:
1.
Ågveda saýhità,
memiliki 10 kitab Upaniûad;
2.
Sàmaveda saýhità, memiliki 16 kitab Upaniûad;
3.
Yajurveda
saýhità, memiliki 51 kitab Upaniûad; dan
4.
Atharvaveda
saýhità, memiliki 31 kitab Upaniûad;
Jumlah 108 ini dijumpai di dalam kitab
Muktikopaniûad. Dari jumlah tersebut, ada 18 kitab Upaniûad yang terkenal sebagai Upaniûad utama, yaitu: Aitareya
dan Kauûitaki Upaniûad dari Ågveda saýhità;
Kena, Chàndogya, dan Maitreyi Upaniûad
dari Sàmaveda saýhità; Taittiriyaka,
Kaivalya, Úvetàúvatara, Kaþha, Ìúàvàsya,
Båhadaraóyaka, Jàbàla, Subàla, dan Muktika Upaniûad
dari Yajurveda saýhità;
kemudian Praúna, Muóðaka, Màóðùkya,
dan Mahànàràyaóa Upaniûad dari Atharvaveda saýhità.
Nama-nama Upaniûad yang tercetak tebal adalah 10 Upaniûad yang penting menurut Narayana dan Samkara. Namun demikian,
Úvetàúvatara dan Mahànàràyaóa Upaniûad juga dianggap sangat penting.
PENGERTIAN DAN POKOK-POKOK AJARAN UPANIÛAD
Upaniûad mengandung beberapa pengertian; istilah ini berasal dari
tiga kata: upa berarti dekat atau sekeliling, ni berarti menuntun atau bimbingan, dan ûad berarti duduk. Jadi, istilah Upaniûad diterjemahkan: duduk dekat-dekat sekeliling guru
spiritual untuk memperoleh bimbingan atau tuntunan dalam mempelajari Veda. Ada juga yang menerjemahkan kata ni berarti: ‘di bawah’ sehingga
bermakna: duduk di bawah, dekat Sang Guru/Acharya untuk menerima bimbingan
dalam mempelajari Veda.
Di samping pengertian itu, ada juga
yang memberikan terjemahan berbeda, sebagaimana diuraikan di dalam buku
Pesan-Pesan Upanisad; kata upa
diartikan proses belajar; kata ni dikembangkan
menjadi nista yang berarti ketabahan;
sedangkan kata ûad diartikan percapaian realitas
tertinggi. Apabila uraian makna kata itu diterjemahkan secara utuh maka Upaniûad bermakna sebagai proses belajar secara tekun guna
mencapai realitas tertinggi.
Terlepas dari pengertian tersebut,
kitab Upaniûad secara umum memang mengandung ajaran
tentang dasar-dasar kefilsafatan Hindu, yaitu menjelaskan hal-hal mendasar
mengenai “ Yang Ada” dan bersifat rahasia, seperti penjelasan yang menyangkut
tentang Tuhan (Brahman), Jiwa
(Atman), dan penciptaan alam
semesta (Såûþi). Jadi, secara tematik kitab Upaniûad
mengungkapkan hakikat kebenaran tentang apa yang menjadi dasar segala yang ada, alam semesta, dan realitas tertinggi (Ekam Sat) yang diuraikan secara filosofis, sehingga isi Veda dapat
diterima secara rasional.
Menurut Upanisad, ada dua
jenis pengetahuan yang harus dipahami; yang pertama adalah Paravidya (pengetahuan lebih tinggi), yaitu pengetahuan mengenai Brahman dan Paramàtman; dan yang kedua adalah
Aparavidya (pengetahuan lebih rendah),
yaitu pemahaman teks Catur Veda dan Veda Småti. Yang pertama ditempuh
melalui jalan jñàna, sedangkan yang kedua ditempuh melalui jalan karma
(nglakoni).
Dengan
demikian, pokok-pokok ajaran Upanisad memiliki persamaan topik pembahasan,
yaitu tentang: Brahman, Atman atau Jivatman, Maya dan Avidya yang dikaitkan
dengan pengetahuan pribadi terhadap Brahman dan alam sekitarnya baik metafisika
maupun kosmologi. Selain itu, disoroti pula tentang makna Mokûa
yang dibedakan dari pengertian Surga dan Naraka.
Ajaran Upanisad tidak mengembangkan
pemahaman Varnadharma secara kaku, melainkan lebih mengedepankan asas
kemanusiaan yang memiliki sifat spiritual dan universalisme. Sikap penalaran
universalisme dikembangkan dalam ajaran Ketuhanan, sehingga manusia tidak
menjadi kaku dalam pergaulan theologinya. Yang terpenting adalah rasa kesamaan
kemanusiaan melalui penghayatan Tat Tvam
Asi secara menyeluruh dalam kesadaran mulia, melalui alur pemikiran yang
dikaji secara pragmatis dan rasional. Kitab Chandogya Upanisad IV.8.7
menyatakan: “ Sa ya eso’nima aitad atmyam
idam sarvam, tat satyam sa atma tat tvam asi….” yang bermakna: “ Itu, yang merupakan esensi halus
seluruh alam ini adalah dirinya sendiri, itulah kebenaran, itulah Atman, Itu
adalah Engkau…”; setiap manusia adalah saudara dari manusia lainnya (Vasudaiva Kutumbhakam) dan satu hakikat
dengan insan ciptaan-Nya (atmyam idam
sarvam).
Sehubungan dengan arah pemikiran yang
menggunakan pendekatan integratif itu maka ajaran tentang Surga dan Naraka
bukanlah menjadi tujuan pokok, melainkan harus dilihat sebagai implikasi dari
hukum Karmaphala dan Punarbhava. Dengan begitu, manusia akan secara sadar berupaya
memperbaiki dirinya guna mencapai alam Kaivalya atau Mokûa. Surga dan Naraka adalah alam tempat menikmati pahala
karma dengan pengalaman suka dan duka, sedangkan Mokûa adalah pencapaian alam
kebebasan Jivàtman tanpa suka dan duka, yang menjadi tujuan akhir dari
kehidupan ini. Jadi, adanya alam Surga, Naraka, dan Mokûa tidak dapat dipisahkan dari cakrawala berfikir tentang adanya
hakikat alam-kebebasan yang dicapai melalui kesadaran agung, kesadaran
pengetahuan sejati (jñànad tu kaivalyam). Kesadaran agung adalah suatu
pencapaian kesadaran tentang hakikat nyata yang tak terbatas, yaitu Brahman dan
Paramàtman; maupun hakikat nyata yang
terbatas, yaitu Jivàtman dan Maya.
Brahman
Sumber Jiwa Semesta
Barahman menjadi salahsatu pokok bahasan di dalam Upanisad. Istilah Brahman berasal dari kata båh
yang berarti: memberi
hidup (menumbuhkan, menjadikan hidup, menjadikan berkembang). Kata Brahman ini
menunjuk pada pengertian aktif ke
arah pertumbuhan yang tidak ada hentinya. Bila direnungkan secara mendalam, begitulah
Tuhan sebagai Pencipta, melakukan siklus penciptaan secara terus-menerus dengan
prinsip trikona (mencipta,
memelihara, melebur). Akan tetapi pemberian nama Brahman ini hanyalah dalam
arti harfiah, atas dasar kesadaran dan daya nalar manusia. Penalaran diambil
setelah mengamati fenomena alam semesta dengan menyimpulkan adanya hubungan
kausalitas, yang dalam asas primacausa
harus diakui adanya “sesuatu Itu atau hakikat Itu” yang kemudian disebut
Brahman yang dianggap sebagai Kenyataan Agung (Supreme Reality) atau Realitas Tertinggi.
Berdasarkan pengetahuan ini
maka timbul pengertian bahwa Brahman adalah awal-mula Ada, yang menyebabkan
timbulnya berbagai makhluk ciptaan ini. Hakikat ini yang disebut Brahman prathamajam, yang kemudian, di
dalam Upanisad diterima sebagai prinsip dasar. Bertolak dari prinsip dasar ini dikembangkan pengertian
Brahman sebagai Iúvara (Godhead) dalam
hubungannya dengan kosmogoni. Untuk dapat memahami Brahman sebagai Godhead maka Upanisad
mendefinisikan Brahman sebagai Maha Purusa dengan segala sifat-sifat-Nya
yang transendental, yang kemudian menjadi kekuatan imanen, penyebab kehidupan dan bergeraknya
semua ciptaan.
Brahman sebagai Yang Ada
Pertama, memiliki sifat absolut, mahasempurna, dan transenden itu, disebut Nirguna Brahman. Kemudian, dengan
kemahasempurnaan-Nya itu Brahman mencipta makhluk (sarvabhava/sarvabhùta) yang juga memiliki sifat
sempurna (purnat purnam udacate) dengan
tanpa mengurangi kesempurnaan diri-Nya, Ia tetap sempurna (purnam eva vasisyate). Dia adalah Brahman yang bersifat kualitatif
sebagai wujud dari sifat-sifat-Nya yang nyata atau imanen, disebut Saguna Brahman. Dengan demikian, Brahman
di dalam Upanisad dijelaskan dalam berbagai bentuk aspeknya, dengan berpegang
pada prinsip dasar sifat-Nya yang absolut transendental, dan kualitatif imanen.
Atman Nafas Kehidupan
Atman merupakan salahsatu pokok bahasan
di dalam Upanisad. Atman berasal dari akarkata “an” yang artinya
bernafas. Dengan nafas, sesuatu itu hidup atau dapat bergerak; nafas adalah satu
kehidupan. Samkara menjelaskan, kata atman dari akar kata lain (at?) yang berarti: makan, memperoleh, melingkupi
segalanya. Atman sebagai hakikat dasar dari kehidupan manusia, dianggap sebagai
Roh, atau Jiwa yang mengalami rasa senang dan duka. Namun disadari juga bahwa
Atman itu bersifat kekal, tidak pernah mati; karena itu, pengalaman suka dan
duka bukanlah merupakan sifatnya. Atman dinyatakan tidak terlahirkan (ajo bhagah), dan Atman itu bersifat
rohani sebagaimana halnya Brahman, namun Brahman tidak dipengaruhi oleh Prakåti-Nya.
Dalam pemahaman awam, Atman sering
dipahami sebagai sesuatu yang sama dengan Brahman (Brahman Atman aikhyam) sehingga muncul istilah Aham Brahma asmi, yang bermakna: Aku adalah Brahman. Dalam kaitan
ini, seharusnya Brahman
dilihat sebagai Godhead, atau Iúvara
yang tidak sama dengan Nirguna Brahman; sedangkan Atman harus dilihat sebagai
bagian dari Paramàtman yang merupakan
sifat imanen dari Saguna Brahman.
Untuk menjelaskan hal ini, Veda memulai
doktrinnya dengan pengertian: Brahman sebagai segala-galanya. Ia yang pertama
ada, dan tidak ada yang lain. Adanya yang lain yang dari tidak ada menjadi ada,
hanya mungkin ada dari Yang Ada (Supreme
Reality). Dengan demikian, maka adanya Atman, hanya ada karena adanya
Brahman. Jadi, Brahman dan Atman
pada hakikatnya dari Yang Satu itu juga. Di dalam ilmu filsafat,
pengertian ini dapat dijelaskan melalui ajaran monisme. Lahirnya ajaran monotheisme
adalah apabila Brahman dalam yang keadaan pasifnya berubah sifatnya menjadi
hakikat yang aktif, dengan segala fungsinya. Namun demikian, sesungguhnya ajaran Upanisad
tidak menganut konsep monisme maupun monotheisme, melainkan pantheisme (Brahman
yang imanen dalam setiap ciptaan) dan panentheisme (Brahman sebagai segalanya,
dan semua ciptan berada dalam Yang Satu, dalam Brahman itu sendiri).
Jadi sesungguhnya, Atman
adalah nafas kehidupan yang bersumber dari Brahman sebagai Godhead
atau Iúvara yang tinggal pada setiap
makhluk, seperti dinyatakan di dalam Isaopanisad: Iúavasyam idam sarvam, dan Dia adalah sinar suci yang tersembunyi dalam segala ciptaan, seperti yang dinyatakan dalam Úvetàúvatara: eko
devah sarva bhùtesu gudah; atau seperti disebutkan di dalam Kena Upanisad: Jyotisam jyotih, yang bearti bersinarnya
cahaya. Tanpa sinar cahaya-Nya, kehidupan ini pun akan sirna.
Maya dan Avidya
Pengertian Maya dan Avidya berkembang
dari sifat dualisme Brahman dan Atman (Brahmano
dvairupasya apra manika tvat), terutama bila dikaitkan dengan pengalaman
spiritual. Untuk memahaminya digunakan pola berfikir abstrak, dengan melepaskan
cara berfikir konvensional empirisme. Istilah Maya, disebutkan ratusan kali
dalam Ågveda yang dipakai dalam berbagai
pengertian. Sayana, seorang filosof ternama memberi pengertian kata Maya, yang
diartikan prajña dan kapata. Kata prajña berarti kemampuan akal, kekuatan
pikiran murni, sedangkan kata kapata
berarti fatamorgana atau menyesatkan, sehingga realitas yang tidak benar itu
seakan-akan nyata seperti apa yang dialami dalam alam empirik.
Ada pula kecenderungan penggunaan kata
Maya digunakan sebagai istilah yang mengandung pengertian kekuatan atau Úakti, yang bermakna kekuatan luar
biasa, mujizat, dan ajaib. Dalam hal ini, bila Brahman
dianggap sebagai pencipta karena Maya yang melekat pada diri-Nya, maka Ia
disebut Mahasakti, karena mampu mencipta dari tidak ada (asat) menjadi ada (sat).
Hakikat ciptaan-Nya itu disebut Mayasakti yang merupakan aspek alam empirik dan bukan alam absolut. Dalam
pikiran Hindu modern, pengertian Maya adalah alam dunia ini saja.
Di sisi lain, ada yang melihat aspek
Maya sebagai aspek Vidya, yang mengandung pengertian kekuatan hakiki dan
potensial, mengingat bahwa Maya memang merupakan sifat yang lekat pada Brahman.
Hanya melalui Vidya, seseorang akan mencapai prajña, sehingga (menurut Sayana) antara Maya dan prajña adalah paralel, karena prajña itu sendiri mengandung pengertian sebagai kekuatan dari
kemampuan akal dalam memahami hakikat sesuatu. Oleh karena itu, hakikat
Ketuhanan secara universal dapat dipahami melalui prajña; bukan sebaliknya, melalui avidya atau ketidaktahuan. Demikian pula terhadap hakikat Atman dan
hakikat alam semesta ciptaan-Nya (yang ada dari tidak ada, karena kekuatan
Maya-Nya) hanya akan dapat dipahami melalui Vidya.
Melalui
pemahaman yang mendalam tentang hakikat segala yang ada, disertai kesadaran
atas keberadaan itu dan dirinya sebagai bagian dari Reallitas Tertinggi, maka
sifat Avidya akan terhapuskan. Berkaitan dengan hal ini, dalam Isopanisad
mantra 6 dinyatakan:
Yas tu sarvàni bhùtani, Atmanyevànupasyanti,
Sarva bhùtesu càtmanam,
tato na viyugupsate.
Dia yang melihat semua makhluk pada
dirinya, dan melihat dirinya pada semua makhluk, maka ia tidak akan membenci
yang lain.
Upanisad
menyatakan bahwa seseorang yang dalam keadaan seperti itu, adalah orang yang telah
menemukan jati dirinya, mencapai kesadaran agung, dan mengalami Jivanmukti,
suatu kebebasan jiwa yang menjadi dambaan setiap orang, karena di sana ada
kedamaian sejati.
PENUTUP
Demikianlah sekelumit pengantar untuk
memahami ajaran Upanisad Vedànta, semoga Brahman Yang Esa senantiasa
menerangi pikiran dan hati kita semua. Om
Tat Sat.
Jakarta,
9 Desember 2011
I NENGAH
DANA
UPANISAD 2
UPANISAD 4
UPANISAD 2
ÌÚÀVÀSYAM
UPANIÛAD
PENDAHULUAN
Ìúàvàsyam Upaniûad atau disingkat Ìúopaniûad, merupakan salah satu kitab Upaniûad utama yang isinya sangat singkat, yaitu terdiri dari 18
(delapan belas) mantra. Walaupun singkat, kitab ini dianggap terpenting di dalam Agama Hindu
karena isinya yang padat, memuat hal-hal yang berkaitan dengan Jñàna dan Karma, serta doa utama untuk dipraktekkan guna mencapai kesadaran
agung.
Menurut asal-usul isinya, kitab ini
berasal dari mantra-mantra dalam adhyaya 40 kitab sruti Yajur Veda; tepatnya
kitab Sukla Yajur Veda yang dihimpun oleh seorang maharsi terkenal, yaitu Rsi Vajasaneya.
Oleh karena itu, kitab Ìúàvàsyam Upaniûad juga dikenal dengan nama Vajasaneyi Samhita Upaniûad dan berdasarkan jenis pengetahuan yang
dikandungnya maka kitab ini tergolong jenis Paravidya (pengetahuan
lebih tinggi).
Dalam Pengantar Upaniûad yang telah dikemukakan terdahulu, pokok-pokok ajaran
Upaniûad memiliki persamaan topik pembahasan,
yaitu tentang: Brahman, Atman atau Jivatman, Maya dan Avidya yang dikaitkan
dengan pengetahuan pribadi terhadap Brahman dan alam sekitarnya baik metafisika
maupun kosmologi. Di dalam kitab Ìúàvàsyam Upaniûad, istilah Brahman dan Atman yang bersifat kekal itu
disebut Sambhùti atau Sambhùtim, sedangkan alam semesta yang bersifat maya disebut
Asambhùti.
Brahman dilihat sebagai Godhead, atau Maha Purusa atau Paramàtman dengan segala sifat-sifat-Nya yang transendental, yang kemudian menjadi kekuatan imanen, penyebab
kehidupan dan bergeraknya semua ciptaan (Ìúàvàsyam idaý sarvaý); sedangkan Atman harus dilihat sebagai bagian dari Paramàtman yang merupakan sifat imanen dari Saguna Brahman itu
sendiri.
Mantra-mantra Ìúàvàsyam Upaniûad, membahas topik-topik yang berkaitan dengan ajaran Jñàna Kanda, yaitu tentang Ketuhanan (Paramàtman/Ìúà) dan Atman dengan sifat-sifatnya yang kekal,
kemudian alam ciptaannya yang tak kekal namun disinari oleh Yang Kekal, serta
ajaran tentang Karma Kanda.
AJARAN DALAM MANTRA ÌÚÀVÀSYAM UPANIÛAD
Sesungguhnya ajaran Upaniûad tidak menganut konsep monisme maupun monotheisme,
melainkan pantheisme, yaitu Brahman yang
imanen dalam setiap ciptaan, dan panentheisme
yaitu Brahman sebagai segalanya di mana semua ciptan berada dalam Yang Satu,
dalam Brahman itu sendiri. Jadi sesungguhnya, Atman
adalah nafas kehidupan yang bersumber dari Brahman sebagai Godhead
atau Iúvara atau Ìúa yang tinggal pada setiap makhluk, seperti dinyatakan di dalam Iûopaniûad: Ìúàvàsyam idam sarvam, dan Dia adalah sinar suci
yang tersembunyi dalam segala ciptaan.
Demikianlah di dalam mantra
1 dinyatakan tentang kuasa Tuhan atas seluruh jagat raya ini. Mantra tersebut
berbunyi:
Ìúàvàsyam idaý sarvaý, yat kiñca jagatyam jagat,
tena tyaktena bhuñjithà, mà grdhah kasya svid dhanam.
1
Sesungguhnya
apa yang ada di dunia ini, yang berjiwa ataupun yang bergerak (tidak berjiwa), dilingkupi
atau dikendalikan oleh Ìúā (Yang Maha Kuasa), oleh karena itu setiap orang hendaknya menerima
apa yang diperuntukkan baginya dan tidak menginginkan milik orang lain.
Mantra ini menyebutkan bahwa Iúvara atau Tuhan sebagai pencipta
dan penguasa atas segala ciptaan-Nya, sekaligus sebagai sumber yang memberi
nafas kehidupan. Dia berada di dalam setiap makhluk, menyinari dan
menggerakkannya. Oleh karena itu, setiap makhluk memiliki bagian atau hak yang
diperuntukkan baginya. Sehubungan dengan itu maka setiap orang hendaknya tidak
merasa memiliki (mamah), melainkan
memasrahkan buah karyanya kepada sang pemilik sejati, yaitu Tuhan sendiri. Mantra
2 menegaskan tentang perbuatan dan harapan atau hasil yang secara otomatis
sudah ada dalam perbuatan atau karma itu.
Kurvanneveha
karmàni, jijìvisecchatam samàá,
evam tvayi nànyatetho’sti,
na karma lipyate nare. 2
Bekerjalah terus
seperti itu bila manusia mengharapkan hidup seratus tahun, hanya tindakan yang
dilakukan demikian (dengan nama Tuhan), pengaruh karma buruk tidak mengikat
jiwa manusia.
Oleh
karena itu, setiap orang harus membebaskan jiwanya dari keterikatan sebagai
pemilik. Dengan menolak keberadaan jiwa sejati di dalam dirinya, Orang seperti
ini, menurut mantra 3, setelah kematiannya akan jatuh ke dalam dunia Asura,
alam yang penuh kegelapan dan kebodohan (andhena
tamasà vrtàá).
Asuryà nàma te loka, andhena tamasà våtàh,
Tàýs te pretyabhigacchanti, ye ke càtma hano janàh. 3
Siapa pun
di dalam kehidupannya mengingkari Jiwatman berarti membunuhnya, kelak setelah
mati mereka akan masuk ke alam Asurya, dunia kegelapan dan kebodohan.
Selanjutnya,
mantra 4 dan mantra 5 dijelaskan tentang sifat-sifat Atman yang imanen dari
Brahman yang transenden. Mantra-mantra selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Anejad
ekaý manaso javìyo, nainad, devà àpnuvan pùrvam arsat,
Tad
dhàvato’nyan atyeti tiûþhat, tasmin apo màtariúvà dadhàti. 4
Yang Esa, walaupun
tetap ditempat dan tidak bergerak, dengan kecepatan melebihi pikiran,
mendahului kecepatan gerak para Dewa-Dewa, demikianlah Matariúwa, walaupun tinggal
ditempatnya, melebihi kecepatan dari semuanya.
Tad
ejati tan naijati, tad dùre tad vadantike,
Tad
antarasya sarvasya, tad u sarvasyàsya bàhyatah. 5
Ia berjalan, Ia juga
tidak berjalan, Ia jauh, Ia juga dekat, Ia ada dalam segala-galanya, namun Ia
juga ada di luar dari segala-galanya.
Kemudian diharapkan agar setiap orang
yang mencari kebebasan jiwa (Jivanmukti), hendaknya selalu berlatih spiritual
sampai menemukan kesadaran murni, menyadari bahwa dirinya yang sejati bukanlah
badan, melainkan Sang Jiwatman yang bersemayam di dalam setiap insan
ciptaan-Nya. Setiap Jiwatman adalah percikan sinar suci Paramatman, yang
bersumber dari Brahman yang transenden dan sekaligus sebagai penganugrah segala
hasil perbuatan.
Yas tu sarvàni
bhùtani, Atmanyevànupasyanti,
Sarva bhùtesu càtmanam,
tato na viyugupsate. 6
Dia yang melihat semua makhluk pada dirinya, dan melihat
dirinya pada semua makhluk, maka ia tidak lagi melihat ada yang bertentangan sehingga
tidak lagi membenci yang lain.
Yasmin
sarvany bhutany, atmaivabhud vijanatah,
Tatra
ho moha kah soka, ekatvam anupasyatah.
7
Sesungguhnya Atman itu ada dalam semua insan, maka
dalam kesadaran seperti itu mereka tidak akan ragu dan bimbang, kerena mereka
dinyatakan telah mengetahui hakikat (Paramatma Tattva).
Sa
prayagacchukram akayam avranam, asnaviram uddham apapa viddham,
Kavir
manisi paribhuh svayambhur, yathatathyato’rthan, vyadadhac chasvatibhyah
samabhyah. 8
Hendaknya diketahui
bahwa Dia Maha Kuasa, tak bertubuh, tak teraba, tak terkena oleh penderitaan,
Maha Suci, Maha Tahu, Maha Pemikir, Maha Besar, Ada tanpa diadakan, penganugrah
atas segala keinginan.
Melalui pemahaman yang mendalam tentang
hakikat segala yang ada, disertai kesadaran atas keberadaan Itu dan dirinya
sebagai bagian dari Reallitas Tertinggi, maka mereka akan mencapai kesadaran
agung, jiwanya bersinar sendiri yang
disebut Svayamprakàúa. Mereka menemukan jati dirinya dan
mengalami Jivanmukti, suatu kebebasan jiwa dari pengaruh suka dan duka, yang
menjadi dambaan setiap orang karena di sana ada kedamaian sejati.
Untuk mencapai keadaan itu, manusia
harus melakukan Yajna (Yaj = memuja) secara tulus dan harus memahami tentang
hakikat suatu tindakan Yajna itu. Mereka yang hanya bekerja tanpa pengetahuan
akan sia-sia. Demikian pula sebaliknya, mereka yang memiliki pengetahuan namun
tidak menggunakannya untuk bekerja tidaklah bermakna. Akan tetapi mereka yang
menggabungkan keduanya, yaitu bekerja dengan pengetahuan dan menerapkan
pengetahuan dalam bekerja dinyatakan akan mencapai pahala di dunia maupun di
alam niskala. Mantra 9 – 14 menjelaskan hal ini.
Andhaý tamaá praviúanti, ye
‘vidyām upāsate,
Tato
bhùya iva te tamo, ya u vidyāyāý ratāá. 9
Ia yang memujanya
karena avidyā (dengan mengikuti keinginan) akan masuk ke dalam kegelapan dan
kebodohan, demikian pula yang karena vidya akan lebih masuk ke dalam kegelapan.
Anyad
evāhur vidyayā, anyad āhur avidyayā,
Iti
úuúruma dhìrāóāý, ye nas tad vicacakûire. 10
Sesungguhnya
dikatakan lainlah akibatnya untuk vidyā, lain pula dikatakan akibat dari avidyā,
demikian didengar dari yang Maha Mengetahui, dijelaskan kepada kami.
Vidyām
cāvidyāý ca yas tad vedobhayaý saha,
Avidyayā
måtyuý tìrtvā vidyayāmåtam aúnute. 11
Hanya mereka yang
mengerti keduanya, vidyā dan avidyā (pengetahuan dan kebodohan) secara bersamaan,
dengan avidyā mereka melewati batas kematian, dan dengan vidyā akan menikmati
kekekalan.
Andhaý tamaá praviúanti, ye
‘sambhùtim upāsate,
Tato bhùya iva te tamo, ya u sambhùtyāý ratāá. 12
Mereka yang memuja Asambhùti akan masuk ke dalam
kebodohan dan kegelapan, demikian pula mereka yang memuja Sambhùti masuk ke dalam
kegelapan.
Anyad-evāhuá
sambhavād, anyad āhur asambhavāt,
Iti úuúruma dhìrāóāý ye nas tad vicacakûire 13
Yang satu dinyatakan pahala dari pemujaan Yang Maha Ada, yang
lain merupakan pahala dari pemujaan yang bukan Maha Kuasa. Semuanya telah
didengar dari Maha Rsi yang telah menjelaskannya dengan sempurna.
Sambhùtiý ca vināúaý ca yas
tad vedobhayaý saha,
Vināúena måtyuý tìrtvā sambhùtyāmåtam aúnute. 14
Seseorang hendaknya
mengenal keduanya baik-baik, hal yang absolut (transenden) dan yang dapat musnah (imanen); dengan yang
imanen mengatasi kematian dan dengan mengatasinya menuju yang transenden,
menikmati keabadian.
Upaya manusia untuk mencapai keabadian
memang merupakan cita-cita ideal. Keadaan yang dicita-citakan itu disebut
Moksa, atau disebut Jiwanmukti ketika mereka masih menjalani kehidupan. Namun
demikian, mengingat sang Jiwatman masih terbngkus badan (tri úarira) dengan berbagai lapisan mayanya (panca mayakosa) maka
sifat kemurniannya terbungkus oleh kegelapan pikiran. Dalam keadaan demikian,
manusia mengalami kegelisahan, rindu akan wujud sifat aslinya, rindu akan
Tuhannya. Oleh karena itu, setiap lapisan maya harus dibersihkan, menuju
keadaan yang lebih halus dan sempurna. Untuk ini setiap pelaku spiritual, sang
pencari kebenaran (Jijñasur) hendaknya selalu melakukan yajna,
persembahan, dan pemujaan disertai doa kepada Yang Maha Kuasa. Doa untuk visi
Tuhan dinyatakan dalam mantra 15 – 18. Mantra-mantra ini (biasanya tiga teks
mantra terakhir) dinayanyikan ketika seseorang akan meninggal dunia, untuk
mengingatkan asal mereka dan kemana akhir kehidupanyang dituju. Bunyi
selengkapnya mantra itu adalah:
Hiraómayena
pātreóa satyasyāpi hìtaý mukham,
Tat tvaý pùûann apāvåóu satya dharmāya dåûþa ye. 15
Oh Maha Pelindung semua mahluk hidup, wajah-Mu yang
sesungguhnya tertutup kecemerlangan sinar-Mu. Perlihatkanlah kepada hamba, dan
hilangkanlah kabut yang menutupi-Mu itu.
Pùûann ekarûe yama sùrya prājāpatya
vyùha raúmìn samùha tejo,
Yatte rùpaý kalyāóatamaý tatte paúyāmi yo ‘sāvasau
puruûaá so ‘hamasmi. 16
Oh Pùûan maha pelindung, Rsi
yang tunggal, Yama penguasa alam
semesta, Prajāpati
pencipta mahluk hidup, Sùrya yang
menjadi tujuan para pengikut yang setia; sebarkanlah cahaya-Mu dan tariklah sinar kemegahan-Mu yang
transenden agar hamba dapat melihat wujud-Mu yang maha suci. Engkau adalah Puruûa, sebagai Matahari
yang ada dalam jiwaku.
Vāyur
anilam amåtam athedaý bhasmāntaý úarìram,
Oý krato smara kåtaý smara,
krato smara kåtaý smara.
17
Biarlan badan ini musnah menjadi abu, nafas menjadi satu
dengan udara, Oh Tuhan, Seru Sekalian
Alam, semoga sang penikmat yajña selalu ingat akan semua kurban itu, hak atas karyanya,
ingatlah selalu yang telah dikerjakannya.
Agne
naya suphatā rāye asmān, viúvāni dena vayunāni vidvān,
Yuyodhy asmaj juhurāóam eno,
bhùyiûþhāý te nama uktiý vidhema. 18
O Agni, Tuhan Yang Maha Kuasa, bimbinglah kami semua ke
jalan yang baik, O Tuhan Yang Maha Mengetahui segala jalan dan perbuatan, jauhkan
kami dari jalan yang tercela, bebaskan kami dari dosa-dosa. Segala puja-puji
kami persembahkan kepada-Mu.
Mantra-mantra
Ìúàvàsyam Upaniûad, apabila dapat dipahami dan dihayati dengan baik, apalagi
diamalkan dengan sempurna, niscaya akan dapat mengantarkan seseorang menuju
kebahagiaan hidup yang damai, sejahtera, dan sentosa, bahkan juga mencapai
Moksa, walaupun hal itu merupakan summum
bonum bagi cita-cita akhir kehidupan berdasarkan Dharma.
Keadaan
Jiwatman yang sempurna, pada akhirnya ibarat sinar lampu meninggalkan
materialnya, mengikrarkan diri untuk menyatu dengan sinar Matahari yang maha
luas, karena tiada lagi perbedaan antara Jiwatman dengan Paramatman.
PENUTUP
Demikianlah gambaran tentang isi dan
makna mantra-mantra dari Ìúàvàsyam Upaniûad, semoga dapat dijadikan penawar kehausan di dalam meniti kehidupan yang selalu
merindukan jiwa murni, menuju relisasi Brahman
Atman Aikhyam.
Jakarta, 10 Februari 2012
I NENGAH DANA
UPANISAD 3
KATHA UPANIÛAD
Saha nav avatu saha na bhunaktu, saha viryam karavavahai,
Tejasvinav adhitam astu, ma vidvisavahai,
Aum santih
santih santih.
Semoga
Dia melindungi kami (guru dan sisya); semoga Dia berkenan kepada kami;
Semoga
kami dapat bekerja bersama dengan penuh semangat; semoga pelajaran itu akan
menerangi kami; semoga tidak terjadi perselisihan di antara kami.
Oh Tuhan,
semoga damai, damai, damai.
PENDAHLUAN
Kitab Katha Upaniûad dibagi ke dalam dua adhyaya (bab besar); tiap bab dibagi
lagi ke dalam tiga bagian yang disebut valli.
Adhyaya pertama terdiri dari 68 mantra (26, 25, dan 17) sedangkan adhyaya
kedua terdiri dari 48 mantra (15,15, dan 18) sehingga seluruhnya berjumlah 116
mantra.
Mantra-mantra yang terdapat
dalam Katha Upaniûad membahas topik-topik utama yang berkaitan dengan ajaran Jñàna Kanda, terutama tentang Atma
Vidya yang membahas secara mendalam hakikat Jìvàtman dengan sifat-sifatnya yang kekal.
Dalam kitab ini juga dibahas tentang Brahma
Vidya (masalah Ketuhanan), Brahman yang Maha Tinggi, Maha Purusa, dan ajaran
tentang sadhana (yang merupakan bagian Karma Kanda) untuk membebaskan jiwa dari
ikatan maya, guna mencapai kebahagiaan abadi.
Isi ajaran Katha Upaniûad tersebut dirangkai dalam dialog antara Naciketah dengan
Dewa Yama yang sekaligus sebagai guru spiritualnya. Oleh karena isi pengetahuan
yang dikandungnya lebih menekankan pada pengetahuan tentang Àtman dan cara pencapain penyatuannya dengan Brahman maka
kitab ini tergolong ke dalam jenis Paravidya (rahasia pengetahuan
yang lebih tinggi).
Nama kitab Katha Upaniûad diambil dari asal-usul isi dan mantra-mantra
yang diuraikan dalam kitab Upaniûad ini. Dalam kitab ini terdapat ceritra tentang Naciketah, yang juga
terdapat dalam Taittirīya Brāhmaóa. Mantra yang dikutip di atas, yang
dijadikan mantra pembuka Kathopaniûad ini ternyata diambil dari mantra Taittirīya Upaniûad
bab II bagian 1. Kitab
Taittirīya Brāhmaóa tergolong ke dalam Kåûóa Yajur Veda dan Upaniûad ini diambil dari bagian kathā sakhā dari Kåûóa Yajur Veda, karena itulah ia disebut
Katha Upaniûad atau disebut juga Kathopaniûad.
Naciketah adalah putra dari Vajasravasa,
yang juga dikenal bernama Gautama sebagai pelaksana ritual yajña (yàga). Naciketah dikenal sebagai putra yang
sangat luhur budinya dan selalu tulus dalam sikap dan perbuatannya, bahkan
bersedia dijadikan persembahan atau dakûina
dalam ritual yang
dilakukan oleh ayahnya. Karena ketulusannya maka Dewa Yama sendiri menginisiasi
Naciketah dalam disiplin spiritual.
POKOK-POKOK AJARAN KATHA UPANIÛAD
Kitab Kathopaniûad menguraikan berbagai hal yang
berkaitan dengan Jñàna Kanda dan Karma Kanda. Sebagaimana
dikemukakan di depan, bahwa ajaran dalam kitab Kathopaniûad dirangkai atau dikemas dalam alur
ceritra tentang Naciketah yang dijadikan persembahan kepada Dewa Yama.
Naciketah sungguh prihatin atas yaga
yang dilakukan ayahnya, yang menggunakan sapi-sapi yang telah uzur sebagai
sarana yaga atau dakûina. Vajasrava akan menghadiahkan sapi-sapi
yang sudah tidak mampu lagi memakan rumput atau meminum air dan menghasilkan
sedikit susu.
Melihat hal ini, Naciketah menyatakan bahwa ayahnya berada dalam keadaan yang
benar-benar menyedihkan, bahkan dianggap berdosa. Si anak ingin menyelamatkan
ayahnya dari nasib buruk dan ia memohon agar ayahnya mempersembahkan dirinya
sebagai pemberianatau yaga kepada
seseorang yang dikehendaki ayahnya. Ia mendesak kepada ayahnya agar ia juga
diberikan kepada seseorang. Mendengar permintaan anaknya seperti itu, sang ayah
menjadi gusar dan berteriak dengan rasa jijik, “Aku akan memberikanmu kepada
penguasa kematian”.
Naciketah
berketetapan hati, bahwa kata-kata ayahnya harus ditepati walaupun diucapkan
pada jiva-loka, yaitu keinginan
duniawi yang terpengaruh oleh kelahiran dan kematian. Oleh karena itu, ia
memohon kepada ayahnya untuk mempersembahkan dirinya dalam upacara ritual yang
ketat, sebagai sebuah pemberian kepada Yama.
Naciketah dengan tulus bersedia sebagai pengganti sarana persembahan, dengan
tujuan mulia untuk menyucikan yaga dalam
yajña yang dilakukan oleh ayahnya.
Guna
memenuhi ucapan ayahnya, Naciketah segera meneruskan perjalanannya menuju Yamaloka, tempat kediaman sang penguasa
kematian. Sampai di Yamaloka, Naciketah menunggu selama tiga hari tiga malam, tanpa ada yang
menyapanya. Ketika Yama sang penguasa kematian tiba, beliau merasa sedih dan meminta
maaf atas keterlambatannya menerima tamu brāhmana, Naciketah. Dewa Yama
kemudian mempersilakan Naciketah memilih tiga hadiah, satu untuk setiap malam
dan yang ia habiskan di luar pintunya.
Pertama-tama
Naciketah menghendaki, apabila ia kembali ke rumah dan ke tempat asalnya, atas
perintah Dewa Yama, agar ayahnya mau menyambutnya dengan senang, bebas dari
segala kemarahan yang tidak pada tempatnya, dan penuh dengan ketenangan mental.
Peermohonannya yang kedua adalah
untuk mengetahui rahasia absennya rasa lapar atau haus ataupun ketakutan akan
kematian di surga. Yama dengan suka
hati memberikan kedua permintaan ini, dan sebagai tambahan, Yama menginisiasi dalam sebuah ritual
khusus, beserta rahasianya. Naciketah mendengarkan dengan penuh hormat dan
menyimak rincian dari ritual tersebut. Yama
sangat senang dengan murid barunya ini, dan Ia memberi nama baru kepada Yāga tersebut sebagai Naciketah Agni.
Naciketah
berkata; “Junjunganku! Manusia itu mesti mati; tetapi beberapa orang mengatakan
bahwa kematian bukanlah akhir, dan bahwa ada suatu kesatuan yang disebut ātma yang menghidupi badan dan indriya;
sedangkan orang lain menyatakan bahwa tidak ada kesatuan seperti itu. Sekarang,
karena hamba memiliki kesempatan, hamba ingin mengetahui tentang ātma secara langsung.
Yama
ingin menguji keyakinan akan ketabahan si penanya dan ketegarannya untuk
mengetahui kebijaksanaan tertinggi. Apabila ia tidak layak, Yama tidak ingin menyampaikan
pengetahuan tersebut kepadanya. Lalu, Ia bersedia memberikan berbagai macam
hadiah yang berhubungan dengan kemakmuran duniawi dan kebahagiaan, kepadanya.
Ia mengatakannya bahwa ātma adalah
sesuatu yang sangat halus dan sukar dimengerti, yang melampaui pencapaian
pemahaman biasa. Yama meletakkan
beberapa buah hadiah dihadapannya yang dapat dinikmati lebih cepat dan lebih
baik. Naciketah menjawab: “Junjunganku yang terhormat! Uraianmu tentang
kesulitan memahaminya membuat aku merasa bahwa aku tak akan melewatkan
kesempatan ini, karena aku tak dapat memperoleh guru lain yan lebih mampu dari
pada-Mu untuk menjelaskan hal tersebut kepadaku. Aku minta hal ini sebagai
hadiah yang ketiga dan tidak yang lainnya. Pilihan hadiah yang Engkau sampaikan
kepadaku tak dapat meyakinkanku akan keabadian manfaatnya, dan hanya ātmajñāna sajalah yang dapat memberikan
manfaat seperti itu”.
Melihat kenyataan akan ketabahan serta śraddhā
dari Naciketah sedemikian itu, Yama
terkesan dan menyimpulkan bahwa ia pantas untuk menerima kebijaksanaan
tertinggi tersebut. Yama berkata:
“Baiklah, anakku naciketah! Ada dua type pengalaman dan dorongan hati yang
berbeda, yang disebut sebagai śreya
dan preya, keduanya mempengaruhi sang
pribadi; yang pertama membebaskan sedangkan yang kedua mengikat. Yang satu
membawa pada pembebasan dan satunya membawa pada penjelmaan kembali. Apabila
kamu mengejar jalan preya, kamu
meninggalkan realisasi tujuan tertinggi manusia. Jalan śreya dapat dikenali, tetapi jalan preya ditelusuri oleh mereka yang bodoh dan lalai melalui Vidyā; sedangkan mereka yang sadar,
mencari jalan śreya melalui Paravidya.
Anyac chreyo anyad utaiva preyaste ubhe
nànàrthe purusam sinìtah:
tayoh úreya àdadànasyà sàdhu bhavati,
hìyate’rthàd ya u preyo vånìte.
(I.2.1)
(Yama
berkata): Sesungguhnya ada perbedaan antara kebajikan dan kenikmatan. Kedua hal
ini dengan tujuan-tujuan yang berbeda, mengikat seseorang. Dari keduanya ini,
adalah lebih benar memegang kebajikan; tetapi dia yang memilih kenikmatan akan
gagal dalam tujuannya.
Úreyaú
ca preyaú ca manusyam etas tau samparìtya vivinakti dhìrah.
úreyo
hi dhìro’bhipreyaso våóìte, preyo mando yogaksemàd våóìte. (I.2.2)
Kebajikan
maupun kenikmatan kedua-duanya mendekati seseorang. Orang bijak, setelah
menimbang-nimbang, mulai membedakan. Yang bijaksana memilih kebajikan dari pada
kenikmatan. Orang yang bodoh, dengan alasan kesenangan duniawi, memilih
kenikmatan.
Avidyàyàm
antare vartamànàh, svayam dhìràh paóðitam manyamànàh.
dandramyamàóàá
pariyanti mùðhàá, andhenaiva nìyamànà yathàndhàá. (I.2.5)
Bersemayam
di tengah-tengah kebodohan, arif menurut pikiran mereka saja, merasa diri
mereka terpelajar, orang-orang pandir yang menelusuri tapak yang membuat
sengsara dan berjalan seperti orang buta yang dituntun oleh orang buta.
Yama
melanjutkan: “ātma itu tenang, tak
tergoyahkan; ia adalah kesadaran yang tak terbatas dan penuh. Mereka yang telah
mengetahui ātma, tak akan tergerak
oleh pemikiran dualitas dari “ada” dan “tidak ada”, “si pelaku” dan “bukan si
pelaku” dan sebagainya. Ātma juga
bukan merupakan suatu obyek yang diketahui! Ia juga bukan yang mengetahui, yang
diketahui, maupun proses mengetahui; bahkan juga bukan pengetahuan.
Pengungkapan hal ini merupakan visi teramat tinggi, dan pemberitahuan satu hal
ini merupakan instruksi tertinggi. Instrukturnya adalah Brahman, dan yang diinstruksikan juga adalah Brahman. Realisasi
dari kebenaran yang senantiasa ada ini, menyelamatkan seorang dari segala
keterikatan dan gangguan, sehingga ia membebaskan seseorang dari kelahiran dan
kematian. Rahasia besar ini tak dapat dicapai dengan logika dan harus diperoleh
dengan keyakinan pada kesadaran småti dan harus dialami sendiri. Ātma hanya mampu diketahui melalui
ketabahan yang maha besar. Seseorang harus mengalihkan pikirannya dari
kebiasaan alami, yaitu dunia obyektif, dan menjaganya agar tetap tenang tak
tergoyahkan. Hanya seorang pahlawan yang dapat berhasil dalam petualangan dalam
kesendirian, dan mengatasi rangsangan-rangsangan keakuan dan khayalan!
Kemenangan itu sendiri sajalah yang dapat melepaskan ketakutan.
Ajaran Vedānta
merupakan kebenaran tertinggi yang mampu diwujudkan oleh semua orang. Semua
naskah menyatakan hal tersebut dengan satu pendapat, dan ia juga menyatakan
bahwa pranāva atau suku kata tunggal Om merupakan simbol dari para dan apara Brahman; dan juga
menyatakan bahwa upāsanā dari pranāva membawa dalam upaya pencapaian
menuju tahap Hiraóyagarbha dan membantu untuk mencapai dua
tahapan dari Brahman. Hiraóyagarbha diselimuti oleh tirai paling tipis
dari māyā dan melalui Om, ia dapat disingkapkan dan para serta apara Brahman dapat diwujudkan.
Tam durdarúam gùðham anupraviûþaý guhàhitam gahvarestham puranam
adhyatma-yogadhigamena devam matva dhiro harsasokau jahati. (I.2.12)
Menyadari melalui perenungan bahwa
Tuhan Yang Satu, yang sukar dilihat, bersembunyi sangat jauh, bersemayam pada
goa (di dalam jantung), bersemayam dalam kedalaman hati, orang bijak
meninggalkan sukacita maupun kesedihan, jauh di belakang.
Etad
hyevaksaram brahma, etad hyevaksaram param.
Etad
hyevaksaram jnatva, yo yad icchati tasya tat. (I.2.16)
Suku
kata ini sesungguhnya mempunyai semangat yang tidak kunjung habis. Dan suku
kata ini adalah tujuan yang Maha Tinggi; dengan mengerti suku kata ini apapun
yang diinginkan seseorang, akan menjadi terwujud.
Kathopaniûad juga menguraikan dengan teliti
mengenai ātma dalam berbagai cara.
Dikatakan bahwa ātma tak dapat
diukur, dan tak akan pernah dapat diberi batasan-batasan. Bayangan matahari
pada sebuah danau yang airnya bergelombang akibat dari goncangan air yang
dihembus angin; sedangkan mataharinya sendiri berada jauh diatas sebagai saksi.
Ia tak terpengaruh oleh media yang menghasilkan bayangan tersebut. Demikian
pula ātma yang merupakan saksi dari
semua perubahan dalam ruang dan waktu.
Jivātman
yang dipribadikan oleh kebodohan,
merupakan peserta dari buah perbuatan benar dan salah, baik dan jahat;
sedangkan jiva memalsukan ikatan
melalui ke-aku-an dan melepaskan
ikatan tersebut melalui buddhi,
sebagai daya perlawanan dari kebodohan. Mewujudkan semuanya itu merupakan
perolehan kesempatan, dimana indriya-indriya (luar dan dalam) memadamkan
kegiatan-kegiatan. Mengesampingkannya sebagai palsu dan menyesatkan, kemudian
menggabungkan semuanya dalam manas. Manas
dikembalikan ke dalam buddhi, dan buddhi (kecerdasan yang dipribadikan) ke
dalam kecerdasan kosmis hiranyagarbha.
Setelah mencapai tahapan sādhanā
tersebut, kecerdasan kosmis digabungkan ke dalam ātmatattva, yang tiada berwujud. Pada tahap inilah tahapan nirvikalpasamādhi dapat dicapai. Nirvikalpasamādhi
adalah wujud ketenangan dalam kesatuan mutlak sempurna yang tak tergoncangkan
yang merupakan sifatmu yang sesungguhnya. Itulah rahasia yang diuraikan oleh Upanisad
ini yang merupakan kenyataan bahwa semua ciptaan itu merupakan suatu
pertumbuhan dari nama dan rūpa.
Jiwa sering kali dikelirukan oleh māyā (khayalan) yang selalu memburu dengan
rangsangan negatif dan karena itu harus dihancurkan. Jiwa harus dibangkitkan
dari tidur berabad-abad dan menuntunnya menuju tujuan. Hakikat Ātma sesungguhnya mengatasi sabda, sparsa, rūpa, rasa, dan gandha, serta tak mengenal akhir. Indriya-indriya merupakan
pengikat obyek, dan mengikatkan ke arah luar. Ātma merupakan peralatan utama bagi segala kegiatan dan pengetahuan,
yaitu daya motif bathin di belakang segala sesuatunya yang ada. Khayalan yang
bermacam-macam, bertumpuk-tumpuk tak terhitung jumlahnya, berasal dari ājñāna harus dijauhkan bahkan
dimusnahkan. Apa yang nampak di dunia ini merupakan suatu khayalan yang
disebabkan oleh “keadaan”, yaitu suatu perasaan bahwa Jivātman terpisah
dari Brahman Yang Esa, yang merupakan asal mula dari segala sesuatu. Yama kemudian menyatakan sifat Brahman kepada Naciketah, untuk melepaskan keragu-raguan tentang masalah
tersebut.
Seperti sebuah sinar yang terhalang asap, Purusa yang seukuran jempol (angustamatrah) bersinar selamanya.
Seperti banjir akibat hujan deras yang jatuh di pegunungan, terpecah-pecah
menjadi ribuan aliran air, demikian pula sang jivi, yang merasa banyak dan berbeda, jatuh ke bawah dengan
sia-sia. Upanisad ini menyatakan bahwa tak sesuatu pun yang lebih tinggi dari ātma, atau pun menyamainya. Akar dari
sebatang pohon tak terlihat dan tersembunyi di bawah tanah, tetapi pengaruhnya nampak
pada bunga yang dapat dilihat. Hal ini merupakan kenyataan dari samsāravåkûa, atau pohon kehidupan. Dari pengalaman
tersebut dapat disimpulkan bahwa akar, yang dalam hal ini adalah Brahman, merupakan penghidup dan
penunjang, kata Yama.
Pohon samsāra
itu seperti pohon mangga sulapan, yang hanya merupakan ilusi. Mereka yang telah
memurnikan buddhi-nya dapat melihat
di dalamnya, seperti pada sebuah cermin yang baik, sang ātma berada dalam setiap kehidupan. Brahman adalah jñeyam,
yaitu sesuatu yang diketahui oleh para pencari pengetahuan, dan juga adalah upasyam, yaitu sesuatu yang dicapai oleh
para pencari pencapaian. Seorang jñāni
dibebaskan oleh visualisasi dari Brahman,
tetapi seorang upāsaka mencapai Brahmaloka setelah kematian. Di sana ia
bergabung pada Hiraóyagarbha, dan pada akhir kalpa, ia dibebaskan bersama-sama dengan Hiraóyagarbha itu sendiri.
Naciketah
memahami Brahma Vidyā yang diajarkan Yama kepadanya ini tanpa satu cacat pun,
maka ia dibebaskan oleh kematian dan mencapai Brahman. Selama Brahma Vidyā
ini diperhatikan, maka mereka yang mencoba untuk mengetahui hal ini menjadi
seorang yang berkepribadian lebih baik, terbebas dari cacat dosa. Satu mantra
saja sudah cukup untuk menyelamatkan mereka yang telah mempertajam kecerdasan
dan menginginkan pembebasan sepenuhnya.
Ātma
itu seperti samudra, dan untuk menyuruh seseorang memahaminya, kita tak perlu
meminta mereka meminum seluruh air samudra tersebut. Setetes air yang diletakkan
di lidah, akan memberinya pengetahuan yang diperlukan. Demikian pula, apabila kita
menghendaki untuk mengetahui Upaniûad, juga tidak harus selalu mengikuti
setiap mantra. Dengan mempelajari dan mengalami pengertian dari satu mantra
dalam kesadaran murni, akan dapat mewujudkan tujuan sejati dari hidup ini,
tanpa kegagalan. Pelajari dan laksanakan,
itulah rahasia dari segala ajaran spiritual.
INTISARI AJARAN KATHA UPANIÛAD
Menyimak
dialog antara Dewa Yama yang memberi pencerahan kepada Naciketah, dapat dipetik
inti sarinya, bahwa Katha
Upaniûad, menekankan ajarannya pada penghayatan terhadap
hakikat Atman. Sementara itu, setiap bhakta harus mencari dan mengalaminya
dengan hati yang murni.
Badan
ini ibarat kereta, akal-budhi adalah kusirnya, citta atau inti pikiran adalah
intelegensi yang merupakan kendalinya, objek indriya adalah visaya yang
diibaratkan sebagai jalan yang harus dilalui menuju sang pemilik kereta, yaitu
Atman, tempat yang tertinggi di kedalaman hati yang murni. Seseorang yang
kereta raganya dikemudikan oleh akal-budhi, yang mengamati dan memegang kendali
citta dengan baik, niscaya akan mencapai akhir perjalanan, yaitu Jiwa Tertinggi
yang abadi, menyatu dengan Yang Maha Ada di balik Jivātman yang suci murni, yaitu
Brahman, Purusa Tertinggi yang disimbolkan dengan aksara suci Om. Sampai di
sini, perjalanan itu berakhir, karena mereka mencapai Kaivalyam, pembebasan
sejati.
Demikianlah
dinyatan dalam mantra berikut ini.
Atmanam
rathinam viddhi, sariram ratham eva tu:
buddhim
tu saradhim viddhi, manah pragraham eva ca. (I.3.3)
Ketahuilah
Atma sebagai penguasa dari kereta dan badan sesungguhnya adalah kereta dan
ketahuilah buddhi sebagai kusir kereta dan fikiran sesungguhnya adalah
kendalinya.
Indriyani
hayan ahur visayams tesu gocaran,
atmendriya-mano-yuktam
bhoktety ahur manisinah.
(I.3.4)
Indria-indria
kata mereka adalah kudanya; obyek-obyek indria adalah jalannya (yang akan
mereka lalui); (atman) yang berhubungan dengan raga, indria-indria dan fikiran
adalah penikmat, kata orang yang bijak.
Esa
sarvesu bhutesu gudho’tma na prakasate,
drsyate
tvargyaya buddhya suksmaya suksma-darsibhih. (I.3.12)
Atman yang walaupun letaknya
tersembunyi dalam semua makhluk, tidak bersinar ke mana-mana tetapi bisa
dilihat oleh para penglihat yang halus, melalui buddhi mereka yang tajam dan
halus.
PENUTUP
Sebagai penutup, mari
kita hayati mantra di bawah ini.
Uttisthata
jagrata prapya varan nibodhata,ksurasya dhara nisita duratyaya;
durgam
pathas tat kavayo vadanti.
(I.3.14)
Berdirilah, bangunlah, setelah
memperoleh apa yang anda minta, anda harus mengertikannya. Setajam mata pisau
dan sulit untuk diseberangi, berat untuk dituntun adalah jalan itu. Begitu ucap
para Rsi.
Naciketam
upakhyanam mrtyu-proktam sanatanam
uktva
srutva ca medhavi brahma-loke mahiyate. (I.3.16)
Ceritera kuno mengenai Naciketa ini,
yang diceriterakan oleh Dewa Kematian, dengan menceriterakan dan mendengar hal
ini, seorang yang bijak akan mencapai dunia Brahman.
Ya
imam paramam guhyam, sravayed brahma samsadi,
prayatas
sraddha kaleva tad anantyaya kalpate, tad anantyaya kalpate. (I.3.17)
Siapa
yang membacakan rahasia Maha Tinggi ini di dalam sidang Brahmana atau
pengikutnya dalam upacara kematian, ini akan mempersiapkan dia kepada hidup
yang kekal.
BÅHADÀRAÓYAKA
UPANIÛAD
PENDAHULUAN
Kitab Båhadàraóyaka Upaniûad adalah kitab Sruti yang
tergolong ke dalam kitab
Sukla Yajur Veda. Kitab Upaniûad ini diberi nama Båhat karena ukurannya yang besar dan isinya
yang luas; sedangkan sebutan àraóyaka diambil dari kata àraóya yang berarti hutan, karena ia
merupakan kitab yang terbaik untuk dipelajari di keheningan atau tempat yang
sunyi. Mengapa demikian? Hal ini dikaitkan dengan isi kitab yang merupakan
hasil penemuan dan perenungan para Maharsi yang tinggal pada pasraman di hutan
dan menjelaskan ajaran tentang Brahmatattva,
Brahmajñàna serta cara mencapainya yang disebut upàsanà.
Pokok-pokok
ajaran Upaniûad pada umumnya memiliki persamaan
topik pembahasan, yaitu tentang: Brahman, Atman atau Jivatman, Maya dan Avidya
yang dikaitkan dengan pengetahuan pribadi terhadap Brahman dan alam sekitarnya
baik metafisika maupun kosmologi. Di dalam kitab Båhadàraóyaka Upaniûad, tercakup ajaran yang lebih luas,
lengkap, dan teliti. Di samping mengajarkan tentang Brahman dan Atman, Båhadàraóyaka Upaniûad juga mengajarkan tentang Karma dan
Karmaphala, Samsara dan penitisan kembali, etika kebajikan dan cara pempebasan Jivatman
dari belenggu pràóa, indriya-indriya maupun dualisme
keinginan, sampai menemukan identitas kebenaran yang hakiki, mencapai realitas
Diri, yaitu Mokûa. Oleh karena itu, kitab ini harus dipelajari dengan
sungguh-sungguh disertai kecermatan pemahaman melalui perenungan batin dan
praktek upàsanà
serta jangka waktu yang relatif panjang.
Isi kitab Båhadàraóyaka Upaniûad terdiri atas enam Bab (adhyaya?)
yang masing-masing dibagi dalam beberapa bràhmana
atau dalil-dalil
ajaran. Keenam Bab tersebut digolongkan
ke dalam tiga bagian atau kàóða.
Dua bagian pertama
dari kitab ini disebut Madhu kàóða,
dua bagian berikutnya
disebut Muni kàóða, dan dua bagian terakhir disebut Khila kàóða. Madhu
kàóða mengajarkan prinsip atau identitas
dasar dari perseorangan dan alam semesta yang sangat penting untuk kemajuan
spiritual; Muni kàóða memberikan pembenaran secara falsafah
dari ajaran ini, dengan mereferensi pada pengalaman spiritual melalui
pengamalan ajaran Úruti; sedangkan Khila kàóða menunjukkan bagaimana melaksanakan dan
menguasai ajaran itu melalui beberapa macam pemujaan atau upàsanà
untuk menjawab
secara garis besar tiga tahap kehidupan beragama.
Kitab ini menjelaskan tentang tiga
tahapan yang dilakukan sebagai persiapan menuju visi Brahman yang dikenal
dengan istilah brahma-sàksàtkàra, terdiri atas sravana (mendengarkan ajaran atau upadeúa dengan penuh keyakinan), manana (berusaha untuk membentuk gagasan yang jelas
melaui pemikiran logis), dan nididhyàsana (perenungan mendalam atau samadhi tanpa pembedaan antara yang
memuja dengan objek yang dipuja). Untuk itu, setiap orang yang mempelajari
kitab ini harus memiliki niat yang sungguh-sungguh, berupaya dan berlatih
mengamalkan kebajikan-kebajikan pokok yang tercantum dalam ajaran Upaniûad ini.
GARIS BESAR ISI
AJARAN
Madhu
kàóða
Sebagaimana telah dikemukakan di depan
bahwa dua bagian pertama (Bab I dan II) dari kitab Båhadàraóyaka Upaniûad ini digolongkan ke dalam Madhu kàóða, yang menguraikan atau Brahmatattva, yaitu hakikat Brahman dalam pandangan kategori yang diterima seperti
yang diperintahkan dalam Veda Úruti. Tiap Bab terdiri dari enam bràhmana.
Bab I membicarakan tentang penciptaan
alam semesta oleh Prajàpati (kemahakuasaan Brahman dalam
mengendalikan semesta), yang berawal dari hampa (naiveha) dan tiada sesuatu (na
ayayà), kemudian memancarkan fikiran kausal
guna menciptakan Atman (atmaivedam agra asit)
sebagai asas ciptaan pertama. Atman itu menjadi sumber berkembangnya semua
ciptaan, alam semesta beserta isinya. Prajàpati membagi alam ciptaan-Nya menjadi tiga loka yang dapat
diperoleh dengan cara yang sesuai menurut dharmanya. Ketiga loka itu adalah
Manusya-loka yang hanya bisa diperoleh melalui keturunan, Pitri-loka yang bisa
diperoleh melalui persembahan, dan Deva-loka adalah dunia terbaik yang hanya
diperoleh dengan pengetahuan
Prajàpati memiliki tiga sifat kekuatan yang kekal, yaitu:
fikiran, wicara/suara-nada/sabda, dan udara vital/nafas (mano vàg prànam). Tiga sifat kekuatan yang kekal ini
melekat pada Atman. Atman adalah sumber Purusa yang merupakan pribadi awal dan
cikal-bakal dari semua kejamakan nama dan bentuk (Nàma-Rùpa) pada alam semesta ini. Oleh karena
itu, alam semesta ini dinyatakan
sebagai sesuatu yang nyata oleh khayalan yang sebenarnya dikacaukan oleh Nàma dan Rùpa
yang merupakan sifat
dasar alam, di samping Karma atau
pekerjaan/perbuatan. Semua Nàma
muncul karena vàk/suara-nada/vicara, Rùpa atau bentuk/wujud muncul karena cakûu/penglihatan, sedangkan Karma atau perbuatan memiliki úarira/badan sebagai sumbernya. Badan
hanyalah merupakan struktur bagi vàk
dan indra lainnya.
Pràna adalah udara di alam dan nafas vital yang bersifat abadi,
yang menjadikan alam dan badan ini
sebagai basisnya. Pràna menempati kedudukan pusat di antara
nafas vital pada vak, caksu dan srotra; demikian pula udara yang tidak pernah
habis dan tidak pernah beristirahat, menempati kedudukan di antara dewata Agni,
Aditya, dan Candra. Prana akan meninggalkan basisnya ketika menyatu dengan
Atman.
Selanjutnya dalam Bab
II, Båhadàraóyaka Upaniûad membicarakan tentang kemahakuasaan Brahman sebagai objek
pemujaan yang menyebar pada ciptaan-Nya (Ista-Devata?).
Pembicaraan ini berlangsung dalam dialog antara Gargya dan Ajatasatru, yang
pada akhirnya berkesimpulan bahwa objek pemujaan yang terbaik adalah yang
dilandasi oleh kesadaran pengetahuan pada Atman sebagai pemilik yang menjadikan
keberadaan semua makhluk (atmanviha
bhavati). Atman diumpamakan seperti Laba-laba bergerak dalam jaringnya dan
seperti percikan sinar yang keluar dari api. Seluruh Pràna/nafas vital,
alam, dewata, dan semua makhluk datang dari Atman. Semua nafas vital
tercakup dalam satu oknum.
Brahman sebagai
sumber Atman dinyatakan memiliki dua wujud sifat hakiki, yaitu berwujud dan
tidak berwujud, fana dan abadi, bergerak dan tidak bergerak, keberadaan tetap
dan relatif. Apa pun yang berwujud, yang fana, yang bergerak, dan yang relatif
bukanlah sifat-Nya yang hakiki, akan tetapi Dia sebagai inti dalam ruang segala
yang ada (antaràtman); Dia dinyatakan melalui ajaran: na iti na iti, na hyetasmad iti, na ityanyat
param asti yang artinya: “bukan ini, bukan yang ini, sebab tidak ada yang
lebih tinggi dari yang ini, Dia bukanlah yang fana ini”.
Sesungguhnya Atman
itu bersifat abadi dan kekal karena merupakan kesatuan dengan Brahman. Setiap
makhluk memiliki ini dan berasal dari sini, oleh sebab itu maka setiap orang
harus melimpahkan kasih sayangnya kepada semua ciptaan. Namun demikian, kasih
sayang dicurahkan bukanlah untuk kepentingan perseorangan atau pribadi, maupun
semua yang dikasihi, melainkan untuk kepentingan Atman. Atman inilah yang
seharusnya dilihat, didengar, difikirkan, dan dijadikan objek samadhi karena semua
ini sesungguhnya adalah Atman (idam
sarvam yad ayamàtma).
Berkaitan dengan itu
maka kehidupan setiap makhluk dengan alam semesta atau kosmos lainnya mempunyai jalinan hubungan yang
manis seperti madu, saling memerlukan, saling bergantung dan saling menopang. Pañca Mahabhùta, Matahari, Bulan, Kilat, Angkasa, Awan,
dan sebagainya adalah seperti madu untuk semua makhluk, demikian pula semua
makhluk adalah bagaikan madu bagi mereka. Atman, juga seperti madu untuk semua
makhluk dan semua makhluk seperti madu untuk Atman. Oknum yang bersinar itu berada
pada semua makhluk adalah abadi, Dia adalah Atman, Dia adalah Brahman, Dia
adalah semua ini (ayam eva sa yo’yam
atma, idam amåtam, idam Brahma,
idam sarvam). Kalimat
tersebut tercantum pada setiap akhir mantra 1 – 14 dari Brahmana Kelima, bab II
kitab ini. Kemudian di dalam mantra 19 dinyatakan kalimat kesimpulan yang
berbunyi: “......tad etad brahmàpurvan,
anaparam, anantaram, abahyam ayam atma brahma sarvànubhùh,
ityanusàsanam” yang artinya: “Brahman ini adalah yang tanpa sebelumnya, tanpa
sesudahnya, tanpa sesuatu yang di dalam dan yang di luar, Atman ini adalah
Brahman, yang maha tahu; inilah ajarannya”.
Seluruh isi Madhu kàóða merupakan ajaran pokok tentang Brahmatattva (kahikat Brahman) dan Brahmajñàna (pengetahuan tentang Brahman), termasuk
Atman dan kesemarakan wujud, serta proses penciptaan-Nya. Itu merupakan ajaran
dasar yang tercantum di dalam kitab suci Veda Úruti dan tidak mereferensi kepada pengalaman spiritual.
Muni kàóða
Bab III dan IV dari kitab
Båhadàraóyaka Upaniûad berisi uraian yang disampaikan oleh Maharsi Yajñàvalkya dan merupakan penjelasan ulang tentang hakikat
Brahman dan Atman serta hubungannya dengan makhluk ciptaan lainnya. Penjelasan
diberikan sebagai pembenaran secara falsafah terhadap apa yang telah diuraikan dalam Madhu kàóða, dengan mereferensi pada pengalaman
spiritual melalui pengamalan ajaran Úruti. Bab III dari kitab ini terdiri
atas sembilan brahmana, sedangkan Bab IV terdiri atas enam brahmana.
Pada bagian atau kàóða
ini juga dijelaskan
tentang upàsanà
atau pemujaan yang
dihubungkan dengan karma atau
kegiatan ritual. Penjelasan
tentang ajaran ini dikemukakan dalam dialog pada kegiatan Yàga yang diselenggarakan oleh raja Janaka
dan dihadiri oleh para brahmana terkemuka saat itu serta siap untuk mengajukan
pertanyaan kepada Maharsi Yajñàvalkya
yang menjadi narasumber utama pada kegiatan upacara Yàga itu.
Para brahmana itu ialah: Asvala, Arthabhàga,
Bhujyu Lahyayani, Usastta Cakrayana, Kahola Kausitakeya, Gàrgi Vàcaknavi, Uddàlaka Aruni, dan Vidagdha Sakalya., yang siap menjawab segala pertanyaan
yang diajukan. Pertanyaan di mulai dari hal-hal yang bersifat teknis ritual,
pengetahuan tentang keagamaan, sampai kepada yang bersifat filosofis dan
hakikat/Tattva.
Seluruh pertanyaan
itu dapat dijawab dengan baik, bijak, dan memuaskan oleh Yajñàvalkya. Beliau menjelaskan tentang
teknis berbagai pelaksanaan Yajña oleh para Hotå, Udgatå, dan Advaryu,
tentang delapan alat pencerap atau penerimaan objek pencerapan. Kedelapan alat
pencerap atau penerimaan itu dikuasai atau dikendalikan oleh objek pencerapan,
yang masing-masing adalah: prana oleh
apana (atau grana oleh gandha), vàk oleh nàma, jihva oleh rasa, caksu
oleh rupa, srotra oleh sabda, manah oleh kama, hasta oleh karma, dan
tvak oleh sparsa. Yajñàvalkya juga menjelaskan tentang karma
dan upàsanà
serta cara pencapaian Atma yang terkurung dalam Pràna melalui penyatuan
karma yoga dan bhakti yoga. Atma yang terkurung oleh Pràna itu adalah Purusa, dia memiliki kesatuan dengan indriya-indriya
yang terlibat dalam perputaran saýsàra, akan tetapi, Atma yang ada di dalam
diri ini adalah kesatuan yang sesungguhnya dicari; bagaikan sebatang kayu,
tidak akan dapat bergerak sendiri melainkan harus digerakkan oleh kekuatan luar atau kekuatan dalam, tangan
yang baru bisa bergerak bila ada kehendak. Demikian pula badan ini tidak akan
dapat berbuat bila daya supra spiritual tidak memerintahkannya, atau bila udara-udara
vital tidak brfungsi dengan semestinya. Dia adalah Atmàntaryami, sang pengamat dan pengendali dari dalam;
Dia yang melihat mendengar, membau, merasa, dan mengecap; Dia adalah supra
kesadaran (Purusa atau Cetana) sebagai pencerminan Atma yang dipantulkan dalam
pikiran, menggerakkan indriya-indriya dan memahami dunia luar dari lima unsur (pañca mahabhùta). Dengan demikian Dia nampak seperti
terikat dengan suatu kegiatan indriya, namun sesungguhnya Dia tidak memiliki
kegiatan.
Puruûa itu adalah Atmàntaryamitva
yang melampaui
pencapaian indriya-indriya, dan mengatasi serta melampaui badan halus maupun
badan penyebab. Dia dapat dipahami dengan pengalaman dan Atma itu hanya dapat
dicapai dengan tyàga, yaitu ketidakterikatan secara total.
Keterikatan berasal dari kàma,
keinginan. Demikian
pula karma sàdhana, juga berkaitan dengan kàma sehingga bertentangan dengan hakikat saýnyàsa. Terang dan gelap tidak dapat terjadi
bersamaan di tempat yang sama, demikian pula karma dan Atmajñàna
juga tidak dapat
terjadi bersama-sama. Para brahmana jaman dulu melepaskan keterikatan melalui Nivåtti-marga guna mewujudkan realitas diri,
mencapai kesadaran sejati.
Atma dikatakan
memiliki sarvàntaryamitva. Bahwa seluruh bumi ini
dapat didiami melalui persekutuannya dengan air; atau bila tidak, ia akan jatuh
berkeping-keping seperti tepung. Kemudian, Gàrgi menanyakan apa yang memjadi dasar dari bumi ini? Yajñàvalkya menyatakan bahwa tanah, air,
ether, matahari, bulan, bintang, dewa, Indra, Prajapati, dan Brahma-loka satu
sama lain saling terjalin dari Paramatma Tattva, yang merupakan tenunan kainnya
penciptaan. Gàrgi menyatakan bahwa kebenaran yang demikian itu melampaui
imajinasi manusia. Ia harus direguk dari susastra Veda dengan kecerdasan yang
dimurnikan. Yajñàvalkya
menyalahkan argumentasi itu karena masalah Paramatma Tattva tidak bisa
dipecahkan dengan kecakapan dan kecerdasana semata. Ia harus dipecahkan dengan
intuisi yang deperoleh dengan bimbingan seorang Guru.
Bumi ini
diresapoleh Vayu atau udara; Yng univesal dipribadikan sesuai dengan
kesan-kesan dari pengalaman pada kehidupan sebelumnya, yang dihubungkan dengan pañca karmendriya,
pañca jñànendriya, pañca
prana, manah dan buddhi. Badan
yang konkret merupakan vikàra atau mutasi dari bumi yang diresapi
oleh Vayu. Apabila udara meninggalkan badan untuk selamanya maka jasad ini
menjadi tak terurus, kemudian menjadi sesosok mayat. Walaupun demikian,
terdapat sebentuk antaryamin, roh imanen dalam persemayaman kompleks badan. Dia
adalah rahasia yang melampaui pencapaian kompleks tersebut dan merupakan
penggerak dari dorongan hati, Dia tidak memiliki kematian; Itulah Purusa, Atmàntaryamitva.
Ketika ditanyakan:
pada siapa Dia bersandar di masa lalu, sekarang, dan nanti dalam alam dualitas
ini? Yajñàvalkya
menjawab: bahwa brahmavid atau yang
menguasai kebijaksanaan brahmik
menyatakan Parambrahman itu imanen
dalam akàúa yang tak terwujudkan, Dia
tidak memiliki wujud kasar, halus, maupun perubahan, Dia tidak memiliki
kualifikasi material dan tidak ada ukuran untuk memahaminya. Atma adalah
kesemarakan, seperti matahari dengan sifatnya sendiri. Dia tak dapat dilihat
maupun melihat karena Dia tidak memiliki yang kedua yang berada di luarnya. Dia
tidak memiliki suatu organ, namun dengan bekerja-sama akan dapat melakukan
suatu fungsi tertentu.
Seluruh organ tubuh
bersifat fana, tetapi Dia, sang Atma bersifat abadi. Bagaikan sebatang pohon
yang tumbuh dari sebutir benih yang kecil, benih dalam buah tumbuh menjadi
pohon, kemudian berbuah, buahnya yang telah matang akan jatuh ke tanah dan
tumbuh menjadi pohon yang lain. Apabila badan ini seperti buah matang yang telah
jatuh ke tanah, vàk dan indriya
lainnya juga mengikutinya, nafas mengambil jalannya sendiri, namun, hanya Atma
yang tidak terpengaruh oleh salah satu jalan tersebut. Dia selamanya tetap tak
bergerak dan tak dapat digerakkan. Melalui karma atau perbuatan, yang buruk
menimbulkan dosa, yang baik menimbulkan kebajikan; demikianlah pàpa dan puóya bertimbun. Semua karma itu menghasilkan dorongan-dorongan sebagai
daya penggerak bagi sesosok badan baru. Atma meninggalkan badan yang rapuh,
dengan pandangan yang diarahkan pada badan baru yang ditempatinya.
Seorang Atmajñàni
tidaklan demikian; ia tidak memiliki
dorongan terhadap kegiatan badan, sehingga Atma sama sekali tidak dicemaskan
oleh badannya. Jñànamarga
merupakan jalan bagi brahmavid, yaitu orang yang mengetahui dan memiliki kesadaran
Brahman. Kegairahan karmanya dituntun menuju tapas, terlepas dari kàma sehingga fikirannya tidak mengenal
rasa takut, sengsara ataupun kerinduan. Ia dinyatakan sebagai visvakartha, yaitu seniman yang
benar-benar telah berkembang dari ciptaan. Dia yang telah mencapai visi
Brahman, tidak ada sesuatu hal lagi yang harus dicari, dicapai, dilindungi,
maupun diwujudkan, karena dia telah mencapai tyaga, vairagya, dan
pembebasan menuju Mokûa.
Khila kàóða
Bab V dan VI dari kitab Båhadàraóyaka Upaniûad digolongkan ke dalam Khila kàóða,
berisi uraian tentang
bagaimana melaksanakan dan menguasai ajaran itu melalui beberapa macam pemujaan
atau upàsanà,
yang dihubungkan dengan kegiatan ritual untuk mencapai tujuan tertentu.
Ajaran ini dimaksudkan untuk menjawab secara garis besar tiga tahap kehidupan
beragama, yang disebut brahma-sàksàtkàra.
Bab V terdiri atas 15 (lima belas) brahmana dan Bab VI terdiri atas 5 (lima)
brahmana. Oleh karena itu diperlukan waktu khusus yang cukup untuk
menjelaskannya.
Ada dua ajaran penting yang perlu
dikutip sebagai dasar keyakinan dan perbuatan di dalam kehidupan ini. Yang
pertama adalah tentang keberadaan Brahman dan ciptaan-Nya yang sempurna; yang
kedua adalah tiga pokok kebajikan yang wajib diamalkan dalam kehidupan ini.
Yang
pertama merupakan
dasar keyakinan, dikutip dari mantra pada Bab V brahmana pertama, yang
berbunyi:
Pùrnamadah pùrnamidam, pùrnat pùrnam udacyate,
pùrnasya pùrnam
adàya, pùrnam evàvasisyate.
Aum kham
brahma, kham puranam vayuram kham,
iti ha smaha
kauravyayani putrah,
vedo’yam
brahmana viduh, vedainena veditavyan.
Artinya:
“Itu adalah sempurna, ini adalah
sempurna, dari yang sempurna mencullah yang sempurna, bila diambil kesempurnaan
dari yang sempurna, maka yang sempurna itu tetap sempurna. Aum, Brahman adalah
angkasa, angkasa pemula, angkasa yang bertiup; begitulah putra Kauravyayani menyatakan, inilah Veda
yang dimengerti oleh orang bijak (brahmana), melalui hal ini seseorang akan
mengerti tentang apa yang harus dimengerti”.
Mantra di atas mengandung pengertian
bahwa yang yang sempurna itu adalah Brahman sebagai Yang Ada Pertama. Dari
Brahman diciptakanlah yang
sempurna, yaitu Atman yang menjadi sumber dari inti setiap ciptaan.
Yang
kedua merupakan
dasar perbuatan, dikutip
dari mantra pada Bab V brahmana kedua, yang menceriterakan sebagai berikut:
Mantra
1. Tiga keturunan Prajāpati: devata, manusia, dan asura hidup bersama mereka dan menjadi
murid dari sang ayah, yaitu Prajāpati sendiri. Setelah menyelesaikan masa belajarnya, para dewata
berkata: ‘Tuhanku, mohonlah kami diajar terus.’ Kepada mereka beliau
menggumamkan satu aksara da dan bertanya, ‘apakah kalian mengerti?’ ‘Kami sudah mengerti, paduka
mengatakan “dàmyata” kepada kami’, “kendalikan dirimu”.
Dia menjawab: ‘Ya, kalian sudah mengerti’. (Para dewata dikatakan memang bersifat
susah diatur dan karena itu diminta untuk mengendalikan diri).
Mantra
2. Kemudian manusia
berkata kepada Prajāpati: ‘Tuanku, mohonlah kami diajar terus.’
Kepada mereka juga beliau menggumamkan aksara yang sama, da dan bertanya: ‘Apa kalian sudah mengerti?’ Mereka menjawab:
‘Kami sudah mengerti, Paduka mengatakan “datta” kepada kami’, “memberi”. Dia menjawab:
‘Ya, kalian sudah mengerti’. (Manusia
biasanya tamak dan karena itu mereka semestinya membagikan hartanya sebaik
mungkin).
Mantra
3. Kemudian para
asura berkata kepadanya: ‘Tuanku, mohonlah kami diajar terus. ‘Kepada mereka
beliau juga menggumamkan aksara yang sama, da
dan berkata: ‘Apa kalian sudah mengerti?’ Mereka menjawab: Kami sudah mengerti.
Paduka mengatakan, “dayadhvam”, “haruslah welas asih.” Dia menjawab:
‘Ya, kalian sudah mengerti’. (Asurā
itu kejam dan suka melukai orang lain, mereka
harus mempunyai welas asih dan baik kepada yang lain).
Pada saat yang sama, suara dari sorga
bergema menirukan: da, da, da iti, damyata
datta dayadvam iti, tad etad trayam sikset, dama, danam, dayam iti. Kendalikan
dirimu, berikanlah, kasihilah. Setiap orang mesti melatih ketiga hal yang sama
ini, mengendalikan diri, memberi dan welas asih.
Ada pendapat bahwa tidak ada asura
maupun dewata, tetapi hanya ada manusia. Bila mereka tiada memiliki
pengendalian diri, tetapi mempunyai sifat-sifat baik yang lain mereka adalah dewata;
bila mereka benar-benar rakus maka mereka adalah manusia; bila mereka kejam dan
suka melukai orang lain, mereka adalah asura. Manusia sendiri dibedakan menjadi
tiga kelas ini menurut kemampuan mereka mengendalikan diri dan pemilikan dari
kekurangan yang lainnya sesuai dengan pengaruh triguna, yaitu sattvam,
rajas, dan tamas.
Dengan demikian, apabila seseorang
hendak mencapai tujuan yang mulia, bahkan penyatuan dirinya dengan Atman, di
dalam maupun di luar, dia harus mengamalkan tiga kebajikan pokok tadi, yaitu damam (mengendalikan diri), dànam
(memberi pelayanan
dengan ikhlas), dan dayàm
(kasih-sayang
terhadap sesama ciptaan-Nya).
PENUTUP
Demikianlah sebagian kecil dari ajaran
yang tercantum di dalam kitab Båhadàraóyaka Upaniûad, yang dapat disajikan dan masih memerlukan waktu untuk
penyajian lebih lanjut, agar isinya dapat dipahami dengan sebaik-baiknya.
Jakarta, 20 April 2012
UPANISAD 5
SVETÀSVATARA
UPANIÛAD
PENDAHULUAN
Kitab Svetàsvatara adalah kitab Sruti yang tergolong ke dalam kitab Taittiriya pada Yajur Veda. Nama Svetàsvatara, menurut para akhli Indologi diduga diambil dari nama
Maharsi yang menghimpun dan menyusunnya. Sveta
artinya putih atau bersih atau suci. Asva
adalah indriya atau panca indra.
Ditinjau dari segi isinya, dapat disimpulkan
bahwa kitab Svetàsvatara memusatkan pokok bahasannya
pada ajaran Ketuhanan, yang berusaha menjelaskan bahwa otensitas ajaran Veda
adalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan penemuan dan penulisan kitab
Svetàsvatara itu dimaksudkan untuk lebih
menjelaskan dan menegaskan bahwa ajaran Veda sesungguhnya bersifat monotheistik.
Dalam menulis atau menyusun pokok-pokok
pejelasan ajaran Veda , terutama yang
bersumber dari Yajur Veda itu, Maharsi telah berusaha dengan sistim dan
metodologinya memberi penjelasan tentang pengertian Tuhan, yang di dalam kitab
itu lebih umum disebut dengan gelar Brahman.
Pembahasannya meliputi pengertian,
sifat-sifat-Nya, cara mencapai tujuan atau cara memahami agar sampai
pada pengertian yang benar, sebagai jalan menuju Tuhan Yang Maha Esa.
Kitab Svetàsvatara ini sering dijadikan sebagai referensi atau sumber
informasi yang amat penting dalam mempelajari Theologi Hindu, karena dasar
bahasannya mencakup ajaran Ketuhanan secara mendalam. Melalui kitab inilah
mulai diperoleh kejelasan pengertian mengenai Brahman dengan sifat-Nya yang
imanen dan transenden, yang memang pada dasarnya sangat sukar dicerna bila
tidak dipelajari dan dihayati secara sungguh-sungguh. Kitab ini juga membahas
mengenai hakikat yoga-dhyanam atau yoga-samadhi yang kemudian menjadi
jalan yang paling umum diterapkan oleh agama Buddha sebagai jalan menuju
kesempurnaan.
Kitab Svetàsvatara Upaniûad terbagi atas 6 (enam) bab.
Masing-masing bab terbagi atas beberapa topik atau sub pokok bahasan yang pada umumnya
berbentuk syair-syair yang singkat. Kitab iji secara keseluruhan isinya terdiri
atas 113 syair atau mantra yang tidak sama panjangnya.
a. Bab I terdiri atas 16 mantra;
b. Bab II terdiri atas 17 mantra;
c. Bab III terdiri atas 21 mantra;
d. Bab IV terdiri atas 22 mantra;
e. Bab V terdiri atas 14 mantra;
dan
f. Bab VI terdiri atas 23 mantra.
Uraian dalam
kitab ini dimulai dengan diskusi oleh para maharsi mengenai Jagatkarana atau
penyebab awal dan terakhir dari dunia, yang sampai pada kesimpulan bahwa Devàtmaúakti
atau Paramatman dengan kekuasaan yang ada
pada diri-Nya adalah menjadi penyebab semua itu. Kebenaran ini ditemukan oleh
para maharsi melaui dhyana-yoga atau samadhi-yoga.
AJARAN
DALAM SVETÀSVATARA UPANIÛAD
Bab I,
merupakan bagian pertama yang mencoba mengungkapkan permasalahan pokok yang
menjadi topik yang selalu dibahas dalam pasraman-pasraman, antara Guru Brahmana
yang dianggap akhli dengan para muridnya atau cantriknya yang telah diinisiasi
menjadi Brahmacari. Pokok bahasan ini terutama menyangkut pemikiran tentang
pengertian mengenai hakekat Ketuhanan baik sebagai ajaran maupun sebagai jalan
mencapai kesadaran, karena di dalam Veda pengertiannya belum dapat dipahami
dengan jelas. Sebagai bahasan tentang hakekat Itu maka para pengkaji memerlukan nama dan karenanya timbullah
pemberian nama mengenai hakekat Itu, yaitu dengan nama atau gelar Brahman yang dipakai untuk menamakan
hakekat Itu, yang sekarang lebih dikenal dengan nama Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai nama umum. Dengan demikian, maka gelar Brahman pun dimaksudkan sebagai
nama umum yang harus dapat diterima atau setidak-tidaknya bisa diterima secara
rasional. Oleh karena itu dipersoalkan pula apakah hakekat Itu identik dengan
pengertian Tuhan Yang Esa atau tidak? Inilah satu pertanyaan yang dikemukakan
dan harus dapat dijelaskan berdasarkan ungkapan-ungkapan yang ada dalam Veda
(Mantra) sebagai pembuktian otentik.
Sebagai dasar dikemukakan bahwa hakekat
Ketuhanan adalah dasar (sumber utama) atau penyebab pertama yang ada-Nya tanpa
ada yang mengadakan, kecuali diri-Nya sendiri. Dia ada sendiri dan sebagai
sebab, Dia disebut: sebagai pemberi hidup yang menghidupkan semua ciptaan ini,
sebagai pencipta yang mengadakan seluruh alam semesta dengan segala isinya berdasarkan
sifat dan atau gelar yang diberikan kepada-Nya oleh manusia, menurut bahasa yang
digunakan oleh manusia itu sendiri serta pengaruh dari sifat manusia yang
menamakan-Nya.
Masalah kedua yang dipersoalkan adalah sifat
hakekat Itu (Brahman sendiri) yang bersifat relatif yang membedakan-Nya dari
sifat-sifat keabsolutan-Nya yang hakiki, seperti: waktu, tempat dan unsur
elemen yang merupakan hakekat sifat phenomenal dan empirisis. Oleh karena
masalah Ketuhanan dianggap sangat sulit untuk dipahami tanpa perenungan yang
mendalam maka sifat pengertian dan hubungan dasar pengertian dari berbagai
phenomena itu tidak mungkin dapat dipikirkan begitu saja tanpa perenungan yang
mendalam dan keheningan batin. Dengan diperlukannya perenungan yang mendalam
serta keheningan batin maka diperlunya ada metoda pendekatan dalam perenungan
itu. Inilah yang melahirkan pentingnya dhyanam/meditasi
dan atau yoga-samadhi, yang apabila
penerapannya diikuti dengan keyakinan yang mendalam (bhakti) maka pikiran itu tidak akan tergoyahkan lagi ketika terjadi
kontak hubungan kejiwaan.
Kontak kejiwaan ini merupakan bentuk “samadhi” atau “dhyana-samadhi” dan melalui kekuatan penglihatan batin inilah akhirnya
dapat diketahui berbagai hakekat yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang
lain, seperti Dewàtmasakti,
Purusa, Prakrti
(Pradhana), Tri Guna, Maya Sakti, dan
lain-lain. Demikian pula hakekat pengertian Iswara
sebagai Atman atau Prakrti yang memegang kekuasaan atas ciptaan-Nya,
diibaratkan sebagai roda (cakra) dalam dunia alami. Penggunaan roda (cakra)
sebagai perumpamaan tidak bertujuan mengidentikkan, melainkan sekedar membantu
orang awam untuk memahami-Nya. Ini berarti bahwa dari alam abstrak dibawa ke
alam nyata, dari alam numenal dibawa ke alam phenomenal.
Apa yang dikemukakan lebih jauh dalam bab I
adalah mengenai pentingnya mengetahui Brahman, karena dengan pengetahuan ini
akan membawa pada keselamatan bersama, karena bersama-sama merasa sebagai satu
persaudaraan dalam satu ikatan jiwa, dengan Brahman sebagai dasar atau
sumbernya. Dari mantra10 bab I dapat diketahui bahwa nama Brahman tidak mutlak
demikian karena Ia disebut pula dengan nama lain, misalnya, Hara, yang artinya: yang dipertuan atau
yang dijunjung atau penguasa. Mantra itu berbunyi sebagai berikut:
Ksaram pradhanam amrtaksaram harah
ksaratmanaw isate dewa ekah
Tasyabhidhyanad yojanat tatwa-bhawad
bhuyas cante wiswa-maya-niwrttih.
Artinya:
Ada
dua Kasunyataan yang perlu kita renungi, yaitu yang satu adalah Pradhana, yang
bersifat dapat hancur, sedang yang satunya lagi adalah Hara, yang bersifat
abadi.
Beliau adalah pengatur alam yang dapat
hancur dan Roh Individual.
Dengan bermeditasi kepada-Nya, dan menyatukan
diri dengan Yang Maha Esa,
maka pengarruh semua Maya atau ilusi akan terhenti.
Di
dalam mantra yang lain Dia dinyatakan sebagai Rudra yang menguasai dan mengendalikan ciptaan ini. Dengan
dasar pengetahuan itu maka timbul
satu masalah yang harus dijelaskan, yaitu bagaimana menyadari hakekat yang
bersifat numenal sebagai satu kebenaran mutlak; karena apa yang ada secara
kasat-mata ini sesungguhnya tidak kekal. Untuk menjelaskan hal ini maka
Svetasvatara memberi keterangan dengan mempergunakan perumpamaan baru, yaitu
ibarat sang pencari api (Agni), ia harus berusaha mendapatkannya dengan cara
menggosok-gosokkan dua batang kayu sampai keluar api. Hubungan antara dua
potong kayu yang sama diibaratkan sebagai lingga-yoni,
yang melahirkan api setelah diusahakan dengan kekuatan atau sakti. Apa yang dimaksud dengan kekuatan
tenaga penggerak dalam hubungan ini adalah aksara Omkara yaitu suara AUM yang dikatakan bahwa apabila pengucapannya dengan
benar dan penuh keyakinan dan tanpa henti-hentinya di saat melakukan yoga, maka
akhirnya akan mencapai titik puncak pada dhyana-samadhi.
Kekuatan tenaga penggerak itu mempunyai kemampuan untuk memperlihatkan apa yang
dicari di dalam hati atau pikiran, yaitu suatu bentuk tertentu yang merupakan
hakekat yang dicari-cari. Yang tampak kelihatan itulah yang diberi nama Isvara atau Dewata (Ista Devata) sebagai Godhead.
Hakekat itu pula yang dicari dan yang tidak diketahui oleh orang yang awidya, maupun oleh orang yang tidak
yakin akan kebenaran itu sehingga mereka putus asa dan gagal untuk memperoleh
atau merealisaikannya. Tuhan akan ditemukan di dalam jiwa ketika dicari dengan
kebenaran dan pengorbanan diri. Dia, sang Jiwa Tertinggi tersembunyi ibarat
dadih (krim) dalam susu dan seperti minyak di dalam santan.
Kemudian, Bab
II mencoba memberi penjelasan
lebih lanjut tentang proses kejadian itu, satu proses panjang dalam mewujudkan
bentuk (rupa) yang tidak mempunyai
wujud, proses perubahan dari alam numenal ke alam phenomenal, dari alam Suóya ke alam nyata (bhava). Mantra 1 dimulai dengan pujian atau menghubungkan diri
kepada yang tak nyata sebagai pemberi inspirasi atau yang memberi rangsangan
pada pikiran di mana sang Perangsang itu disebut dengan nama Savitri. Savitri artinya yang memberi
inspirasi, dan sebagai alam phenomenal sang Dewi digambarkan sebagai Dewi Fajar yang disanjung dan
dipuji pada setiap subuh. Dengan pengaruh Savitri, sang pengendali intelek atau
buddhi (citta), akan tercapailah satu bentuk atau rupa pada pikiran (manah) sehingga akan melahirkan bentuk
sinar atau cahaya atau yang memancar terang. Dari pancaran itu lahirlah api (Agni) yang kemudian diturunkan ke dunia
(Påthivi). Tentang sifat Savitri dikemukakan
bahwa beliau adalah penguasa alam surga (svarga)
dan karena itu ilmu agama mengajarkan tentang bentuk surga yang digambarkan
sebagai tempat yang terang dan di dalam alam surga itu bersemayam para Dewa-dewa.
Demikian pula makna doa atau puji-pujian sebagai rangsangan dan merupakan
petunjuk jalan yang akan mengantarkan manusia ke alam matahari (sa tejasi surya sampanad).
Di samping hal-hal yang telah disebutkan tadi,
bab ini juga menekankan pentingnya memahami pokok-pokok pengertian yoga-samadhi, yang kalau dibiasakan akan
mempunyai akibat baik karena bersifat ganda kepada yang mempraktekkannya. Dalam
upanisad ini dijelaskan tentang cara dan sikap melakukan dhyana-yoga, yaitu
dengan badan, leher, dan kepala tegak lurus, bernafas secara berirama dengan
tarikan dan hembusan yang tenang dan damai, kuda-kuda liar dari maya dijinakkan
dengan keteguhan hati dalam diam, maka sang Jiwa akan terbimbing menyeberangi
sungai-sungai ketakutan. Mantra 8 dan 9 dari kitab ini menyebutkan:
Tritunnatam sthapya samam sariram
hrdindriyani manasa samniwesya.
Brahmodupena pratareta widwan srotamsi
sarwani bhayawahani.
Artinya:
Dengan membiasakan diri bersikap meditasi
yang baik, yaitu ketiga tubuh bagian atas: dada, leher, dan kepala berkeadaan
tegak lurus, serta kedudukannya tepat dengan bagian-bagian tubuh lainnya,
dengan indria-indria dan fikiran dikalahkan oleh Hati yang murni, orang-orang
yang bijaksana dengan berperahukan kemuliaan Brahman, dapat mengarungi samudera
kehidupan yang dahsyat, yang gelombang-gelombangnya menakutkan itu.
Pranan prapidyeha samyukta cestah ksine
prane nasikayo’cchwasita.
Dustawa-yuktam iwa waham enam widwan
mano dharayeta pramattah.
Artinya:
Dengan berkemampuan menguasai
indria-indrianya, mengalahkan keinginan-keinginan rendahnya, dan dengan
mengatur pernapasannya, sesuai dengan ketentuan ajaran Yoga, orang-orang yang
bijaksana mampu mengendalikan fikirannya, seperti seorang kusir kereta yang mahir
mengendalikan kuda-kuda keretanya yang liar.
Demikianlah
yoga-samadhi itu, tidak saja membuka jalan menuju yang benar, jalan yang dikaruniai,
atau disebut sebagai jalan menuju kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga akan
membantu mereka untuk melihat serta memahami hakekat Yang Maha Esa dengan
segala nama sifatnya yang plural
dan yang berbeda dari manusia biasa.
Bab III,
pada hakekatnya menjelaskan makna kasunyataan tertinggi. Apakah sebagai Yang
Esa, hakekat yang kekal abadi, hakekat yang maha mengetahui dan menguasai seluruh ciptaan ini. Ia
juga diperkenalkan dengan gelar Rudra,
gelar yang paling umum dijumpai di dalam Veda, jauh sebelum gelar Siva diperkenalkan. Istilah Rudra
sebagai gelar, inipun pengertiannya tidak berbeda dari apa yang telah diberikan
sebelumnya, melainkan karena sifat kekuasaan yang hendak ditampilkan dilihat
dari sifat lainnya, Ia juga disebut visva
yang berarti hakekat Yang Maha Ada dan merupakan prabhawa, wujud kemaha-kuaasaan-Nya. Mantra 13 menyetakan:
Angustha matrah puruso’ntaratma sada
jananam hrdaye sanniwistah.
Hrda manwiso manasabhiklpto ya etad widur amrtas te bhawanti.
Artinya:
Sang Diri Yang Maha Luhur itu besarnya
tidak melebihi ibu jari. Tempat bersemayamnya selalu didalam hati makhluk.
Keberadaan Dia hanya dapat dihayati dengan hati, fikiran, dan jiwa. Siapa yang
telah dapat menyadari dan menghayati Kasunyatan ini, akan mengalami keabadian.
Salah
satu topik terpenting dalam bab ini adalah hakekat pengertian “Bhagawan” dengan mengibaratkannya
sebagai diri kosmos, yang di dalam Rg Veda dikenal dengan nama Virat Purusa atau Maha Purusa. Tuhan sesungguhnya adalah semesta, segala yang nampak
maupun yang tidak nampak, segala yang telah, sedang, dan yang akan ada semuanya
adalan Dia. Dia adalah Tuhan dari kehidupan abadi dan yang dihidupi oleh
makanan. Dia adalah Jiwa Tertinggi yang bercahaya seperti Matahari di balik
kegelapan dan cahayanya menerangi seluruh ciptaan. Demikian dinyatakan dalam Mantra
15 berikut ini.
Purusa ewedam sarwam yad bhutam yac ca
bhawyam
utamrtatwasyesano yad annenatirohati.
Artinya:
Sang Diri Yang Maha Luhur itu merupakan
satu-satunya dari segala yang ada di alam semesta ini, yang menjadi segala
sesuatu yang telah ada di masa yang lampau, dan yang akan menjadi segala
sesuatu yang akan ada di masa yang akan datang. Beliau juga adalah Yang
Dipertuan atas Keabadian. Walaupun beliau itu memerlukan makanan tertentu untuk
pertumbuhannya, tetapi Dia berkeadaan abadi.
Penjelasan
inilah yang membawa pada satu pengertian dasar tentang pengindraan hakekat
aspek transenden tersebut sebagai salah satu bentuk peningkatan pengertian dari
numenal atau phenomenal menuju Yang Maha Tinggi.
Bab IV,
intinya mencoba menjelaskan sifat kemajemukan Yang Maha Esa, yang tampak dalam
dunia empirisis. Dengan demikian Brahman menampakkan bentuk kemuliaan-Nya
sebagai Agni, Aditya, Vayu, Candra, Úukra, Apah, Brahma pencipta, dan Praja
pati (raja sekalian makhluk), Ia adalah laki-laki, Ia adalah perempuan, dan
sebagainya. Jadi, yang berbeda-beda itu adalah bentuk dan nama (nama-rupa) yang sifat hakekatnya sama.
Di dalam Upanisad ini juga terdapat penjelasan yang sngat menarik tentang Jiwa
yang bersemayam di dalam diri setiap insan. Dinyatakan bahwa ada dua burung,
dua sahabat yang tinggal di dalam pohon diri yang sama; yang satu memakan buah
pohon-pohon itu dan yang lainnya memandang dalam diam. Yang pertama adalah Jiwa
manusia yang bersandar pada pohon itu, yang walaupun aktif tapi merasa sedih
dalam ketidak bijakasanaan, namun ketika melihat kekuasaan dan kemuliaan Jiwa
yang lebih tinggi, dia akan terbebas dari kesedihan itu. Sang Jiwa tertinggi
tidak dikuasai oleh maya, melainkan sebagai penguasa atas maya itu sendiri. Dia
memerintah sumber-sumber ciptaan, karena dari Dia alam semesta ini datang dan
ke dalamnya alam semesta ini akan kembali. Dia jauh dari jangkauan pandangan,
tidak dapat dilihat oleh mata biasa namun akan dapat diketahui melalui hati dan
citta. Mereka yang mengetahui Dia, akan mencapai keabadian. Mantra 17 dan 20
menggambarkan hal ini.
Esa dewo wiswa-karma mahatma, sada
jananam hrdaye sanniswistah.
Hrda manisa manasabhiklpto, ya etad
widur amrtas te bhawanti.
Artinya:
Siapa yang telah dapat menyadari dan
menghayati Kasunyataan bahwa Brahman yang mencipta segala sesuatu yang ada,
yang merupakan Sang Diri Yang Maha Agung yang selalu bersemayam di Hati setiap
makhluk, yang keberadaannya dapat dihayati melalui hati, konsentrasi fikiran,
dan penganalisaan fikiran, dia menjadi bersifat abadi.
Na samdrse tisthati rupam asya, na
caksusa pasyati kas canainam.
Hrda hrdistham manasa ya enam, ewam
widur amrtas te bhawanti.
Artinya:
Brahman itu wujudnya tidak dapat
dilihat, tidak dapat diamati dengan mata. Siapa yang telah dapat menyadari dan
menghayati tentang keberadaan Brahman di dalam hati, melalui fikiran dan
inteleknya yang murni, maka dia menjadi bersifat abadi.
Bab V,
diawali dengan menegaskan pengertian hakekat keesaan Brahman, Tuhan Yang Maha Esa
yang dianggap sebagai bentuk immanen dan sebagai penguasa tertinggi. Dalam hal
ini konsep Godhead atau Dewata merupakan bentuk yang paling
nyata dari sifat hakekat Tuhan Yang Maha Esa itu. Tuhan digambarkan sebagai
Penguasa Maha Sakti, yang menebar jaring-jaring perpindahan Jiwa, dan
menariknya kembali dalam lapangan kehidupan. Dia adalah Penguasa yang
menciptakan penguasa-penguasa penciptaan sesuai hakekat sifat-Nya yang mulia
itu.
Bab VI,
mencoba merangkai hubungan pengertian antara bentuk immanen dengan bentuk
permanen atau transenden sebagai satu bentuk proses kosmos. Imanensi Brahman
digambarkan berada di dalam hati sanubari setiap insan dan menjadi saksi abadi
darai setiap tindakan. Hal ini dinyatakan di dalam mantra 11.
Eko dewas sarwa-bhutesu gudhas
sarwa-wyapi sarwabhutantaratma.
Karmadhyaksas sarwa-bhutadhiwasas saksi
ceta kewalo nirgunas ca.
Artinya:
Marilah kita puja Brahman yang
keberadaannya ada pada setiap makhluk, yang meliputi dan meresapi seluruh
bagian dari alam semesta, yang merupakan inti-batinnya setiap makhluk, yang
menjadi Yang Dipertuan atas tingkah-laku semua makhluk, yang sanubarinya manusia
merupakan tempat bersemayam-Nya, yang dalam memikir tanpa mempergunakan
fikiran, dan yang ketiga sifat, yaitu: kebaikan, keaktifan, dan kegelapan,
berada di luar Diri-Nya.
Kemudian,
hakekat sifat transenden itu digambarkan dengan satu keadaan tanpa ciri yang
dapat membeda-bedakan, hakekat tanpa sifat. Oleh karena itu, tidak ada nama dan
bentuk yang dapat digambarkan pada tingkat ini. Bila sampai pada tingkat
pengertian itu, maka tidak ada lagi keterikatan pada pikiran manusia, kecuali
kekaryaan yang selaras dengan hukum kasunyataan, hukum suci yang meupakan kuasa
Brahman. Tingkat inilah yang merupakan tingkat pencapaian mokûa yang merupakan tujuan hidup tertinggi dalam ajaran Hindu
Dharma.
PENUTUP
Demikianlah secara singkat pokok-pokok isi kitab Svetàsvatara Upanisad ini, semoga dapat membantu mengenal
berbagai permasalahan yang terkandung dalam manra-mantra yang dikemukakan.
Jakarta,
27 Juli 2012
---------o0*0o--------
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire