Format Prajuru Desa Pakramanpada Era Global [1]
Wayan P. Windia
Abstract
Desa pekraman is headed by a set of village chiefs called
prajuru desa or dulu desa. The top head of prajuru desa is generally called
bendesa. There are some calling it kelihan desa, kelihan adat, etc.
The rule that underlies the performance duties in leading
social activities in desa pekraman is Balinese adat law (the local awig-awig of
the village) and other rules that obtain in Bali Province and the national
laws.
Life activity in the desa pekraman of long time ago is
relatively simpler that in the globalization era nowadays. Therefore, its
necessary to have some adjustments of the format of the structure of prajuru
desa so that they can perform their duties an authority according to
expectation.
Pendahuluan
Desa pakraman merupakan organisasi masyarakat Hindu Bali yang
berdasarkan kesatuan wilayah tempat tinggal bersama dan spiritual keagamaan
yang paling mendasar bagi pola hubungan dan pola interaksi sosial masyarakat Bali.
Sebuah desa pakraman, terdiri dari tiga unsur, yaitu : (1) Unsur parahyangan (berupa tempat suci agama Hindu). (2) Unsur pawongan (warga desa yang beragama Hindu). (3) Unsur palemahan (wilayah desa yang berupa karang ayahan desa dan karang
gunakaya yang ditata menurut agama Hindu).
Sebagai salah satu organisasi tradisional Bali dan tempat
orang Bali melaksanakan aktivitas sosial religius sesuai ajaran agama Hindu,
desa pakraman dipimpin oleh
perangkat pimpinan desa
yang disebut prajuru desa atau dulu desa. Pucuk
pimpinan prajuru desa, pada umumnya
disebut bendesa. Ada juga yang
menyebutnya kelihan desa, kelihan adat, dll.
Secara tradisional, prajuru desa dan warga desa pakraman (dikenal
dengan sebutan krama desa),
menjalankan tanggungjawab (swadharma)
menggerakkan roda kehidupan desa
pakraman berdasarkan perangkat
aturan berupa awig-awig dan perarem (baik tertulis maupun yang
tertulis), catur dresta, paswara dan berbagai aturan lainnya yang
berlaku di Bali maupun hukum nasional.
Sejalan dengan perkembangan zaman, kini desa pakraman memasuki era baru
yang dikenal dengan era global. Kenyataan ini dapat menimbulkan konsekwensi yang berbeda terkait dengan swadharma
prajuru desa. Swadharma yang harus dilaksanakan oleh prajuru desa tidak lagi sesederhana
dulu, melainkan menjadi lebih kompleks. Oleh karena itu, format serta
keberadaan prajuru dan perangkat aturan yang selama ini dijadikan landasan
dalam menggerakkan kehidupan desa pakraman, sepatutnya disesuaikan dengan perkembangan zaman. Format dalam hal ini diartikan sebagai susunan organisasi dan personalia prajuru
desa pakraman. Tulisan singkat ini
disusun dengan maksud mencari jawab atas pertanyaan, bagaimana format prajuru
desa pakraman sebaiknya disusun di
era global?
Prajuru Desa, Dulu dan Kini
Seperti telah disinggung di muka,
sebuah desa pakraman dipimpin oleh
perangkat pimpinan yang
disebut prajuru desa atau dulu desa. Pucuk
pimpinannya disebut bendesa. Nama dan format prajuru desa
tergantung tipe desa.[2] Prajuru di desa Bali Aga dikenal dengan sebutan dulu desa. Sementara di Desa Apanaga dan
desa Bali Anyar, perangkat
pimpinan desa umumnya disebut prajuru
desa. Prajuru desa tempo dulu dan pada umumnya prajuru dewasa ini, terdiri dari seorang bendesa (ketua)[3]
dan seorang atau beberapa orang petajuh (wakil). Pada dasarnya yang
melaksanakan tugas ke-prajuru-an
adalah bendesa, baik dalam hubungan dengan tugas sebagai pucuk pimpinan, tugas
kesekretariatan maupun kebendaharaan. Petajuh atau wakil bendesa bertugas
sebagai pembantu bendesa disamping para pembantu yang lainnya, seperti tutus dan kasinoman (semacam pesuruh). Artinya, seorang petajuh baru akan
melaksanakan tugas kalau bendesa berhalangan atau tugas dilaksanakan hanya atas
perintah bendesa.[4]
Persyaratan menjadi prajuru
jauh lebih ringan dibandingkan
dengan persyaratan untuk menjadi calon legislatif (caleg) atau calon bupati (cabup). Syarat yang
utama adalah menguasai adat Bali
dan agama Hindu. Sesudah itu, barulah disusul dengan persyaratan yang lainnya,
terutama kejujuran. Persyaratan menguasai adat Bali dan agama Hindu dianggap
penting, terkait dengan unsur-unsur desa pakraman yang terdiri dari: unsur parahyangan (berupa tempat suci agama
Hindu), unsur pawongan (warga desa
yang beragama Hindu), dan unsur palemahan
(wilayah desa yang berupa karang ayahan
desa dan karang gunakaya yang
ditata menurut agama Hindu).
Walaupun persyaratan menjadi prajuru jauh lebih ringan dibandingkan dengan persyaratan
menjadi caleg atau cabup, tetapi lebih banyak krama desa yang tertarik untuk ”mengabdi”
di lembaga legislatif atau menjadi bupati, dibandingkan dengan mengabdi sebagai
prajuru desa. Barangkali itu sebabnya sehingga muncul berbagai variasi dalam
menentukan prajuru desa, seperti tergambar dibawah ini.
1.
Diurut (ririgan) berdasarkan senioritas (mauluapad). Dapat dijumpai pada Desa Bali Aga, seperti di Desa Pakraman Trunyan, Penglipuran, Tenganan Pagringsingan,
dll.
2.
Dipilih langsung melalui pesamuan
(rapat) desa berdasarkan suara terbanyak atau atas dasar
musyawarah mufakat, seperti umumnya dapat dijumpai di Desa Apanaga,
seperti di Desa Pakraman Denpasar, Desa Pakraman Gianyar, Desa Pakraman,
Sukawati, dll.
3.
Ditunjuk berdasarkan keturunan,
seperti di Desa Pakraman Sebetan, Selumbung (Karangasem) dan Kubutambahan
(Singaraja).
4.
Penggabungan antara pemilihan langsung
dan ririgan, seperti di Desa
Pakraman Julah (Singaraja). Dalam
hal ini, ada krama tertentu yang
secara otomatis menjadi prajuru, seperti
misalnya, jero kubayan, jero bau, jero pengenen. Sedangkan untuk prajuru lainnya (kelian desa adat dan
para pembantunya), dipilih berdasarkan musyarah mufakat.
5.
Dilaksanakan secara bergantian
berdasarkan pipil (semacam kartu KK)
dan urutan rumah tinggal (ririg umah), seperti di Desa Pakraman Singapadu dan
Desa Pakraman Tangsub, Sukawati.
Selain
berkaitan dengan adat Bali dan agama Hindu, prajuru desa juga mengemban
tanggung jawab lain. Swadharma
(tanggung jawab) yang harus
dijalankan oleh prajuru desa
pakraman, secara rinci diatur pada
pasal 8 Perda Prop. Bali Nomor : 3
Tahun 2001. Pasal ini menentukan
sebagai berikut : Prajuru desa pakraman mempunyai tugas-tugas : (a)
Melaksanakan awig-awig desa pakraman. (b) Mengatur penyelenggaraan upacara
keagamaan di desa pakraman, sesuai
dengan sastra agama dan tradisi masing-masing. (c) Mengusahakan perdamaian dan penyelesaian
sengketa-sengketa adat. (d) Mewakili desa pakraman dalam bertindak di dalam
maupun di luar pengadilan atas
persetujuan paruman desa. (e) Mengurus dan mengatur pengelolaan harta kekayaan desa pakraman. (f) Membina kerukunan umat beragama
dalam wilayah desa pakraman [5].
Dalam pedoman teknis penyuratan awig-awig yang
dikeluarkan oleh Biro Hukum Pemda Bali, menentukan beberapa tugas yang harus diemban oleh prajuru
desa adat sbb : (1) Swadharmaning bendesa adat luwire : a. ngenterang pamargin sadaging awig-awig miwah
pararem desa ; b. nuntun
tur ngenterang krama raawuhing warga desa ngupadi manut patitis ; c. mawosin kalih
niwakang pamutus arep ring
wicara warga desa ; d. maka
dutta Desa matemuang bawos
ring saapa sira ugi. (2) Prade prajuru iwang pelaksana keni pamidanda nikel ring kaiwangan soang-soang krama, tur
dados kararyanang
manut pararem.
(Pawos 16). Sedangkan mengenai olih-olihan prajuru desa adat, diatur sbb : a. luput rerampen lan papeson ; b. polih tanding tengah; c. upon pacatu/ palaba carik/
tegal ; d. patias sewosan mabut
pararem. (Pawos 17). Oleh karena pedoman ini menjadi semacam ”buku suci”
yang dijadikan pegangan pada saat merumuskan awig-awig tertulis di desa
pakraman, maka menjadi masuk akal kalau swadharma prajuru yang tertuang dalam
awig-awig tertulis desa pakraman satu agak mirip dengan desa pakraman yang
lainnya.
Berkaitan
dengan masa pengabdian, umumnya
desa pakraman menetapkan masa pengabdian prajuru
selama lima tahun.[6] Atas pengabdiannya kepada desa pakraman,
prajuru mendapatkan semacam ”tunjangan” yang dikenal dengan olih-olihan atau patuas. Diberikan oleh desa pakraman dan juga oleh pemerintah. Dari desa pakraman biasanya
dalam bentuk leluputan (dibebaskan
dari beberapa kewajiban)[7]
dan tanding tengah.[8]
Sementara dari pemerintah prajuru
(khususnya bendesa) mendapat insentif dalam bentuk uang dan sebuah sepeda motor.
Memperhatikan keadaan prajuru seperti diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa format dan
swadharma yang harus dijalankan oleh prajuru, tampak sederhana. Kesederhanaan
penampilan format prajuru disebabkan karena swadhrama yang harus dilaksanakan
memang relatif sederhana. Urusan prajuru desa lebih banyak berkisar pada
persoalan yang berkaitan dengan
adat Bali dan agama Hindu dalam wadah desa pakraman.
Prajuru Desa Era Global
Apabila urusan prajuru desa tempo dulu lebih banyak berkisar pada
persoalan adat Bali dan agama Hindu dalam wadah desa pakraman, lalu bagaimana
halnya dengan urusan prajuru desa pakraman pada era global ? Urusannya tentu lebih kompleks, sejalan
dengan kompleksitas kehidupan pada era global. Sebelum menyentuh urusan prajuru
yang sebenarnya, ada baiknya diketahui terlebih dahulu beberapa pengertian
terkait dengan era global dan ciri-ciri globalisasi. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari uraian lantang
lajok (tak keruan).
Kehadiran
kata dan ungkapan tertentu dalam kehidupan manusia, mengalami pasang surut,
seperti air laut. Ungkapan ”era global” kini sedang mengalami masa pasang. Semua
orang merasa seperti ketinggalan zaman kalau tidak menggunakan ungkapan ini dalam
lalu lintas pergaulan. Sekitar
tahun 1960-an kata ”ganyang” mengalami masa pasang, seperti halnya era global
sekarang. Demikian populernya “ganyang” sampai-sampai orang tak sempat lagi memikirkan apakah kata itu termasuk
bahasa Indonesia baku ataukah berasal dari anyang
(salah satu masakan khas
Bali). Tanpa sebab musabab yang jelas, pada akhirnya “ganyang” lenyap tanpa rarapan (tak jelas rimbanya),
sementara anyang tetap eksis sebagai
salah satu olahan (masakan) khas Bali.
Jaman
Pak Habibie menjadi Menristek pada era Pak Harto menjadi Presiden RI, ungkapan
“tinggal landas” menjadi sangat terkenal di kalangan pejabat, mulai pejabat
tinggi sampai pejabat rendah. Sekarang ungkapan itu bukan saja mengalami masa
surut bahkan berubah menjadi goyonan yang menggelikan. Kini yang terkenal bukan
lagi ”tinggal landas” melainkan
”tinggal di landasan”,
atau ”ditinggal landasan”.
Apa sebenarnya arti ”tinggal landas” dan apakah surutnya ungkapan ini disebabkan karena munculnya ungkapan “sing
ada apa de ?” Sampai sekarang
tidak jelas.
Belakangan
muncul ”era global” dan sejak Bali
diguncang bencana bom Bali (12 Oktober 2002), muncul ”ajeg Bali”, yang kurang
lebih memiliki tingkat keterkenalan sekelas ”ganyang”, “tinggal landas” dan “sing
ada apa de” pada zamannya masing-masing. Apakah pada suatu saat ”era
global” dan ”ajeg Bali” akan
mengalami masa surut dan bahkan
lenyap? Tidak penting untuk dijawab. Yang penting, tahu secara sumir pengertian global agar dapat memberikan gambaran tentang format
prajuru desa pakraman pada era
global.
Global dan globalisasi sudah menjadi kata
kunci saat ini dalam
pembahasan pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi. Proses
globalisasi tampak sebagai
sesuatu yang membawa adanya pertukaran informasi
dan komunikasi antar
bangsa secara lebih terbuka. Tetapi, arti kata
globalisasi sendiri
lebih berakar pada perdagangan dari pada proses pemersatuan bumi. Dalam kamus Oxford (1974) ternyata tidak memuat kata “globalisasi”. Yang ada
hanya kata “global” yang diartikan sebagai world-wide. Dalam Oxford (1994) diartikan sebagai covering or affecting the whole world. Walaupun demikian, globalisasi dapat kita artikan sebagai proses yang meliputi atau
mempengaruhi seluruh dunia.
Mengutip Dictionary
of Macroeconomy (1990), Hira Jhamtani (2001:
148) menyatakan ‘globalisation’
sebagai term describing the
formation of global financial
markets for stock and
shares (deposits) and the global trade
of money, currencies and
loans. Jadi, jelaslah bahwa sebenarnya proses globalisasi lebih berkaitan dengan perdagangan dan bukan proses untuk mencapai kesatuan antar bangsa di dunia. Lebih jauh dikemukakan bahwa dalam
kenyataannya globalisasi
tidak berjalan secara adil dan setara karena
berakar pada pemikiran dan kemauan negara maju. Karena
itu, globalisasi dapat
dikaitkan dengan “Baratisasi”, dimana paradigma “Barat” dianggap sebagai global dan universal, sementara paradigma “Non
Barat” dianggap sebagai lokal dan primitif. Secara gamblang globalisasi
timbul dari niat
negara-negara maju (Utara)
untuk membuka pasar negara-negara Dunia Ketiga (Selatan). Hal ini terutama dilakukan melalui perundingan dagang Putaran Uruguay di bawah Persetujaun Umum tentang Tarif dan
Perdagangan (GAAT) yang melahirkan
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Selain perdagangan, isu globalisasi lain yang dilansir Utara meliputi pula
persoalan lingkungan, hak asasi
manusia dan demokratisasi.[9]
Singkat cerita,
globalisasi dapat digambarkan
sebagai suatu proses saling ’ketergantungan’ ekonomis yang terus berkembang di antara
negara-negara di
dunia. Menurut Kavaljit Singh
(1998: 3), proses globalisasi
dewasa ini dicirikan oleh lima perkembangan pokok :
a. Pertumbuhan transaksi keuangan
internasional yang cepat.
b. Pertumbuhan perdagangan yang cepat,
terutama diantara
perusahaan-perusahaan tran-nasional.
c. Gelombang investasi asing langsung (foreign direct
investment), yang
mendapat dukungan luas dari kalangan perusahaan trans-nasional
d. Timbulnya pasar global.
e. Penyebaran teknologi dan berbagai pemikiran sebagai akibat dan ekspansi sistem transportasi
dan komunikasi yang cepat
dan meliputi seluruh dunia.
Terlepas dari adanya pengaruh globalisasi, keadaan
desa pakraman zaman sekarang tampak berbeda dibandingkan dengan desa pakraman
tempo dulu. Desa pakraman zaman sekarang lebih kompleks. Unsur desa pakraman memang sama (unsur parahyangan, pawongan dan
palemahan), tetapi substansinya beda, terutama yang menyangkut unsur pawongan
(penduduk) dan palemahan (lingkungan
alam). Keadaan penduduk desa tidak
lagi sesederhana (homogen) zaman dulu,
melainkan relatif lebih
beragam (heterogen). Lebih-lebih lagi di daerah perkotaan. Penduduk di desa
pakraman terdiri dari krama desa
(anggota desa pakraman yang terdiri dari orang-orang yang beragama Hindu), krama tamiu (orang-orang yang beragama Hindu tetapi
bukan anggota desa pakraman), dan
tamiu (orang-orang non Hindu dan sudah pasti bukan anggota
desa pakraman), yang terdiri dari tamiu dalam negeri dan tamiu asing. Bahasa,
agama, budaya, dan pendidikannya, juga sangat beragam. Palemahan desa (wewengkon
atau wilayah) tak lagi jelas dan utuh, melainkan saling seluk (peat-peot tak keruan). Tak jelas mana tegak desa (tempat pemukiman) dan mana bengang (hamparan sawah dan
ladang). Desa pakraman pada era
global, selain mengurus persoalan adat
Bali dan agama Hindu, krama desa dalam kaitan dengan parahyangan, pawongan dan palemahan (sesuai dengan keyakinan
Hindu), juga harus berurusan
dengan partai politik, penguasa, pengusaha, LSM, peneliti (dalam negeri dan
luar negeri), maklar tanah, biro jasa, notaris, pengacara, pedagang asongan, mahasiswa, WTS, gelandangan,
dll. Oleh karena urusannya lebih banyak dan kompleks (kadang-kadang juga
semerawut), maka masalah yang harus dihadapi desa pakraman dan prajuru zaman
sekarang, menjadi lebih kompleks. Baik
masalah internal maupun
masalah eksternal desa pakraman.
Penutup
Mengingat persoalan yang harus dihadapi oleh prajuru desa pada era
global semakin kompleks, pertanyaannya, bagaimana format prajuru desa pakraman
sebaiknya disusun pada era global?
Jawabnya sebagai berikut. Pertama, untuk lebih mudah
menjalankan tanggung jawabnya (swadharma),
format prajuru zaman sekarang sebaiknya disesuaikan dengan era global. Dalam
arti, struktur dan personalia prajuru desa pakraman, agar disusun
sedemikian rupa sehingga lebih sesuai dengan kemungkinan atau kompleksitas masalah yang dihadapi.
Jumlah petajuh (wakil) jangan
lagi satu orang, tetapi 3 orang. Dengan format seperti ini, masing-masing wakil
akan mendapat tugas sesuai dengan unsur-unsur desa pakraman. Misalnya, petajuh
I bidang parahyangan, petajuh II bidang pawongan dan petajuh III bidang
palemahan. Kedua, membentuk lembaga baru yang
dikenal dengan sabha desa, untuk mendampingi prajuru
dalam mengemban tanggung jawabnya. Sabha desa ini terdiri dari prajuru desa dan
prajuru banjar ditambah orang-orang yang berasal dari berbagai latar belakang
pekerjaan dan pendidikan yang dianggap dapat memberikan kontribusi kepada desa
pakraman, sesuai dengan latar belakang dan keahlian yang dimiliki. Sabha bukan
saja membantu prajuru desa dalam ngarincikan
(merancang) program, tetapi juga dapat mewakili bendesa, dalam hal-hal
tertentu. Contoh, apabila bendesa harus berhadapan dengan tokoh parpol,
pengusaha, penguasa, peneliti, penegak hukum, LSM, dll, sedangkan bendesa kurang memahami persoalan yang
akan dibicarakan, dalam hal ini
bendesa dapat menunjuk salah satu anggota sabha yang dianggap menguasai
bidang ini mewakili bendesa. Ketiga, prajuru desa perlu memiliki program
dan uraian tugas (job discription)
yang jelas (contoh terlampir),[10]
sehingga lebih mudah dalam mengemban tanggung jawab. Keempat, desa pakraman agar menyiapkan kantor sekretariat dan berbagai
kelengkapan pendukung (ATK, dll),
bagi prajuru desa. Dana yang diperlukan untuk ini, dapat diusahakan
dengan menyisihkan sebagian kecil
bantuan rutin yang diterima dari pemerintah.
-o0o-
Daftar Pustaka
Biro Hukum Setwilda Tingkat I Bali, 1998.
“Pedoman/Teknis Penyusunan Awig-awig dan Keputusan Desa Adat”, tanggal 15
Agustus 1998.
Dherana, Tjok Raka, 1995. Desa Adat dan Awig-awig dalam Struktur Pemerintahan Bali. Denpasar,
Upada Sastra.
Dwipayana, A.A.G.N, 2005. Globalism. Penguatan
Politik Representasi atas Bali oleh Uluangkep.
Hira Jhamtani, 2001. Ancaman Global dan Imperialisme Lingkungan.
Insinst Press, Yogyakarta.
MPLA Dati I Bali, 1990. Mengenal
dan Pembinaan Desa Adat di Bali. Denpasar, Proyek Pemantapan Desa Adat.
Naisbitt,
John, 1994. Global Paradox. Semakin Besar Ekonomi Dunia Semamkn Kuat
Perusahan Kecil. Alih
bahasa Drs Budijanto, Jakarta, Bina Rupa Aksara.
Purwita, I B P, 1984.
Desa Adat dan Banjar Adat di Bali.
Denpasar, Kawi Sastra.
Perda Prop. Bali Nomor : 06 tahun1986
tentang Kedudukan Fungsi
dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum dalam Prop. Daerah
Tingkat I Bali.
Perda Prop. Bali Nomor : 03 tahun 2001
tentang Desa Pakraman.
Kavaljit Singh, 1998. Memahami
Globalisasi Keuangan.Yakoma-PGI
Jakarta.
Oxford
Advanced Learner’s Dictionary, Oxford University Press, 1974.
Oxford
Advanced Learner’s Dictionary, Oxford University Press, tenth impression, 1994.
Suhanadji-Waspodo
TS, 2004. Modernisasi dan Globalisasi. Malang, Insan
Cendikia.
Schooorl, J.W, 1982. Modernisasi. Pengantar Sosiologi Pembangungan Negara-negar
Sedang Berkembanga, Jakarta, Gramedia.
Windia, Wayan P, 2003. Membangun Desa Adat Bali yang Sejuk.
Gianyar, Bali Jani.
Wyasa Putra, Ida Bagus, 1998. Bali dalam Perspektif Global. Denpasar, Upada Sastra.
-o0o-
Lampiran
Uraian Tugas Prajur Desa Pakraman
Bendesa (Unsur
Ketua).
Tanggung jawab bendesa,
antara lain sebagai berikut :
1.
Mempertanggungjawabkan pelaksanaan
program desa pakraman, baik yang menyangkut masalah parahyangan, pawongan dan palemahan desa.
2. Mengkoordinasikan berbagai
kegiatan yang direncanakan oleh para petajuh.
3.
Memimpin pesamuan desa.
4.
Mewakili desa pakraman baik di dalam
maupun di luar pengadilan.
5.
Menyelesaikan persengketaan antar
warga desa, bersama-sama petajuh widang
pawongan
6.
Mengadakan koordinasi dengan desa pakraman
lainnya.
7.
Ngarincikan perubahan awig-awig dan perarem.
8.
Mengadakan koordinasi pembinaan
kegiatan seka teruna.
9. Membentuk panitia untuk kegiatan yang sifatnya sangat khusus.
Bila
unsur “ketua” (bendesa atau disebut
dengan istilah lain) mempunyai satu orang unsur “wakil ketua” (petajuh, pangliman, atau apapun
sebutannya), pekerjaan yang harus dipertanggungjawabkan tentu lebih banyak,.
Tetapi kalau dalam satu desa
pakraman terdapat 3 orang petajuh
(wakil), kiranya tugas mereka
dapat dibagi menjadi seperti
berikut ini :
Petajuh Widang Parahyangan (Petajuh I).
Tanggung jawabnya
antara lain sebagai berikut :
1.
Ngarincikang pailehan piodalan
di Pura Kayangan Tiga dan Pura Kayangan Desa yang ada di wewidangan-nya.
2.
Ngarincikang persiapan upakara di pura
masing-masing
3.
Ngarincikang persiapan ayah-ayahan di pura masing-masing.
4.
Ngarincikang persiapan urunan rerampen dan daging upakara.
5.
Mengkordinir pelaksanaan upacara di
Pura Kayangan Tiga, Pura Kayangan Desa dan pelaksanaan upacara yang lainnya di
lingkungan desa pakraman bersangkutan.
6.
Mewakili bendesa dalam rapat-rapat
koordinasi di luar desa, sepanjang menyangkut masalah parahyangan.
7.
Mengadakan koordinasi dengan bendesa,
baik sebelum maupun sesudah melaksanakan pekerjaan.
8.
Melaksanakan tugas-tugas lain atas
koordinasi bendesa.
Petajuh Widang Pawongan (Petajuh II).
Tanggung jawabnya antara
lain sebagai berikut :
1.
Mempersiapkan segala sesuatu (seperti cane, menyuarakan kulkul, dll), yang
berkaitan dengan pesangkepan dan pesamuan desa.
2.
Menyiapkan agenda pesamuan dan pesangkepan.
3. Memimpin
pelaksanaan pesangkepan desa.
4.
Melakukan tugas pengantegan (pemberitahuan) kepada warga yang diduga telah
melakukan kelalaian tertentu.
5.
Melaksanakan pangetutan (penyampaian lebih lanjut) atas sesuatu keputusan pesamuan dan pesangkepan, kepada warga yang diangap perlu.
6.
Melaksanakan tugas penggandaan atas
hasil pesangkepan dan pesamuan dan menyebarluaskannya kepada warga desa.
7.
Menyelesaikan permasalahan yang muncul
antar warga desa, sehubungan dengan pelaksanaan awig-awig, bersama bendesa.
8.
Mewakili bendesa dalam rapat-rapat koordinasi di luar desa,
sepanjang menyangkut masalah pawongan.
9.
Menjadi saksi dalam pelaksanaan upacara perkawinan yang berlangsung di
wewidangan desanya
10. Melaksanakan tugas-tugas lain atas koordinasi bendesa.
Petajuh Widang Palemahan (Petajuh III).
Tanggung jawabnya
antara lain sebagai berikut :
1.
Membuat rarincikang tugas-tugas
kebersihan dan pertamanan di Pura Kayangan Tiga, Pura Kayangan Desa, telajakan
pura, telajakan desa dan wewidangan
desa.
2.
Memimpin pelaksanaan tugas kebersihan
dan pertamanan yang dimaksud, baik yang dilaksanakan oleh warga desa, warga
tempekan maupun juru sapuh.
3.
Mengurus dan memelihara duwe (kekayaan) desa yang berhubungan
dengan tanah, seperti laba pura, tanam
tuwuh desa, dll. Yang dimaksud memelihara dalam hal ini, antara lain
misalnya, membuat batas-batas
tanah duwe desa yang jelas dan
tegas, merencanakan pemanfaatan
tanah dan tanaman diatasnya.
4.
Ngarincikang pembangunan pura dan pembangunan
lainnya yang dilaksanakan oleh
desa.
5.
Mengawasi pelaksanaan berbagai pembangunan di desa.
6.
Memelihara bangunan yang telah ada,
dalam arti mengawasinya untuk mencegah kerusakan sedini mungkin dan memperbaiki
kerusakan-kerusakan kecil dengan bantuan seorang atau beberapa orang tutus.
7.
Mewakili bendesa dalam rapat-rapat
koordinasi di luar desa, sepanjang menyangkut masalah palemahan.
8.
Melaksanakan tugas-tugas lain atas
koordinasi bendesa.
Penyarikan (Unsur Juru tulis).
Tanggung jawabnya antara lain sebagai berikut :
1.
Mempersiapkan
segala sesuatu berkaitan dengan pesangkepan
dan pesamuan desa.
2. Melaksanakan tugas pencatatan atas
segala hasil, kesimpulan dan keputusan pesamuan
dan pesangkepan desa.
3.
Mencatat
surat-surat ke luar dan masuk untuk keperluan desa.
4. Mencatat krama yang telah mendapat
tugas sebagai kasinoman desa, tutus
desa, dll.
5. Menyimpan segala arsip (surat,
pengumuman, dll) yang berhubungan dengan kegiatan desa adat, baik datang dari
pemerintah maupun lembaga-lembaga lainnya.
6.
Mencatat
krama yang ditunjuk sebagai tutus dan buku catatan tutus.
7.
Melaksanakan
tugas-tugas lain atas koordinaasi bendesa dan petajuh bendesa.
Juru Raksa (Unsur Bendahara).
Tanggung
jawabnya antara lain sebagai berikut :
1.
Mengatur
dan membuat pembukuan tentang keuangan desa.
2.
Mencatat
tentang segala urunan, dedosan, dll, dalam bentuk uang.
3.
Menerima
dana punia dalam bentuk uang dan barang, dari pemerintah, pihak swasta dan
lembaga lainnya.
4.
Mencatat
segala barang inventaris (kekayaan desa), baik yang berupa barang bergerak
maupun barang-barang tidak bergerak.
5.
Menyimpan
barang-barang inventaris itu pada tempat yang telah disediakan.
6.
Mencatat
segala hal terkait dengan inventaaris
desa.
7.
Ngarincikang sumber-sumber keuangaan desa.
8.
Memimpin
rintisan kegiatan desa yang dapat menambah kekayaan desa pakraman.
9.
Melaksanakan tugas-tugas lain atas koordinaasi
bendesa.
Kasinoman (Unsur Pembantu).
Tanggung
jawabnya antara lain sebagai berikut :
1.
Menyampaikan
arah-arahan (pemberitahuan) kepada
seluruh warga desa, tentang sesuatu hal sesuai dengan petunjuk bendesa.
2.
Menyiapkan
perlengkapan pesamuan dan pesangkepan dan membersihkan tempat
pertemuan sesudah acara selesai.
3. Melaksanakan tugas lain atas
koordinasi bendesa adat dan petajuh widang pawongan.
Tutus Desa.
Tanggung jawabnya antara lain sebagai berikut :
1.
Melaksanakan tugas-tugas tertentu, sesuai dengan petunjuk
prajuru desa.
2.
Mengadakan koordinasi dengan prajuru desa, atas tugas yang diberikan.
-o0o-
[2] Berdasarkan
tradisi dominan, desa pakraman yang ada di Bali dapat diklasifikasi atas tiga tipe :
(1) Desa Bali Aga (Bali Mula), yaitu desa pakraman yang masih tetap menganut tradisi pra-Majapahit. Pada desa-desa
seperti ini tidak dikenal adanya sistem kasta.
Kebanyakan berada disekitar Kintamani dan daerah
pegunungan lainnya di Bali.
(2) Desa Apanaga, yaitu desa pakraman yang sistem
kemasyarakatannya dipengaruhi oleh kerajaan Majapahit, termasuk hukum yang berlaku. Desa-desa ini
umumnya terletak
didaerah Bali dataran. (3) Desa
Anyar (Desa Baru),
yaitu desa yang terbentuk relatif baru, sebagai akibat dari
adanya
perpindahan penduduk (transmigrasi lokal) dengan tujuan awal mencari penghidupan. Desa-desa seperti
ini dapat ditemui di daerah Jembrana dan
Buleleng Barat. Baca juga Desa Adat dan Awig-awig dalam Struktur
Pemerintahan Bali oleh Tjok Raka Dherana, Upada Sastra, Denpasar, 1995. MPLA Dati I Bali, 1990.
Mengenal dan Pembinaan Desa Adat di Bali.
Denpasar, Proyek Pemantatap Desa Adat.
[4] Pada umumnya memang
demikian adanya. Tetapi berdasarkan pengamatan di beberapa desa pakraman (terutama di desa-desa yang tingkat
pendidikan krama-nya terbilang
relatif maju), belakangan mulai menampakan kemajuan, dengan memberikan porsi
pekerjaan kepada perangkat prajuru yang lainnya, sesuai bidangnya
masing-masing. Walaupun demikian, rata-rata prajuru
desa pakraman belum memiliki sekretariat. Sepanjang yang penulis ketahui hanya
3 desa pakraman yang memiliki kantor sekretariat, yaitu Desa Pakraman Panjer (Denpasar), Desa
Pakraman Selat (Karangasem) dan Desa Pakraman Penyaringan (Jemberana).
[5] Ini sejalan dengan
ketentuan pasal 11 Perda Prop. Bali Nomor : 06 Tahun 1986 yang menentukan tugas prajuru desa
sebagai berikut. (1) Melaksanakan
awig-awig desa adat. (2) Mengatur penyelenggaraan upacara keagamaan bagi desa
adat, sesuai dengan sastra agama. (3) Mengusahakan perdamaian dan penyelesaian
terhadap sengketa-sengketa adat. (4) Mengembangkan kebudayaan daerah dalam
upaya melestarikan kebudayaan daerah dalam rangka memperkaya khasanah budaya
nasional. (5) Membina dan mengkoordinasikan masyarakat hukum adat, mulai dari
keluarga berdasarkan adat-istiadat yang berlaku pada setiap desa adat guna
meningkatkan kesadaran sosial dan semangat kegotong-royongan. (6) Mewakili desa
adat dan betindak atas nama dan untuk desa adat atau masyarakat hukum adat
dalam segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. (7) Mengurus dan
mengelola hal-hal yang berkaitan dengan harta kekayaan desa adat (lihat
juga. Tugas
prajuru seperti tertuang dalam
pasal 8 (huruf d) Perda Prop. Bali Nomor : 3 Tahun 200,
sejalan dengan pendapat Purwita
(1984 : 14), yang mengatakan bahwa bendesa
adat bukan sebagai pemegang kekuasaan, melainkan hanya sebagai pelaksana
keputusan-keputusan warga desa terhadap warga desa adatnya sendiri. Bendesa adat merupakan wakil dari
masyarakatnya, dalam hubungan dengan berbagai masalah dengan orang lain dari luar desa adat bersangkutan.
[6] Ada desa pakraman yang menetapkan masa bakti prajuru desa selama 8 tahun (Desa Pakraman Rendang), ada yang tidak jelas masa
pengabdiannya (bisa lebih dari 20 tahun seperti di Desa Pakraman Pasut,
Jemberana dan Desa Pakraman Taro).
Ada juga
yang dipilih
berdasarkan keturunan dari
keluarga tertentu.
[9] Lebih
jauh tentang globalisasi dan modernisasi
baca juga Modernisasi. Pengantar Sosiologi Pembangungn
Negara-negara Sedang Berkembanga, oleh J.W.
Schooorl, Gramedia, Jakarta, 1982. Global
Paradox. Semakin Besar Ekonomi Dunia Semamkn Kuat Perusahan Kecil oleh John Naisbitt, alih bahasa
Drs Budijanto, Jakarta, Bina Rupa Aksara, tahun 1994. Bali dalam Perspektif
Global oleh Ida Bagus Wyasa
Putra, Upada Sastra, Denpasar,
1998. Membangun Desa Adat Bali yang Sejuk oleh Wayan P. Windia, Gianyar, Bali Jani, 2003. Modernisasi
dan Globalisasi, oleh Suhanadji-Waspodo TS, Insan Cendikia, Malang,
2004. Globalism. Penguatan Politik
Representasi atas Bali oleh A.A.G.N Dwipayana, Uluangkep, 2005.
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire