jeudi 23 octobre 2014

Upanisad , I Nengah Dana, Dharmatula Jakarta, 2011


Terimakasih kepada bapak I Nyoman Ariawan Atmaja
yang telah mengirim naskah ini untuk dihatur dijagat raya internet.
terima kasih kepada penyusun
Bapak I Nengah Dana

maaf atas tampilnya beberapa huruf yang tak mampu diterjemahkan 
oleh computer saya
hmmm 
computer teknologik dan biologik
d---alam
menterjemah huruf hidup (vocal) dan huruf mati (consonant)
merupakan seni maya-maya
titi marga hidup-mati
ada dan tiada
mengerti
sang arti
is the ART how to reveal step by step the mystery that embrace us.
bila yang dua telah menyatu
sinar dan bayangan
dulu dan nanti
tahu dan tak diketahui
Shiva dan shaktinya (Parwati, Durga)
purusha - pradana
linggam - yoni
laki dan perempuan
langit dan bumi
matter and spirit
yin & yang
electicity & gravity
...
tangan kiri & kanan menyakup

OM TAT SAT
OM SWASTY ASTU



PENGANTAR MEMAHAMI UPANIÛAD

PENDAHULUAN
Kitab Upaniûad merupakan bagian dari kitab Veda Úruti yang memberikan sumbangan pemikiran ke arah perkembangan filsafat Agama Hindu. Kitab ini dinyatakan sebagai bagian terakhir dari ajaran Veda, yang disebut Vedanta (Vedasyàntah). Hal ini mengandung makna bahwa Upaniûad secara kronologi dianggap sebagai bagian penutup dari kitab Veda.
Kitab Veda Úruti terdiri atas: Ågveda, Sàmaveda, Yajurveda, dan Atharvaveda sehingga dikenal dengan sebutan Catur Veda. Menurut sifat isinya, tiap-tiap Veda itu berisi tiga bagian pokok, yaitu: mantra atau himpunan mantra (mantra saýhità), bràhmana (karma kàóða), dan  Upaniûad/Araóyaka (jñàna kàóða).
Kitab Araóyaka adalah Upaniûad juga, hanya saja kitab tersebut merupakan hasil perenungan para Maharûi yang tinggal pada pertapaan atau aúramnya di hutan, sedangkan Upaniûad adalah merupakan hasil perenungan para Maharûi yang tinggal pada pertapaan atau aúramnya di pedesaan baik sebagai snataka maupun gåhastin. Seluruh kitab Araóyaka dan Upaniûad brjumlah 108 buah yang dibagi atas empat kelmpok besar, menurut jenis Úruti atau mantra saýhità yang ada, yaitu:
1.     Ågveda saýhità, memiliki 10 kitab Upaniûad;
2.     Sàmaveda saýhità, memiliki 16 kitab Upaniûad;
3.     Yajurveda saýhità, memiliki 51 kitab Upaniûad; dan
4.     Atharvaveda saýhità, memiliki 31 kitab Upaniûad;
Jumlah 108 ini dijumpai di dalam kitab Muktikopaniûad. Dari jumlah tersebut, ada 18 kitab Upaniûad yang terkenal sebagai Upaniûad utama, yaitu: Aitareya dan Kauûitaki Upaniûad dari Ågveda saýhità; Kena, Chàndogya, dan Maitreyi Upaniûad dari Sàmaveda saýhità; Taittiriyaka, Kaivalya, Úvetàúvatara, Kaþha, Ìúàvàsya, Båhadaraóyaka, Jàbàla, Subàla, dan Muktika Upaniûad dari Yajurveda saýhità; kemudian Praúna, Muóðaka, Màóðùkya, dan Mahànàràyaóa Upaniûad  dari Atharvaveda saýhità. Nama-nama Upaniûad yang tercetak tebal adalah 10 Upaniûad yang penting menurut Narayana dan Samkara. Namun demikian,  Úvetàúvatara dan  Mahànàràyaóa Upaniûad juga dianggap sangat penting.
PENGERTIAN DAN POKOK-POKOK AJARAN UPANIÛAD
Upaniûad mengandung beberapa pengertian; istilah ini berasal dari tiga kata: upa berarti dekat atau sekeliling, ni berarti menuntun atau bimbingan, dan ûad berarti duduk. Jadi, istilah Upaniûad diterjemahkan: duduk dekat-dekat sekeliling guru spiritual untuk memperoleh bimbingan atau tuntunan  dalam mempelajari Veda. Ada juga yang menerjemahkan kata ni berarti: ‘di bawah’ sehingga bermakna: duduk di bawah, dekat Sang Guru/Acharya untuk menerima bimbingan dalam mempelajari Veda.
Di samping pengertian itu, ada juga yang memberikan terjemahan berbeda, sebagaimana diuraikan di dalam buku Pesan-Pesan Upanisad; kata upa diartikan proses belajar; kata ni dikembangkan menjadi nista yang berarti ketabahan; sedangkan kata ûad diartikan percapaian realitas tertinggi. Apabila uraian makna kata itu diterjemahkan secara utuh maka Upaniûad bermakna sebagai proses belajar secara tekun guna mencapai realitas tertinggi.
Terlepas dari pengertian tersebut, kitab Upaniûad secara umum memang mengandung ajaran tentang dasar-dasar kefilsafatan Hindu, yaitu menjelaskan hal-hal mendasar mengenai “ Yang Ada” dan bersifat rahasia, seperti penjelasan yang menyangkut tentang Tuhan (Brahman),  Jiwa (Atman),  dan penciptaan alam semesta (Såûþi). Jadi, secara tematik kitab Upaniûad mengungkapkan hakikat kebenaran tentang apa yang menjadi dasar segala yang ada,  alam semesta, dan realitas tertinggi (Ekam Sat)  yang diuraikan secara filosofis, sehingga isi Veda dapat diterima secara rasional.
Menurut Upanisad, ada dua jenis pengetahuan yang harus dipahami; yang pertama adalah Paravidya (pengetahuan lebih tinggi), yaitu  pengetahuan mengenai Brahman dan Paramàtman; dan yang kedua adalah Aparavidya (pengetahuan lebih rendah), yaitu pemahaman teks Catur Veda dan Veda Småti. Yang pertama ditempuh melalui jalan àna, sedangkan yang kedua ditempuh melalui jalan karma (nglakoni).
Dengan demikian, pokok-pokok ajaran Upanisad memiliki persamaan topik pembahasan, yaitu tentang: Brahman, Atman atau Jivatman, Maya dan Avidya yang dikaitkan dengan pengetahuan pribadi terhadap Brahman dan alam sekitarnya baik metafisika maupun kosmologi. Selain itu, disoroti pula tentang makna Mokûa yang dibedakan dari pengertian Surga dan Naraka.
Ajaran Upanisad tidak mengembangkan pemahaman Varnadharma secara kaku, melainkan lebih mengedepankan asas kemanusiaan yang memiliki sifat spiritual dan universalisme. Sikap penalaran universalisme dikembangkan dalam ajaran Ketuhanan, sehingga manusia tidak menjadi kaku dalam pergaulan theologinya. Yang terpenting adalah rasa kesamaan kemanusiaan melalui penghayatan Tat Tvam Asi secara menyeluruh dalam kesadaran mulia, melalui alur pemikiran yang dikaji secara pragmatis dan rasional. Kitab Chandogya Upanisad IV.8.7 menyatakan: Sa ya eso’nima aitad atmyam idam sarvam, tat satyam sa atma tat tvam asi….” yang bermakna: “ Itu, yang merupakan esensi halus seluruh alam ini adalah dirinya sendiri, itulah kebenaran, itulah Atman, Itu adalah Engkau…”; setiap manusia adalah saudara dari manusia lainnya (Vasudaiva Kutumbhakam) dan satu hakikat dengan insan ciptaan-Nya (atmyam idam sarvam).
Sehubungan dengan arah pemikiran yang menggunakan pendekatan integratif itu maka ajaran tentang Surga dan Naraka bukanlah menjadi tujuan pokok, melainkan harus dilihat sebagai implikasi dari hukum Karmaphala dan Punarbhava. Dengan begitu, manusia akan secara sadar berupaya memperbaiki dirinya guna mencapai alam Kaivalya atau Mokûa. Surga dan Naraka adalah alam tempat menikmati pahala karma dengan pengalaman suka dan duka, sedangkan  Mokûa adalah pencapaian alam kebebasan Jivàtman tanpa suka dan duka, yang menjadi tujuan akhir dari kehidupan ini. Jadi, adanya alam Surga, Naraka, dan  Mokûa tidak dapat dipisahkan dari cakrawala berfikir tentang adanya hakikat alam-kebebasan yang dicapai melalui kesadaran agung, kesadaran pengetahuan sejati (ànad tu kaivalyam). Kesadaran agung adalah suatu pencapaian kesadaran tentang hakikat nyata yang tak terbatas, yaitu Brahman dan Paramàtman; maupun hakikat nyata yang terbatas, yaitu Jivàtman dan Maya.
Brahman Sumber Jiwa Semesta
Barahman menjadi salahsatu pokok bahasan di dalam Upanisad. Istilah  Brahman berasal dari kata båh yang berarti: memberi hidup (menumbuhkan, menjadikan hidup, menjadikan berkembang). Kata Brahman ini menunjuk pada pengertian aktif  ke arah pertumbuhan yang tidak ada hentinya. Bila direnungkan secara mendalam, begitulah Tuhan sebagai Pencipta, melakukan siklus penciptaan secara terus-menerus dengan prinsip trikona (mencipta, memelihara, melebur). Akan tetapi pemberian nama Brahman ini hanyalah dalam arti harfiah, atas dasar kesadaran dan daya nalar manusia. Penalaran diambil setelah mengamati fenomena alam semesta dengan menyimpulkan adanya hubungan kausalitas, yang dalam asas primacausa harus diakui adanya “sesuatu Itu atau hakikat Itu” yang kemudian disebut Brahman yang dianggap sebagai Kenyataan Agung (Supreme Reality) atau Realitas Tertinggi.
Berdasarkan pengetahuan ini maka timbul pengertian bahwa Brahman adalah awal-mula Ada, yang menyebabkan timbulnya berbagai makhluk ciptaan ini. Hakikat ini yang disebut Brahman prathamajam, yang kemudian, di dalam Upanisad diterima sebagai prinsip dasar.  Bertolak dari prinsip dasar ini dikembangkan pengertian Brahman sebagai Iúvara (Godhead) dalam hubungannya dengan kosmogoni. Untuk dapat memahami Brahman sebagai Godhead  maka  Upanisad mendefinisikan Brahman sebagai Maha Purusa dengan segala sifat-sifat-Nya yang transendental, yang kemudian  menjadi kekuatan imanen, penyebab kehidupan dan bergeraknya semua ciptaan. 
Brahman sebagai Yang Ada Pertama, memiliki sifat absolut, mahasempurna, dan transenden itu, disebut Nirguna Brahman. Kemudian, dengan kemahasempurnaan-Nya itu Brahman mencipta makhluk (sarvabhava/sarvabhùta) yang juga memiliki sifat sempurna (purnat purnam udacate) dengan tanpa mengurangi kesempurnaan diri-Nya, Ia tetap sempurna (purnam eva vasisyate). Dia adalah Brahman yang bersifat kualitatif sebagai wujud dari sifat-sifat-Nya yang nyata atau imanen, disebut Saguna Brahman. Dengan demikian, Brahman di dalam Upanisad dijelaskan dalam berbagai bentuk aspeknya, dengan berpegang pada prinsip dasar sifat-Nya yang absolut transendental, dan kualitatif imanen.
Atman Nafas Kehidupan
Atman merupakan salahsatu pokok bahasan di dalam Upanisad. Atman berasal dari akarkata “an yang artinya bernafas. Dengan nafas, sesuatu itu hidup atau dapat bergerak; nafas adalah satu kehidupan. Samkara menjelaskan, kata atman dari akar kata lain (at?) yang berarti: makan, memperoleh, melingkupi segalanya. Atman sebagai hakikat dasar dari kehidupan manusia, dianggap sebagai Roh, atau Jiwa yang mengalami rasa senang dan duka. Namun disadari juga bahwa Atman itu bersifat kekal, tidak pernah mati; karena itu, pengalaman suka dan duka bukanlah merupakan sifatnya. Atman dinyatakan tidak terlahirkan (ajo bhagah), dan Atman itu bersifat rohani sebagaimana halnya Brahman, namun Brahman tidak dipengaruhi oleh Prakåti-Nya.
Dalam pemahaman awam, Atman sering dipahami sebagai sesuatu yang sama dengan Brahman (Brahman Atman aikhyam) sehingga muncul istilah Aham Brahma asmi, yang bermakna: Aku adalah Brahman. Dalam kaitan ini, seharusnya Brahman dilihat sebagai Godhead, atau  Iúvara yang tidak sama dengan Nirguna Brahman; sedangkan Atman harus dilihat sebagai bagian dari Paramàtman yang merupakan sifat imanen dari Saguna Brahman.
Untuk menjelaskan hal ini, Veda memulai doktrinnya dengan pengertian: Brahman sebagai segala-galanya. Ia yang pertama ada, dan tidak ada yang lain. Adanya yang lain yang dari tidak ada menjadi ada, hanya mungkin ada dari Yang Ada (Supreme Reality). Dengan demikian, maka adanya Atman, hanya ada karena adanya Brahman. Jadi, Brahman dan Atman  pada hakikatnya dari Yang Satu itu juga. Di dalam ilmu filsafat, pengertian ini dapat dijelaskan melalui ajaran monisme. Lahirnya ajaran monotheisme adalah apabila Brahman dalam yang keadaan pasifnya berubah sifatnya menjadi hakikat yang aktif, dengan segala fungsinya. Namun demikian, sesungguhnya ajaran Upanisad tidak menganut konsep monisme maupun monotheisme, melainkan pantheisme (Brahman yang imanen dalam setiap ciptaan) dan panentheisme (Brahman sebagai segalanya, dan semua ciptan berada dalam Yang Satu, dalam Brahman itu sendiri).
Jadi sesungguhnya, Atman adalah nafas kehidupan yang bersumber dari Brahman  sebagai Godhead atau Iúvara yang tinggal pada setiap makhluk, seperti dinyatakan di dalam Isaopanisad: Iúavasyam idam sarvam, dan Dia adalah sinar suci yang tersembunyi dalam segala ciptaan, seperti yang dinyatakan dalam Úvetàúvatara: eko devah sarva bhùtesu gudah; atau seperti disebutkan  di dalam Kena Upanisad: Jyotisam jyotih, yang bearti bersinarnya cahaya. Tanpa sinar cahaya-Nya, kehidupan ini pun akan sirna.
Maya dan Avidya
Pengertian Maya dan Avidya berkembang dari sifat dualisme Brahman dan Atman (Brahmano dvairupasya apra manika tvat), terutama bila dikaitkan dengan pengalaman spiritual. Untuk memahaminya digunakan pola berfikir abstrak, dengan melepaskan cara berfikir konvensional empirisme. Istilah Maya, disebutkan ratusan kali dalam Ågveda yang dipakai dalam berbagai pengertian. Sayana, seorang filosof ternama memberi pengertian kata Maya, yang diartikan prajña dan kapata. Kata prajña berarti kemampuan akal, kekuatan pikiran murni, sedangkan kata kapata berarti fatamorgana atau menyesatkan, sehingga realitas yang tidak benar itu seakan-akan nyata seperti apa yang dialami dalam alam empirik.
Ada pula kecenderungan penggunaan kata Maya digunakan sebagai istilah yang mengandung pengertian kekuatan atau Úakti, yang bermakna kekuatan luar biasa, mujizat, dan ajaib. Dalam hal ini, bila Brahman dianggap sebagai pencipta karena Maya yang melekat pada diri-Nya, maka Ia disebut Mahasakti, karena mampu mencipta dari tidak ada (asat) menjadi ada (sat). Hakikat ciptaan-Nya itu disebut Mayasakti yang merupakan aspek  alam empirik dan bukan alam absolut. Dalam pikiran Hindu modern, pengertian Maya adalah alam dunia ini saja.
Di sisi lain, ada yang melihat aspek Maya sebagai aspek Vidya, yang mengandung pengertian kekuatan hakiki dan potensial, mengingat bahwa Maya memang merupakan sifat yang lekat pada Brahman. Hanya melalui Vidya, seseorang akan mencapai prajña, sehingga (menurut Sayana) antara Maya dan prajña adalah paralel, karena prajña itu sendiri mengandung pengertian sebagai kekuatan dari kemampuan akal dalam memahami hakikat sesuatu. Oleh karena itu, hakikat Ketuhanan secara universal dapat dipahami melalui prajña; bukan sebaliknya, melalui avidya atau ketidaktahuan.  Demikian pula terhadap hakikat Atman dan hakikat alam semesta ciptaan-Nya (yang ada dari tidak ada, karena kekuatan Maya-Nya) hanya akan dapat dipahami melalui Vidya.
Melalui pemahaman yang mendalam tentang hakikat segala yang ada, disertai kesadaran atas keberadaan itu dan dirinya sebagai bagian dari Reallitas Tertinggi, maka sifat Avidya akan terhapuskan. Berkaitan dengan hal ini, dalam Isopanisad mantra 6 dinyatakan:
Yas tu sarvàni bhùtani, Atmanyevànupasyanti,                                                                     Sarva bhùtesu càtmanam, tato na viyugupsate.
Dia yang melihat semua makhluk pada dirinya, dan melihat dirinya pada semua makhluk, maka ia tidak akan membenci yang lain.
Upanisad menyatakan bahwa seseorang yang dalam keadaan seperti itu, adalah orang yang telah menemukan jati dirinya, mencapai kesadaran agung, dan mengalami Jivanmukti, suatu kebebasan jiwa yang menjadi dambaan setiap orang, karena di sana ada kedamaian sejati.
PENUTUP
Demikianlah sekelumit pengantar untuk memahami ajaran Upanisad Vedànta, semoga Brahman Yang Esa senantiasa menerangi pikiran dan hati kita semua. Om Tat Sat.
Jakarta, 9 Desember 2011

I NENGAH DANA

UPANISAD 2



ÌÚÀVÀSYAM UPANIÛAD


PENDAHULUAN
Ìúàvàsyam Upaniûad atau disingkat Ìúopaniûad, merupakan salah satu kitab Upaniûad utama yang isinya sangat singkat, yaitu terdiri dari 18 (delapan belas) mantra. Walaupun  singkat, kitab ini dianggap terpenting di dalam Agama Hindu karena isinya yang padat, memuat hal-hal yang berkaitan dengan Jñàna dan Karma, serta doa utama untuk dipraktekkan guna mencapai kesadaran agung.
Menurut asal-usul isinya, kitab ini berasal dari mantra-mantra dalam adhyaya 40 kitab sruti Yajur Veda; tepatnya kitab Sukla Yajur Veda yang dihimpun oleh seorang maharsi terkenal, yaitu Rsi Vajasaneya. Oleh karena itu, kitab  Ìúàvàsyam Upaniûad juga dikenal dengan nama Vajasaneyi Samhita Upaniûad dan berdasarkan jenis pengetahuan yang dikandungnya maka kitab ini tergolong jenis Paravidya (pengetahuan lebih tinggi).  
Dalam Pengantar Upaniûad yang telah dikemukakan terdahulu, pokok-pokok ajaran Upaniûad memiliki persamaan topik pembahasan, yaitu tentang: Brahman, Atman atau Jivatman, Maya dan Avidya yang dikaitkan dengan pengetahuan pribadi terhadap Brahman dan alam sekitarnya baik metafisika maupun kosmologi. Di dalam kitab Ìúàvàsyam Upaniûad, istilah Brahman dan Atman yang bersifat kekal itu disebut Sambhùti atau Sambhùtim, sedangkan alam semesta yang bersifat maya disebut Asambhùti.
Brahman dilihat sebagai Godhead, atau Maha Purusa atau Paramàtman dengan segala sifat-sifat-Nya yang transendental, yang kemudian  menjadi kekuatan imanen, penyebab kehidupan dan bergeraknya semua ciptaan (Ìúàvàsyam idaý sarvaý);  sedangkan Atman harus dilihat sebagai bagian dari Paramàtman yang merupakan sifat imanen dari Saguna Brahman itu sendiri.
Mantra-mantra Ìúàvàsyam Upaniûad, membahas topik-topik yang berkaitan dengan ajaran Jñàna Kanda, yaitu tentang Ketuhanan (Paramàtman/Ìúà) dan Atman dengan sifat-sifatnya yang kekal, kemudian alam ciptaannya yang tak kekal namun disinari oleh Yang Kekal, serta ajaran tentang Karma Kanda.
AJARAN DALAM MANTRA ÌÚÀVÀSYAM UPANIÛAD
Sesungguhnya ajaran Upaniûad tidak menganut konsep monisme maupun monotheisme, melainkan pantheisme, yaitu Brahman yang imanen dalam setiap ciptaan, dan panentheisme yaitu Brahman sebagai segalanya di mana semua ciptan berada dalam Yang Satu, dalam Brahman itu sendiri. Jadi sesungguhnya, Atman adalah nafas kehidupan yang bersumber dari Brahman  sebagai Godhead atau Iúvara atau Ìúa yang tinggal pada setiap makhluk, seperti dinyatakan di dalam Iûopaniûad: Ìúàvàsyam idam sarvam, dan Dia adalah sinar suci yang tersembunyi dalam segala ciptaan.
Demikianlah di dalam mantra 1 dinyatakan tentang kuasa Tuhan atas seluruh jagat raya ini. Mantra tersebut berbunyi:
Ìúàvàsyam idaý sarvaý, yat kiñca jagatyam jagat,
tena tyaktena bhuñjithà, mà grdhah kasya svid dhanam.  1
Sesungguhnya apa yang ada di dunia ini, yang berjiwa ataupun yang bergerak (tidak berjiwa), dilingkupi atau dikendalikan oleh Ìúā (Yang Maha Kuasa), oleh karena itu setiap orang hendaknya menerima apa yang diperuntukkan baginya dan tidak menginginkan milik orang lain.

Mantra ini menyebutkan bahwa Iúvara atau Tuhan sebagai pencipta dan penguasa atas segala ciptaan-Nya, sekaligus sebagai sumber yang memberi nafas kehidupan. Dia berada di dalam setiap makhluk, menyinari dan menggerakkannya. Oleh karena itu, setiap makhluk memiliki bagian atau hak yang diperuntukkan baginya. Sehubungan dengan itu maka setiap orang hendaknya tidak merasa memiliki (mamah), melainkan memasrahkan buah karyanya kepada sang pemilik sejati, yaitu Tuhan sendiri. Mantra 2 menegaskan tentang perbuatan dan harapan atau hasil yang secara otomatis sudah ada dalam perbuatan atau karma itu.
Kurvanneveha karmàni, jijìvisecchatam samàá,
 evam tvayi nànyatetho’sti, na karma lipyate nare.  2

Bekerjalah terus seperti itu bila manusia mengharapkan hidup seratus tahun, hanya tindakan yang dilakukan demikian (dengan nama Tuhan), pengaruh karma buruk tidak mengikat jiwa manusia.

Oleh karena itu, setiap orang harus membebaskan jiwanya dari keterikatan sebagai pemilik. Dengan menolak keberadaan jiwa sejati di dalam dirinya, Orang seperti ini, menurut mantra 3, setelah kematiannya akan jatuh ke dalam dunia Asura, alam yang penuh kegelapan dan kebodohan (andhena tamasà vrtàá).

Asuryà nàma te loka, andhena tamasà våtàh,
Tàýs te pretyabhigacchanti, ye ke càtma hano janàh.  3
Siapa pun di dalam kehidupannya mengingkari Jiwatman berarti membunuhnya, kelak setelah mati mereka akan masuk ke alam Asurya, dunia kegelapan dan kebodohan.

Selanjutnya, mantra 4 dan mantra 5 dijelaskan tentang sifat-sifat Atman yang imanen dari Brahman yang transenden. Mantra-mantra selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

Anejad ekaý manaso javìyo, nainad, devà àpnuvan pùrvam arsat,
Tad dhàvato’nyan atyeti tiûþhat, tasmin apo màtariúvà dadhàti.  4

Yang Esa, walaupun tetap ditempat dan tidak bergerak, dengan kecepatan melebihi pikiran, mendahului kecepatan gerak para Dewa-Dewa, demikianlah Matariúwa, walaupun tinggal ditempatnya, melebihi kecepatan dari semuanya.

Tad ejati tan naijati, tad dùre tad vadantike,
Tad antarasya sarvasya, tad u sarvasyàsya bàhyatah.  5
 
Ia berjalan, Ia juga tidak berjalan, Ia jauh, Ia juga dekat, Ia ada dalam segala-galanya, namun Ia juga ada di luar dari segala-galanya.

Kemudian diharapkan agar setiap orang yang mencari kebebasan jiwa (Jivanmukti), hendaknya selalu berlatih spiritual sampai menemukan kesadaran murni, menyadari bahwa dirinya yang sejati bukanlah badan, melainkan Sang Jiwatman yang bersemayam di dalam setiap insan ciptaan-Nya. Setiap Jiwatman adalah percikan sinar suci Paramatman, yang bersumber dari Brahman yang transenden dan sekaligus sebagai penganugrah segala hasil perbuatan.
Yas tu sarvàni bhùtani, Atmanyevànupasyanti,                                                                     Sarva bhùtesu càtmanam, tato na viyugupsate.  6
Dia yang melihat semua makhluk pada dirinya, dan melihat dirinya pada semua makhluk, maka ia tidak lagi melihat ada yang bertentangan sehingga tidak lagi membenci yang lain.
Yasmin sarvany bhutany, atmaivabhud vijanatah,
Tatra ho moha kah soka, ekatvam anupasyatah.  7

Sesungguhnya  Atman itu ada dalam semua insan, maka dalam kesadaran seperti itu mereka tidak akan ragu dan bimbang, kerena mereka dinyatakan telah mengetahui hakikat (Paramatma Tattva).



Sa prayagacchukram akayam avranam, asnaviram uddham apapa viddham,
Kavir manisi paribhuh svayambhur, yathatathyato’rthan, vyadadhac chasvatibhyah samabhyah.  8

Hendaknya diketahui bahwa Dia Maha Kuasa, tak bertubuh, tak teraba, tak terkena oleh penderitaan, Maha Suci, Maha Tahu, Maha Pemikir, Maha Besar, Ada tanpa diadakan, penganugrah atas segala keinginan.
Melalui pemahaman yang mendalam tentang hakikat segala yang ada, disertai kesadaran atas keberadaan Itu dan dirinya sebagai bagian dari Reallitas Tertinggi, maka mereka akan mencapai kesadaran agung, jiwanya  bersinar sendiri yang disebut Svayamprakàúa. Mereka menemukan jati dirinya dan mengalami Jivanmukti, suatu kebebasan jiwa dari pengaruh suka dan duka, yang menjadi dambaan setiap orang karena di sana ada kedamaian sejati.
Untuk mencapai keadaan itu, manusia harus melakukan Yajna (Yaj = memuja) secara tulus dan harus memahami tentang hakikat suatu tindakan Yajna itu. Mereka yang hanya bekerja tanpa pengetahuan akan sia-sia. Demikian pula sebaliknya, mereka yang memiliki pengetahuan namun tidak menggunakannya untuk bekerja tidaklah bermakna. Akan tetapi mereka yang menggabungkan keduanya, yaitu bekerja dengan pengetahuan dan menerapkan pengetahuan dalam bekerja dinyatakan akan mencapai pahala di dunia maupun di alam niskala. Mantra 9 – 14 menjelaskan hal ini.
Andhaý tamaá praviúanti, ye ‘vidyām upāsate,
Tato bhùya iva te tamo, ya u vidyāyāý ratāá.  9

Ia yang memujanya karena avidyā (dengan mengikuti keinginan) akan masuk ke dalam kegelapan dan kebodohan, demikian pula yang karena vidya akan lebih masuk ke dalam kegelapan.


Anyad evāhur vidyayā, anyad āhur avidyayā,
Iti úuúruma dhìóāý, ye nas tad vicacakûire.   10

Sesungguhnya dikatakan lainlah akibatnya untuk vidyā, lain pula dikatakan akibat dari avidyā, demikian didengar dari yang Maha Mengetahui, dijelaskan kepada kami.

Vidyām cāvidyāý ca yas tad vedobhayaý saha,
Avidyayā måtyuý tìrtvā vidyayāmåtam aúnute.   11

Hanya mereka yang mengerti keduanya, vidyā dan avidyā (pengetahuan dan kebodohan) secara bersamaan, dengan avidyā mereka melewati batas kematian, dan dengan vidyā akan menikmati kekekalan.

Andhaý tamaá praviúanti, ye ‘sambhùtim upāsate,
Tato bhùya iva te tamo, ya u sambhùtyāý ratāá.   12
Mereka yang memuja Asambhùti akan masuk ke dalam kebodohan dan kegelapan, demikian pula mereka yang memuja Sambhùti masuk ke dalam kegelapan.
Anyad-evāhuá sambhavād, anyad āhur asambhavāt,
Iti úuúruma dhìóāý ye nas tad vicacakûire    13
Yang satu dinyatakan pahala dari pemujaan Yang Maha Ada, yang lain merupakan pahala dari pemujaan yang bukan Maha Kuasa. Semuanya telah didengar dari Maha Rsi yang telah menjelaskannya dengan sempurna.
Sambhùtiý ca vināúaý ca yas tad vedobhayaý saha,
Vināúena måtyuý tìrtvā sambhùtyāmåtam aúnute.    14
Seseorang hendaknya mengenal keduanya baik-baik, hal yang absolut (transenden)  dan yang dapat musnah (imanen); dengan yang imanen mengatasi kematian dan dengan mengatasinya menuju yang transenden, menikmati keabadian.

Upaya manusia untuk mencapai keabadian memang merupakan cita-cita ideal. Keadaan yang dicita-citakan itu disebut Moksa, atau disebut Jiwanmukti ketika mereka masih menjalani kehidupan. Namun demikian, mengingat sang Jiwatman masih terbngkus badan (tri úarira) dengan berbagai lapisan mayanya (panca mayakosa) maka sifat kemurniannya terbungkus oleh kegelapan pikiran. Dalam keadaan demikian, manusia mengalami kegelisahan, rindu akan wujud sifat aslinya, rindu akan Tuhannya. Oleh karena itu, setiap lapisan maya harus dibersihkan, menuju keadaan yang lebih halus dan sempurna. Untuk ini setiap pelaku spiritual, sang pencari kebenaran (Jijñasur) hendaknya selalu melakukan yajna, persembahan, dan pemujaan disertai doa kepada Yang Maha Kuasa. Doa untuk visi Tuhan dinyatakan dalam mantra 15 – 18. Mantra-mantra ini (biasanya tiga teks mantra terakhir) dinayanyikan ketika seseorang akan meninggal dunia, untuk mengingatkan asal mereka dan kemana akhir kehidupanyang dituju. Bunyi selengkapnya mantra itu adalah:
Hiraómayena pātreóa satyasyāpi hìtaý mukham,
Tat tvaý pùûann apāvåóu satya  dharmāya dåûþa ye.   15
Oh Maha Pelindung semua mahluk hidup, wajah-Mu yang sesungguhnya tertutup kecemerlangan sinar-Mu. Perlihatkanlah kepada hamba, dan hilangkanlah kabut yang menutupi-Mu itu.
Pùûann ekarûe yama sùrya prājāpatya vyùha raúmìn samùha tejo,
Yatte rùpaý kalyāóatamaý tatte paúyāmi yo ‘sāvasau puruûaá so ‘hamasmi.    16
Oh Pùûan maha pelindung, Rsi yang tunggal, Yama penguasa alam semesta, Prajāpati pencipta mahluk hidup, Sùrya yang menjadi tujuan para pengikut yang setia; sebarkanlah cahaya-Mu dan tariklah sinar kemegahan-Mu yang transenden agar hamba dapat melihat wujud-Mu yang maha suci. Engkau adalah Puruûa, sebagai Matahari yang ada dalam jiwaku.
Vāyur anilam amåtam athedaý bhasmāntaý úarìram,
Oý krato smara kåtaý smara, krato smara kåtaý smara.    17
Biarlan badan ini musnah menjadi abu, nafas menjadi satu dengan udara, Oh Tuhan,  Seru Sekalian Alam, semoga sang penikmat yajña selalu ingat akan semua kurban itu, hak atas karyanya, ingatlah selalu yang telah dikerjakannya.
Agne naya suphatā rāye asmān, viúvāni dena vayunāni vidvān,
Yuyodhy asmaj juhurāóam eno, bhùyiûþý te nama uktiý vidhema.     18
O Agni, Tuhan Yang Maha Kuasa, bimbinglah kami semua ke jalan yang baik, O Tuhan Yang Maha Mengetahui segala jalan dan perbuatan, jauhkan kami dari jalan yang tercela, bebaskan kami dari dosa-dosa. Segala puja-puji kami persembahkan kepada-Mu.
Mantra-mantra Ìúàvàsyam Upaniûad, apabila dapat dipahami dan dihayati dengan baik, apalagi diamalkan dengan sempurna, niscaya akan dapat mengantarkan seseorang menuju kebahagiaan hidup yang damai, sejahtera, dan sentosa, bahkan juga mencapai Moksa, walaupun hal itu merupakan summum bonum bagi cita-cita akhir kehidupan berdasarkan Dharma.

Keadaan Jiwatman yang sempurna, pada akhirnya ibarat sinar lampu meninggalkan materialnya, mengikrarkan diri untuk menyatu dengan sinar Matahari yang maha luas, karena tiada lagi perbedaan antara Jiwatman dengan Paramatman.

PENUTUP
Demikianlah gambaran tentang isi dan makna mantra-mantra dari Ìúàvàsyam Upaniûad, semoga dapat dijadikan  penawar kehausan di dalam meniti kehidupan yang selalu merindukan jiwa murni, menuju relisasi Brahman Atman Aikhyam.


Jakarta, 10 Februari 2012


I NENGAH DANA

UPANISAD 3


KATHA UPANIÛAD
Saha nav avatu saha na bhunaktu, saha viryam karavavahai,
Tejasvinav adhitam astu, ma vidvisavahai,
Aum santih santih santih.
Semoga Dia melindungi kami (guru dan sisya); semoga Dia berkenan kepada kami;
Semoga kami dapat bekerja bersama dengan penuh semangat; semoga pelajaran itu akan menerangi kami; semoga tidak terjadi perselisihan di antara kami.
Oh Tuhan, semoga damai, damai, damai.


PENDAHLUAN
Kitab Katha Upaniûad dibagi ke dalam dua adhyaya (bab besar); tiap bab dibagi lagi ke dalam tiga bagian yang disebut valli. Adhyaya pertama terdiri dari 68 mantra (26, 25, dan 17) sedangkan adhyaya kedua terdiri dari 48 mantra (15,15, dan 18) sehingga seluruhnya berjumlah 116 mantra.
Mantra-mantra yang terdapat dalam Katha Upaniûad membahas topik-topik utama yang berkaitan dengan ajaran Jñàna Kanda,  terutama tentang Atma Vidya yang membahas secara mendalam hakikat Jìvàtman dengan sifat-sifatnya yang kekal. Dalam kitab ini juga dibahas tentang Brahma Vidya (masalah Ketuhanan), Brahman yang Maha Tinggi, Maha Purusa,  dan ajaran tentang sadhana (yang merupakan bagian Karma Kanda) untuk membebaskan jiwa dari ikatan maya, guna mencapai kebahagiaan abadi.
Isi ajaran  Katha Upaniûad tersebut dirangkai dalam dialog antara Naciketah dengan Dewa Yama yang sekaligus sebagai guru spiritualnya. Oleh karena isi pengetahuan yang dikandungnya lebih menekankan pada pengetahuan tentang Àtman dan cara pencapain penyatuannya dengan Brahman maka kitab ini tergolong ke dalam jenis Paravidya (rahasia pengetahuan yang lebih tinggi).
Nama kitab Katha Upaniûad diambil dari asal-usul isi dan mantra-mantra yang diuraikan dalam kitab Upaniûad ini.  Dalam kitab ini terdapat ceritra tentang Naciketah, yang juga terdapat dalam Taittirīya Brāhmaóa. Mantra yang dikutip di atas, yang dijadikan mantra pembuka Kathopaniûad ini ternyata diambil dari mantra Taittirīya Upaniûad bab II bagian 1. Kitab Taittirīya Brāhmaóa tergolong ke dalam Kåûóa Yajur Veda dan Upaniûad ini diambil dari bagian kathā sakhā dari Kåûóa Yajur Veda, karena itulah ia disebut Katha Upaniûad atau disebut juga Kathopaniûad.
Naciketah adalah putra dari Vajasravasa, yang juga dikenal bernama Gautama sebagai pelaksana ritual yajña (yàga). Naciketah dikenal sebagai putra yang sangat luhur budinya dan selalu tulus dalam sikap dan perbuatannya, bahkan bersedia dijadikan persembahan atau dakûina dalam ritual yang dilakukan oleh ayahnya. Karena ketulusannya maka Dewa Yama sendiri menginisiasi Naciketah dalam disiplin spiritual.
POKOK-POKOK AJARAN KATHA UPANIÛAD
Kitab Kathopaniûad menguraikan berbagai hal yang berkaitan dengan Jñàna Kanda dan Karma Kanda. Sebagaimana dikemukakan di depan, bahwa ajaran dalam kitab Kathopaniûad dirangkai atau dikemas dalam alur ceritra tentang Naciketah yang dijadikan persembahan kepada Dewa Yama. Naciketah sungguh prihatin atas yaga yang dilakukan ayahnya, yang menggunakan sapi-sapi yang telah uzur sebagai sarana yaga atau dakûina. Vajasrava akan menghadiahkan sapi-sapi yang sudah tidak mampu lagi memakan rumput atau meminum air dan menghasilkan sedikit susu.

Melihat hal ini, Naciketah menyatakan bahwa ayahnya berada dalam keadaan yang benar-benar menyedihkan, bahkan dianggap berdosa. Si anak ingin menyelamatkan ayahnya dari nasib buruk dan ia memohon agar ayahnya mempersembahkan dirinya sebagai pemberianatau yaga kepada seseorang yang dikehendaki ayahnya. Ia mendesak kepada ayahnya agar ia juga diberikan kepada seseorang. Mendengar permintaan anaknya seperti itu, sang ayah menjadi gusar dan berteriak dengan rasa jijik, “Aku akan memberikanmu kepada penguasa kematian”.
Naciketah berketetapan hati, bahwa kata-kata ayahnya harus ditepati walaupun diucapkan pada jiva-loka, yaitu keinginan duniawi yang terpengaruh oleh kelahiran dan kematian. Oleh karena itu, ia memohon kepada ayahnya untuk mempersembahkan dirinya dalam upacara ritual yang ketat, sebagai sebuah pemberian kepada Yama. Naciketah dengan tulus bersedia sebagai pengganti sarana persembahan, dengan tujuan mulia untuk menyucikan yaga dalam yajña yang dilakukan oleh ayahnya.
Guna memenuhi ucapan ayahnya, Naciketah segera meneruskan perjalanannya menuju Yamaloka, tempat kediaman sang penguasa kematian. Sampai di Yamaloka, Naciketah  menunggu selama tiga hari tiga malam, tanpa ada yang menyapanya. Ketika Yama sang penguasa kematian tiba, beliau merasa sedih dan meminta maaf atas keterlambatannya menerima tamu brāhmana, Naciketah. Dewa Yama kemudian mempersilakan Naciketah memilih tiga hadiah, satu untuk setiap malam dan yang ia habiskan di luar pintunya.
Pertama-tama Naciketah menghendaki, apabila ia kembali ke rumah dan ke tempat asalnya, atas perintah Dewa Yama, agar ayahnya mau menyambutnya dengan senang, bebas dari segala kemarahan yang tidak pada tempatnya, dan penuh dengan ketenangan mental. Peermohonannya  yang kedua adalah untuk mengetahui rahasia absennya rasa lapar atau haus ataupun ketakutan akan kematian di surga. Yama dengan suka hati memberikan kedua permintaan ini, dan sebagai tambahan, Yama menginisiasi dalam sebuah ritual khusus, beserta rahasianya. Naciketah mendengarkan dengan penuh hormat dan menyimak rincian dari ritual tersebut. Yama sangat senang dengan murid barunya ini, dan Ia memberi nama baru kepada Yāga tersebut sebagai Naciketah Agni.

Naciketah berkata; “Junjunganku! Manusia itu mesti mati; tetapi beberapa orang mengatakan bahwa kematian bukanlah akhir, dan bahwa ada suatu kesatuan yang disebut ātma yang menghidupi badan dan indriya; sedangkan orang lain menyatakan bahwa tidak ada kesatuan seperti itu. Sekarang, karena hamba memiliki kesempatan, hamba ingin mengetahui tentang ātma secara langsung.

Yama ingin menguji keyakinan akan ketabahan si penanya dan ketegarannya untuk mengetahui kebijaksanaan tertinggi. Apabila ia tidak layak, Yama tidak ingin menyampaikan pengetahuan tersebut kepadanya. Lalu, Ia bersedia memberikan berbagai macam hadiah yang berhubungan dengan kemakmuran duniawi dan kebahagiaan, kepadanya. Ia mengatakannya bahwa ātma adalah sesuatu yang sangat halus dan sukar dimengerti, yang melampaui pencapaian pemahaman biasa. Yama  meletakkan beberapa buah hadiah dihadapannya yang dapat dinikmati lebih cepat dan lebih baik. Naciketah menjawab: “Junjunganku yang terhormat! Uraianmu tentang kesulitan memahaminya membuat aku merasa bahwa aku tak akan melewatkan kesempatan ini, karena aku tak dapat memperoleh guru lain yan lebih mampu dari pada-Mu untuk menjelaskan hal tersebut kepadaku. Aku minta hal ini sebagai hadiah yang ketiga dan tidak yang lainnya. Pilihan hadiah yang Engkau sampaikan kepadaku tak dapat meyakinkanku akan keabadian manfaatnya, dan hanya ātmajñāna sajalah yang dapat memberikan manfaat seperti itu”.

Melihat kenyataan akan ketabahan serta śraddhā dari Naciketah sedemikian itu, Yama terkesan dan menyimpulkan bahwa ia pantas untuk menerima kebijaksanaan tertinggi tersebut. Yama berkata: “Baiklah, anakku naciketah! Ada dua type pengalaman dan dorongan hati yang berbeda, yang disebut sebagai śreya dan preya, keduanya mempengaruhi sang pribadi; yang pertama membebaskan sedangkan yang kedua mengikat. Yang satu membawa pada pembebasan dan satunya membawa pada penjelmaan kembali. Apabila kamu mengejar jalan preya, kamu meninggalkan realisasi tujuan tertinggi manusia. Jalan śreya dapat dikenali, tetapi jalan preya ditelusuri oleh mereka yang bodoh dan lalai melalui Vidyā; sedangkan mereka yang sadar, mencari jalan śreya melalui Paravidya.

Anyac chreyo anyad utaiva preyaste ubhe nànàrthe purusam sinìtah:
tayoh úreya àdadànasyà sàdhu bhavati, hìyate’rthàd ya u preyo vånìte. (I.2.1)

(Yama berkata): Sesungguhnya ada perbedaan antara kebajikan dan kenikmatan. Kedua hal ini dengan tujuan-tujuan yang berbeda, mengikat seseorang. Dari keduanya ini, adalah lebih benar memegang kebajikan; tetapi dia yang memilih kenikmatan akan gagal dalam tujuannya.

Úreyaú ca preyaú ca manusyam etas tau samparìtya vivinakti dhìrah.
úreyo hi dhìro’bhipreyaso våóìte, preyo mando yogaksemàd våóìte. (I.2.2)

Kebajikan maupun kenikmatan kedua-duanya mendekati seseorang. Orang bijak, setelah menimbang-nimbang, mulai membedakan. Yang bijaksana memilih kebajikan dari pada kenikmatan. Orang yang bodoh, dengan alasan kesenangan duniawi, memilih kenikmatan.


Avidyàyàm antare vartamànàh, svayam dhìràh paóðitam manyamànàh.
dandramyamàóàá pariyanti mùðhàá, andhenaiva nìyamànà yathàndhàá. (I.2.5)

Bersemayam di tengah-tengah kebodohan, arif menurut pikiran mereka saja, merasa diri mereka terpelajar, orang-orang pandir yang menelusuri tapak yang membuat sengsara dan berjalan seperti orang buta yang dituntun oleh orang buta.

Yama melanjutkan: “ātma itu tenang, tak tergoyahkan; ia adalah kesadaran yang tak terbatas dan penuh. Mereka yang telah mengetahui ātma, tak akan tergerak oleh pemikiran dualitas dari “ada” dan “tidak ada”, “si pelaku” dan “bukan si pelaku” dan sebagainya. Ātma juga bukan merupakan suatu obyek yang diketahui! Ia juga bukan yang mengetahui, yang diketahui, maupun proses mengetahui; bahkan juga bukan pengetahuan. Pengungkapan hal ini merupakan visi teramat tinggi, dan pemberitahuan satu hal ini merupakan instruksi tertinggi. Instrukturnya adalah Brahman, dan yang diinstruksikan juga adalah Brahman. Realisasi dari kebenaran yang senantiasa ada ini, menyelamatkan seorang dari segala keterikatan dan gangguan, sehingga ia membebaskan seseorang dari kelahiran dan kematian. Rahasia besar ini tak dapat dicapai dengan logika dan harus diperoleh dengan keyakinan pada kesadaran småti dan harus dialami sendiri. Ātma hanya mampu diketahui melalui ketabahan yang maha besar. Seseorang harus mengalihkan pikirannya dari kebiasaan alami, yaitu dunia obyektif, dan menjaganya agar tetap tenang tak tergoyahkan. Hanya seorang pahlawan yang dapat berhasil dalam petualangan dalam kesendirian, dan mengatasi rangsangan-rangsangan keakuan dan khayalan! Kemenangan itu sendiri sajalah yang dapat melepaskan ketakutan.

Ajaran Vedānta merupakan kebenaran tertinggi yang mampu diwujudkan oleh semua orang. Semua naskah menyatakan hal tersebut dengan satu pendapat, dan ia juga menyatakan bahwa pranāva atau suku kata tunggal Om merupakan simbol dari para dan apara Brahman; dan juga menyatakan bahwa upāsanā dari pranāva membawa dalam upaya pencapaian menuju tahap Hiraóyagarbha dan membantu untuk mencapai dua tahapan dari Brahman. Hiraóyagarbha diselimuti oleh tirai paling tipis dari māyā dan melalui Om, ia dapat disingkapkan dan para serta apara Brahman dapat diwujudkan.

Tam durdarúam gùðham anupraviûþaý guhàhitam gahvarestham puranam
adhyatma-yogadhigamena devam matva dhiro harsasokau jahati. (I.2.12)

Menyadari melalui perenungan bahwa Tuhan Yang Satu, yang sukar dilihat, bersembunyi sangat jauh, bersemayam pada goa (di dalam jantung), bersemayam dalam kedalaman hati, orang bijak meninggalkan sukacita maupun kesedihan, jauh di belakang.

Etad hyevaksaram brahma, etad hyevaksaram param.
Etad hyevaksaram jnatva, yo yad icchati tasya tat. (I.2.16)


Suku kata ini sesungguhnya mempunyai semangat yang tidak kunjung habis. Dan suku kata ini adalah tujuan yang Maha Tinggi; dengan mengerti suku kata ini apapun yang diinginkan seseorang, akan menjadi terwujud.


Kathopaniûad juga menguraikan dengan teliti mengenai ātma dalam berbagai cara. Dikatakan bahwa ātma tak dapat diukur, dan tak akan pernah dapat diberi batasan-batasan. Bayangan matahari pada sebuah danau yang airnya bergelombang akibat dari goncangan air yang dihembus angin; sedangkan mataharinya sendiri berada jauh diatas sebagai saksi. Ia tak terpengaruh oleh media yang menghasilkan bayangan tersebut. Demikian pula ātma yang merupakan saksi dari semua perubahan dalam ruang dan waktu.

Jivātman  yang dipribadikan oleh kebodohan, merupakan peserta dari buah perbuatan benar dan salah, baik dan jahat; sedangkan jiva memalsukan ikatan melalui ke-aku-an dan melepaskan ikatan tersebut melalui buddhi, sebagai daya perlawanan dari kebodohan. Mewujudkan semuanya itu merupakan perolehan kesempatan, dimana indriya-indriya (luar dan dalam) memadamkan kegiatan-kegiatan. Mengesampingkannya sebagai palsu dan menyesatkan, kemudian menggabungkan semuanya dalam manas. Manas dikembalikan ke dalam buddhi, dan buddhi (kecerdasan yang dipribadikan) ke dalam kecerdasan kosmis hiranyagarbha. Setelah mencapai tahapan sādhanā tersebut, kecerdasan kosmis digabungkan ke dalam ātmatattva, yang tiada berwujud. Pada tahap inilah tahapan nirvikalpasamādhi dapat dicapai. Nirvikalpasamādhi adalah wujud ketenangan dalam kesatuan mutlak sempurna yang tak tergoncangkan yang merupakan sifatmu yang sesungguhnya. Itulah rahasia yang diuraikan oleh Upanisad ini yang merupakan kenyataan bahwa semua ciptaan itu merupakan suatu pertumbuhan dari nama dan rūpa.

Jiwa sering kali dikelirukan oleh māyā (khayalan) yang selalu memburu dengan rangsangan negatif dan karena itu harus dihancurkan. Jiwa harus dibangkitkan dari tidur berabad-abad dan menuntunnya menuju tujuan. Hakikat Ātma sesungguhnya mengatasi sabda, sparsa, rūpa, rasa, dan gandha, serta tak mengenal akhir. Indriya-indriya merupakan pengikat obyek, dan mengikatkan ke arah luar. Ātma merupakan peralatan utama bagi segala kegiatan dan pengetahuan, yaitu daya motif bathin di belakang segala sesuatunya yang ada. Khayalan yang bermacam-macam, bertumpuk-tumpuk tak terhitung jumlahnya, berasal dari ājñāna harus dijauhkan bahkan dimusnahkan. Apa yang nampak di dunia ini merupakan suatu khayalan yang disebabkan oleh “keadaan”, yaitu suatu perasaan bahwa Jivātman  terpisah dari Brahman Yang Esa, yang merupakan asal mula dari segala sesuatu. Yama kemudian menyatakan sifat Brahman kepada Naciketah, untuk melepaskan keragu-raguan tentang masalah tersebut.

Seperti sebuah sinar yang terhalang asap, Purusa yang seukuran jempol (angustamatrah) bersinar selamanya. Seperti banjir akibat hujan deras yang jatuh di pegunungan, terpecah-pecah menjadi ribuan aliran air, demikian pula sang jivi, yang merasa banyak dan berbeda, jatuh ke bawah dengan sia-sia. Upanisad ini menyatakan bahwa tak sesuatu pun yang lebih tinggi dari ātma, atau pun menyamainya. Akar dari sebatang pohon tak terlihat dan tersembunyi di bawah tanah, tetapi pengaruhnya nampak pada bunga yang dapat dilihat. Hal ini merupakan kenyataan dari samsāravåkûa, atau pohon kehidupan. Dari pengalaman tersebut dapat disimpulkan bahwa akar, yang dalam hal ini adalah Brahman, merupakan penghidup dan penunjang, kata Yama.

Pohon samsāra itu seperti pohon mangga sulapan, yang hanya merupakan ilusi. Mereka yang telah memurnikan buddhi-nya dapat melihat di dalamnya, seperti pada sebuah cermin yang baik, sang ātma berada dalam setiap kehidupan. Brahman adalah jñeyam, yaitu sesuatu yang diketahui oleh para pencari pengetahuan, dan juga adalah upasyam, yaitu sesuatu yang dicapai oleh para pencari pencapaian. Seorang jñāni dibebaskan oleh visualisasi dari Brahman, tetapi seorang upāsaka mencapai Brahmaloka setelah kematian. Di sana ia bergabung pada Hiraóyagarbha, dan pada akhir kalpa, ia dibebaskan bersama-sama dengan Hiraóyagarbha itu sendiri.

Naciketah memahami Brahma Vidyā yang diajarkan Yama kepadanya ini tanpa satu cacat pun, maka ia dibebaskan oleh kematian dan mencapai Brahman. Selama Brahma Vidyā ini diperhatikan, maka mereka yang mencoba untuk mengetahui hal ini menjadi seorang yang berkepribadian lebih baik, terbebas dari cacat dosa. Satu mantra saja sudah cukup untuk menyelamatkan mereka yang telah mempertajam kecerdasan dan menginginkan pembebasan sepenuhnya.
Ātma itu seperti samudra, dan untuk menyuruh seseorang memahaminya, kita tak perlu meminta mereka meminum seluruh air samudra tersebut. Setetes air yang diletakkan di lidah, akan memberinya pengetahuan yang diperlukan. Demikian pula, apabila kita menghendaki untuk mengetahui Upaniûad, juga tidak harus selalu mengikuti setiap mantra. Dengan mempelajari dan mengalami pengertian dari satu mantra dalam kesadaran murni, akan dapat mewujudkan tujuan sejati dari hidup ini, tanpa kegagalan. Pelajari dan laksanakan, itulah rahasia dari segala ajaran spiritual.

INTISARI AJARAN KATHA UPANIÛAD

Menyimak dialog antara Dewa Yama yang memberi pencerahan kepada Naciketah, dapat dipetik inti sarinya, bahwa Katha Upaniûad, menekankan ajarannya pada penghayatan terhadap hakikat Atman. Sementara itu, setiap bhakta harus mencari dan mengalaminya dengan hati yang murni.

Badan ini ibarat kereta, akal-budhi adalah kusirnya, citta atau inti pikiran adalah intelegensi yang merupakan kendalinya, objek indriya adalah visaya yang diibaratkan sebagai jalan yang harus dilalui menuju sang pemilik kereta, yaitu Atman, tempat yang tertinggi di kedalaman hati yang murni. Seseorang yang kereta raganya dikemudikan oleh akal-budhi, yang mengamati dan memegang kendali citta dengan baik, niscaya akan mencapai akhir perjalanan, yaitu Jiwa Tertinggi yang abadi, menyatu dengan Yang Maha Ada di balik Jivātman yang suci murni, yaitu Brahman, Purusa Tertinggi yang disimbolkan dengan aksara suci Om. Sampai di sini, perjalanan itu berakhir, karena mereka mencapai Kaivalyam, pembebasan sejati.
Demikianlah dinyatan dalam mantra berikut ini.

Atmanam rathinam viddhi, sariram ratham eva tu:
buddhim tu saradhim viddhi, manah pragraham eva ca. (I.3.3)
Ketahuilah Atma sebagai penguasa dari kereta dan badan sesungguhnya adalah kereta dan ketahuilah buddhi sebagai kusir kereta dan fikiran sesungguhnya adalah kendalinya.

Indriyani hayan ahur visayams tesu gocaran,
atmendriya-mano-yuktam bhoktety ahur manisinah. (I.3.4)
Indria-indria kata mereka adalah kudanya; obyek-obyek indria adalah jalannya (yang akan mereka lalui); (atman) yang berhubungan dengan raga, indria-indria dan fikiran adalah penikmat, kata orang yang bijak.

Esa sarvesu bhutesu gudho’tma na prakasate,
drsyate tvargyaya buddhya suksmaya suksma-darsibhih. (I.3.12)
Atman yang walaupun letaknya tersembunyi dalam semua makhluk, tidak bersinar ke mana-mana tetapi bisa dilihat oleh para penglihat yang halus, melalui buddhi mereka yang tajam dan halus.

PENUTUP

Sebagai penutup, mari kita hayati mantra di bawah ini.

Uttisthata jagrata prapya varan nibodhata,ksurasya dhara nisita duratyaya;
durgam pathas tat kavayo vadanti. (I.3.14)
Berdirilah, bangunlah, setelah memperoleh apa yang anda minta, anda harus mengertikannya. Setajam mata pisau dan sulit untuk diseberangi, berat untuk dituntun adalah jalan itu. Begitu ucap para Rsi.

Naciketam upakhyanam mrtyu-proktam sanatanam
uktva srutva ca medhavi brahma-loke mahiyate. (I.3.16)
Ceritera kuno mengenai Naciketa ini, yang diceriterakan oleh Dewa Kematian, dengan menceriterakan dan mendengar hal ini, seorang yang bijak akan mencapai dunia Brahman.

Ya imam paramam guhyam, sravayed brahma samsadi,
prayatas sraddha kaleva tad anantyaya kalpate, tad anantyaya kalpate. (I.3.17)
Siapa yang membacakan rahasia Maha Tinggi ini di dalam sidang Brahmana atau pengikutnya dalam upacara kematian, ini akan mempersiapkan dia kepada hidup yang kekal.



UPANISAD 4 


BÅHADÀRAÓYAKA UPANIÛAD

PENDAHULUAN
Kitab Båhadàraóyaka Upaniûad adalah kitab Sruti yang tergolong  ke dalam kitab Sukla  Yajur Veda. Kitab Upaniûad ini diberi nama Båhat karena ukurannya yang besar dan isinya yang luas; sedangkan sebutan àraóyaka diambil dari kata àraóya yang berarti hutan, karena ia merupakan kitab yang terbaik untuk dipelajari di keheningan atau tempat yang sunyi. Mengapa demikian? Hal ini dikaitkan dengan isi kitab yang merupakan hasil penemuan dan perenungan para Maharsi yang tinggal pada pasraman di hutan dan menjelaskan ajaran tentang Brahmatattva, Brahmajñàna serta cara mencapainya yang disebut upàsanà.
Pokok-pokok ajaran Upaniûad pada umumnya memiliki persamaan topik pembahasan, yaitu tentang: Brahman, Atman atau Jivatman, Maya dan Avidya yang dikaitkan dengan pengetahuan pribadi terhadap Brahman dan alam sekitarnya baik metafisika maupun kosmologi. Di dalam kitab Båhadàraóyaka Upaniûad, tercakup ajaran yang lebih luas, lengkap, dan teliti. Di samping mengajarkan tentang Brahman dan Atman, Båhadàraóyaka Upaniûad juga mengajarkan tentang Karma dan Karmaphala, Samsara dan penitisan kembali, etika kebajikan dan cara pempebasan Jivatman dari belenggu pràóa, indriya-indriya maupun dualisme keinginan, sampai menemukan identitas kebenaran yang hakiki, mencapai realitas Diri,  yaitu Mokûa. Oleh karena itu, kitab ini harus dipelajari dengan sungguh-sungguh disertai kecermatan pemahaman melalui perenungan batin dan praktek upàsanà serta jangka waktu yang relatif panjang.
Isi kitab Båhadàraóyaka Upaniûad terdiri atas enam Bab (adhyaya?) yang masing-masing dibagi dalam beberapa bràhmana atau dalil-dalil ajaran.  Keenam Bab tersebut digolongkan ke dalam tiga bagian atau kàóða. Dua bagian pertama dari kitab ini disebut Madhu kàóða, dua bagian berikutnya disebut  Muni kàóða,  dan dua bagian terakhir disebut Khila kàóða. Madhu kàóða mengajarkan prinsip atau identitas dasar dari perseorangan dan alam semesta yang sangat penting untuk kemajuan spiritual; Muni kàóða memberikan pembenaran secara falsafah dari ajaran ini, dengan mereferensi pada pengalaman spiritual melalui pengamalan ajaran Úruti; sedangkan Khila kàóða menunjukkan bagaimana melaksanakan dan menguasai ajaran itu melalui beberapa macam pemujaan atau upàsanà untuk menjawab secara garis besar tiga tahap kehidupan beragama.  
Kitab ini menjelaskan tentang tiga tahapan yang dilakukan sebagai persiapan menuju visi Brahman yang dikenal dengan istilah brahma-sàksàtkàra, terdiri atas   sravana (mendengarkan ajaran atau upadeúa dengan penuh keyakinan),  manana (berusaha untuk membentuk gagasan yang jelas melaui pemikiran logis),  dan nididhyàsana (perenungan mendalam atau samadhi tanpa pembedaan antara yang memuja dengan objek yang dipuja). Untuk itu, setiap orang yang mempelajari kitab ini harus memiliki niat yang sungguh-sungguh, berupaya dan berlatih mengamalkan kebajikan-kebajikan pokok yang tercantum dalam ajaran Upaniûad ini.

GARIS BESAR ISI AJARAN

Madhu kàóða
Sebagaimana telah dikemukakan di depan bahwa dua bagian pertama (Bab I dan II) dari kitab Båhadàraóyaka Upaniûad ini digolongkan ke dalam Madhu kàóða, yang menguraikan atau Brahmatattva, yaitu hakikat Brahman dalam pandangan kategori yang diterima seperti yang diperintahkan dalam Veda Úruti. Tiap Bab terdiri dari enam bràhmana.

Bab I membicarakan tentang penciptaan alam semesta oleh Prajàpati (kemahakuasaan Brahman dalam mengendalikan semesta), yang berawal dari hampa (naiveha) dan tiada sesuatu (na ayayà), kemudian memancarkan fikiran kausal guna menciptakan Atman (atmaivedam agra asit) sebagai asas ciptaan pertama. Atman itu menjadi sumber berkembangnya semua ciptaan, alam semesta beserta isinya. Prajàpati membagi alam ciptaan-Nya menjadi tiga loka yang dapat diperoleh dengan cara yang sesuai menurut dharmanya. Ketiga loka itu adalah Manusya-loka yang hanya bisa diperoleh melalui keturunan, Pitri-loka yang bisa diperoleh melalui persembahan, dan Deva-loka adalah dunia terbaik yang hanya diperoleh dengan pengetahuan

Prajàpati memiliki tiga sifat kekuatan yang kekal, yaitu: fikiran, wicara/suara-nada/sabda, dan udara vital/nafas (mano vàg prànam). Tiga sifat kekuatan yang kekal ini melekat pada Atman. Atman adalah sumber Purusa yang merupakan pribadi awal dan cikal-bakal dari semua kejamakan nama dan bentuk (Nàma-Rùpa) pada alam semesta ini. Oleh karena itu,  alam semesta ini dinyatakan sebagai sesuatu yang nyata oleh khayalan yang sebenarnya dikacaukan oleh  Nàma dan Rùpa yang merupakan sifat dasar alam, di samping Karma atau pekerjaan/perbuatan. Semua Nàma muncul karena vàk/suara-nada/vicara, Rùpa atau bentuk/wujud muncul karena cakûu/penglihatan, sedangkan Karma atau perbuatan memiliki úarira/badan sebagai sumbernya. Badan hanyalah merupakan struktur bagi vàk  dan indra lainnya.

Pràna adalah udara di alam dan nafas vital yang bersifat abadi, yang  menjadikan alam dan badan ini sebagai basisnya. Pràna menempati kedudukan pusat di antara nafas vital pada vak, caksu dan srotra; demikian pula udara yang tidak pernah habis dan tidak pernah beristirahat, menempati kedudukan di antara dewata Agni, Aditya, dan Candra. Prana akan meninggalkan basisnya ketika menyatu dengan Atman.

Selanjutnya dalam Bab II, Båhadàraóyaka Upaniûad membicarakan tentang kemahakuasaan Brahman sebagai objek pemujaan yang menyebar pada ciptaan-Nya (Ista-Devata?). Pembicaraan ini berlangsung dalam dialog antara Gargya dan Ajatasatru, yang pada akhirnya berkesimpulan bahwa objek pemujaan yang terbaik adalah yang dilandasi oleh kesadaran pengetahuan pada Atman sebagai pemilik yang menjadikan keberadaan semua makhluk (atmanviha bhavati). Atman diumpamakan seperti Laba-laba bergerak dalam jaringnya dan seperti percikan sinar yang keluar dari api. Seluruh Pràna/nafas vital,  alam, dewata, dan semua makhluk datang dari Atman. Semua nafas vital tercakup dalam satu oknum.

Brahman sebagai sumber Atman dinyatakan memiliki dua wujud sifat hakiki, yaitu berwujud dan tidak berwujud, fana dan abadi, bergerak dan tidak bergerak, keberadaan tetap dan relatif. Apa pun yang berwujud, yang fana, yang bergerak, dan yang relatif bukanlah sifat-Nya yang hakiki, akan tetapi Dia sebagai inti dalam ruang segala yang ada (antaràtman); Dia dinyatakan melalui ajaran: na iti na iti, na hyetasmad iti, na ityanyat param asti yang artinya: “bukan ini, bukan yang ini, sebab tidak ada yang lebih tinggi dari yang ini, Dia bukanlah yang fana ini”.

Sesungguhnya Atman itu bersifat abadi dan kekal karena merupakan kesatuan dengan Brahman. Setiap makhluk memiliki ini dan berasal dari sini, oleh sebab itu maka setiap orang harus melimpahkan kasih sayangnya kepada semua ciptaan. Namun demikian, kasih sayang dicurahkan bukanlah untuk kepentingan perseorangan atau pribadi, maupun semua yang dikasihi, melainkan untuk kepentingan Atman. Atman inilah yang seharusnya dilihat, didengar, difikirkan, dan dijadikan objek samadhi karena semua ini sesungguhnya adalah Atman (idam sarvam yad ayamàtma).

Berkaitan dengan itu maka kehidupan setiap makhluk dengan alam semesta atau kosmos  lainnya mempunyai jalinan hubungan yang manis seperti madu, saling memerlukan, saling bergantung  dan saling menopang. Pañca Mahabhùta, Matahari, Bulan, Kilat, Angkasa, Awan, dan sebagainya adalah seperti madu untuk semua makhluk, demikian pula semua makhluk adalah bagaikan madu bagi mereka. Atman, juga seperti madu untuk semua makhluk dan semua makhluk seperti madu untuk Atman. Oknum yang bersinar itu berada pada semua makhluk adalah abadi, Dia adalah Atman, Dia adalah Brahman, Dia adalah semua ini (ayam eva sa yo’yam atma, idam amåtam, idam Brahma, idam sarvam). Kalimat tersebut tercantum pada setiap akhir mantra 1 – 14 dari Brahmana Kelima, bab II kitab ini. Kemudian di dalam mantra 19 dinyatakan kalimat kesimpulan yang berbunyi: “......tad etad brahmàpurvan, anaparam, anantaram, abahyam ayam atma brahma sarvànubhùh, ityanusàsanam” yang artinya: “Brahman ini adalah yang tanpa sebelumnya, tanpa sesudahnya, tanpa sesuatu yang di dalam dan yang di luar, Atman ini adalah Brahman, yang maha tahu; inilah ajarannya”.

Seluruh isi Madhu kàóða  merupakan ajaran pokok tentang Brahmatattva (kahikat Brahman) dan Brahmajñàna (pengetahuan tentang Brahman), termasuk Atman dan kesemarakan wujud, serta proses penciptaan-Nya. Itu merupakan ajaran dasar yang tercantum di dalam kitab suci Veda Úruti dan tidak mereferensi kepada pengalaman spiritual.

Muni kàóða

Bab III dan IV dari kitab Båhadàraóyaka Upaniûad berisi uraian yang disampaikan oleh Maharsi Yajñàvalkya dan merupakan penjelasan ulang tentang hakikat Brahman dan Atman serta hubungannya dengan makhluk ciptaan lainnya. Penjelasan diberikan sebagai pembenaran secara falsafah terhadap apa yang telah  diuraikan dalam Madhu kàóða, dengan mereferensi pada pengalaman spiritual melalui pengamalan ajaran Úruti. Bab III dari kitab ini terdiri atas sembilan brahmana, sedangkan Bab IV terdiri atas enam brahmana.

Pada bagian atau kàóða ini juga dijelaskan tentang upàsanà atau pemujaan yang dihubungkan dengan karma atau kegiatan ritual. Penjelasan tentang ajaran ini dikemukakan dalam dialog pada kegiatan Yàga yang diselenggarakan oleh raja Janaka dan dihadiri oleh para brahmana terkemuka saat itu serta siap untuk mengajukan pertanyaan kepada Maharsi Yajñàvalkya yang menjadi narasumber utama pada kegiatan upacara Yàga itu. Para brahmana itu ialah: Asvala, Arthabhàga, Bhujyu Lahyayani, Usastta Cakrayana, Kahola Kausitakeya, Gàrgi Vàcaknavi, Uddàlaka Aruni, dan Vidagdha Sakalya., yang siap menjawab segala pertanyaan yang diajukan. Pertanyaan di mulai dari hal-hal yang bersifat teknis ritual, pengetahuan tentang keagamaan, sampai kepada yang bersifat filosofis dan hakikat/Tattva.

Seluruh pertanyaan itu dapat dijawab dengan baik, bijak, dan memuaskan oleh Yajñàvalkya. Beliau menjelaskan tentang teknis berbagai pelaksanaan Yajña oleh para Hotå, Udgatå, dan Advaryu, tentang delapan alat pencerap atau penerimaan objek pencerapan. Kedelapan alat pencerap atau penerimaan itu dikuasai atau dikendalikan oleh objek pencerapan, yang masing-masing adalah: prana oleh apana (atau grana oleh gandha), vàk oleh nàma, jihva oleh rasa, caksu oleh rupa, srotra oleh sabda, manah oleh kama, hasta oleh karma, dan tvak oleh sparsa.  Yajñàvalkya juga menjelaskan tentang karma dan upàsanà serta  cara pencapaian Atma yang terkurung dalam Pràna melalui penyatuan karma yoga dan bhakti yoga. Atma yang terkurung oleh Pràna itu adalah Purusa, dia memiliki kesatuan dengan indriya-indriya yang terlibat dalam perputaran saýsàra, akan tetapi, Atma yang ada di dalam diri ini adalah kesatuan yang sesungguhnya dicari; bagaikan sebatang kayu, tidak akan dapat bergerak sendiri melainkan harus  digerakkan oleh kekuatan luar atau kekuatan dalam, tangan yang baru bisa bergerak bila ada kehendak. Demikian pula badan ini tidak akan dapat berbuat bila daya supra spiritual tidak memerintahkannya, atau bila udara-udara vital tidak brfungsi dengan semestinya. Dia adalah Atmàntaryami, sang pengamat dan pengendali dari dalam; Dia yang melihat mendengar, membau, merasa, dan mengecap; Dia adalah supra kesadaran (Purusa atau Cetana) sebagai pencerminan Atma yang dipantulkan dalam pikiran, menggerakkan indriya-indriya dan memahami dunia luar dari lima unsur (pañca mahabhùta). Dengan demikian Dia nampak seperti terikat dengan suatu kegiatan indriya, namun sesungguhnya Dia tidak memiliki kegiatan.

Puruûa itu adalah Atmàntaryamitva yang melampaui pencapaian indriya-indriya, dan mengatasi serta melampaui badan halus maupun badan penyebab. Dia dapat dipahami dengan pengalaman dan Atma itu hanya dapat dicapai dengan tyàga, yaitu ketidakterikatan secara total. Keterikatan berasal dari kàma, keinginan. Demikian pula karma sàdhana, juga berkaitan dengan kàma sehingga bertentangan dengan hakikat saýnyàsa. Terang dan gelap tidak dapat terjadi bersamaan di tempat yang sama, demikian pula karma dan Atmajñàna juga tidak dapat terjadi bersama-sama. Para brahmana jaman dulu melepaskan keterikatan melalui Nivåtti-marga guna mewujudkan realitas diri, mencapai kesadaran sejati.

Atma dikatakan memiliki sarvàntaryamitva. Bahwa seluruh bumi ini dapat didiami melalui persekutuannya dengan air; atau bila tidak, ia akan jatuh berkeping-keping seperti tepung. Kemudian, Gàrgi menanyakan apa yang memjadi dasar dari bumi ini? Yajñàvalkya menyatakan bahwa tanah, air, ether, matahari, bulan, bintang, dewa, Indra, Prajapati, dan Brahma-loka satu sama lain saling terjalin dari Paramatma Tattva, yang merupakan tenunan kainnya penciptaan. Gàrgi menyatakan bahwa kebenaran yang demikian itu melampaui imajinasi manusia. Ia harus direguk dari susastra Veda dengan kecerdasan yang dimurnikan. Yajñàvalkya menyalahkan argumentasi itu karena masalah Paramatma Tattva tidak bisa dipecahkan dengan kecakapan dan kecerdasana semata. Ia harus dipecahkan dengan intuisi yang deperoleh dengan bimbingan seorang Guru.

Bumi ini diresapoleh Vayu atau udara; Yng univesal dipribadikan sesuai dengan kesan-kesan dari pengalaman pada kehidupan sebelumnya, yang dihubungkan dengan pañca karmendriya, pañca jñànendriya, pañca prana, manah dan buddhi. Badan yang konkret merupakan vikàra atau mutasi dari bumi yang diresapi oleh Vayu. Apabila udara meninggalkan badan untuk selamanya maka jasad ini menjadi tak terurus, kemudian menjadi sesosok mayat. Walaupun demikian, terdapat sebentuk antaryamin, roh imanen dalam persemayaman kompleks badan. Dia adalah rahasia yang melampaui pencapaian kompleks tersebut dan merupakan penggerak dari dorongan hati, Dia tidak memiliki kematian; Itulah Purusa, Atmàntaryamitva.

Ketika ditanyakan: pada siapa Dia bersandar di masa lalu, sekarang, dan nanti dalam alam dualitas ini? Yajñàvalkya menjawab: bahwa brahmavid atau yang menguasai kebijaksanaan brahmik menyatakan Parambrahman itu imanen dalam akàúa yang tak terwujudkan, Dia tidak memiliki wujud kasar, halus, maupun perubahan, Dia tidak memiliki kualifikasi material dan tidak ada ukuran untuk memahaminya. Atma adalah kesemarakan, seperti matahari dengan sifatnya sendiri. Dia tak dapat dilihat maupun melihat karena Dia tidak memiliki yang kedua yang berada di luarnya. Dia tidak memiliki suatu organ, namun dengan bekerja-sama akan dapat melakukan suatu fungsi tertentu.

Seluruh organ tubuh bersifat fana, tetapi Dia, sang Atma bersifat abadi. Bagaikan sebatang pohon yang tumbuh dari sebutir benih yang kecil, benih dalam buah tumbuh menjadi pohon, kemudian berbuah, buahnya yang telah matang akan jatuh ke tanah dan tumbuh menjadi pohon yang lain. Apabila badan ini seperti buah matang yang telah jatuh ke tanah, vàk dan indriya lainnya juga mengikutinya, nafas mengambil jalannya sendiri, namun, hanya Atma yang tidak terpengaruh oleh salah satu jalan tersebut. Dia selamanya tetap tak bergerak dan tak dapat digerakkan. Melalui karma atau perbuatan, yang buruk menimbulkan dosa, yang baik menimbulkan kebajikan; demikianlah pàpa dan puóya bertimbun. Semua karma itu menghasilkan dorongan-dorongan sebagai daya penggerak bagi sesosok badan baru. Atma meninggalkan badan yang rapuh, dengan pandangan yang diarahkan pada badan baru yang ditempatinya.

Seorang Atmaàni  tidaklan demikian; ia tidak memiliki dorongan terhadap kegiatan badan, sehingga Atma sama sekali tidak dicemaskan oleh badannya. ànamarga merupakan jalan bagi brahmavid,  yaitu orang yang mengetahui dan memiliki kesadaran Brahman. Kegairahan karmanya dituntun menuju tapas, terlepas dari kàma sehingga fikirannya tidak mengenal rasa takut, sengsara ataupun kerinduan. Ia dinyatakan sebagai visvakartha, yaitu seniman yang benar-benar telah berkembang dari ciptaan. Dia yang telah mencapai visi Brahman, tidak ada sesuatu hal lagi yang harus dicari, dicapai, dilindungi, maupun diwujudkan, karena dia telah mencapai tyaga, vairagya, dan pembebasan menuju Mokûa.
Khila kàóða
Bab V dan VI dari kitab Båhadàraóyaka Upaniûad digolongkan ke dalam Khila kàóða, berisi uraian tentang bagaimana melaksanakan dan menguasai ajaran itu melalui beberapa macam pemujaan atau upàsanà, yang dihubungkan dengan kegiatan ritual untuk mencapai tujuan tertentu. Ajaran ini dimaksudkan untuk menjawab secara garis besar tiga tahap kehidupan beragama, yang disebut brahma-sàksàtkàra. Bab V terdiri atas 15 (lima belas) brahmana dan Bab VI terdiri atas 5 (lima) brahmana. Oleh karena itu diperlukan waktu khusus yang cukup untuk menjelaskannya.
Ada dua ajaran penting yang perlu dikutip sebagai dasar keyakinan dan perbuatan di dalam kehidupan ini. Yang pertama adalah tentang keberadaan Brahman dan ciptaan-Nya yang sempurna; yang kedua adalah tiga pokok kebajikan yang wajib diamalkan dalam kehidupan ini.
Yang pertama merupakan dasar keyakinan, dikutip dari mantra pada Bab V brahmana pertama, yang berbunyi:
Pùrnamadah pùrnamidam, pùrnat pùrnam udacyate,
 pùrnasya pùrnam adàya, pùrnam evàvasisyate.
 Aum kham brahma, kham puranam vayuram kham,
 iti ha smaha kauravyayani putrah,
 vedo’yam brahmana viduh, vedainena veditavyan.
Artinya:
“Itu adalah sempurna, ini adalah sempurna, dari yang sempurna mencullah yang sempurna, bila diambil kesempurnaan dari yang sempurna, maka yang sempurna itu tetap sempurna. Aum, Brahman adalah angkasa, angkasa pemula, angkasa yang bertiup; begitulah putra  Kauravyayani menyatakan, inilah Veda yang dimengerti oleh orang bijak (brahmana), melalui hal ini seseorang akan mengerti tentang apa yang harus dimengerti”.
Mantra di atas mengandung pengertian bahwa yang yang sempurna itu adalah Brahman sebagai Yang Ada Pertama. Dari Brahman diciptakanlah  yang sempurna, yaitu Atman yang menjadi sumber dari inti setiap ciptaan.
Yang kedua merupakan dasar perbuatan, dikutip dari mantra pada Bab V brahmana kedua, yang menceriterakan sebagai berikut:
Mantra 1. Tiga keturunan Prajāpati: devata, manusia, dan asura hidup bersama mereka dan menjadi murid dari sang ayah, yaitu Prajāpati  sendiri. Setelah menyelesaikan masa belajarnya, para dewata berkata: ‘Tuhanku, mohonlah kami diajar terus.’ Kepada mereka beliau menggumamkan satu aksara da dan bertanya, ‘apakah kalian mengerti?’ ‘Kami sudah mengerti, paduka mengatakan “dàmyata” kepada kami’, “kendalikan dirimu”. Dia menjawab: ‘Ya, kalian sudah mengerti’. (Para dewata dikatakan memang bersifat susah diatur dan karena itu diminta untuk mengendalikan diri).
Mantra 2. Kemudian manusia berkata kepada Prajāpati: ‘Tuanku, mohonlah kami diajar terus.’ Kepada mereka juga beliau menggumamkan aksara yang sama, da dan bertanya: ‘Apa kalian sudah mengerti?’ Mereka menjawab: ‘Kami sudah mengerti, Paduka mengatakan “datta kepada kami’, “memberi”. Dia menjawab: ‘Ya, kalian sudah mengerti’. (Manusia biasanya tamak dan karena itu mereka semestinya membagikan hartanya sebaik mungkin).
Mantra 3. Kemudian para asura berkata kepadanya: ‘Tuanku, mohonlah kami diajar terus. ‘Kepada mereka beliau juga menggumamkan aksara yang sama, da dan berkata: ‘Apa kalian sudah mengerti?’ Mereka menjawab: Kami sudah mengerti. Paduka mengatakan, “dayadhvam, “haruslah welas asih.” Dia menjawab: ‘Ya, kalian sudah mengerti’. (Asurā itu kejam dan suka melukai orang lain, mereka harus mempunyai welas asih dan baik kepada yang lain).
Pada saat yang sama, suara dari sorga bergema menirukan: da, da, da iti, damyata datta dayadvam iti, tad etad trayam sikset, dama, danam, dayam iti. Kendalikan dirimu, berikanlah, kasihilah. Setiap orang mesti melatih ketiga hal yang sama ini, mengendalikan diri, memberi dan welas asih.

Ada pendapat bahwa tidak ada asura maupun dewata, tetapi hanya ada manusia. Bila mereka tiada memiliki pengendalian diri, tetapi mempunyai sifat-sifat baik yang lain mereka adalah dewata; bila mereka benar-benar rakus maka mereka adalah manusia; bila mereka kejam dan suka melukai orang lain, mereka adalah asura. Manusia sendiri dibedakan menjadi tiga kelas ini menurut kemampuan mereka mengendalikan diri dan pemilikan dari kekurangan yang lainnya sesuai dengan pengaruh triguna, yaitu sattvam, rajas, dan tamas.
Dengan demikian, apabila seseorang hendak mencapai tujuan yang mulia, bahkan penyatuan dirinya dengan Atman, di dalam maupun di luar, dia harus mengamalkan tiga kebajikan pokok tadi, yaitu damam (mengendalikan diri), dànam (memberi pelayanan dengan ikhlas), dan dayàm (kasih-sayang terhadap sesama ciptaan-Nya).

PENUTUP
Demikianlah sebagian kecil dari ajaran yang tercantum di dalam kitab Båhadàraóyaka Upaniûad, yang dapat disajikan dan masih memerlukan waktu untuk penyajian lebih lanjut, agar isinya dapat dipahami dengan sebaik-baiknya. 

Jakarta, 20 April 2012

UPANISAD 5

SVETÀSVATARA UPANIÛAD

PENDAHULUAN
Kitab Svetàsvatara adalah kitab Sruti yang tergolong  ke dalam kitab Taittiriya pada Yajur Veda. Nama Svetàsvatara, menurut para akhli Indologi diduga diambil dari nama Maharsi yang menghimpun dan menyusunnya. Sveta artinya putih atau bersih atau suci. Asva adalah indriya atau panca indra.
Ditinjau dari segi isinya, dapat disimpulkan bahwa kitab Svetàsvatara memusatkan pokok bahasannya pada ajaran Ketuhanan, yang berusaha menjelaskan bahwa otensitas ajaran Veda adalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan penemuan dan penulisan kitab Svetàsvatara itu dimaksudkan untuk lebih menjelaskan dan menegaskan bahwa ajaran Veda sesungguhnya bersifat monotheistik.
Dalam menulis atau menyusun pokok-pokok pejelasan ajaran Veda , terutama yang bersumber dari Yajur Veda itu, Maharsi telah berusaha dengan sistim dan metodologinya memberi penjelasan tentang pengertian Tuhan, yang di dalam kitab itu lebih umum disebut dengan gelar Brahman. Pembahasannya meliputi pengertian,  sifat-sifat-Nya, cara mencapai tujuan atau cara memahami agar sampai pada pengertian yang benar, sebagai jalan menuju Tuhan Yang Maha Esa.
Kitab Svetàsvatara ini sering dijadikan sebagai referensi atau sumber informasi yang amat penting dalam mempelajari Theologi Hindu, karena dasar bahasannya mencakup ajaran Ketuhanan secara mendalam. Melalui kitab inilah mulai diperoleh kejelasan pengertian mengenai Brahman dengan sifat-Nya yang imanen dan transenden, yang memang pada dasarnya sangat sukar dicerna bila tidak dipelajari dan dihayati secara sungguh-sungguh. Kitab ini juga membahas mengenai hakikat yoga-dhyanam atau yoga-samadhi yang kemudian menjadi jalan yang paling umum diterapkan oleh agama Buddha sebagai jalan menuju kesempurnaan.
Kitab Svetàsvatara Upaniûad terbagi atas 6 (enam) bab. Masing-masing bab terbagi atas beberapa topik atau sub pokok bahasan yang pada umumnya berbentuk syair-syair yang singkat. Kitab iji secara keseluruhan isinya terdiri atas 113 syair atau mantra yang tidak sama panjangnya.

a.    Bab I terdiri atas 16 mantra;                                
b.    Bab II terdiri atas 17 mantra;
c.    Bab III terdiri atas 21 mantra;
d.   Bab IV terdiri atas 22 mantra;
e.    Bab V terdiri atas 14 mantra; dan
f.    Bab VI terdiri atas 23 mantra.

      Uraian dalam kitab ini dimulai dengan diskusi oleh para maharsi mengenai Jagatkarana atau penyebab awal dan terakhir dari dunia, yang sampai pada kesimpulan bahwa Devàtmaúakti atau Paramatman dengan kekuasaan yang ada pada diri-Nya adalah menjadi penyebab semua itu. Kebenaran ini ditemukan oleh para maharsi melaui dhyana-yoga atau samadhi-yoga.

AJARAN DALAM SVETÀSVATARA UPANIÛAD

Bab I, merupakan bagian pertama yang mencoba mengungkapkan permasalahan pokok yang menjadi topik yang selalu dibahas dalam pasraman-pasraman, antara Guru Brahmana yang dianggap akhli dengan para muridnya atau cantriknya yang telah diinisiasi menjadi Brahmacari. Pokok bahasan ini terutama menyangkut pemikiran tentang pengertian mengenai hakekat Ketuhanan baik sebagai ajaran maupun sebagai jalan mencapai kesadaran, karena di dalam Veda pengertiannya belum dapat dipahami dengan jelas. Sebagai bahasan tentang hakekat Itu maka para pengkaji memerlukan nama dan karenanya timbullah pemberian nama mengenai hakekat Itu, yaitu dengan nama atau gelar Brahman yang dipakai untuk menamakan hakekat Itu, yang sekarang lebih dikenal dengan nama Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai nama umum. Dengan demikian, maka gelar Brahman pun dimaksudkan sebagai nama umum yang harus dapat diterima atau setidak-tidaknya bisa diterima secara rasional. Oleh karena itu dipersoalkan pula apakah hakekat Itu identik dengan pengertian Tuhan Yang Esa atau tidak? Inilah satu pertanyaan yang dikemukakan dan harus dapat dijelaskan berdasarkan ungkapan-ungkapan yang ada dalam Veda (Mantra) sebagai pembuktian otentik.
Sebagai dasar dikemukakan bahwa hakekat Ketuhanan adalah dasar (sumber utama) atau penyebab pertama yang ada-Nya tanpa ada yang mengadakan, kecuali diri-Nya sendiri. Dia ada sendiri dan sebagai sebab, Dia disebut: sebagai pemberi hidup yang menghidupkan semua ciptaan ini, sebagai pencipta yang mengadakan seluruh alam semesta dengan segala isinya berdasarkan sifat dan atau gelar yang diberikan kepada-Nya oleh manusia, menurut bahasa yang digunakan oleh manusia itu sendiri serta pengaruh dari sifat manusia yang menamakan-Nya.
Masalah kedua yang dipersoalkan adalah sifat hakekat Itu (Brahman sendiri) yang bersifat relatif yang membedakan-Nya dari sifat-sifat keabsolutan-Nya yang hakiki, seperti: waktu, tempat dan unsur elemen yang merupakan hakekat sifat phenomenal dan empirisis. Oleh karena masalah Ketuhanan dianggap sangat sulit untuk dipahami tanpa perenungan yang mendalam maka sifat pengertian dan hubungan dasar pengertian dari berbagai phenomena itu tidak mungkin dapat dipikirkan begitu saja tanpa perenungan yang mendalam dan keheningan batin. Dengan diperlukannya perenungan yang mendalam serta keheningan batin maka diperlunya ada metoda pendekatan dalam perenungan itu. Inilah yang melahirkan pentingnya dhyanam/meditasi dan atau yoga-samadhi, yang apabila penerapannya diikuti dengan keyakinan yang mendalam (bhakti) maka pikiran itu tidak akan tergoyahkan lagi ketika terjadi kontak hubungan kejiwaan.
Kontak kejiwaan ini merupakan bentuk “samadhi” atau “dhyana-samadhi” dan melalui kekuatan penglihatan batin inilah akhirnya dapat diketahui berbagai hakekat yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain, seperti Dewàtmasakti, Purusa, Prakrti (Pradhana), Tri Guna, Maya Sakti, dan lain-lain. Demikian pula hakekat pengertian Iswara sebagai Atman atau Prakrti yang memegang kekuasaan atas ciptaan-Nya, diibaratkan sebagai roda (cakra) dalam dunia alami. Penggunaan roda (cakra) sebagai perumpamaan tidak bertujuan mengidentikkan, melainkan sekedar membantu orang awam untuk memahami-Nya. Ini berarti bahwa dari alam abstrak dibawa ke alam nyata, dari alam numenal dibawa ke alam phenomenal.
Apa yang dikemukakan lebih jauh dalam bab I adalah mengenai pentingnya mengetahui Brahman, karena dengan pengetahuan ini akan membawa pada keselamatan bersama, karena bersama-sama merasa sebagai satu persaudaraan dalam satu ikatan jiwa, dengan Brahman sebagai dasar atau sumbernya. Dari mantra10 bab I dapat diketahui bahwa nama Brahman tidak mutlak demikian karena Ia disebut pula dengan nama lain, misalnya, Hara, yang artinya: yang dipertuan atau yang dijunjung atau penguasa. Mantra itu berbunyi sebagai berikut:
Ksaram pradhanam amrtaksaram harah ksaratmanaw isate dewa ekah
Tasyabhidhyanad yojanat tatwa-bhawad bhuyas cante wiswa-maya-niwrttih.


Artinya:
Ada dua Kasunyataan yang perlu kita renungi, yaitu yang satu adalah Pradhana, yang bersifat dapat hancur, sedang yang satunya lagi adalah Hara, yang bersifat abadi.
 Beliau adalah pengatur alam yang dapat hancur dan Roh Individual.
 Dengan bermeditasi kepada-Nya, dan menyatukan diri dengan Yang Maha Esa,
 maka  pengarruh semua Maya atau ilusi akan terhenti.

Di dalam mantra yang lain Dia dinyatakan sebagai Rudra yang menguasai dan mengendalikan ciptaan ini. Dengan dasar pengetahuan itu  maka timbul satu masalah yang harus dijelaskan, yaitu bagaimana menyadari hakekat yang bersifat numenal sebagai satu kebenaran mutlak; karena apa yang ada secara kasat-mata ini sesungguhnya tidak kekal. Untuk menjelaskan hal ini maka Svetasvatara memberi keterangan dengan mempergunakan perumpamaan baru, yaitu ibarat sang pencari api (Agni), ia harus berusaha mendapatkannya dengan cara menggosok-gosokkan dua batang kayu sampai keluar api. Hubungan antara dua potong kayu yang sama diibaratkan sebagai lingga-yoni, yang melahirkan api setelah diusahakan dengan kekuatan atau sakti. Apa yang dimaksud dengan kekuatan tenaga penggerak dalam hubungan ini adalah aksara Omkara yaitu suara AUM yang dikatakan bahwa apabila pengucapannya dengan benar dan penuh keyakinan dan tanpa henti-hentinya di saat melakukan yoga, maka akhirnya akan mencapai titik puncak pada dhyana-samadhi. Kekuatan tenaga penggerak itu mempunyai kemampuan untuk memperlihatkan apa yang dicari di dalam hati atau pikiran, yaitu suatu bentuk tertentu yang merupakan hakekat yang dicari-cari. Yang tampak kelihatan itulah yang diberi nama Isvara atau Dewata (Ista Devata) sebagai Godhead. Hakekat itu pula yang dicari dan yang tidak diketahui oleh orang yang awidya, maupun oleh orang yang tidak yakin akan kebenaran itu sehingga mereka putus asa dan gagal untuk memperoleh atau merealisaikannya. Tuhan akan ditemukan di dalam jiwa ketika dicari dengan kebenaran dan pengorbanan diri. Dia, sang Jiwa Tertinggi tersembunyi ibarat dadih (krim) dalam susu dan seperti minyak di dalam santan.
Kemudian, Bab II  mencoba memberi penjelasan lebih lanjut tentang proses kejadian itu, satu proses panjang dalam mewujudkan bentuk (rupa) yang tidak mempunyai wujud, proses perubahan dari alam numenal ke alam phenomenal, dari alam Suóya ke alam nyata (bhava). Mantra 1 dimulai dengan pujian atau menghubungkan diri kepada yang tak nyata sebagai pemberi inspirasi atau yang memberi rangsangan pada pikiran di mana sang Perangsang itu disebut dengan nama Savitri. Savitri artinya yang memberi inspirasi, dan sebagai alam phenomenal  sang Dewi digambarkan sebagai Dewi Fajar yang disanjung dan dipuji pada setiap subuh. Dengan pengaruh Savitri, sang pengendali intelek atau buddhi (citta), akan tercapailah satu bentuk atau rupa pada pikiran (manah) sehingga akan melahirkan bentuk sinar atau cahaya atau yang memancar terang. Dari pancaran itu lahirlah api (Agni) yang kemudian diturunkan ke dunia (Påthivi). Tentang sifat Savitri dikemukakan bahwa beliau adalah penguasa alam surga (svarga) dan karena itu ilmu agama mengajarkan tentang bentuk surga yang digambarkan sebagai tempat yang terang dan di dalam alam surga itu bersemayam para Dewa-dewa. Demikian pula makna doa atau puji-pujian sebagai rangsangan dan merupakan petunjuk jalan yang akan mengantarkan manusia ke alam matahari (sa tejasi surya sampanad).
Di samping hal-hal yang telah disebutkan tadi, bab ini juga menekankan pentingnya memahami pokok-pokok pengertian yoga-samadhi, yang kalau dibiasakan akan mempunyai akibat baik karena bersifat ganda kepada yang mempraktekkannya. Dalam upanisad ini dijelaskan tentang cara dan sikap melakukan dhyana-yoga, yaitu dengan badan, leher, dan kepala tegak lurus, bernafas secara berirama dengan tarikan dan hembusan yang tenang dan damai, kuda-kuda liar dari maya dijinakkan dengan keteguhan hati dalam diam, maka sang Jiwa akan terbimbing menyeberangi sungai-sungai ketakutan. Mantra 8 dan 9 dari kitab ini menyebutkan:
Tritunnatam sthapya samam sariram hrdindriyani manasa samniwesya.
Brahmodupena pratareta widwan srotamsi sarwani bhayawahani.
Artinya:
Dengan membiasakan diri bersikap meditasi yang baik, yaitu ketiga tubuh bagian atas: dada, leher, dan kepala berkeadaan tegak lurus, serta kedudukannya tepat dengan bagian-bagian tubuh lainnya, dengan indria-indria dan fikiran dikalahkan oleh Hati yang murni, orang-orang yang bijaksana dengan berperahukan kemuliaan Brahman, dapat mengarungi samudera kehidupan yang dahsyat, yang gelombang-gelombangnya menakutkan itu.

Pranan prapidyeha samyukta cestah ksine prane nasikayo’cchwasita.
Dustawa-yuktam iwa waham enam widwan mano dharayeta pramattah.
Artinya:
Dengan berkemampuan menguasai indria-indrianya, mengalahkan keinginan-keinginan rendahnya, dan dengan mengatur pernapasannya, sesuai dengan ketentuan ajaran Yoga, orang-orang yang bijaksana mampu mengendalikan fikirannya, seperti seorang kusir kereta yang mahir mengendalikan kuda-kuda keretanya yang liar.

Demikianlah yoga-samadhi itu, tidak saja membuka jalan menuju yang benar, jalan yang dikaruniai, atau disebut sebagai jalan menuju kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga akan membantu mereka untuk melihat serta memahami hakekat Yang Maha Esa dengan segala  nama sifatnya yang plural dan yang berbeda dari manusia biasa.
Bab III, pada hakekatnya menjelaskan makna kasunyataan tertinggi. Apakah sebagai Yang Esa, hakekat yang kekal abadi, hakekat yang maha mengetahui  dan menguasai seluruh ciptaan ini. Ia juga diperkenalkan dengan gelar Rudra, gelar yang paling umum dijumpai di dalam Veda, jauh sebelum gelar Siva diperkenalkan. Istilah Rudra sebagai gelar, inipun pengertiannya tidak berbeda dari apa yang telah diberikan sebelumnya, melainkan karena sifat kekuasaan yang hendak ditampilkan dilihat dari sifat lainnya, Ia juga disebut visva yang berarti hakekat Yang Maha Ada dan merupakan prabhawa, wujud kemaha-kuaasaan-Nya. Mantra 13 menyetakan:
Angustha matrah puruso’ntaratma sada jananam hrdaye sanniwistah.
 Hrda manwiso manasabhiklpto ya etad widur amrtas te bhawanti.
Artinya:
Sang Diri Yang Maha Luhur itu besarnya tidak melebihi ibu jari. Tempat bersemayamnya selalu didalam hati makhluk. Keberadaan Dia hanya dapat dihayati dengan hati, fikiran, dan jiwa. Siapa yang telah dapat menyadari dan menghayati Kasunyatan ini, akan mengalami keabadian.
Salah satu topik terpenting dalam bab ini adalah hakekat pengertian “Bhagawan” dengan mengibaratkannya sebagai diri kosmos, yang di dalam Rg Veda dikenal dengan nama Virat Purusa atau Maha Purusa. Tuhan sesungguhnya adalah semesta, segala yang nampak maupun yang tidak nampak, segala yang telah, sedang, dan yang akan ada semuanya adalan Dia. Dia adalah Tuhan dari kehidupan abadi dan yang dihidupi oleh makanan. Dia adalah Jiwa Tertinggi yang bercahaya seperti Matahari di balik kegelapan dan cahayanya menerangi seluruh ciptaan. Demikian dinyatakan dalam Mantra 15 berikut ini.
Purusa ewedam sarwam yad bhutam yac ca bhawyam
utamrtatwasyesano yad annenatirohati.
Artinya:
Sang Diri Yang Maha Luhur itu merupakan satu-satunya dari segala yang ada di alam semesta ini, yang menjadi segala sesuatu yang telah ada di masa yang lampau, dan yang akan menjadi segala sesuatu yang akan ada di masa yang akan datang. Beliau juga adalah Yang Dipertuan atas Keabadian. Walaupun beliau itu memerlukan makanan tertentu untuk pertumbuhannya, tetapi Dia berkeadaan abadi.
Penjelasan inilah yang membawa pada satu pengertian dasar tentang pengindraan hakekat aspek transenden tersebut sebagai salah satu bentuk peningkatan pengertian dari numenal atau phenomenal menuju Yang Maha Tinggi.
Bab IV, intinya mencoba menjelaskan sifat kemajemukan Yang Maha Esa, yang tampak dalam dunia empirisis. Dengan demikian Brahman menampakkan bentuk kemuliaan-Nya sebagai Agni, Aditya, Vayu, Candra, Úukra, Apah, Brahma pencipta, dan Praja pati (raja sekalian makhluk), Ia adalah laki-laki, Ia adalah perempuan, dan sebagainya. Jadi, yang berbeda-beda itu adalah bentuk dan nama (nama-rupa) yang sifat hakekatnya sama. Di dalam Upanisad ini juga terdapat penjelasan yang sngat menarik tentang Jiwa yang bersemayam di dalam diri setiap insan. Dinyatakan bahwa ada dua burung, dua sahabat yang tinggal di dalam pohon diri yang sama; yang satu memakan buah pohon-pohon itu dan yang lainnya memandang dalam diam. Yang pertama adalah Jiwa manusia yang bersandar pada pohon itu, yang walaupun aktif tapi merasa sedih dalam ketidak bijakasanaan, namun ketika melihat kekuasaan dan kemuliaan Jiwa yang lebih tinggi, dia akan terbebas dari kesedihan itu. Sang Jiwa tertinggi tidak dikuasai oleh maya, melainkan sebagai penguasa atas maya itu sendiri. Dia memerintah sumber-sumber ciptaan, karena dari Dia alam semesta ini datang dan ke dalamnya alam semesta ini akan kembali. Dia jauh dari jangkauan pandangan, tidak dapat dilihat oleh mata biasa namun akan dapat diketahui melalui hati dan citta. Mereka yang mengetahui Dia, akan mencapai keabadian. Mantra 17 dan 20 menggambarkan hal ini.
Esa dewo wiswa-karma mahatma, sada jananam hrdaye sanniswistah.
Hrda manisa manasabhiklpto, ya etad widur amrtas te bhawanti.
Artinya:
Siapa yang telah dapat menyadari dan menghayati Kasunyataan bahwa Brahman yang mencipta segala sesuatu yang ada, yang merupakan Sang Diri Yang Maha Agung yang selalu bersemayam di Hati setiap makhluk, yang keberadaannya dapat dihayati melalui hati, konsentrasi fikiran, dan penganalisaan fikiran, dia menjadi bersifat abadi.
Na samdrse tisthati rupam asya, na caksusa pasyati kas canainam.
Hrda hrdistham manasa ya enam, ewam widur amrtas te bhawanti.
Artinya:
Brahman itu wujudnya tidak dapat dilihat, tidak dapat diamati dengan mata. Siapa yang telah dapat menyadari dan menghayati tentang keberadaan Brahman di dalam hati, melalui fikiran dan inteleknya yang murni, maka dia menjadi bersifat abadi.

Bab V, diawali dengan menegaskan pengertian hakekat keesaan Brahman, Tuhan Yang Maha Esa yang dianggap sebagai bentuk immanen dan sebagai penguasa tertinggi. Dalam hal ini konsep Godhead atau Dewata merupakan bentuk yang paling nyata dari sifat hakekat Tuhan Yang Maha Esa itu. Tuhan digambarkan sebagai Penguasa Maha Sakti, yang menebar jaring-jaring perpindahan Jiwa, dan menariknya kembali dalam lapangan kehidupan. Dia adalah Penguasa yang menciptakan penguasa-penguasa penciptaan sesuai hakekat sifat-Nya yang mulia itu.
Bab VI, mencoba merangkai hubungan pengertian antara bentuk immanen dengan bentuk permanen atau transenden sebagai satu bentuk proses kosmos. Imanensi Brahman digambarkan berada di dalam hati sanubari setiap insan dan menjadi saksi abadi darai setiap tindakan. Hal ini dinyatakan di dalam mantra 11.
Eko dewas sarwa-bhutesu gudhas sarwa-wyapi sarwabhutantaratma.
Karmadhyaksas sarwa-bhutadhiwasas saksi ceta kewalo nirgunas ca.
Artinya:
Marilah kita puja Brahman yang keberadaannya ada pada setiap makhluk, yang meliputi dan meresapi seluruh bagian dari alam semesta, yang merupakan inti-batinnya setiap makhluk, yang menjadi Yang Dipertuan atas tingkah-laku semua makhluk, yang sanubarinya manusia merupakan tempat bersemayam-Nya, yang dalam memikir tanpa mempergunakan fikiran, dan yang ketiga sifat, yaitu: kebaikan, keaktifan, dan kegelapan, berada di luar Diri-Nya.

Kemudian, hakekat sifat transenden itu digambarkan dengan satu keadaan tanpa ciri yang dapat membeda-bedakan, hakekat tanpa sifat. Oleh karena itu, tidak ada nama dan bentuk yang dapat digambarkan pada tingkat ini. Bila sampai pada tingkat pengertian itu, maka tidak ada lagi keterikatan pada pikiran manusia, kecuali kekaryaan yang selaras dengan hukum kasunyataan, hukum suci yang meupakan kuasa Brahman. Tingkat inilah yang merupakan tingkat pencapaian mokûa yang merupakan tujuan hidup tertinggi dalam ajaran Hindu Dharma.
PENUTUP
           Demikianlah secara singkat pokok-pokok isi kitab Svetàsvatara Upanisad ini, semoga dapat membantu mengenal berbagai permasalahan yang terkandung dalam manra-mantra yang dikemukakan.


Jakarta, 27 Juli 2012

---------o0*0o--------

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire