1
Kepemimpinan Yang Berorientasi
kepada Unsur – Unsur Alam
Dewa K. Suratnaya
Latar Belakang
Seorang pemimpin (leader) bukanlah pemimpi (dreamer). Pemimpin adalah pelayan (server). Seorang pelayan dharma (dharma sevanam), yang bertujuan agar
bumi ini lestari dan penghuninya sejahtera. Untuk itu, menjadi pemimpin di atas bumi, harus memahami
karakter bumi. Karakter bumi terbentuk karena keterpaduan unsur-unsur vital,
yang sekaligus merupakan kekuatan bumi (the
ultimate power of earth). Kekuatan bumi merupakan perpaduan dari lima unsur
pertiwi/tanah, air/apah, api/teja, bayu/angin dan
angkasa/ether. Pemimpin di atas bumi
harus mampu mengelola kekuatan bumi, untuk itu ia harus membumikan dirinya.
Maksudnya, menjadikan dirinya sebagai bagian penting dari bumi ini.
Bumi (pertiwi/tanah) sebagian besar permukaannya diselimuti oleh air/apah (asin 97 % dan tawar 3 %), dan
ada sebagian kecil daratan dengan gunung-gunung yang di dalamnya terdapat magma
(api/teja) sebagai bagian dari bumi yang sangat panas. Setelah
diselimuti oleh air, bumi diselimuti oleh udara/angin (bayu/angin), dan akhirnya yang terakhir bumi juga diselimuti oleh
angkasa (ether). Keterpaduan lima
unsur vital (tanah/pertiwi, air/apah, api/teja, bayu/angin dan ether/angkasa) ini yang menjadikan bumi
terbentuk dengan karakter yang tak terlepas dari karakter lima unsur yang
dikenal dengan nama Panca Maha Bhuta
(lima unsur vital pembentuk alam semesta).
Maka tidak ada pilihan lain, untuk
menjadi seorang pemimpin dipermukaan bumi, di negara manapun, dibutuhkan
pemahaman di atas. Apapun suku bangsanya, ideologinya, agamanya; mau tidak mau
kalau ingin sejahtera, maka pengetahuan tentang bumi harus dimengerti dengan
baik. Artinya, sebagai sesuatu yang sangat mendasar, pengetahuan tentang bumi, bagi
seorang pemimpin sangat diperlukan karena pengetahuan itu bersifat universal.
Latar belakang singkat itulah yang memberikan ide, sehingga tulisan ini
berjudul, “Kepemimpinan Yang
Berorientasi Kepada Unsur-Unsur Alam.” Kepemimpinan model ini memang kelihatannya
bagi umat Hindu merupakan sesuatu yang baru, karena sulit menemukan ini dalam
sastra-sastra; walaupun komponennya sudah menebar di masyarakat Hindu, hanya
saja belum dikompilasi.
Merefleksikan
Lima Unsur
Masalahnya, bagaimana merefleksikan
konsep lima unsur ke dalam pola kepemimpinan universal, tidak hanya untuk para
pemimpin Hindu; dan ini memang tidak mudah. Agar tetap mengacu kepada
sastra-sastra Hindu, maka paparan ini nantinya tetap bersumber kepada sastra,
namun pembahasannya disajikan dengan bahasa sederhana. Untuk itu kita
memerlukan sastra dan konsep-konsep Hindu yang menunjang kehidupan, sebagai
pendukung agar pola-pola kepemimpinan yang berorientasi kepada bumi ini
benar-benar aplikatif dan relevan. Benar-benar bisa diwujudnyatakan, bukan
terhenti sebatas teori, bukan angan-angan dan wacana belaka. Ada nilai-nilai
filosofis serta tidak mengabaikan spiritualitas Hindu, namun tetap bersifat
universal. Sastra yang dimaksud dan sangat sederhana adalah Asta Dasa Parwa
(Mahabharata).
Pandawa dan
Panca Maha Bhuta
Dalam merefleksikan lima unsur dengan kepemimpinan, dari Mahabharata
yang bisa diambil adalah model kepemimpinan Panca Pandawa, dan keterkaitan lima
bersaudara ini dengan lima unsur pembentuk alam semesta. Keterkaitan ini akan
menghasilkan karakter lima bersaudara itu dalam memimpin negerinya, dalam
kepemimpinan yang integratif dan kolektif. Lima bersaudara itu mewakili
karakter dari lima unsur, yang terefleksikan dalam pola kepemimpinan mereka.
Yudistira memiliki karakter yang mewakili ether
(angkasa), Bima mewakili bayu
(angin), Arjuna mewakili teja (api),
Nakula mewakili apah (air), dan
Sahadewa mewakili pertiwi (tanah). Berikutnya, kita akan lihat masing-masing karakter
dari setiap figur tersebut, yang nantinya bisa dijadikan model kepemimpinan.
Yudistira
Luasnya angkasa yang tak dapat diukur, menggambarkan keluasan wawasan
dan kesabaran seorang pemimpin, seperti Yudistira. Karakter ini didapatkannya
dari kekuatan yang diterima oleh pengayom spiritualnya, yaitu Dewa Dharma, dewa
dari segala kebenaran. Ia jujur, tenang, lembut hati, tidak pernah berbohong, positive thinking dan selalu minta
pertimbangan saudara-saudara yang mendampinginya, termasuk Sri Krishna. Walaupun
keputusan akhir ditangannya, ia tidak mengabaikan masukan-masukan dari orang-orang
yang setia.
Masalah spiritual tidak perlu
diragukan, buktinya usai perang besar Bharatayudha, setelah menyerahkan
kekuasaan kepada Prabu Parikesit (cucu Arjuna), dalam perjalanan rohani menuju
swargaloka (Rohanika Parwa), hanya Yudistira yang mampu menembus dimensi
kadewatan dengan badan wadagnya. Walaupun ini hanya lambang, artinya karena
Yudistira mewakili atau lambang ether, maka ia mampu menuju swargaloka tanpa
kendala. Ether mampu berada di alam sekala maupun niskala. Ether adalah lambang
kekuatan spiritual.
Bima
Keras, tegas, berani, jujur dan adil,
tidak pamrih, tidak takut kepada siapapun, adalah karakter orang kedua dari
lima Pandawa ini. Ia adalah lambang kekuatan hidup atau vayu. Mengikuti sifat
angin, dengan pengayom Dewa Bayu, yang terkuat dari para dewa; memberikan
keamanan dan kenyamanan, siap berada di mana saja untuk masyarakat banyak. Tidak
takut ancaman, hambatan tidak pernah dihindari, semua dihadapi dengan tegar dan
pantang menyerah, pantang mengeluh. Ia selalu mengingatkan agar Yudistira
hati-hati dan waspada. Bima memiliki tiga putra perkasa, yaitu Gatotkaca yang
menguasai angkasa, Jayakatwang yang menguasai samudra dan Antareja yang
menguasai kedalaman bumi.
Artinya, seorang pemimpin harus
seperti angin yang peduli kepada bumi, air dan angkasa. Bayu memiliki kekuatan
dahsyat yang mampu merubah alam semesta, khususnya bumi, air dan angkasa. Kisah
Dewaruci merupakan bukti bahwa Bima juga memiliki tingkat spiritual yang tinggi,
walaupun dalam Rohanika Parwa ia harus mati sebelum mencapai swargaloka.
Arjuna
Penengah Pandawa ini memiliki
semangat yang tak kenal menyerah. Betapa ia dengan penuh kesadaran dan ketidakterikatan
dan pengendalian diri, mengorbankan masa mudanya dengan menghabiskan sebagian
besar waktunya untuk mendapatkan ilmu karena menyadari bahwa ia adalah andalan
pihak Pandawa dalam Bharatayudha. Api semangat dalam hatinya sebagai pejuang
tak pernah lekang, selalu menyala. Arjuna mendapatkan pengayoman dari Dewa Indra,
raja para dewa, penguasa swargaloka. Sebagai pemimpin Arjuna adalah bibit
unggul, karena api semangat dan pengorbanannya untuk masyarakat yang tak pernah
padam.
Nakula dan
Sahadewa
Kembar Pandawa ini adalah saudara
tiri dari ketiga figur Pandawa sebelumnya dari Dewi Madri. Mereka berdua adalah
titisan Dewa Kembar Aswin. Nakula dan Sahadewa mewakili air (apah tattwa) dan tanah (pertiwi tattwa). Gabungan keduanya
menjadikan lambang bahwa tanah dan air merupakan perpaduan abadi. Nakula
mewakili air, lambang kepatuhan dan kesetiaan; memiliki karakter jiwa yang
lembut, sejuk, mengalir seperti air, mengikuti lekuk-lekuk sungai; akhirnya
menuju ke samudra luas. Mengalir seperti air, menggambarkan kecerdasan dan
kebijaksanaan. Tidak suka berdebat, tanpa solusi. Tetapi lebih suka bekerja,
akan lebih melakukan pekerjaan sendiri, sekecil apapun itu.
Sementara Sahadewa mewakili tanah, memiliki
karakter kokoh, teguh, kuat, setia namun penuh kasih kepada semua mahluk; namun
siap menghadapi kekuatan jahat. Tokoh ini jarang sekali berbicara dalam
perannya sebagai bagian dari lima bersaudara. Keduanya, hampir-hampir tidak
pernah meninggalkan Yudistira., seolah bayangannya.
Dengan memadukan karakter dari
masing-masing figur Pandawa yang merefleksikan lima unsur tersebut, maka dapat
disusun kriteria kepemimpinan dari perspektif Hindu yang mengandung nilai-nilai
filosofis dan juga spiritualitas.
Kepemimpinan Panca Pandawa yang
berlandaskan lima unsur (ether, bayu, api, air dan tanah), paling tidak mengajarkan
kepada para pemimpin untuk membangkitkan kekuatan spiritualnya agar mampu
seperti Yudistira (tenang), Bima (memiliki kekuatan hidup), Arjuna
(ketidakterikatan dan pengendalian diri), Nakula (mematuhi aturan) dan Sahadewa
(siap melawan kejahatan).
Dewa K. Suratnaya.
----------------------------------------------------o0o---------------------------------------------------------------
2
“
MENELISIK DAN MEMAHAMI SATRIA PININGIT ”
Tri
Budi Marhen Darmawan
Latar Belakang
Satria Piningit sebagai istilah yang
memiliki konotasi menunjuk kepada sosok pemimpin negeri ini (nusantara) yang
diharap-harap kehadirannya karena masih belum diketahui (tersembunyi)
keberadaannya, merupakan suatu hal yang fenomenal yang tak henti-hentinya
selalu dibicarakan dari masa ke masa di negeri ini. Dari sejak jaman
kerajaan-kerajaan dahulu yang timbul tenggelam hingga di jaman sekarang ini
(NKRI) utamanya pasca masa penjajahan Belanda dan Jepang, sosok Satria Piningit
masih selalu saja menjadi dambaan rakyat negeri ini yang tak lekang dimakan
jaman masih terus diperbincangkan bahkan terus dicari misterinya bagi yang
mempercayai fenomenanya. Pengharapan dan penantian sosok Satria Piningit
sebagai pemimpin ideal bagi Nusantara menandakan bahwa bangsa ini dari generasi
ke generasi belum mampu mencapai rasa dan suasana “keadilan dan kesejahteraan”
yang semestinya dirasakan oleh seluruh rakyat.
Satria Piningit seakan telah menjadi
istilah turun temurun yang tak asing di kalangan rakyat dan pemimpin negeri
ini. Namun banyak juga yang skeptis, menolak dengan sama sekali tidak
mempercayainya lantaran berpijak pada ilmu pengetahuan (barat) modern dan atau
landasan kitab-kitab agama masing-masing. Hal itu bisa dimaklumi karena
munculnya istilah Satria Piningit memang bersumber dari cerita turun temurun
dan yang tersurat serta tersirat di dalam pustaka-pustaka leluhur bangsa kita,
yang dinilai tidak lebih dari sekedar harapan dan ramalan.
Guna awal memahami fenomena Satria
Piningit yang tertulis di dalam pustaka leluhur kita, mari kita simak beberapa
bait dari Serat Musarar Joyoboyo :
Di saat keberadaan Prabu Joyoboyo yang ditandai dengan jaman
kerajaan Jenggala, Kediri, Singosari dan Ngurawan (Sinom, bait 3), pasca jaman
itu maka pada bait ke 5 dikatakan akan ada jaman Anderpati yang bernama Kala
Wisesa.
5. ... Demikian harap diketahui oleh anak cucu bahwa akan ada jaman
Anderpati yang bernama Kala Wisesa.
6. Lambangnya: Sumilir naga kentir semune liman pepeka.
Itu negara PAJAJARAN. Negara tersebut tanpa keadilan dan tata negara,
Setelah seratus tahun kemudian musnah.
7. Sebab berperang dengan saudara. Hasil bumi diberi pajak emas. Sebab
saya mendapat hidangan Kunir sarimpang dari ki Ajar. Kemudian
berganti jaman di MAJAPAHIT dengan rajanya Prabu Brawijaya.
8. Demikian nama raja bergelar Sang Rajapati Dewanata.
Alamnya disebut Anderpati, lamanya sepuluh windu (80 tahun). Hasil negara
berupa picis (uang). Ternyata waktu itu dari hidangan ki Ajar.
9. Hidangannya Jadah satu takir. Lambangnya waktu itu Sima
galak semune curiga ketul. Kemudian berganti jaman lagi. Di Gelagahwangi
dengan ibukota di DEMAK. Ada agama dengan pemimpinnya bergelar Diyati
Kalawisaya.
10. Enam puluh lima tahun kemudian musnah. Yang bertahta Ratu Adil serta wali dan pandita
semuanya cinta. Pajak rakyat
berupa uang. Ternyata saya diberi hidangan bunga Melati oleh ki
Ajar.
11. Negara tersebut diberi lambang: Kekesahan durung kongsi
kaselak kampuhe bedah. Kemudian berganti jaman Kalajangga.
Beribukota PAJANG dengan hukum seperti di Demak. Tidak diganti oleh
anaknya. 36 tahun kemudian musnah.
12. Negara ini diberi lambang: Cangkrama putung watange.
Orang di desa terkena pajak pakaian dan uang. Sebab ki Ajar dahulu memberi
hidangan sebatang pohon Kajar. Kemudian berganti jaman di MATARAM.
Kalasakti Prabu Anyakrakusuma.
13. Dicintai pasukannya. Kuat angkatan perangnya dan kaya, disegani
seluruh bangsa Jawa. Bahkan juga sebagai gantinya Ajar dan wali serta pandita,
bersatu dalam diri Sang Prabu yang adil.
14. Raja perkasa tetapi berbudi halus. Rakyat kena pajak reyal. Sebab waktu
itu saya mendapat hidangan Bawang Putih dari ki Ajar. Rajanya
diberi gelar: Sura Kalpa semune lintang sinipat.
15. Kemudian berganti lagi dengan lambang: Kembang sempol Semune
modin tanpa sreban. Raja yang keempat yang penghabisan diberi lambang Kalpa
sru kanaka putung. Seratus tahun kemudian musnah sebab melawan sekutu.
Kemudian ada nakhoda yang datang berdagang.
16. Berdagang di tanah Jawa kemudian mendapat sejengkal tanah. Lama
kelamaan ikut perang dan selalu menang, sehingga terpandang di pulau Jawa. Jaman sudah berganti meskipun masih keturunan Mataram. Negara
bernama Nyakrawati dan ibukota di Pajang.
17. Raja
berpasukan campur aduk. Disegani setanah Jawa. Yang memulai menjadi raja dengan
gelar Layon keli semune satriya brangti. Kemudian berganti raja yang bergelar: Semune
kenya musoni. Tidak lama kemudian berganti.
18. Nama rajanya Lung
gadung rara nglikasi kemudian berganti Gajah meta semune tengu lelaki. Enam puluh tahun
menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya dan hukum tidak
karu-karuan. Waktu itu pajaknya rakyat adalah.
Keterangan :
Lung Gadung Rara Nglikasi : Raja yang penuh inisiatif dalam segala hal, namun memiliki kelemahan suka wanita (Soekarno). Gajah Meta Semune Tengu Lelaki : Raja yang kuat dan disegani/ditakuti, namun nista (Soeharto).
Keterangan :
Lung Gadung Rara Nglikasi : Raja yang penuh inisiatif dalam segala hal, namun memiliki kelemahan suka wanita (Soekarno). Gajah Meta Semune Tengu Lelaki : Raja yang kuat dan disegani/ditakuti, namun nista (Soeharto).
19. Uang anggris dan uwang. Sebab saya diberi hidangan Darah
sepitrah. Kemudian negara geger. Tanah tidak berkhasiat, pemerintah rusak.
Rakyat celaka. Bermacam-macam bencana yang tidak dapat ditolak.
20. Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri
sendiri-sendiri. Kemudian berganti jaman Kutila. Rajanya Kara Murka. Lambangnya
Panji loro semune Pajang Mataram.
Keterangan :
- Bupati berdiri sendiri-sendiri : Otonomi Daerah.
- Jaman Kutila : Reformasi
- Raja Kara Murka : Raja-raja yang saling balas dendam.
- Panji Loro semune Pajang Mataram : Dua kekuatan dalam satu kubu yang saling ingin menjatuhkan (Gus Dur - Megawati ).
Keterangan :
- Bupati berdiri sendiri-sendiri : Otonomi Daerah.
- Jaman Kutila : Reformasi
- Raja Kara Murka : Raja-raja yang saling balas dendam.
- Panji Loro semune Pajang Mataram : Dua kekuatan dalam satu kubu yang saling ingin menjatuhkan (Gus Dur - Megawati ).
21. Nakhoda ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya. Sarjana
tidak ada. Rakyat sengsara. Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar.
Kemudian diganti dengan lambang Rara
ngangsu, randa loro nututi pijer tetukar.
Keterangan :
- Nakhoda : Orang asing.
- Sarjana : Orang arif dan bijak.
- Rara Ngangsu, Randa Loro Nututi Pijer Atetukar : Ratu yang selalu diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk menggantikannya (Megawati).
Keterangan :
- Nakhoda : Orang asing.
- Sarjana : Orang arif dan bijak.
- Rara Ngangsu, Randa Loro Nututi Pijer Atetukar : Ratu yang selalu diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk menggantikannya (Megawati).
22. Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih, itu sebuah
lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya Kala Bendu. Di SEMARANG TEMBAYAT itulah yang mengerti/memahami lambang
tersebut.
Keterangan :
Tan Kober Apepaes Tan Tinolih Sinjang Kemben : Raja yang tidak sempat/mampu mengatur negara sebab adanya masalah-masalah yang merepotkan (SBY).
Keterangan :
Tan Kober Apepaes Tan Tinolih Sinjang Kemben : Raja yang tidak sempat/mampu mengatur negara sebab adanya masalah-masalah yang merepotkan (SBY).
23. Pajak rakyat banyak sekali macamnya. Semakin naik. Panen tidak
membuat kenyang. Hasilnya berkurang. orang jahat makin menjadi-jadi Orang besar
hatinya jail. Makin hari makin bertambah kesengsaraan negara.
24. Hukum dan pengadilan negara tidak berguna. Perintah berganti-ganti.
Keadilan tidak ada. Yang benar dianggap salah. Yang jahat dianggap benar. Setan
menyamar sebagai wahyu. Banyak orang melupakan Tuhan dan orang tua.
25. Wanita hilang kehormatannya. Sebab saya diberi hidangan Endang
seorang oleh ki Ajar. Mulai perang tidak berakhir. Kemudian ada tanda
negara pecah.
26. Banyak hal-hal yang luar biasa. Hujan salah waktu. Banyak gempa dan
gerhana. Nyawa tidak berharga. Tanah Jawa berantakan. Kemudian raja Kara Murka
Kutila musnah.
27. Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune Pudak
kasungsang. Lahir di bumi Mekah. Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu
Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.
Keterangan :
- Tunjung Putih semune Pudak Kesungsang : Raja berhati bersih namun masih tersembunyi (Satria Piningit).
- Lahir di bumi Mekah : Sangat memahami Islam dan sangat bertauhid.
Keterangan :
- Tunjung Putih semune Pudak Kesungsang : Raja berhati bersih namun masih tersembunyi (Satria Piningit).
- Lahir di bumi Mekah : Sangat memahami Islam dan sangat bertauhid.
28. Raja keturunan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa (Ing
Mekah ingkang satunggal, Tanah Jawi kang sawiji). Letaknya dekat dengan
gunung Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang
terkenal sedunia.
Keterangan :
- Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa : Orang Islam yang sangat menghormati leluhurnya dan menyatu dengan ajaran tradisi Jawa.
Keterangan :
- Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa : Orang Islam yang sangat menghormati leluhurnya dan menyatu dengan ajaran tradisi Jawa.
29. Waktu itulah ada keadilan. Rakyat pajaknya dinar sebab saya diberi
hidangan bunga SERUNI oleh ki Ajar. Waktu itu pemerintahan raja
baik sekali. Orangnya tampan senyumnya manis sekali.
Dandanggula :
1. Benar-benar
raharja waktu itu tidak ada yang menghalang-halangi. Rakyat yang dikenakan
pajak seribu dikurangi oleh sang Prabu tinggal seratus dinar. Dihitung 1.800
rajanya musnah.
………………..
Menyimak sebagian Serat Musarar di atas,
maka perlambang gelar raja di tiap-tiap masa yang disebutkan itulah yang
diistilahkan dengan Satria Piningit. Disebut Piningit (tersembunyi) karena
memang belum diketahui keberadaan/kedudukannya sebagai pemimpin pada
kenyataannya yang dilambangkan dengan istilah Satria. Sehingga jika mengacu
pada Serat Musarar Joyoboyo ini, maka yang kita nantikan bersama pada masa
berikutnya ke depan adalah munculnya Satria Piningit dengan lambang gelarannya
adalah Tunjung Putih Semune Pudak Kesungsang (seorang Satria/Pemimpin
yang berhati bersih namun masih tersembunyi) yang melihat keadaan negara di
bawah kepemimpinannya akan menuju pada kebaikan bagi seluruh rakyatnya.
Kesejahteraan dan Keadilan yang akan mewujud sebagai tanda memasuki jaman Kala
Suba atau jaman Kejayaan/Keemasan. Seperti yang tertulis pula pada bait-bait
syair terakhir Joyoboyo menggambarkan sosok Satria Piningit itu sebagai berikut
:
170.
ing ngarsa Begawan
dudu pandhita sinebut pandhita
dudu dewa sinebut dewa
kaya dene manungsa
dudu seje daya kajawaake kanti jlentreh
gawang-gawang terang ndrandhang
171.
aja gumun, aja ngungun
hiya iku putrane Bethara Indra
kang pambayun tur isih kuwasa nundhung setan
tumurune tirta brajamusti pisah kaya ngundhuh
hiya siji iki kang bisa paring pituduh
marang jarwane jangka kalaningsun
tan kena den apusi
marga bisa manjing jroning ati
ana manungso kaiden ketemu
uga ana jalma sing durung mangsane
aja sirik aja gela
iku dudu wektunira
nganggo simbol ratu tanpa makutha
mula sing menangi enggala den leluri
aja kongsi zaman kendhata madhepa den marikelu
beja-bejane anak putu
172.
iki dalan kanggo sing eling lan waspada
ing zaman kalabendu Jawa
aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak dewa
cures ludhes saka braja jelma kumara
aja-aja kleru pandhita samusana
larinen pandhita asenjata trisula wedha iku hiya pinaringaning
dewa
173.
nglurug tanpa bala
yen menang tan ngasorake liyan
para kawula padha suka-suka
marga adiling pangeran wus teka
ratune nyembah kawula
angagem trisula wedha
para pandhita hiya padha muja
hiya iku momongane kaki Sabdopalon sing wis adu wirang
nanging kondhang
genaha kacetha kanthi njingglang
nora ana wong ngresula kurang
hiya iku tandane kalabendu wis minger
centi wektu jejering kalamukti
andayani indering jagad raya
padha asung bhekti
|
170.
di hadapan Begawan
bukan pendeta disebut pendeta
bukan dewa disebut dewa
namun seperti manusia biasa
bukan kekuatan lain diterangkan jelas
bayang-bayang menjadi terang benderang
171.
jangan heran, jangan bingung
itulah putranya Batara Indra
yang sulung dan memiliki kuasa
mengusir setan
penerima turunnya percikan air brajamusti
ya hanya satu ini yang dapat memberi
petunjuk tentang arti dan makna ramalan saya
tidak bisa ditipu
karena dapat masuk ke dalam hati
ada manusia yang bisa bertemu
tapi ada manusia yang belum saatnya
jangan iri dan kecewa
itu bukan waktunya
memakai lambang ratu tanpa mahkota
sebab itu yang menjumpai segeralah menghormati, jangan
sampai terputus, menghadaplah dengan patuh
keberuntungan ada di anak cucu
172.
inilah jalan bagi yang ingat dan waspada
pada zaman kalabendu Jawa
jangan melarang dalam menghormati orang berupa dewa
yang menghalangi akan sirna seluruh keluarga
jangan keliru mencari dewa
carilah dewa bersenjata trisula wedha itulah
ya pemberiannya dewa
173.
menyerang tanpa pasukan
bila menang tak menghina yang lain
rakyat semua bersuka ria
karena keadilan Yang Kuasa telah tiba
raja menyembah rakyat
bersenjatakan trisula wedha
para pendeta juga pada memuja
ya itulah asuhannya Sabdopalon yang sudah menanggung malu
tetapi termasyhur
segalanya tampak terang benderang
tak ada orang yang mengeluh kekurangan
ya itulah tanda zaman kalabendu telah usai
berganti zaman penuh kemuliaan memperkokoh tatanan jagad
raya
semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi
|
Kutipan Serat Kalatidha karya
Ronggowarsito berikut ini menggambarkan situasi jaman yang terjadi dan akhirnya
muncul sang Satrio Piningit yang dinanti :
Pupuh 257 (tembang 28 s/d 44) :
Wong agunge padha jail kurang tutur, marma
jeng pamasa, tanpa paramarteng dasih, dene datan ana wahyu kang sanyata.
Ø Para pemimpinnya berhati jahil,
bicaranya ngawur, tidak bisa dipercaya dan tidak ada wahyu yang sejati.
Keh
wahyuning eblislanat kang tamurun,
apangling kang jalma, dumrunuh salin sumalin, wong
wadon kang sirna wiwirangira.
Ø
Wahyu
yang turun adalah wahyu dari iblis dan sulit bagi kita untuk membedakannya,
para wanitanya banyak yang kehilangan rasa malu.
Tanpa kangen mring mitra sadulur, tanna warta
nyata, akeh wong mlarat mawarni, daya deye kalamun tyase nalangsa.
Ø
Rasa
persaudaraan meluntur, tidak saling memberi berita dan banyak orang miskin
beraneka macam yang sangat menyedihkan kehidupannya.
Krep paprangan, sujana kapontit nurut,
durjana susila dadra andadi, akeh maling malandang marang ing marga.
Ø
Banyak
peperangan yang melibatkan para penjahat, kejahatan / perampokan dan
pemerkosaan makin menjadi-jadi dan banyak pencuri malang melintang di
jalan-jalan.
Bandhol tulus, mendhosol rinamu puguh, krep
grahana surya, kalawan grahana sasi, jawah lindhu gelap cleret warsa.
Ø
Alampun
ikut terpengaruh dengan banyak terjadi gerhana matahari dan bulan, hujan abu
dan gempa bumi.
Prahara
gung, salah mangsa dresing
surur, agung prang rusuhan, mungsuhe boya katawis, tangeh lamun tentreming
wardaya.
Ø
Angin
ribut dan salah musim, banyak terjadi kerusuhan seperti perang yang tidak
ketahuan mana musuhnya yang menyebabkan tidak mungkin ada rasa tenteram di
hati.
Dalajading praja kawuryan wus suwung, lebur
pangreh tata, karana tanpa palupi, pan wus tilar silastuti titi tata.
Ø Kewibawaan negara tidak ada lagi,
semua tata tertib, keamanan, dan aturan telah ditinggalkan.
Pra sujana, sarjana satemah kelu, klulun
Kalathida, tidhem tandhaning dumadi, hardayengrat dening karoban rubeda.
Ø Para penjahat
maupun para pemimpin tidak
sadar apa yang diperbuat dan selalu
menimbulkan masalah / kesulitan.
Sitipati, nareprabu
utamestu, papatih nindhita, pra nayaka tyas basuki, panekare becik-becik
cakrak-cakrak.
Ø Para pemimpin
mengatakan seolah-olah bahwa semua berjalan
dengan baik padahal hanya
sekedar menutupi keadaan
yang jelek.
Nging
tan dadya, paliyasing Kalabendu,
mandar sangking dadra, rubeda angrubedi, beda-beda
hardaning wong sanagara.
Ø Yang menjadi
pertanda jaman Kalabendu, makin lama
makin menjadi kesulitan yang sangat, dan berbeda-beda tingkah laku / pendapat
orang se-negara.
Katatangi tangising mardawa-lagu, kwilet tays
duhkita, kataman ring reh wirangi, dening angupaya sandi samurana.
Ø
Disertai
dengan tangis dan kedukaan yang mendalam, walaupun kemungkinan dicemooh,
mencoba untuk melihat tanda-tanda yang tersembunyi dalam peristiwa ini.
Anaruwung, mangimur saniberike, menceng
pangupaya, ing pamrih melok pakolih, temah suha ing karsa tanpa wiweka.
Ø
Berupaya
tanpa pamrih.
Ing Paniti sastra wawarah, sung pemut, ing
zaman musibat, wong ambeg jatmika kontit, kang mangkono yen niteni lamampahan.
Ø
Memberikan
peringatan pada jaman yang kalut dengan bijaksana, begitu agar kejadiannya /
yang akan terjadi bisa jadi peringatan.
Nawung krida, kang menangi jaman gemblung,
iya jaman edan, ewuh aya kang pambudi, yen meluwa edan yekti nora tahan.
Ø
Untuk dibuktikan, akan mengalami jaman gila, yaitu jaman
edan, sulit untuk mengambil sikap, apabila ikut gila/edan tidak tahan.
Yen tan melu, anglakoni wus tartamtu, boya
keduman, melik kalling donya iki, satemahe kaliren wekasane.
Ø
Apabila
tidak ikut menjalani, tidak kebagian untuk memiliki harta benda, yang akhirnya
bisa kelaparan.
Wus dilalah, karsane kang Among tuwuh, kang
lali kabegjan, ananging sayektineki, luwih begja kang eling lawan waspada.
Ø
Sudah kepastian, atas
kehendak Tuhan, yang lupa untuk
mengejar keberuntungan, tapi yang
sebetulnya, lebih beruntung yang tetap
ingat dan waspada.
Wektu iku, wus parek wekasanipun, jaman
Kaladuka, sirnaning ratu amargi, wawan-wawan kalawan memaronira.
Ø
Pada
saat itu sudah dekat berakhirnya jaman Kaladuka.
Pupuh 258 (tembang 1 s/d 7) :
Saka marmaning Hayang Sukma, jaman Kalabendu
sirna, sinalinan jamanira, mulyaning jenengan nata, ing kono raharjanira,
karaton ing tanah Jawa, mamalaning bumi sirna, sirep dur angkaramurka.
Ø Atas ijin Tuhan, jaman Kalabendu
hilang, berganti jaman dimana tanah Jawa/Indonesia
menjadi makmur, hilang
kutukan bumi dan angkara murka pun mereda.
Marga sinapih rawuhnya, nata ginaib sanyata,
wiji wijiling utama, ingaranan naranata, kang kapisan karanya, adenge tanpa
sarana, nagdam makduming srinata, sonya rutikedatonnya.
Ø Kedatangan pemimpin baru tidak
terduga, seperti muncul secara gaib, yang mempunyai sifat-sifat utama.
Lire sepi tanpa srana, ora ana kara-kara, duk
masih keneker Sukma, kasampar
kasandhung rata, keh wong
katambehan ika, karsaning Sukma kinarya, salin alamnya,
jumeneng sri pandhita.
Ø
Datangnya
tanpa sarana apa-apa, tidak pernah menonjol sebelumnya, pada saat masih muda,
banyak mengalami halangan dalam hidupnya, yang oleh ijin Tuhan, akan menjadi pemimpin yang berbudi luhur.
Luwih adil paraarta, lumuh maring brana-arta,
nama Sultan Erucakra, tanpa sangkan rawuhira, tan ngadu bala manungsa, mung
sirollah prajuritnya, tungguling dhikir
kewala, mungsuh rerep sirep sirna.
Ø Mempunyai sifat adil, tidak
tertarik dengan harta benda, bernama Sultan Erucakra (pemimpin yang memiliki
wahyu), tidak ketahuan asal kedatangannya, tidak mengandalkan bala bantuan
manusia, hanya sirullah prajuritnya (pasukan Allah) dan senjatanya adalah
se-mata2 dzikir, musuh
semua bisa dikalahkan.
Tumpes tapis tan na mangga, krana panjenengan
nata, amrih kartaning nagara, harjaning jagat sadaya, dhahare jroning sawarsa,
denwangeni katahhira, pitung reyal ika, tan karsa lamun luwiha.
Ø Semua musuhnya
dimusnahkan oleh sang pemimpin demi kesejahteraan negara, dan kemakmuran semuanya,
hidupnya sederhana, tidak mau
melebihi, penghasilan yang
diterima.
Bumi sakjung pajegira, amung sadinar sawarsa,
sawah sewu pametunya, suwang ing dalem sadina, wus resik nir apa-apa, marmaning
wong cilik samya, ayem enake tysira, dene murah sandhang teda.
Ø
Pajak orang kecil
sangat rendah nilainya, orang kecil
hidup tentram, murah sandang dan pangan.
Tan
na dursila durjana, padha
martobat nalangas, wedi willating nata, adil asing paramarta, bumi pethik akukutha,
parek lan kali Katangga, ing sajroning bubak wana, penjenenganin sang nata.
Ø
Tidak
ada penjahat, semuanya sudah bertobat, takut dengan kewibawaan sang pemimpin
yang sangat adil dan bijaksana.
Selanjutnya menurut ramalan Ronggowarsito dipaparkan ada tujuh
satria piningit yang akan muncul sebagai tokoh yang dikemudian hari akan
memerintah atau memimpin wilayah seluas wilayah “bekas” kerajaan Majapahit ,
yaitu : Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro, Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar,
Satrio Jinumput Sumelo Atur, Satrio Lelono Topo Ngrame, Satrio Piningit Hamong
Tuwuh, Satrio Boyong Pambukaning Gapuro, Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu.
Berkenaan dengan itu, banyak kalangan yang kemudian
mencoba menafsirkan ke-tujuh Satria Piningit itu adalah sebagai berikut :
1. Satrio
Kinunjoro Murwo Kuncoro. Tokoh pemimpin yang akrab dengan penjara
(Kinunjoro), yang akan membebaskan bangsa ini dari belenggu keterpenjaraan dan
akan kemudian menjadi tokoh pemimpin yang sangat tersohor diseluruh jagad
(Murwo Kuncoro). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Soekarno, Proklamator dan Presiden
Pertama Republik Indonesia yang juga Pemimpin Besar Revolusi dan pemimpin Rezim
Orde Lama. Berkuasa tahun 1945-1967.
2. Satrio
Mukti Wibowo Kesandung Kesampar. Tokoh pemimpin yang berharta dunia (Mukti)
juga berwibawa/ditakuti (Wibowo), namun akan mengalami suatu keadaan selalu
dipersalahkan, serba buruk dan juga selalu dikaitkan dengan segala keburukan /
kesalahan (Kesandung Kesampar). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Soeharto, Presiden Kedua Republik
Indonesia dan pemimpin Rezim Orde Baru yang ditakuti. Berkuasa tahun 1967-1998.
3. Satrio
Jinumput Sumela Atur. Tokoh pemimpin yang diangkat/terpungut (Jinumput)
akan tetapi hanya dalam masa jeda atau transisi atau sekedar menyelingi saja
(Sumela Atur). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai BJ Habibie, Presiden Ketiga Republik Indonesia. Berkuasa tahun
1998-1999.
4. Satrio Lelono
Tapa Ngrame. Tokoh pemimpin yang suka mengembara / keliling dunia
(Lelono) akan tetapi dia juga seseorang yang mempunyai tingkat kejiwaan
Religius yang cukup / Rohaniawan (Tapa Ngrame). Tokoh yang dimaksud ini
ditafsirkan sebagai KH. Abdurrahman Wahid,
Presiden Keempat Republik Indonesia. Berkuasa tahun 1999-2000.
5. Satrio
Piningit Hamong Tuwuh. Tokoh pemimpin yang muncul membawa kharisma
keturunan dari leluhurnya (Hamong Tuwuh). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan
sebagai Megawati Soekarnoputri, Presiden
Kelima Republik Indonesia. Berkuasa tahun 2000-2004.
6. Satrio
Boyong Pambukaning Gapuro. Tokoh pemimpin yang berpindah tempat (Boyong
/ dari menteri menjadi presiden) dan akan menjadi peletak dasar sebagai pembuka
gerbang menuju tercapainya jaman keemasan (Pambukaning Gapuro). Banyak pihak
yang menyakini tafsir dari tokoh yang dimaksud ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Ia akan selamat memimpin bangsa ini
dengan baik manakala mau dan mampu
mensinergikan dengan daya Satria Piningit yang sejati.
7. SATRIO
PINANDITO SINISIHAN WAHYU. Tokoh pemimpin yang sangat Religius
sampai-sampai digambarkan bagaikan seorang Resi Begawan (Pinandito) dan akan
senantiasa bertindak atas dasar hukum / petunjuk Tuhan (Sinisihan Wahyu).
Fenomena Menarik
Satria Piningit Dekade Ini
Berdasarkan kajian apa yang tersurat dan
tersirat di dalam beberapa pustaka leluhur seperti contoh di atas, maka menjadi
sangat menarik bagi kita yang masih peduli sebagai generasi anak cucu leluhur
yang hidup di jaman sekarang ini. Sebagai sebuah bentangan peta keadaan, kita
akan bisa merasakan situasi jaman dan kemudian menempatkan diri berada di titik
mana dalam sebuah rangkaian skenario alam yang terus berjalan.
Singkat kata ibarat tinggal satu langkah lagi
kita menyongsong hadirnya sosok Satria Piningit yang disebut dengan istilah Tunjung
Putih Semune Pudak Kesungsang atau juga Satria Pinandita Sinisihan Wahyu.
Sangat wajar kalau kemudian banyak orang menafsirkan sesuai dengan persepsi
masing-masing, baik secara fisik maupun metafisik. Dan menjadi lebih menarik
lagi ketika makin memahami fenomena ini, kemudian mengenali nama Sabdo Palon
Noyo Genggong yang juga disebut-sebut di dalam bait-bait syair Joyoboyo.
164.
putra kinasih swargi kang jumeneng ing gunung Lawu
hiya yayi bethara mukti, hiya krisna, hiya herumukti
mumpuni sakabehing laku
nugel tanah Jawa kaping pindho ngerahake jin setan
kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo kinen
ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda
landhepe triniji suci
bener, jejeg, jujur
kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong
173.
nglurug tanpa bala
yen menang tan ngasorake liyan
para kawula padha suka-suka
marga adiling pangeran wus teka
ratune nyembah kawula
angagem trisula wedha
para pandhita hiya padha muja
hiya iku momongane kaki Sabdopalon sing wis adu wirang nanging
kondhang
genaha kacetha kanthi njingglang
nora ana wong ngresula kurang
hiya iku tandane kalabendu wis minger
centi wektu jejering kalamukti
andayani indering jagad raya
padha asung bhekti
|
164.
putra kesayangan
almarhum yang
bermukim di Gunung
Lawu
yaitu Kyai Batara
Mukti, ya Krisna,
ya Herumukti
menguasai seluruh
ajaran (ngelmu) memotong tanah Jawa kedua kali mengerahkan jin dan setan
seluruh makhluk halus
berada dibawah perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada
trisula weda
tajamnya tritunggal
nan suci
benar, lurus, jujur
didampingi Sabdopalon
dan Noyogenggong
173.
menyerang tanpa
pasukan
bila menang tak
menghina yang lain
rakyat bersuka ria
karena keadilan Yang
Kuasa telah tiba
raja menyembah rakyat
bersenjatakan trisula
wedha
para pendeta juga pada
memuja
itulah asuhannya Sabdopalon
yang sudah menanggung
malu tetapi termasyhur
segalanya tampak
terang benderang
tak ada yang mengeluh
kekurangan
itulah tanda zaman
kalabendu telah usai
berganti zaman penuh
kemuliaan memperkokoh tatanan jagad raya semuanya menaruh rasa hormat yang
tinggi
|
Sementara itu kisah pertemuan dan pembicaraan antara Sabdo Palon, Prabu
Brawijaya, dan Sunan Kalijaga hingga perpisahannya diceritakan di dalam Serat
Dharma Gandhul. Dari perpisahan itu dan janji Sabdo Palon akan hadir kembali
tertulis di dalam Serat Sabdo Palon. Berikut cuplikan ungkapan Sabdo Palon di
dalam Serat Sabdo Palon :
3.
Sabda Palon matur sugal, “Yen
kawula boten arsi, Ngrasuka agama Islam, Wit kula puniki yekti, Ratuning Dang
Hyang Jawi, Momong marang anak putu, Sagung kang para Nata, Kang jurneneng
Tanah Jawi, Wus pinasthi sayekti kula pisahan.
Ø Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba
tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang
se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa.
Sudah digaris kita harus berpisah.
4. Klawan Paduka sang Nata, Wangsul maring sunya ruri, Mung kula matur
petungna, Ing benjang sakpungkur mami, Yen wus prapta kang wanci, Jangkep
gangsal atus tahun, Wit ing dinten punika, Kula gantos kang agami, Gama Buda
kula sebar tanah Jawa.
Ø Berpisah dengan Sang Prabu kembali
ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun
saya akan mengganti agama, Gama Buda saya sebar seluruh tanah Jawa.
5.
Sinten tan purun nganggeya, Yekti
kula rusak sami, Sun sajekken putu kula, Berkasakan rupi-rupi, Dereng lega kang
ati, Yen durung lebur atempur, Kula damel pratandha, Pratandha tembayan mami,
Hardi Merapi yen wus njeblug mili lahar.
Ø Bila ada yang tidak mau memakai,
akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah
hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan
datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan
laharnya.
6.
Ngidul ngilen purugira, Ngganda
banger ingkang warih, Nggih punika medal kula, Wus nyebar agama budi, Merapi
janji mami, Anggereng jagad satuhu, Karsanireng Jawata, Sadaya gilir gumanti,
Boten kenging kalamunta kaowahan.
Ø Lahar tersebut mengalir ke Barat
Daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai
menyebarkan agama Budi. Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir
Hyang Widi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.
7.
Sanget-sangeting sangsara, Kang
tuwuh ing tanah Jawi, Sinengkalan tahunira, Lawon Sapta Ngesthi Aji, Upami
nyabrang kali, Prapteng tengah-tengahipun, Kaline banjir bandhang, Jerone
ngelebne jalmi, Kathah sirna manungsa prapteng pralaya.
Ø Kelak waktunya paling sengsara di
tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang
sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar,
dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.
8.
Bebaya ingkang tumeka, Warata sa
Tanah Jawi, Ginawe kang paring gesang, Tan kenging dipun singgahi, Wit ing
donya puniki, Wonten ing sakwasanipun, Sedaya pra Jawata, Kinarya amertandhani,
Jagad iki yekti ana kang akarya.
Ø Bahaya yang mendatangi tersebar
seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan
tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut
sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.
tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut
sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.
Dari perjalanan spiritual selama ini telah terjawab bahwa siapa
sejatinya Sabdo Palon atau dikenal juga dengan nama “Semar” adalah beliau Dang
Hyang Nirartha / Mpu Dwijendra / Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Dalam kaitan
fenomena ini yang terpenting lagi bagi kita adalah bagaimana menjalankan Dharma
sesuai dengan amanah kegaiban beliau di tengah carut marut kehidupan negeri ini
serta pro-kontra dalam pelaksanaan menjalankan amanah beliau yang semestinya
melibatkan seluruh anak cucu leluhur Nusantara yang “terpanggil”.
Semoga forum Seminar sehari ini selain mampu memberikan pemahaman atas
apa yang menjadi topik bahasan, juga mampu meningkatkan kesadaran dan
kebersamaan dalam Dharma dengan semangat Memayu Hayuning Bawono.
Rahayu…
Didukung oleh: Bapekhind BNI, JB, G'DE.
-------------------------------------------------------o0o----------------------------------------------------
3
Asal Mula Alam Semesta
Asal Mula Alam Semesta
Alam semesta atau jagat raya
ini dahulu kala pernah tidak ada, lalu ada, kemudian tidak ada lagi dan
demikian seterusnya berulang-ulang kali. Pada saat alam ini meng-ada- disebut srsti atau Brahma diwa (siang hari Brahma) dan ketika
alam ini meniada disebut pralaya atau Brahma nakta(malam hari Brahma disebut satu hari hari Brahma atau satu kalpa).
Proses (peristiwa) mengadakan
alam ini berlangsung secara berjenjang dari jenjang yang teramat gaib/halus
sampai pada jenjang yang tampak berwujud/kasar. Adapun prosesnya demikian :
Ketika tidak apa-apa, yang ada
hanyalah Tuhan Paramasiwa atau Nirguna Brahma yang berwujud sunyi sepi, kosong
dan hampa, kemudian Tuhan Paramasiwa/Nirguna Brahma menjadikan diriNya Sadasiwa
atau saguna Brahma. Pada jenjang ini Tuhan telah menjadi/berwujud/berbadan
Purusan dan Prakriti. Purusa adalah unsur dasar yang bersifat kejiwaan,
sedangkan Prakriti adalah unsur dasar yang bersifat kebendaan. Baik Purusa dan
Prakriti sifatnya kedua-duanya tak dapat diamati dan tanpa permulaan, seperti
dijelaskan dalam kitab Bhagawad Gita berikut ini :
Prakrtim purusam cai va
Viddhy anadi ubhavapi
Vikarams ca gunams cai va
Viddhi prakrtisambhavan
(Bhagawag Gita, XIII. 19)
Artinya :
Ketahuilah bahwa Prakriti dan
Purusan kedua-duanya adalah tanpa permulaan, dan ketahui juga bahwa segala
bentuk ketiga guna lahir dari Prakrti.
Purusa dan Prakti inilah
kemudian bekerja sama yang menyebabkan adanya alam semesta ini, secara
bertingkat/berjenjang. Kerja sama Purusa dan Prakrti ini dilukiskan sebagai
kerja sama antara seorang yang melek lumpuh dengan seorang yang kuat namun
buta. Dengan kerja samanya itulah mereka baru bisa melakukan atau membuat
sesuatu.
Prakrti yang merupakan azas
kebendaan, memiliki Triguna, yaitu : Satwa, Rajas dan Tamas. Satwa sifat
dasarnya adalah terang dan menerangi. Rajas sifat dasarnya aktif dan dinamis,
sedangkan Tamas sifat dasarnya adalah berat dan gelap. Akibat adanya kerja sama
Purusa dengan Prakrti ini menyebabkan kekuatan Triguna ini dapat berimbang.
Pertama-tama kekuatan Satwa yang lebih besar dari Rajas dan Tamas maka lahirlah
yang disebut Mahat yang berarti yang agung dari Mahat ini kemudian munculah Budhi. Budhi
adalah azas atau benih kejiwaan tertinggi. Fungsinya adalah untuk menentukan
keputusan. Budhi sifatnya Satwa, sehingga keputusannya tentu bersifat
bijaksana. Selanjutnya dari Budhi ini lahirlah yang disebut Ahamkara yaitu azas kedirian (individuasi). Fungsinya
adalah untuk merasakan. Kemudian dari Ahamkara ini lahirlah Manas, yaitu akal atau pikiran yang berfungsi untuk
berpikir. Dari Manas selanjutnya lahir Panca Tanmatra, yaitu 5 unsur yang
halus, yaitu :
sabda tanmatra (sari suara)
sparsa tanmatra (dari rabaan)
rupa tanmatra (sari warna)
rasa tanmatra (sari rasa)
gandha tanmatra (sari bau)
Perkembangan selanjutnya dari
Panca Tanmatra adalah Panca Mahabhuta, yaitu 5 unsur kasar, yaitu P:
Akasa (ether atau ruang)
Wayu (hawa atau udara)
Teja (api)
Prtiwi (tanah)
Panca Mahabhuta inilah
kemudian berkembang menjadi alam semesta ini dengan segala isinya, seperti
matahari, bumi, bulan, planit yang disebutBrahmanda.
Demikian juga gunung-gunung, sungai-sungai, pohon-pohon, bintang-bintang dan
juga manusia serta yang lainnya.
Jadi jelaslah bahwa alam
semesta ini dengan segenap isinya lahir dan mengalir dari tubuh Tuhan hingga
pada saatnya nanti akan kembali lagi ke dalam tubuhNya yang sunyi. Demikianlah
dinyatakan di dalam Bhuwana Kosa.
Mangakana pwa Bhatara Siwa irikang tattwa kabeh,
ri wekasan lina ring sira mwah, nihan drtopamanya kadyangganing wereh makweh
mijilnya tunggal ya sakeng way.
(Bhuwana Kosa, 1p, 22b)
Artinya :
Demikianlah halnya Bhatara
Siwa (Tuhan), keberadaanNya pada segala makhluk, pada akhirnya akan kembali
pula kepadaNya, demikian umpamanya, bagaikan buih banyak timbulnya, tunggallah
itu asalnya dari air.
Referensi:
4
Kamasastra
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Angayubagya kami haturkan kehadapan Ida Sang Hyang Widdhi Wasa atas segala anugerahNya
telah menurunkan ilmu pengetahuan suci Kāmaśāstra bagi
kebahagiaan manusia di mayapada ini. Atas kamayang telah Beliau
berikan maka penulis dapat menyelesaikan karya ini sebagai dharma seorang sisya dan karya kecil ini akan menjadi artha paling berharga bagi penulis sebagai widya yang menerangi kehidupan
sepanjang masa.
Sebuah keraguan menyeruak dalam lubuk sanubari penulis
karena akan menulis hal yang sangat rahasia dan sering dihujat umum, sekaligus
dipuja dan dicari oleh banyak orang. Itulah Kāmaśāstra, yang menelanjangi seksualitas manusia sampai ke kedalaman yang tak lagi
terjangku oleh pikiran manusia. Dalam sastra nan suci inilah,
hubungan ilahi Siwa-Parwati,
Kama-Ratih diejawantahkan ke
dunia nyata selayaknya suami-isteri yang sedang memadu kasih, menikmati
persetubuhan, dan akhirnya terhempas dalam puncak kenikmatan surgawi ketika kama telah diraih. Akhirnya, karya ini menyampaikan pesan para dewa untuk para grehastin agar senantiasa menjaga biduk rumahtangga di atas landasan dharma, artha,dan kama untuk mencapai kebahagiaan abadi, moksa.
Tan hana wwang swasta anulus………….
Tidak ada manusia yang sempurna.
NANANG SUTRISNO, S.Ag
PENDAHULUAN
Selama ini seksualitas seringkali dipahami sebagai
sesuatu yang tabu untuk dibicarakan apalagi jika itu dikaitkan dengan agama.
Sudah barang tentu banyak yang menolak kalau pembicaraan porno dilakukan dalam
konteks beragama. Akan tetapi Hindu memberikan pandangan yang berbeda tentang seksualitas.Dalam Hindu seksualitas dipandang sebagai hal yang sakral dalam kehidupan
manusia sebab secara implisit termuat dalam ajaran catur purusārtha, yaitu dharma, artha, kama, dan moksa. Salah satu tujuan hidup manusia adalah terpenuhinya nafsu atau keinginan (kama) yang mendorong
orang berbuat sesuatu; yang membuat orang bergairah dalam hidup ini (Sura,
1993: 92). Salah satu wujud kama adalah pemenuhan terhadap kebutuhan seks (Utama, 2004:
3).
Persoalan seks rupanya telah menjadi topik menarik
yang menggelitik minat para sastrawan sejak zaman dahulu kala hingga
sastrawan-sastrawan modern belakangan ini. Seksualitas tampaknya menjadi
inspirator para sastrawan untuk menggugah rasa estetik, khususnya srenggara rasa (rasa birahi) sehingga karya sastranya menjadi lebih
hidup dan menarik untuk dibaca. Banyaknya karya sastra yang mengeksplorasi
seksualitas menunjukkan adanya kecenderungan bahwa masalah seksualitas telah
menjadi masalah yang sangat penting dalam kehidupan manusia dari zaman ke
zaman. Pada zaman Hindu kuno misalnya, muncul kitab-kitab Kamasastra dan yang paling terkenal ditulis oleh Watsyayana, yaituKama Sutra. Di China mempunyai buku Shu Ni
Jing, Hung Lou Meng dan Yin Yuan Thu yang membahas seks secara hampir sempurna (Hariwijaya, 2004: 41). Dalam
kesusasteraan Hindu Indonesia juga muncullontar-lontar berbahasa Jawa Kuno,
antara lain lontar Rsi
Sambhina, Rahasya Sanggama, Yaning Stri Sanggama dan lain-lain. Dalam sastra-sastra Jawa Tengahan di Jawa, lahir
sastra-sastra yang membicarakan seksualitas di antaranya, Serat Nitimani, Serat Kamaweda, dan Serat
Centhini. Di zaman modern ini,
masalah seksualitas bukan saja hanya ditulis oleh novelis-novelis picisan
seperti Fredy S., Mila Karmelia, dan lain-lain, melainkan juga sudah menjadi
konsumsi publik sehingga sangat mudah diakses dalam media massa dan internet.
Sementara itu, masalah seksualitas tidak hanya ada
dalam karya-karya sastra Hindu, tetapi juga ada dalam bentuk arsitektur,
pahatan, relief-relief, arca dan sebagainya. bahkan, beberapa simbol seksual
sepertilingga-yoni menjadi bangunan utama dalam sebuah candi atau pura.
Salah satu Kuil penting di India yang bernama Khajuraho menampilkan pahatan-pahatan tentang berbagai macam posisi dan ritual sekskamasutra. Menurut Anand Krishna (2000) bahwa kamasutra adalah tantra. Setelah para siswa tersebut selesai belajar teori kamasutra, mereka diajak oleh guru spiritual tersebut ke Kuil Khanjuraho. Di kuil
itulah mereka menuntaskan ajaran spiritual sekaligus belajar teknik percintaan kamasutra. Di Jawa, terdapat dua buah candi peninggalan Majapahit akhir, yaitu Candi Cetho dan Candi Sukuh yang sering disebut candi lanang (candi laki-laki) dan candi
wadon (candi wanita). Di Candi Cetho yang juga disebut sebagai candi lanang terdapat sebuah
gambaran phalus atau alat kelamin laki-laki yang dalam kepercayaam
Hindu disebut Lingga. Sebaliknya, di Candi Sukuh terdapat sebuah
simbol vagina (alat kelamin wanita) yang dalam kepercayaan Hindu
disebut Yoni. Di Bali, juga banyak terdapat simbol lingga-yoni di beberapa Pura. Bahkan, arca Kebo Edan di Pejeng, juga menggambarkan
sebuah bentuk Lingga,berupa Phalus yang sangat besar.
Oleh karena ajaran seksual dalam Hindu berkaitan erat dengan ajarantantra dan merupakan bagian dari veda, yaitu bagian upaveda maka semakin jelas bahwa seksualitas adalah sakral menurut Hindu.
Kama adalah bagian penting dalam kehidupan manusia yang harus dicapai demi
kebahagiaan duniawi,jagadhita. Dalam hal kama sebagai seks maka
ajaran kamasastra bertujuan untuk memberikan ajaran-ajaran seksualitas
yang benar bagi para grehastin agar tercapai kebahagiaan rumahtangga. Oleh sebab itu
perkawinan bagi Hindu adalah hal yang sangat sakral karena seksual hanya bagi
mereka yang telah berkeluarga, bukan bagi brahmacarya dan
perlahan-lahan harus ditinggalkan oleh mereka yang telah menjalani hidup wanaprasta dan bhiksuka. Rupanya hal ini tidak dipahami oleh manusia modern
dewasa ini sehingga banyak yang menyalahgunakan seksualitas hanya demi
kesenangan semata, terutama dapat diamati dari munculnya fenomena seks bebas di
kalangan remaja, maraknya perselingkuhan dan sebagainya.
Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas tentang Kamasastra, yaitu ilmu bercinta menurut Hindu. Pembahasan utama dalam makalan ini
adalah Kamasutra karya Watsyayana Mallannaga, seorang tabib besar di
India pada masa itu. Ilmu pengetahuan tentang cinta dan Kamasastra dimasukkan di dalam bagian Vajikarana dari Ayurveda. Pembahasan yang paling dahulu ditulis tentang topik ini adalahKamasutra (Sudharta, 2006: 15). Inilah yang mendasari bahwa Kamasutralah yang akan dibahas dalam makalah singkat ini.
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kamasastra
Kamasastra berasal dari dua kata, yaitu kama dan sastra. Kama berarti keinginan dan nafsu yang mendorong orang berbuat sesuatu; yang
membuat orang bergairah dalam hidup ini (Sura, 1993: 92). Dalam bahasa
Sansekerta, kama berarti keinginan, cinta kasih, kasih sayang, nafsu,
kesenangan sensual, dan sejenisnya. Kama juga dapat dinyatakan
sebagai Dewa Cinta yang dalam beberapa hal sama dengan Cupido dan Eros
(Maswinara, 1997: 4-5).
Dalam rumusan konsep catur purusārtha, yaitu dharma, artha, kama dan moksa dijelaskan bahwa kamaadalah keinginan yang harus dicapai berdasarkan dharma (Sudharta, 2002). Kata kama juga ditemukan dalam konsep sad ripu, yaitu enam musuh yang ada dalam diri manusia. Suka Yasa (2005) menjelaskan
bahwa kama berarti keinginan yang mendorong manusia untuk
mendapatkan segala sesuatu sebagai akibat dari kebodohannya (awidya/moha).
Dalam beberapa Smrti seringkali dikatakan
seolah-olah antara dharma,
artha, dan kama, saling berbeda antara satu dengan yang lainnya, yang satu lebih tinggi dari
yang lain. Dalam Arthasastra dikatakan bahwaartha yang tertinggi di
antara dharma dan kama, sedangkan Dharmasastra mengatakan
bahwadharma-lah yang tertinggi di antara kama dan artha, maka demikian halnya dengan Kamasastramengatakan bahwa kama-lah yang tertinggi di antara ketiganya. Hal ini dapat
dilihat dari Mahabharata,bagian Santiparwa 167 yang menyatakan
bahwa:
“Orang tanpa memiliki kama tidak akan pernah menginginkan artha dan orang tanpa
memiliki kama, juga tak akan pernah menginginkan dharma. Orang yang kurang memiliki kama tak akan pernah dapat
merasakan dan berkeinginan. Dengan alasan ini maka kama merupakan yang terpenting dari ketiganya. Segala sesuatunya diliputi oleh
prinsip-prinsip kama. Seseorang yang berada di luar tonggak kama tak akan pernah ada sekarang, masa lalu, ataupun masa depan di dunia ini.
Seperti keju yang merupakan inti dari dadih susu, demikian pula kama merupakan inti dari artha dan dharma. Minyak lebih baik daripada minyak biji-bijian. Mentega
dan buah lebih baik daripada susu asam. Bunga dan buah lebih baik dari pada
pohonnya. Demikian pula halnya, kama lebih baik daripada artha dan dharma. Seperti madu disarikan dari bunga-bunga, demikian pula kama disarikan dari keduanya itu. Kama merupakan orangtua
dari dharmadan artha, dan kama merupakan roh dari keduanya itu” (Maswinara, 1997:
14).
Sesungguhnya adalah suatu kebodohan memperlakukan dharma, artha, dan kama sebagai yang berbeda, yang satu lebih tinggi dari yang
lain karena ketiganya adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Ketiganya saling
kait-mengait karena dharma tanpa kama hanya akan ada dalam
ide saja, tidak akan ada tindakandharma apapun, sedangkan kama tanpa dharma juga akan tersesat. Tanpa artha, juga dharma dan kamatidak akan terlaksana. Oleh karena ketiga-tiganya
penting maka setiap Maharsi memposisikan salah satu di antara yang tiga itu
sebagai pokok bahasan yang utama untuk mempertajam pemaknaan sesuai dengan
kepentingan dan tujuan penulisan karya sastranya. Dengan demikian ketiganya
harus berjalan bersama-sama sebagai tahapan untuk mencapai tujuan hidup yang
lebih tinggi, yaitu moksa.
Salah satu wujud kama adalah pemenuhan
terhadap kebutuhan seks (Utama, 2004:3). Sejalan dengan itu Schopenhauer
berpendapat bahwa hasrat seks merupakan manifestasi dari kemauan akan hidup
yang paling banyak memotivasi gerak hidup manusia, selain tentunya dorongan
untuk mencari makan (Gunawan, 1993: 27). Sementara itu, kata kama juga ditemukan dalam konsep kanda pat di Bali, yaknikama petak dan kama
bang. Kata kama pada dua kata ini bermakna spermatozoa (kama petak) dan ovum(kama
bang) yang keduanya merupakan benih
kehidupan manusia. Dari beberapa pengertian tersebut maka dalam tulisan ini
kata kama yang dimaksud adalah kama sebagai keinginan atau nafsu yang erat keitannya dengan seksualitas.
Sementara itu kata “sastra” dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia (Badudu-Zein, 1994: 1227) memiliki beberapa arti, antara lain (1)
bahasa berseni yang menggunakan kata-kata yang muluk-muluk, susuna kata yang
menarik, yang menggugah rasa keindahan dan rasa haru; (2) karya seni yang dilukiskan
dengan bahasa seperti puisi, prosa (roman, novel, cerita pendek, drama); (3)
kitab suci (Hindu); (4) primbon yang berisi ramalan; (5) pada mulanya juga
berarti tulisan atau huruf. Sedangkan kata kesusasteraan berarti segala sesuatu
yang bersangkut paut dengan karya sastra. Dari beberapa pengertian ini maka
kata sastra yang digunakan dalam tulisan ini adalah sesuai dengan pengertian
nomor 3 (tiga), yakni sastra sebagai kitab suci (Hindu). Sejalan dengan ini
setiap kata sastra menurut Hindu selalu berhubungan dengan kitab suci atau
setidaknya di dalamnya mengandung ajaran-ajaran agama misalnya, Arthasastra (sastra tentangartha/ilmu politik dan kepeminpinan Hindu), Dharmasastra (sastra tentang Dharma), Nitisastra (sastra tentang niti/kepemimpinan dan
etika) dan sebagainya.
Dari dua pengertian mengenai kama dan sastra di atas dapat disimpulkan bahwa Kamasastra adalah sastra tentang kama. Dalam tulisan ini Kamasastra dimaknai sebagai semua sastra Hindu yang berhubungan dengan seksualitas.
Oleh karena yang dimaksud adalah sastra Hindu maka pembahasan ini melingkupi
keseluruhan susastra
Weda, baik Sruti maupun Smerti, terutama yang ada kaitannya dengan Kamasutra itu sendiri.
Kedudukan Kamasastra dalam Kesusasteraan Veda
2.2 Kedudukan Kamasastra dalam Kesusasteraan Veda
Weda adalah wahyu atau sabda suci Tuhan Yang Maha Esa
yan diterima oleh para Maharsi. Weda sebagai sumber ajaran agama Hindu terdiri
atas kitab Sruti dan Smerti. Sruti berarti apa yang didengar, wahyu dari Tuhan
yang terdiri atas empat kitab antara lain, Rg Veda, Sama Veda, Yajur Veda, dan
Atharva Veda. Sebaliknya, Smerti adalah kitab yang menguraikan komentar
penjelasan atau tafsir atas wahyu tersebut. Secara garis besar kitab Smerti
dapat dibagi dua, yaitu kelompok Wedangga (terdiri atas Siksa, Wyakarana,
Cnadha, Nirukta, Jyotisa, dan Kalpa) dan kelompok Upaveda (terdiri atas
Itihasa, Purana, Arthasastra, Ayur Veda, Gandharva Veda, Kamasastra, dan Agama)
(Putra dkk,. 1985: 9-19).
Meskipun demikian keduanya tidak dapat diragukan sebagai kitab suci Hindu. Hal ini dijelaskan dalam Manusmerti atau Manawadharmasastra II.10 sebagai berikut.
Srutistu wedo wijneyo dharmasastram tu wai Smrtih, te sarwarthāwam imamsye tathyam dharmahi nirbabhau.
Meskipun demikian keduanya tidak dapat diragukan sebagai kitab suci Hindu. Hal ini dijelaskan dalam Manusmerti atau Manawadharmasastra II.10 sebagai berikut.
Srutistu wedo wijneyo dharmasastram tu wai Smrtih, te sarwarthāwam imamsye tathyam dharmahi nirbabhau.
Artinya:
Sesungguhnya Sruti (wahyu) adalah Weda demikian pula Smrti itu adalah Dharmasastra, keduanya harus tidak boleh diragukan dalam hal apapun juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber dari hukum suci itu (dharma).
Sesungguhnya Sruti (wahyu) adalah Weda demikian pula Smrti itu adalah Dharmasastra, keduanya harus tidak boleh diragukan dalam hal apapun juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber dari hukum suci itu (dharma).
Demikianlah antara Sruti dan Smrti tidak dapat
dipisah-pisahkan sebagai kitab suci Hindu yang mengajarkan pada seluruh umat
manusia untuk hidup berdasarkan dharma. Telah dijelaskan di atas bahwa Smrti
adalah apa yang diingat oleh para Rsi. Apa yang diingat itu selanjutnya
direfleksikan menjadi ajaran-ajaran Smrti yang menjadi tuntunan hidup manusia.
Oleh sebab itulah Smrti, juga dikatakan sebagai tafsir atau komentar penjelasan
terhadap Sruti.
Smrti pada umumnya dibedakan menjadi dua, yaitu Wedangga dan Upaweda. Kamasastra adalah bagian dari Upaveda, yaitu kitab Smrti yang membahas tentang seksualitas (kama). Kamasastra bukan berarti hanya satu kitab saja melainkan pengelompokan dari karya-karya sastra yang membicarakan tentang kama. Jadi, seluruh kitab yang pada dasarnya membicarakan tentang kama dapat digolongkan dalam Kamasastra. Salah satu Kamasastra yang terkenal adalah karya Watsyayana Mallanaga, yaitu Kamasutra.
Oleh karena Smrti adalah bersumber dari Sruti maka pembahasan Kamasastra ini dimulai dari kitab Sruti. Kitab Sruti yang dijadikan sumber kajian pada kesempatan ini adalah Rg Veda, mandala 10, dengan pertimbangan bahwa Rg veda, mandala 10 adalah yang terpenting karena menunjukkan kebenaran yang mutlak (Putra, dkk., 1985/1986: 10). Dalam Rg Veda, Mandala 10, Sukta 5, sloka 3 dinyatakan:
Ritāyini māyini sàm dadhāte mithvā isum jajnatur vardhayanti
Visvasya nabhim càrato dhruvāsya kaves cit tantum manasa viyàntah.
Terjemahannya:
Pasangan suci itu dengan kekuatan yang mengagumkan menjadi satu pasang; mereka membentuk bayi, mereka yang memelihara melahirkan dia, titik pusat dari segala yang bergerak dan yang diam, pada saat mereka menganyam benang, Pendeta membaca mantra dengan hati-hati.
Smrti pada umumnya dibedakan menjadi dua, yaitu Wedangga dan Upaweda. Kamasastra adalah bagian dari Upaveda, yaitu kitab Smrti yang membahas tentang seksualitas (kama). Kamasastra bukan berarti hanya satu kitab saja melainkan pengelompokan dari karya-karya sastra yang membicarakan tentang kama. Jadi, seluruh kitab yang pada dasarnya membicarakan tentang kama dapat digolongkan dalam Kamasastra. Salah satu Kamasastra yang terkenal adalah karya Watsyayana Mallanaga, yaitu Kamasutra.
Oleh karena Smrti adalah bersumber dari Sruti maka pembahasan Kamasastra ini dimulai dari kitab Sruti. Kitab Sruti yang dijadikan sumber kajian pada kesempatan ini adalah Rg Veda, mandala 10, dengan pertimbangan bahwa Rg veda, mandala 10 adalah yang terpenting karena menunjukkan kebenaran yang mutlak (Putra, dkk., 1985/1986: 10). Dalam Rg Veda, Mandala 10, Sukta 5, sloka 3 dinyatakan:
Ritāyini māyini sàm dadhāte mithvā isum jajnatur vardhayanti
Visvasya nabhim càrato dhruvāsya kaves cit tantum manasa viyàntah.
Terjemahannya:
Pasangan suci itu dengan kekuatan yang mengagumkan menjadi satu pasang; mereka membentuk bayi, mereka yang memelihara melahirkan dia, titik pusat dari segala yang bergerak dan yang diam, pada saat mereka menganyam benang, Pendeta membaca mantra dengan hati-hati.
Sloka di atas mengungkapkan bahwa ada dua kekuatan
yang merupakan sumber dari segala ciptaan yang ada di dunia ini. Ketika
keduanya bertemu maka terjadilah penciptaan. Hal ini diperjelas lagi dengan
ajaran filsafat Samkhya bahwa dua asas penciptaan dunia adalah Purusa dan
Prakerti. Inilah yang mendasari penulisan kitab-kitab kamasastra bahwa dua
unsur (pasangan) yang maskulin dan feminin, laki-laki dan perempuan merupakan
pertemuan suci yang akan menghasilkan keturunan-keturunan demi keberlanjutan
dunia ini.
Di samping itu, Atharva Veda: 6.130.2, menjelaskan sebagai berikut.
“Asau me Smaratāditi priyo me smaratāditi, Devāh pra hinuta smaramasau māmanu śocatu”
Terjemahannya:
Semoga istriku selalu mengingatku. Demikian pula suamiku agar selalu mengingatku. Para Dewa membangkitkan keinginan kama kami sehingga kami suami/istri selalu memikirkannya. (Somvir, 2001: 125).
Di samping itu, Atharva Veda: 6.130.2, menjelaskan sebagai berikut.
“Asau me Smaratāditi priyo me smaratāditi, Devāh pra hinuta smaramasau māmanu śocatu”
Terjemahannya:
Semoga istriku selalu mengingatku. Demikian pula suamiku agar selalu mengingatku. Para Dewa membangkitkan keinginan kama kami sehingga kami suami/istri selalu memikirkannya. (Somvir, 2001: 125).
Dari Sruti inilah ajaran Kamasastra berkembang, baik
di India maupun di Indonesia. Sayangnya, baru ada satu kitab Kamasastra dari
India yang berhasil diterjemahkan di Indonesia, yaitu Kamasutra karya
Watsyayana sehingga belum ada pembanding antara Kamasutra dengan kitab
Kamasastra lainnya. Sementara itu di Indonesia, seksualitas banyak menjadi
inspirator lahirnya karya-karya sastra Hindu seperti misalnya Kakawin Arjuna
Wiwaha, Rasmi Sancaya, Siwagama, dan lain-lain.
Selayang Pandang Kamasutra
2.3 Kamasutra
2.3.1 Selayang Pandang Kamasutra
Kamasutra telah menjadi bahan diskusi menarik bagi para Seksolog, Indolog, Sejarawan, dan sarjana-sarjana lainnya karena isinya yang luar biasa. Bahkan, Kamasutra telah menjadi ikon seksualitas di dunia, bukan saja karena kevulgarannya dalam mengungkap seksualitas para pangeran di India tetapi lebih menarik ajaran-ajaran moralitas yang ada di dalamnya. Hal ini dipertegas lagi bahwa Watsyayana, penulis Kamasutra adalah seorang moralis, ilmuwan sosial dan budaya yang menggunakan pengalamannya guna kebahagiaan dan kebaikan umat manusia (Maswinara, 1997: 48).
Kamasutra adalah sutra yang membahas tentang kama. Dalam kesusastraan Hindu, sutra berarti karya sastra yang ditulis dengan kalimat-kalimat pendek. Banyak sekali kitab suci Hindu yang ditulis dalam bentuk sutra-sutra misalnya, Yogasutra, Srautasutra, Grhyasutra, Dharmasutra, Pitrmedhasutra, prayascitasutra, dan lain-lain. Kamasutra yang paling terkenal diyakini ditulis oleh Watsyayana. Sesungguhnya masih banyak Kamasutra-Kamasutra lainnya, tetapi tidak ada sumber yang jelas dan kebanyakan tidak dapat dikenali lagi karena terbungkus dalam legenda. Menurut legenda ada beberapa penulis Kamasutra yang memiliki beberapa eksistensi historis di antaranya Nandin yang dikatakan telah menulis Kamasastra sebanyak 1000 bab, dan selanjutnya Swetaketu atau Dattaka yang diyakini mengarang kama 500 bab. Mengenai Swetaketu terdapat dalam Brhadaranyaka Upanisad yang menceritakan tentang perdebatan filosofis mengenai simbolisme seksual.
Karya Nandin selanjutnya diringkas lagi oleh Babhrawya dan belakangan diketahui bahwa Watsyayana membicarakan karya Nandin yang berjumlah 150 bab itu. Penyusun lain yang juga dikutip oleh Watsyayana seperti, Gonikaputra, Ghotamukha, Gonarda, Carayana, dan Suwarnabha juga menulis berbagai aspek tentang masalah kama. Rupanya Watsyayana telah membicarakan sebagian besar karya-karya ini sementara ia menulis Kamasutra-nya sendiri yang dibagi menjadi 7 bagian, 36 bab dan 64 topik permasalahan.
Penetapan waktu dari Watsyayana masih tetap menjadi masalah bagi beberapa orang peneliti. Akan tetapi para sarjana bersepakat untuk menetapkan bahwa Kamasutra ditulis sekitar abad ke-VI sebelum Masehi hingga abad ke VI setelah Masehi. Rentang waktu ini memang terlalu panjang dan semakin menambah kekaburan tentang kapan sesungguhnya Kamasutra ditulis. Artinya, secara historis Kamasutra tidak dapat dilacak secara pasti. `
Kamasutra dari Watsyayana diakui sebagai salah satu kitab Hindu terbesar dan dapat disejajarkan dengan sastra Hindu lainnya seperti, Kautilya Arthasastra maupun Manawa Dharmasastra. Kamasutra yang secara spesifik membicarakan masalah seksualitas dan erotisme rupanya tidak melepaskan dirinya dari spiritualitas yang selama ini telah menjadi simbol mistikisme India sehingga kedudukan Kamasutra sebagai sastra spiritual tidak dapat diragukan lagi. Paling tidak ada lima ulasan tentang itu tak termasuk Watsyayana Sutra Sawa oleh Ksemendra. Karya bangsa India terkenal lainnya menganai kama termasuk Rati Rahasyam oleh Kokkola yang mungkin disusun di sekitar abad ke-XII sesudah Masehi dan ia sendiri paling tidak memiliki empat ulasan. Ananga Ranga, kemungkinan merupakan naskah yang paling terkenal setelah Kamasutra yang disusun sekitar abad ke-XV sesudah Masehi oleh Kalyanamalla. Ada juga beberapa karya sastra minor mengenai seksualitas dan erotika ini di India (Maswinara, 1997: 10). Artinya, orang India begitu cerdas dalam menyeimbangkan sisi spiritualitas dan materialitas untuk mendapatkan kesempurnaan hidup yang sejati, jagadhita dan moksa.
Kamasutra telah menjadi bahan diskusi menarik bagi para Seksolog, Indolog, Sejarawan, dan sarjana-sarjana lainnya karena isinya yang luar biasa. Bahkan, Kamasutra telah menjadi ikon seksualitas di dunia, bukan saja karena kevulgarannya dalam mengungkap seksualitas para pangeran di India tetapi lebih menarik ajaran-ajaran moralitas yang ada di dalamnya. Hal ini dipertegas lagi bahwa Watsyayana, penulis Kamasutra adalah seorang moralis, ilmuwan sosial dan budaya yang menggunakan pengalamannya guna kebahagiaan dan kebaikan umat manusia (Maswinara, 1997: 48).
Kamasutra adalah sutra yang membahas tentang kama. Dalam kesusastraan Hindu, sutra berarti karya sastra yang ditulis dengan kalimat-kalimat pendek. Banyak sekali kitab suci Hindu yang ditulis dalam bentuk sutra-sutra misalnya, Yogasutra, Srautasutra, Grhyasutra, Dharmasutra, Pitrmedhasutra, prayascitasutra, dan lain-lain. Kamasutra yang paling terkenal diyakini ditulis oleh Watsyayana. Sesungguhnya masih banyak Kamasutra-Kamasutra lainnya, tetapi tidak ada sumber yang jelas dan kebanyakan tidak dapat dikenali lagi karena terbungkus dalam legenda. Menurut legenda ada beberapa penulis Kamasutra yang memiliki beberapa eksistensi historis di antaranya Nandin yang dikatakan telah menulis Kamasastra sebanyak 1000 bab, dan selanjutnya Swetaketu atau Dattaka yang diyakini mengarang kama 500 bab. Mengenai Swetaketu terdapat dalam Brhadaranyaka Upanisad yang menceritakan tentang perdebatan filosofis mengenai simbolisme seksual.
Karya Nandin selanjutnya diringkas lagi oleh Babhrawya dan belakangan diketahui bahwa Watsyayana membicarakan karya Nandin yang berjumlah 150 bab itu. Penyusun lain yang juga dikutip oleh Watsyayana seperti, Gonikaputra, Ghotamukha, Gonarda, Carayana, dan Suwarnabha juga menulis berbagai aspek tentang masalah kama. Rupanya Watsyayana telah membicarakan sebagian besar karya-karya ini sementara ia menulis Kamasutra-nya sendiri yang dibagi menjadi 7 bagian, 36 bab dan 64 topik permasalahan.
Penetapan waktu dari Watsyayana masih tetap menjadi masalah bagi beberapa orang peneliti. Akan tetapi para sarjana bersepakat untuk menetapkan bahwa Kamasutra ditulis sekitar abad ke-VI sebelum Masehi hingga abad ke VI setelah Masehi. Rentang waktu ini memang terlalu panjang dan semakin menambah kekaburan tentang kapan sesungguhnya Kamasutra ditulis. Artinya, secara historis Kamasutra tidak dapat dilacak secara pasti. `
Kamasutra dari Watsyayana diakui sebagai salah satu kitab Hindu terbesar dan dapat disejajarkan dengan sastra Hindu lainnya seperti, Kautilya Arthasastra maupun Manawa Dharmasastra. Kamasutra yang secara spesifik membicarakan masalah seksualitas dan erotisme rupanya tidak melepaskan dirinya dari spiritualitas yang selama ini telah menjadi simbol mistikisme India sehingga kedudukan Kamasutra sebagai sastra spiritual tidak dapat diragukan lagi. Paling tidak ada lima ulasan tentang itu tak termasuk Watsyayana Sutra Sawa oleh Ksemendra. Karya bangsa India terkenal lainnya menganai kama termasuk Rati Rahasyam oleh Kokkola yang mungkin disusun di sekitar abad ke-XII sesudah Masehi dan ia sendiri paling tidak memiliki empat ulasan. Ananga Ranga, kemungkinan merupakan naskah yang paling terkenal setelah Kamasutra yang disusun sekitar abad ke-XV sesudah Masehi oleh Kalyanamalla. Ada juga beberapa karya sastra minor mengenai seksualitas dan erotika ini di India (Maswinara, 1997: 10). Artinya, orang India begitu cerdas dalam menyeimbangkan sisi spiritualitas dan materialitas untuk mendapatkan kesempurnaan hidup yang sejati, jagadhita dan moksa.
Pokok-Pokok Ajaran Kamasutra
Telah dikemukakan di atas bahwa Kamasutra dibagi menjadi 7 bagian, 36 bab dan 64 topik permasalahan. 7 (tujuh) bagian pokok dalam Kamasastra dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Sadharana (pembahasan umum)
Pada bagian ini dibahas mengenai Dharma, Artha, dan Kama. Dikatakan bahwa setiap orang dewasa wajib mempelajari dharma, artha dan kama karena ketiganya tidak dapat dilepaskan. Pada masa grehasta orang hendaknya mempelajari artha dan kama demi mendapatkan kebahagiaan dunia (jagadhita) dan ketika usia tua hendaknya mempelajari dharma agar dapat mencapi moksa. Dharma diartikan sebagai ketaatan terhadap perintah-perintah sastra atau kitab suci. Artha adalah pencarian ketrampilan, tanah, emas, ternak, kekayaan, sarana, sahabat, termasuk melindungi apa yang dicari dan menambah apa yang dilindungi. Sedangkan kama adalah kesenangan terhadap objek-objek yang sesuai dengan kelima indria pendengaran, perasaan, penglihatan, pengecap, dan pembau yang dibantu oleh pikiran bersama-sama dengan roh.
Bagian ini juga membicarakan tentang 64 keterampilan-keterampilan serta yang harus dipelajari dariKamasutra sebagai ilmu untuk melengkapi ajaran yang terkandung dalam dharma dan artha. Keterampilan ini terutama harus dipelajari oleh wanita sebelum mereka menikah dan dapat dilanjutkan setelah menikah atas persetujuan suaminya. Keenampuluh empat keterampilan itu sebagai berikut.
(1) Menyanyi
(2) Memainkan alat musik
(3) Menari
(4) Gabungan tari-tarian, nyanyian dan memainkan alat musik
(5) Menulis dan melukis
(6) Mengerjakan tato (rajah)
(7) Menata dan mempercantik patung dengan beras dan bunga
(8) Menyebarkan dan menata bunga-bungan di atas tempat tidur dan di lantai
(9) Mewarnai gigi, pakaian, rambut, kuku, dan badan dengan mengecatnya
(10) Melekatkan kaca berwarna pada lantai
(11) Keterampilan menyiapkan tempat tidur dan menata bantal serta sprei
(12) Memainkan musik gelas yang diisi air
(13) Memenuhi tangki air, bak serta saluran-saluran air lainnya
(14) Membuat gambar, hiasan dan sejenisnya
(15) Merangkai kalung tasbih, rangkaian bungan dan untaian dedaunan
(16) Mengikatkan destar dan untaian bunga serta perhiasan mahkota dari rangkaian bunga
(17) Berperan aktif dipanggung permainan
(18) Keterampilan membuat hiasan telinga
(19) Keterampilan dalam mempersiapkan wewangian
(20) Penataan intan permata serta hiasan pada pakaian
(21) Keterampilan dalam ilmu sihir dan magis lainnya
(22) Kecepatan dan ketangkasan dalam keterampilan manual
(23) Keterampilan dalam masak memasak
(24) Membuat minuman, pencuci mulut, asam dari sari alkohol dan warna yang menarik
(25) Keterampilan dalam bidang jahit menjahit
(26) Pembuatan hiasan dari benang berbentuk bunga, burung, jambul, jumbai, simpul, dan lain sebagainya.
(27) Memecahkan teka-teki, menerka teka-teki dan sejenisnya.
(28) Memainkan permainan berupa pengulangan sloka secara bersambung dengan melanjutkan kata terakhir dengan kata yang sama dan seterusnya.
(29) Keterampilan dalam menyamar.
(30) Keterampilan dalam membaca termasuk melagukan dan menekankan kata.
(31) Mempelajari kata atau kalimat yang sulit diucapkan.
(32) Terampil dalam menggunakan pedang, tongkat, busur dan anak panah.
(33) Menarik kesimpulan, penalaran, dan logika.
(34) Seni pertukangan atau pekerjaan tukang kayu.
(35) Seni arsitektur.
(36) Pengetahuan tentang emas, perak, permata, dan perhiasan lainnya.
(37) Keterampilan dalam bidang ilmu kimia dan mineralogi.
(38) Seni mewarnai perhiasan, permata dan untaian tasbih.
(39) Pengetahuan tentang pertambangan dan penggalian.
(40) Seni pertamanan.
(41) Keterampilan adu ayam, burung puyuh dan adu kambing.
(42) Keterampilan dalam melatih berbicara burung Beo dan Kakaktua.
(43) Keterampilan menggunakan wewangian di badan dan perawatan rambut.
(44) Keterampilan dalam memahami penulisan pada bilah.
(45) Keterampilan berbicara dengan penggubahan bentuk kata-kata.
(46) Pengetahuan tentang bahasa dan logat-logat tertentu.
(47) Keterampilan membuat keranjang bunga.
(48) Keterampilan dalam menyusun diagram mistik, merapal mantra dan jimat
(49) Melatih mental seperti melengkapi sloka atau ayat yang diterima sepenggal-sepenggal dengan sloka-sloka yang lainnya.
(50) Keterampilan dalam mengggubah puisi.
(51) Pengetahuan tentang daftar kata dan kosa kata.
(52) Pengetahuan tentang cara mengubah dan menyamarkan penampilan orang lain.
(53) Pengetahuan tentang seni mengubah penampilan benda-benda kasar menjadi benda yang indah dan apik.
(54) Seni bermain judi.
(55) Keterampilan mendapatkan harta benda dengan menggunakan jampi-jampi.
(56) Keterampilan dalam olah raga.
(57) Pengetahuan tentang aturan masyarakat dan cara menghormati orang lain
(58) Pengetahuan tentang seni peperangan, pasukan, persenjataan.
(59) Pengetahuan tentang senam jasmani (yoga asanas).
(60) Keterampilan untuk mengetahui karakter pria dan penampilannya.
(61) Pengetahuan tentang pengamatan atau penyusuna sloka.
(62) Rekreasi aritmatika.
(63) Pembuatan bunga tiruan.
(64) Seni pembuatan patung atau wujud sesuatu dengan tanah liat.
Keterampilan-keterampilan tersebut pada dasarnya bertujuan untuk menjadi seorang wanita yang benar-benar siap menghadapi kehidupan berumahtangga. Tampaknya beberapa keterampilan di atas merupakan keterampilan yang menjadi kebiasaan laki-laki, misalnya ilmu perang, membuat patung, dan sebagainya. mengenai hal ini, Kamasutra memberikan jawaban yang logis bahwa pengetahuan ini penting diketahui dan oleh seorang wanita ketika suaminya tidak ada di sampingnya misalnya, sedang pergi berperang, sedang melaksanakan tugas ke luar daerah dan sebagainya sehingga wanita itu mampu mengatasi berbagai masalah hidupnya saat berada dalam kesendirian.
Bagian lain yang dibahas dalam bab ini adalah tentang bagaimana seharusnya kehidupan seoranggrehastin dalam bermasyarakat. Seorang yang telah berumahtangga hendaknya memiliki rumah yang layak, besar, sekaligus indah sehingga banyak orang mau mengunjunginya. Agar sebuah keluarga menjadi terpandang di masyarakat maka dia harus melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
(1) Mengadakan pesta perayaan dalam rangka menghormati wujud dewata. Yang dimaksud adalah seseorang harus mengadakan upacara-upacara keagamaan secara berkala dan mengundang banyak orang agar dapat hadir dalam perayaan tersebut.
(2) Seseorang hendaknya mengikuti perkumpulan-perkumpulan sosial dengan kelompok-kelompok yang sederajat, terutama dengan orang-orang terhormat dan juga wanita-wanita penghibur.
(3) Seseorang harus sering mengadakan jamuan atau pesta minum-minuman keras seperti Madhu, Aireya, Sura dan Asawa yang berasa agak pahit dan asam. Kehadiran wanita-wanita penghibur penting untuk menambah kemeriahan suasana.
(4) Setelah melakukan berbagai aktivitas yang padat berhari-hari maka sepasang suami-istri hendaknya pergi ke taman atau berdharmawisata ke tempat-tempat yang menyenangkan.
(5) Orang juga harus melibatkan diri dalam hiburan-hiburan sosial lainnya, misalnya berjudi dan permainan-permainan lainnya.
Kamasutra menyatakan bahwa orang bijaksana hendaknya tidak berlindung kepada masyarakat yang tidak disukai umum, masyarakat yang tanpa aturan hukum, dan masyarakat yang senang mengusik ketenangan warga lainnya. Tetapi, seseorang terpelajar yang hidup dalam masyarakat yang berbuat sesuai dengan keinginan orang-orangnya dan hanya menyenangi hal semacam itu sangat dihormati di dunia ini.
Pada bagian akhir bab ini dijelaskan tentang jenis-jenis wanita yang dilindungi oleh warga, tentang wanita yang tidak layak disukai dan dicintai, tentang sahabat, dan tentang para kurir. Berikut ini adalah daftar wanita yang tidak layak untuk dicintai, sebagai berikut.
(1) yang menderita penyakit Kusta;
(2) yang berpenyakit gila;
(3) yang mengabaikan kastanya;
(4) yang suka membuka rahasia;
(5) yang suka mengungkapkan keinginannya berhubungan badan di muka umum;
(6) yang sangat putih (bule);
(7) yang sangat hitam;
(8) yang penciumannya buruk;
(9) yang merupakan kerabat dekat;
(10) yang menjadi teman wanita sejak kecil;
(11) yang menjalani kehidupan bertapa;
(12) istri dari kerabat dekat, kawan, brahmana terpelajar dan permasuri raja.
Selanjutnya, Kamasutra juga menjelaskan tentang jenis-jenis sahabat sebagi berikut:
(1) Seseorang yang diajak bermain-main bersama sejak kecil.
(2) Orang yang terikat oleh upacara persembahan.
(3) Orang yang perilakunya sama dan menyayangi hal yang sama.
(4) Orang yang merupakan siswa sekelas.
(5) Orang yang dipasrahi menyimpan rahasia dan dapat melaksanakannya.
(6) Orang yang merupakan anak pengasuhmu.
(7) Orang yang membesarkanmu.
(8) Orang yang secara turun temurun sebagai sahabat keluargamu.
Seorang sahabat ini seyogyanya memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
(1) Mereka hendaknya selalu menyatakan kebenaran.
(2) Mereka hendaknya tidak berubah oleh waktu.
(3) Mereka hendaknya mendukung rencana-rencanamu.
(4) Mereka hendaknya mantap dalam berteman.
(5) Mereka hendaknya terbebas dari ketamakan.
(6) Mereka hendaknya tak mampu direbut orang lain.
(7) Mereka hendaknya tidak mengungkapkan rahasiamu.
Tentang sifat-sifat seorang kurir, Kamasutra menjelaskan bahwa mereka haruslah orang-orang yang memiliki sifat sebagai berikut:
(1) Terampil;
(2) Berani;
(3) Memiliki pengetahuan tentang maksud pria dengan tanda-tanda luar mereka;
(4) Tidak bingung dan tidak pemalu;
(5) Memiliki pengetahuan tentang maksud sebenarnya yang dilakukan atau yang dikatakan orang lain;
(6) Memiliki cara yang baik;
(7) Memiliki pengetahuan tentang waktu yang tepat dan sesuai untuk melakukan hal yang berbeda-beda;
(8) Cerdik dalam berurusan;
(9) Memiliki pemahaman yang cepat;
(10) Cepat dalam mengaplikasikan perbaikan, yakni memiliki akal yang selalu siap dan cekatan.
Di bagian akhir bab ini ditutup dengan sebuah sloka sebagai berikut:
“pria yang kreatif dan bijaksana, yang ditemani oleh seorang teman dan yang mengetahui maksud orang lain, demikian pula saat dan tempat yang layak untuk melakukan segala hal, dengan sangat mudah dapat mengatasi bahkan seorang wanita yang sangat sulitpun dapat diperolehnya”
2. Samprayogika (tentang hubungan seksual)
Dalam bab ini secara tuntas ditulis mengenai cara-cara berhubungan seksual untuk mendapatkan kepuasan yang sempurna. Dikatakan bahwa :
“hubungan badan dengan pria membuat nafsu, keinginan atau birahi wanita terpuaskan dan kesenangan yang diperoleh dari kesadaran tentang itu disebut kepuasan mereka”
“pancaran air mani pria hanya berlangsung pada saat akhir hubungan badan, sementara air mani wanita memancar terus menerus; dan setelah air mani keduanya telah tumpah semuanya, lalu mereka ingin menghentikan hubungan badan tersebut”
Kedua sloka di atas menjelaskan bahwa puncak hubungan seksual adalah orgasme, yaitu keluarnya air mani pria dan wanita dipuncak hubungan. Untuk mencapai itu maka diperlukan berbagai macam pengetahuan tentang teknik dan cara berhubungan seksual sebagaimana dijelaskan dalam Kamasutra.
Pertama, setiap pasangan harus memahami ukuran penis (linggam) laki-laki dan ukuran vagina (yoni) sehingga mencapai kenikmatan yang sempurna dalam berhubungan. Penis (linggam) seorang laki-laki dibagi menjadi tiga menurut ukurannya, yaitu (1) kecil (terwelu); (2) menengah (banteng); dan (3) bersemangat (kuda). Sebaliknya, vagina (yoni) perempuan juga dibagi menjadi tiga menurut kedalamannya, yaitu (1) kecil (kijang); (2) menengah (kuda betina); dan (3) bersemangat (gajah). Kenikmatan seksual akan didapatkan apabila masing-masing ukuran sesuai misalnya, jika linggam suami berukuran kecil (terwelu) maka yoni yang cocok adalah yang berukuran kecil pula (kijang). Kepuasan selanjutnya didapatkan dengan mengatur posisi berhubungan seksual yang nyaman. Kamasutramemberikan beberapa variasi hubungan seperti posisi istri di bawah suami di atas, istri di atas suami, posisi membelakangi, posisi menungging, dan banyak lagi terutama terpahat di kuil Kanjuraho dan di Puri Orissa. Rupanya, gaya hubungan seksual Kamasutra telah begitu kompleks dan sempurna seperti halnya gaya-gaya dalam seksualitas modern dewasa ini.
Kedua, sebagai langkah awal dalam berhubungan seksual maka Kamasutra menjelaskan tentang jenis dan cara berpelukan. Pelukan sebagai pernyataan kasih sayang ada 4 (empat) jenisnya, yaitu (1) sentuhan; (2) tubrukan; (3) rabaan; dan (4) penekanan. Sedangkan jenis pelukan lebih lanjut bagi orang yang akan melakukan senggama dibedakan atas 4 (empat) hal juga, yaitu (1) Jatawestitaka, yaitu jenis pelukan seperti tumbuhan menjalar, di mana perempuan bergelayut pada seorang pria dan sang pria menundukan kepalanya untuk mencium; (2) Wrksadhirudhaka, yaitu pelukan seperti memanjat pohon, di mana seorang wanita mengangkat salah satu kakinya di pinggang sang pria sementara tangannya memeluk bahu dan pinggang sang pria, sebaliknya sang pria menciumnya dan sang wanita mendesah pelan; (3) Tila-Tandulaka, berarti campuran wijen dan beras, pelukan jenis ini adalah seorang pria dan wanita terbaring dan saling memeluk rapat-rapat; dan (4) Ksiraniraka, berarti pelukan air dan susu, yakni pelukan yang sangat erat di mana linggam dan yoni mereka telah sama sekali menyatu. Mengenai pelukan ini Kamasutramenjelaskan bahwa ajaran kamasastra dapat dilakukan untuk menambah kenikmatan dan kasih sayang sedangkan bagi mereka yang telah berulang kali melakukan maka ajaran sastra ini tidak diperlukan lagi.
Ketiga, pembahasan selanjutnya adalah mengenai ciuman. Kamasutra menjelaskan ada 3 (tiga) jenis ciuman, yaitu ciuman nominal (hanya sekedarnya saja), ciuman yang bergetar (ciuman bibir menjepit), dan ciuman menyentuh (ciuman bibir dengan pertarungan lidah).
Keempat, membahas tentang cakaran kuku dibadan lelaki ketika hubungan semakin berhasrat. Ada 8 (delapan) jeni cakaran kuku yang baik menurut Kamasutra, yaitu menimbulkan suara, berbentuk bulan sabit, berbentuk bulatan, berbentuk garis, berbentuk cakar macan, berbentuk kaki burung Merak, berbentuk lompatan terwelu, dan berbentuk daun teratai biru.
Kelima, adalah tentang gigitan dan makna-makna yang dimaksudkan berkenaan dengan para wanita dari negeri yang berbeda-beda. Dikatakan bahwa setiap bagian tubuh dapat digigit, kecuali bibir atas, bagian dalam mulut, dan mata. Gigitan dibagi menjadi beberapa jenis, antara lain : gigitan tersembunyi (hanya berwarna merah), gigitan mengembang (gigitan yang tampak jika kulit disekitranya ditekan), gigitan menusuk (hanya dilakukan dengan dua gigi), gigitan barisan menusuk (gigitan kecil dengan semua gigi),gigitan batu karang dan batu permata (gigitan dengan bibir dan gigi secara bersamaan), gigitan barisan batu permata (gigitan dengan semua gigi), gigitan awan pecah (gigitan yang bentuknya tidak sama dalam setiap lingkaran), dan gigitan babi hutan (gigitan yang meluas dan satu sama lain saling berdekatan). Menurut Kamasutra, gigitan dapat dilakukan di bibir (gigitan tersembunyi), pipi (gigitan menyebar, menusuk, batu karang, dan batu permata), tenggorokan, pangkal paha, ketiak (gigitan barisan tusukandan barisan batu permata), dahi dan paha (gigitan tusukan).
Keenam, pembahasan tentang posisi hubungan badan. Hubungan badan dibagi menjadi tiga berdasarkan jenis yoni seorang wanita, yaitu hubungan badan tinggi (Mrgi), hubungan badan sepadan, dan hubungan badan rendah (Hastini). Hubungan badan tinggi (Mrgi) terjadi pada wanita yang yoni-nya berjenis kijang (kecil) dengan lelaki yang linggam-nya menengah (banteng) dan bersemangat (kuda). Sebalikknya, hubungan rendah (Hastini) adalah jika ukuran yoni seorang wanita adalah bersemangat (gajah) dan ukuranlinggam laki-lakinya kecil.
- Dalam hubungan tinggi atau jenis Mrgi, seorang wanita harus berbaring dengan posisi terbuka lebar (mengangkat pinggulnya lebih tinggi, bisa dibantu dengan menaruh bantal di bawahnya), posisi menganga (mengangkat paha tinggi-tinggi selama berhubungan), dan posisi istri Indra (membuka lebar paha dan posisi kaki menekuk).
- Dalam hubungan rendah atau jenis Hastini, seorang wanita harus menggunakan posisi “menjepit”,posisi “menekan”, posisi “membelit” dan posisi “kuda betina”, dengan maksud untuk memperkecil lubangyoni. Pada posisi menjepit, seorang wanita dapat menjulurkan kakinya lurus ketika bersetubuh. Posisimenekan adalah wanita menekankan pahanya pada paha pasangannya sehingga paha pasangannya berada didalam kedua pahanya. Posisi membelit adalah bila salah satu kaki sang wanita membelit salah satu paha pasangannya. Dan posisi kuda betina adalah jika sang wanita memegang linggam pasangannya ketika linggam tersebut telah masuk ke dalam yoninya.
Dalam hubungan sepadan, ada beberapa posisi senggama antara lain:
1) Posisi mengangkat, bila wanita mengangkat kedua pahanya lurus-lurus.
2) Posisi menganga, bila wanita mengangkat kakinyan ke atas dan menempatkan pada bahu pasangannya.
3) Posisi penekanan, bila kedua kaki ditekuk sehingga terpegang pasangannya di depan perutnya
4) Posisi setengah menekan, bila hanya satu kaki saja yang ditekuk dan kaki lainnya diluruskan.
5) Posisi pembelahan batang bambu, bila satu kaki diletakkan di bahu pasangannya dan kaki yang satunya direntangkan.
6) Posisi penancapan paku, bila satu kakinya ditempatkan pada kepala dan yang satunya diregangkan keluar.
7) Posisi kepiting, bila kedua kaki wanita ditekuk dan ditempatkan pada perutnya sendiri.
8) Posisi membungkus, bila pahanya diangkat dan ditempatkan di atas yang lainnya.
9) Posisi seperti teratai, bila tulang keringnya ditempatkan satu di atas yang lainnya.
10) Posisi berputar, bila seorang pria melakukan hubungan badan berubah haluan dan menikmati wanita tanpa meninggalkannya, sementara si wanita memeluknya berjongkok sepanjang waktu.
11) Posisi hubungan badan yang ditopang, bila seorang wanita ditopang oleh laki-laki pada dinding atau apapun dalam posisi berdiri.
12) Posisi hubungan badan melayang, jika seorang pria menyandarkan dirinya pada dinding dan sang wanita melingkarkan tangannya pada leher sang lelaki, dan melingkarkan kakinya pada pinggang sang lelaki, sementara itu pantat sang wanita ditahan oleh tangan sang lelaki sambil terus berhubungan.
13) Posisi hubungan badan seekora sapi, bila seorang wanita berdiri pada tangan dan kakinya seperti seekor sapi dan pasangannya menunggangi dari belakang. Posisi ini juga berlaku bagi semua posisi berhubungan seperti cara binatang lainnya.
14) Hubungan badan menyatu, bila seorang pria melakukan dengan dua orang wanita secara bersama-sama.
15) Hubungan badan kawanan sapi, bila seorang pria melakukan hubungan dengan banyak wanita.
Ketujuh, dibahas tentang pukulan-pukulan ketika berhubungan seksual. Pukulan ini atas dasar kasih sayang untuk menambah keromantisan hubungan. Pukulan-pukulan kecil dapat dilakukan di bahu, kepala, dada, punggung, jaghana (bagian tengah dari badan), dan bagian pinggang sebelah kiri. Pukulan ini akan lebih menyenangkan jika dibarengi dengan pekikan-pekikan kecil.
Kedelapan, dibahas mengenai wanita yang betindak selaku pria. Hal ini dilakukan bila seorang wanita melihat pasangannya merala lelah dengan hubungan badan yang terus menerus tanpa merasa terpuaskan keinginannya. Maka dengan izinnya dia dapat meminta izin suaminya untuk berbaring di atas badannya dan memerankan diri seperti seorang lelaki dan sang pria hanya pasrah terhadap perlakuan sang wanita. Hal ini dapat dilakukan dengan dua jalan, yaitu saat masih berhubungan badan maka sang wanita dapat membalikkan posisinya yang semula di bawah menjadi di atas. Dan yang kedua adalah dilakukan sejak awal akan berhubungan atas seizin sang pria. Hal ini semata-mata agar kedua pasangan mendapatkan kepuasan seksual yang sempurna. Dalam bagian ini juga dibahas tentang perilaku seorang pria saat bersama wanita untuk melakukan hubungan. Diawali dengan saling peluk, saling raba, saling cium maka sang pria mulai melepaskan pakaian sang wanita. Saat linggam telah siap masuk ke dalam yoni maka kegiatan yang dilakukan oleh pria adalah (1) menggerakkannya maju (dimasukkan perlahan); (2)menggesek dan mengaduk-aduk (digesek-gesekkan dan diputar-putar); (3) menusuk-nusuk (menarik maju mundur); (4) hanya diraba-rabakan diseputar yoni sang wanita; (5) hanya ditekan (bukan dimasukkan) dalam waktu yang lama; (6) bila linggam dicabut dengan ukuran tertentu lalu dimasukkan lagi disebut memberikan hembusan; (7) bila hanya satu bagian yoni yang disentuh oleh linggam disebuthembusan seekor babi hutan; (8) bila kedua bibir yoni diraba disebut hembusan dari seekora sapi jantan;(9) bila linggam berada dalam yoni dan digerakkan ke atas dan ke bawah tanpa mengeluarkannya maka disebut “bermain-mainnya seekora burung gereja”.
Kesembilan, yaitu tentang hubungan dengan mulut. Hubungan ini dilakukan oleh sepasang waria, baik itu homoseksual maupun lesbian. Hubungan ini dilakukan dengan mencium, menjilat, mengulum, kemaluan pasangannya dengan menggunakan mulut sampai mendapatkan kepuasan.
Kesepuluh, dibahas tentang bagaimana memulai dan mengakhiri sebuah hubungan badan. Di awal hubungan, kamar perlu dihias dengan beraneka macam bunga dan wangi-wangian untuk menambah suasana romantis. Kemudian sang pria dapat membelai rambut sang wanita, memeluk, mencium, meraba-raba bagian sensitif dari tubuhnya. Hal ini dapat dilakukan sambil bercerita tentang segala sesuatu sampai akhirnya sang wanita merasakan getaran-getaran asmara dan tergugah birahinya. Setelah semua siap dan merasa birahi maka dilakukanlah hubungan seksual dengan penuh kasih sayang. Di akhir hubungan badan, masing-masing secara spontan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, kemudian duduk berdampingan sambil bercerita sesuatu yang menyenangkan, memberi pelukan ringan, saling bersuap minuman dan makanan, atau juga dapat keluar rumah untuk menikmati cahaya rembulan.
Apabila dijelaskan dan diuraikan seluruhnya maka sesungguhnya ada 64 (enampuluh empat) keterampilan hubungan seksual yang harus dipelajari oleh setiap pasangan. Keenampuluh empat keterampilan itu meliputi keterampilan pelukan, keterampilan ciuman, keterampilan mencakar dengan kuku, keterampilan gigitan, keterampilan berbaring dan posisi hubungan, keterampilan pukulan (tamparan), keterampilan merubah posisi wanita berlaku seperti pria, keterampilan hubungan dengan mulut, dan keterampilan memulai dan mengakhiri hubungan. Dikatakan dalam Kamasutra bahwa seorang pria yang memiliki 64 keterampilan ini dipandang dengan penuh cinta kasih oleh isterinya sendiri, oleh isteri-isteri orang lain dan juga oleh para wanita penghibur.
3. Kanya Samprayuktaka (penyatuan laki-laki dan wanita)
Bab pertama dari bagian ini menceritakan tentang perkawinan. Perkawinan yang baik adalah apabila menikahi seorang wanita perawan dari kasta yang sama dan sesuai dengan ajaran dharmasastra. Hasil dari penyatuan semacam ini adalah sebagai : pencarian dharma dan artha, keturunan, kekeluargaan, menambah kawan dan cinta kasih yang tanpa noda. Wanita yang baik untuk dinikahi adalah wanita yang berasal dari keluarga yang sangat dihormati, yang memiliki kekayaan, yang memiliki banyak kawan. Si wanita juga harus berparas cantik, berperilaku baik, memiliki tanda-tanda keberuntungan di rambut, kuku, gigi, telinga, mata, dan payudara yang baik. Menurut kamasutra bahwa perkawinan dan upacara-upacara keagamaan dapat dilaksanakan bukan untuk saling mengungguli ataupun saling merendahkan, tetapi dengan persamaan hak. Dalam perkawinan baik pria maupun wanita mampu saling menyenangkan dan dimana kedua kerabat masing-masing saling menghormati, hubungan semacam ini disebut sebagai hubungan yang semestinya.
Pada bab dua dibicarakan tentang cara meyakinkan gadis yang dinikahi. Dikatakan bahwa selama tiga hari pertama pernikahan, gadis dan suaminya harus tidur di lantai, berpantang dari kesenangan seksual dan menyantap makanan mereka tanpa membumbuinya baik dengan garam ataupun tidak. Dan selama sepuluh hari pertama suami harus melakukan sesuatu untuk menarik perhatian dan meyakinkan isteri tentang cinta dan kesetiaan suaminya, sebelum sang isteri yakin maka dilarang melakukan hubungan seksual.
Pada bab tiga dibicarakan tentang masa pacaran dan manifestasi dari perasaan dengan tanda-tanda dan perbuatan yang mengarah keluar. Dijelaskan bahwa seorang yang menyimpan perasaan cinta kepada seorang wanita akan selalu berusaha menyenangkan pasangannya dengan berbagai permainan dan percakapan yang layak bagi umur dan pengetahuannya, seperti memetik bunga, mengumpulkan, dan merangkainya. Semua hal dapat dilakukan untuk menarik perhatian orang yang dicintai.
Pada bab empat dijelaskan tentang hal-hal yang boleh dilakukan pria dan pencarian gadis serta hal-hal yang boleh dilakukan seorang gadis untuk mendekati pria. Dalam Kamasutra dijelaskan bahwa seorang pria dapat melakukan kebohongan apapun demi mendapatkan kasih gadis yang diinginkannya misalnya, mengatakan kalau akan ada berita penting yang harus disampaikan berdua saja, dan saat bertemu itulah sang pria mengutarakan rasa cintanya. Sementara itu, seorang gadis dilarang menawarkan dirinya, mengutarakan cintanya kepada seseorang pria walaupun dia sangat mencintainya. Seorang gadis dapat memilih pasangannya sendiri, atau menerima dijodohkan oleh orang tuanya karena kedua-duanya dibenarkan oleh agama.
Pada bab selanjutnya diceritakan tentang bentuk-bentuk perkawinan tertentu. Semua bentuk perkawinan sebagaimana tertulis dalam Manawadharmasastra, juga dibenarkan menurut Kamasastra termasuk melarikan wanita (gandharwa wiwaha). Dikatakan bahwa hasil dari semua perkawinan yang baik adalah cinta kasih dan bentuk perkawinan Gandharwa sangat dihargai walaupun itu terjadi dalam situasi yang tak diharapkan.
4. Bharyadhikarika (mengenai seorang istri)
Pada bagian ini diceritakan beberapa hal mengenai seorang istri. Pertama, tentang cara hidup seorang wanita yang bajik dan kebiasaannya selama suaminya tak ada di rumah. Atas seizin suaminya seorang wanita dapat melakukan semua tugas rumahtangga. Seorang wanita (isteri) dilarang berkumpul dengan pengemis wanita, bhiksuni Buddha, wanita tanpa kasta, wanita nakal, wanita peramal, dan dukun. Seorang istri tidak boleh berkata-kata kasar kepada suami meskipun dia merasa jengkel dengan tingkah laku suaminya. Seorang isteri juga berpantang mengungkapkan rahasia suami kepada siapapun. Seorang isteri wajib berdoa dan melakukan puasa pada waktu-waktu tertentu ditujukan kepada suami dan kebahagiaan ruamhtangganya. Jika suami pergi maka seorang isteri tidak diperkenankan memakai pakaian yang mewah dan mencolok sehingga mampu mengundah birahi orang lain yang bukan suaminya. Isteri yang mulia adalah yang bertindak sesuai dengan pencarian Dharma, Artha, dan Kama. Dia akan mendapatkan kedudukan tinggi dan biasanya tetap menjaga suaminya setia kepada mereka.
Pada bab selanjutnya dibahas tentang suami yang memiliki isteri lebih dari satu orang. Alasan seorang suami menikah selama isteri masih hidup adalah (1) karena ketololan dan sifat buruk dari isteri; (2) suaminya tidak menyukainya; (3) menginginkan keturunan (jika isteri mandul); (4) melahirkan anak perempuan saja terus-terusan; dan (5) tidak dapat memuaskan nafsu seks suaminya. Jika karena hal ini seorang suami menikah lagi maka sang isteri harus mengikhlaskannya dan sebaliknya sang isteri juga dapat menyuruh suaminya menikah lagi. Saat isteri kedua diboyong ke rumah maka isteri tua harus menempatkan dirinya di bawah isteri muda dan menganggapnya saudara. Apabila terjadi pertengkaran antara isteri tua dan isteri muda maka suami berhak mendamaikannya. Seorang suami yang memiliki isteri lebih dari satu orang harus bersikap adil terhadap mereka semua.
5. Paradarika (mengenai istri orang lain)
Seorang pria dapat mendatangi isteri orang lain dengan alasan akan mendapatkan kemajuan dalam hidupnya misalnya, kekayaan. Dia dapat merayu sang wanita agar mau bercinta dengannya (selingkuh). Ada beberapa alasan rasional bagi seorang isteri yang didatangi pria lain untuk menolaknya, yaitu :
(1) Cinta pada suaminya;
(2) Menginginkan keturunan yang sah;
(3) Menghendaki kesempatan baik;
(4) Marah bila didekati oleh pria yang terlalu akrab;
(5) Perbedaan tingkat hidup;
(6) Menginginkan kepastian karena prianya sering berpergian;
(7) Berpikir bahwa si pria mungkin terikat dengan beberapa wanita lainnya;
(8) Takut akan ketidakpedulian pria menyimpan rahasia hubungannya;
(9) Berpikir bahwa si pria terlalu setia dengan temannya;
(10) Kekhawatiran bahwa si pria tidak bersungguh-sungguh;
(11) Sifat pemalunya karena akan menjadi pria pembanding;
(12) Takut karena akan menjadi kuasa atau memiliki nafsu yang sangat tergesa-gesa;
(13) Sifat pemalunya karena keberadaanya yang sangat cerdik;
(14) Pemikiran bahwa setelah sekali-kali hidup bersamanya hanya akan menjadi teman biasa;
(15) Memandang rendah keinginannya akan pengetahuan dunia;
(16) Tidak mempercayai karakter rendahnya;
(17) Muak akan kehendaknya untuk mengetahui cintanya kepadanya;
(18) Pada masalah wanita gajah, pemikirannya bahwa ia adalah pria terwelu;
(19) Kasihan kalau sesuatu menimpanya karena nafsunya;
(20) Kecewa atas ketidaksempurnaannya sendiri;
(21) Takut diketahui orang lain;
(22) Kecewa melihat rambut ubannya yang tampak kusut;
(23) Takut bahwa ia mungkin diupah suaminya untuk menguji kesetiaanya;
(24) Pemikiran bahwa ia terlalu memandang segi moralitas.
Walaupun sang wanita menolak seorang lelaki dapat terus melakukan pendekatan dengan cara-cara lain misalnya, dengan mengupah seorang kurir atau dengan usaha sendiri. Akan tetapi sesungguhnya pelajaran ini adalah untuk melindungi keluarganya sendiri karena dengan mengerti cara menaklukkan isteri orang lain maka suami akan mengerti gejala pada isterinya sendiri jika isterinya suka kepada orang lain. Dalam Kamasutra dijelaskan dalam sloka sebagai berikut.
“Seorang pria yang cerdik, dengan belajar dari Sastra tentang cara menundukkan isteri orang lain tak pernah dapat dibohongi dalam hal isterinya sendiri. Bagaimanapun juga, tak seorangpun menggunakan cara ini untuk merayu isteri orang lain karena semuanya itu tak akan berhasil dan di samping itu sering menyebabkan bencana dan rusaknya Dharma dan Artha. Buku ini yang dimaksudkan demi kebaikan manusia dan untuk mengajar mereka cara untuk melindungi isterinya sendiri, hendaknya jangan dipergunakan semata-mata untuk menundukkan isteri orang lain”.
6. Waisika (tentang wanita penghibur kelas tinggi)
Dalam bab ini diceritakan tentang seorang wanita penghibur dan segala tipu dayanya untuk memikat hati seorang pria. Dalam dua buah sloka dijelaskan sebagai berikut:
“Ada beberapa orang wanita yang mencari cinta dan ada juga yang lainnya yang hanya mencari uang; bagi yang pertama, cara mencari cinta telah dibahas dalam bagian terdahulu dari karya ini, sementara cara mendapatkan uang seperti dilaksanakan para wanita penghibur, diuraikan dalam bagian ini.
“Tugas seorang wanita penghibur terkadang dalam membentuk hubungan dengan pria yang cocok yang penuh perhatian dan yang mengikat orang-orang yang pernah berhubungan dengannya; dalam mencari kekayaan dari orang yang terikat dengannya dan kemudian melepaskannya setelah ia menguras habis kekayaannya”.
Dengan demikian seorang wanita penghibur akan merusak kebahagiaan rumahtangga. Bagaimanapun juga, seorang wanita penghibur tidak akan punya cinta dan kesetiaan pada seorang pria karena tujuan utamanya adalah memberikan kesenangan pada pria dan mendapatkan uang. Menurut Kamasutra yang tergolong wanita penghibur adalah : (1) wanita jalang (pelacur); (2) pelayan wanita; (3) wanita tak berkasta; (4) artis wanita; (5) gadis penari; (6) wanita yang telah meninggalkan keluarganya; (7) wanita yang hidup dengan kecantikannya; dan (8) wanita penghibur sebagai profesi yang dipilih.
7. Aupamisadika (mengenai seni merayu, obat kuat dan lain sebagainya).
Ini adalah bagian terakhir dari seni seksual Kamasutra. Bagian ini khusus membicarakan tentang obat-obatan dan magis yang dipelajari dari Weda yang pada dasarnya bertujuan untuk :
o Menambah daya pikat terhadap lawan jenis;
o Menambah kerupawanan sehingga orang lain tertarik, biasa digunakan oleh wanita penghibur.
o Meningkatkan kekuatan seksual.
o Menambah kenikmatan seksual (dengan menggunakan cincin dari besi, tembaga, emas, gading, dan lainnya yang dipasang di linggam).
o Memperbesar linggam dengan menggunakan ramuan dan resep-resep tertentu.
Hal ini dijelaskan dalam sebuah sloka sebagai berikut :
“cara mendapatkan cinta dan kekuatan seksual harus dipelajari dari ilmu pengetahuan obat-obatan, dari Weda, dari mereka yang terpelajar dalam seni magis dan dari kerabat yang dapat dipercaya. Tak ada cara yang dapat dicoba yang efeknya meragukan, yang mungkin menyebabkan menyakiti badan, yang memerlukan membunuh binatang, atau yang memberi kita berhubungan dengan hal-hal yang tidak suci. Hanya cara semacam itu yang harus digunakan sebagai suci, yang dinyatakan baik dan dimufakati oleh para Brahmana dan kawan-kawan”.
Karena banyak sekali resep-resep dalam Kamasastra maka dalam tulisan ini hanya akan dibahas salah satu aspek saja, sedangkan aspek yang lain dapat dilihat dalam buku Kamasutra terjemahan I Wayan Maswinara (1997). Aspek yang dibahas adalah ramuan untuk menambah vitalitas atau kekuatan seksual karena di samping membahas Kamasutra, juga melihat perkembangan ilmu kesehatan (farmakologi) India yang disebut Ayur Weda. Adapun resep untuk kekuatan seksual dalam Kamasutra adalah sebagai berikut.
(a) Seorang pria mendapatkan kekuatan seksual dengan minum susu yang dicampur dengan gula, akar tanaman ucchata, chada, dan licorice (kayu manis).
(b) Dengan minum susu yang dicampur dengan gula, ditambah dengan makan buah pelir kambing atau domba jantan yang direbus juga memiliki khasiat menambah kekuatan seksual.
(c) Dengan minum sari Hedysarum Gangeticum, kuili, dan tanaman Ksrika yang dicampur dengan susu juga menghasilkan efek yang sama.
(d) Biji cabai bersama-sama dengan biji Sansefieria roxburghiana dan Hedysarum ganggeticum yang semuanya ditumbuk bersama-sama dan dicampur dengan susu juga menghasilkan efek yang sama.
(e) Menurut para penulis zaman dahulu, bila seorang pria menumbuk biji atau akar tanaman Terapa bispinosa, Srika, Tuscan jasmin, dan kayu manis bersama-sama dengan Kasirikapoli (sejenis bawang) dan menaruh bubuk tersebut ke dalam susu yang dicampur gula dan mentega (ghee) dan setelah didihkan di atas api sedang, minumlah pasta demikian terbentuk; ia akan mampu mengencani wanita berapapun banyaknya.
(f) Dengan jalan yang sama, jika seorang pria mencampur beras dengan susu burung gereja dan setelah mennjerangnya dalam susu, tambahkan madu dengan mentega (ghee) dan minumlah sebanyak yang diperlukan akan menghasilkan efek yang sama.
(g) Bila seorang pria mengambil bungkus terluar dari biji wijen dan merendamnya dengan telor burung Gereja, kemudian menjerangnya dalam susu yang dicampur gula dan mentega ghee, bersama-sama dengan buah tanaman Terapa Bispinosa dan Kasurika dan tambahkan tepung gandum dan kacang polog (buncis) kemudian minum komposisi ini. ia akan mampu mengencani wanita berapapun banyaknya.
(h) Bila mentega ghee, madu, gula dan kayu manis dalam takaran yang seimbang sari tanaman Adas dan susu dicampur menjadi satu, komposisi seperti nektar ini dikatakan suci serta merangsang kekuatan seksual.
(i) Dengan meminum pasta yang terdiri dari Asparagus Recemusus, tanaman Swadaustra, Guduchi,cabai dan kayu manis yang dijerang dalam susu, madu, dan mentega ghee di musim semi dikatakan memiliki efek yang sama seperti di atas.
(j) Dengan merebus Asparagus Recemusus, dan Swadaustra, bersama-sama dengan tumbukan buahPremaspinosa dan meminumnya akan memiliki efek yang sama.
(k) Dengan minum mentega ghee rebus atau keju cair pada musim semi dikatakan bermanfaat untuk kesehatan dan kekuatan serta enak dirasakan.
(l) Bila bubuk biji Suadaustra dan tepung Jewawut dicampur bersama-sama dalam bagian yang sama dan sebagian daripadanya yang beratnya dua pala, dimakan setiap pagi bangun tidur akan memilikmi efek yang sama.
Demikian luas dan sempurananya Kamasutra dalam membahas tentang aspek seksualitas dan erotisme. Akan tetapi seluruh pengetahuan ini bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan rumah tangga yang sempurna bagi seorang grehastin. Di awal, Kamasutra membahas tentang 64 keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang suami dan isteri dalam mengarungi kehidupannya untuk mendapatkan Dharma, Artha dan Kama. Bagian kedua pembahasan tentang tata cara berhubungan seksual sehingga mendapatkan kepuasan yang sempurna. Bagian ketiga membahas tentang cara menarik perhatian wanita yang akan dijadikan isteri. Bagian keempat mengenai cara meyakinkan isteri di awal pernikahan sehingga isteri menjadi setia kepada suami. Bagian kelima mengenai cara mendekati isteri orang lain yang sesungguhnya bertujuan untuk menjaga isteri sendiri agar tidak selingkuh dengan orang lain. Bagian keenam berbicara tentang wanita penghibur dan segala tipudayanya untuk memikat dan memeras pria. Dan bab terakhir membahas tentang semua ramuan dan resep-resep yang berguna bagi peningkatan hubungan seksual untuk mendapatkan kebahagiaan sempurna dalam rumahtangga.
Tampaknya Kamasutra berusaha menjelaskan bahwa mengetahui sesuatu yang menurut orang tidak bermoral sama pentingnya dengan mengetahui yang bermoral karena dengan mengetahui yang tidak bermoral orang akan mengetahui yang bermoral. Dalam kehidupan rumahtangga, seksual (Kama) sama pentingnya dengan Dharma dan Artha karena ketiganya memberi kebahagiaan pada manusia.
bERSAMBUNG…
Erotisme dan Seksualitas dalam Kitab Itihasa dan Purana
Perkembangan penulisan Kamasastra rupanya juga berkembang dalam beberapa kitab-kitab Itihasa danpurana. Meskipun tidak mesti bahwa kitab Kamasastra bercerita tentang seksualitas, namun sisi erotisme rupanya telah menginspirasi para Maharsi zaman dahulu untuk menjadi bagian dari ceritanya. Hal ini terkait dengan salah satu emosi yang ingin dibangun dari sebuah cerita, yaitu Srenggara Rasa atau rasa cinta dan birahi. Dalam Itihasa dan Purana terdapat beberapa kisah tentan Kama, Salah satunya adalah dalam Siwa Purana diceritakan sebagai berikut.
Sati adalah putri dari Daksa Prajapati dan pendamping pertama Siwa. Ia bersedih hati dan akhirnya meninggal karena ayahnya selalu menghina suami ilahinnya. Diceritakan bahwa Sati yang telah meninggal, terlahir kembali sebagai Parwati, yaitu putri Himalaya yang cantik jelita. Pada suatu saat, Siwa pergi ke gunung Himalaya untuk melakukan meditasi. Sementara itu seorang raksasa (danawa) yang bernamaTaraka sedang menyerang para dewa di kahyangan dan rupanya tidak ada satupun dewa yang mampu mengalahkan kekuatan Taraka. Telah diramalkan sebelumnya bahwa yang akan sanggup mengalahkanTaraka itu hanyalah putra dari Dewa Siwa sendiri.
Melihat Dewa Siwa sangat khusuk dalam meditasinya maka para dewa kebingungan karena putra Siwayang diharapkan akan mampu mengalahkan Taraka tak kunjung lahir. Dewa Indra mengutus Parwati agar mau menikahi Siwa kembali, yang sesungguhnya Parwati tidak ingin menikah dengan suami lainnya. Kemudian Parwati mendatangi Siwa dengan membawa persembahan, tetapi Siwa tidak tertarik dan bergeming dari samadhi-nya. Melihat itu semua maka Dewa Indra mengutus Dewa Kama untuk menggodaSiwa agara jatuh cinta dan muncul birahinya kepada Parwati. Mendengar perintah itu, segera Dewa Kamamelepaskan panah asmaranya kepada Siwa, walaupun ini pekerjaan yang sangat beresiko. Dikisahkan bahwa panah asmara Dewa Kama terbuat dari bunga, sedangkan busurnya terbuat dari gula tebu dengan tali busur barisan lebah-lebah. Rupanya, kekuatan cinta dari Dewa Kama tidak dapat ditahan oleh siapapun, termasuk juga oleh Dewa Siwa.
Sang Maha Yogi (Siwa) merasa terganggu dengan tindakan Dewa Kama ini dan dengan penuh kemarahanSiwa membakar Dewa Kama dengan api yang keluar dari mata ketiganya. Melihat Siwa telah terbangun dari meditasinya maka Parwati segera mendekatinya. Siwa akhirnya memperhatikan Parwati dan jatuh cinta kepadanya. Pada suatu perkawinan agung maka Siwa dan Parwati menikah dan akhirnya melahirkan Dewa Skanda, dewa perang. Sesuai dengan ramalan maka Skanda-lah yang berhasil membunuh Taraka.
Di samping itu, dalam Matsya Purana diceritakan tentang gairah Dewa Brahma kepada Sawitri, putrinya. Alkisah, suatu ketika Manu bertanya kepada Wisnu yang saat itu ber-awatar sebagai ikan raksasa (Matsya Awatara) tentang mengapa Dewa Brahma menjadi berkepala empat (catur mukha). Wisnu menjawab bahwa setelah Brahma menciptakan Weda, kemudian ia menciptakan 10 orang bijak hanya dari kehendak dan pikirannya saja. kemudian, ia menciptakan Dharma dari dadanya, Kama dari hatinya, kemarahan dari keningnya, ketamakan dari bibirnya, khayalan dari kecerdasannya, keangkuhan dari sifat angkuhnya, kegembiraan dari tenggorokannya, kematian dari matanya dan Rsi Bharata dari tangannya. RupanyaBrahma masih belum puas dengan semua ciptaannya itu, Ia bekehendak untuk menciptakan seseorang yang nantinya akan menggantikan tugasnya dalam mencipta. Ia mulai memanggil Dewi Gayatri, Sawitri, Saraswati, Brahmani dan nama-nama lainnya. Sang dewi yang tampil dalam wujud seorang gadis dari sisi kewanitaannya badan Brahma akan dijadikan putrinya. Kecantikan yang muncul dari ciptaannya itu sangat mengagumkan, dan Sang Pencipta (Dewa Brahma) yang dilanda asmara tak berkedip menatapnya sambil terus bergumam “sungguh merupakan perwujudan kecantikan yang sempurna”. Melihat itu semua, anak-anak Brahma yang diasuh oleh Bhagawan Wasistha marah dan muak terhadap sikap ayahnya kepada anak perempuannya. Akan tetapi Brahma yang telah demikian jauh jatuh cinta terus saja menatap Sawitri.Mulailah Sawitri berjalan mengelilingi Brahma dan Brahma terus menatapnya. Karena malu untuk memalingkan muka maka Brahma menciptakan tiga lagi kepala sehingga dia sekarang berkepala empat agar kemanapun Sawitri pergi dia dapat melihatnya. Sawitri kemudian pergi ke surga dan Brahma segera menciptakan kepala kelima, yaitu di atas namun itu tertutup oleh gelung rambutnya. Oleh sebab itulahBrahma kehilangan semua kesaktian dan kekuatan yang diperolehnya melalui pertapaan dan meminta kepada putra-putranya untuk mengembalikannya. Sebaliknya, Brahma sendiri mengikuti Sawitri dan menikahinya dan tinggal bersama di dalam Bunga Teratai selama seratus tahun.
Brahma yang dipenuhi rasa malu kepada putra-putranya merasa marah kepada Dewa Kama yang telah melepaskan panah asmaranya. Kemudian Brahma mengeluarkan kutukan bahwa Dewa Kama akan dibakar menjadi abu oleh Siwa jika melakukan hal yang sama kepada Siwa. Akan tetapi Dewa Kama menolak kutukan itu karena Dia sendiri diciptakan oleh Brahma dan diberi tugas oleh Brahma untuk melepaskan panas cinta kepada siapapun tanpa kecuali, termasuk juga Brahma. Akhirnya, Brahma mengabulkan permohonan Dewa Kama dan mengatakan bahwa suatu saat jika Dewa Kama terbakar menjadi abu olehSiwa maka ia akan lahir kembali di keluarga Yadawa sebagai putra Krishna yang bernama Pradyumna.
Kisah tentang Dewa Kama rupanya juga melanda sang penguasa moralitas, Dewa Waruna. Karena pengaruh Dewa Kama inilah Waruna berbuat adharma. Konon, putri dari Soma yang bernama Bhadra, tak tertandingi kecantikannya dan Rsi Utathya telah dipilih sebagai suaminya. Setelah upacara perkawinan selesai dilaksanakan, Waruna pergi ke hutan, tempat tinggal Utathya untuk menculik Bhadra dan membawanya ke istananya yang megah, yang dikelilingi 600.000 danau nan indah dan obyek-obyek kenikmatan lainnya. Di istana tersebut Waruna bercinta dengan Bhadra. Ketika Rsi Utathya mengetahuai keberadaan istrinya dari Rsi Narada bahwa istrinya telah diculik oleh Waruna, maka ia memberitahuNarada dengan marah untuk meminta istrinya kembali. Narada berangkat ke istana Waruna sesuai dengan perintah Utathya, namun Waruna menolak mengembalikan Bhadra, bahkan Narada dilemparkan keluar rumahnya dengan keras. Mendengar ini semua, kemarahan Utathya tak terbendung lagi dan melalui kekuatannya ia membuat semua air menjadi kering. Seluruh danau yang berada di istana Waruna menjadi dataran tandus. Sungai Saraswati menjadi kering dan daerah di sekitarnya tidak lagi menjadi tempat suci. Sampai akhirnya, tempat tinggal Waruna sendiripun menjadi kering. Akhirnya, Waruna mengembalikanBhadra kepada Utathya, dan sang Rsi sakti ini mengembalikan lagi keadaan dunia seperti semula. Warunasadar atas kesalahannya dan terbebaslah dia dari segala kesedihannya.
Dalam kitab Mahabharata, khususnya Wanaparwa, bagian 45-46, juga diceritakan tentang Erotisme danSeksualitas sebagai berikut.
Suatu saat Arjuna mendapatkan kehormatan dari Dewa Indra untuk berkunjung ke kahyangan Indra yang mahaindah. Arjuna tinggal di sana selama lima tahun dan selama itu dia banyak mendapatkan ilmu berperang dari Dewa Indra, juga beberapa senjata sakti dari para dewa. Dewa Indra mengetahui bahwaArjuna sering memandang para bidadari cantik (apsari) yang ada di kahyangan dan hal ini membuat Dewa Indra senang karena saat Arjuna belajar bagaimana cara bertingkahlaku dalam pergaulan dengan para wanita. Oleh karena itu Dewa Indra mengutus seorang apasari yang bernama Urwasi untuk menggoda sang Arjuna. Atas perintah Dewa Indra maka Dewa Kama melepaskan panah asmaranya kepada Urwasisehingga Urwasi merasakan jatuh cinta yang dalam kepada Arjuna. Kemudian diceritakan tentang apa yang dilakukan Urwasi ketika akan mengunjungi tempat tinggal Arjuna.
Dan setelah mandi ia mempercantik dirinya dengan perhiasan-perhiasan indah dan rangkaian bungan surgawi yang harum semerbak. Dan dikobarkan oleh dewa cinta dan hatinya yang tertusuk dalam oleh anak panah yang diluncurkan oleh Dewa Kama. Dengan membayangkan ketampanan Arjuna, secara mental ia membayangkan bercinta dengannya di tempat tidur yang lebar dan indah, yang dihiasi dengan sprei surgawi. Dan ketika senja telah berganti malam dan sang rembulan telah muncul, apsari yang berpinggul besar ini keluar untuk mencari tempat tinggal Arjuna. Dan dalam situasi seperti ini dengan rambut panjang berombak, yang di sana terajut banyak bunga Melati, ia benar-benar tampak cantik sekali. Dengan kecantikan dan keanggunan serta daya tarik gerakan alis matanya dan dari suaranya yang lembut serta wajahnya bersinar bagaikan bulan, dia tampaknya menantang bulan sendiri, karena bulan telah meluncur dari keanggunannya. Dan ketika berjalan, payudara yang berputing hitam meruncing dengan indahnya yang dihias dengan kalung emas serta dilumuri pasta harum kayu cendana, berguncang ke atas dan ke bawah. Dan akibat dari berat payudaranya maka pada setiap langkah dia berusaha sedikit menunduk, yang membuat tiga lipatan pembungkus pada pinggangnya yang ramping tampak indah. Dan pahanya yang berbentuk sempurna, tempat kuil dewa cinta yang mengembang bagaikan sebuah bukit, yang dilengkapi dengan pinggul bulat, pangkal paha tinggi dan ramping, yang dihias dengan renda-renda keemasan, dibungkus oleh pakaian tipis namun mampu menggoyahkan kesucian para Rsi, yang tampak sangat anggung sekali. Pergelangan kakinya yang dihiasi dengan tumpukan barisan genta-genta kecil, memiliki jari-jari panjan berwarna tembaga melengkung bagaikan punggung kura-kura. Dan disegarkan oleh sedikit minuman keras yang diteguknya dan digairahkan oleh keinginan dan oleh berbagai tipu daya lembut dan yang menampilkan sensasi kesenangan, dia tampak lebih cantik dari sebelumnya. Dan walaupun surga dipenuhi dengan keajaiban-keajaiban, namun bila Urwasi pergi dengan cara seperti itu maka para Siddha, Carana, dan Gandharwa menganggapnya sebagai keajaiban yang terindah yang pernah mereka saksikan. Dengan bagian atas badannya yang diututupi pakaian bercorak indah yang berkilauan dengan warna-warna awan, dia tampak bagaikan bulan sabit di langit yang meluncur diselimuti awan. Dan dengan kecepatan bagaikan angin atau pikiran demikianlah dia yang tersenyum ramah dan cerah itu mendatangi putra Pandu, Arjuna. Dan setelah mendapat izin maka ia memasuki istana yang indah dan menyenangkan itu. Dengan pikiran yang dipenuhi keragu-raguan yang mencemaskan hatinya, Arjunamenemuinya pada malam itu. Dan segera setelah sang Partha memandang Urwasi, ia menurunkan tatapan matanya atas dasar kesopanan dan dalam kemudian memberikan salam, Ia menunjukkan pada paraapsara penghormatannya yang dipersembahkan pada orang yang berkedudukan lebih tinggi. Arjunaberkata, “Wahai, engkau apsari yang utama, aku menundukkan kepalaku dihadapanmu untuk memberikan salam penghormatan. Aku menunggumu sebagai pelayanmu”.
Dengan kata-kata ini, Urwasi sepenuhnya terperanjat dan memberitahu Arjuna bahwa selain karena perintah Dewa Indra, dia datang juga karena dilanda panah asmara yang tak terbendung untuk berkasih-kasihan dengan sang Arjuna. Mendengar itu semua Arjuna tetap menolaknya seraya berkata “Jika aku menatap engkau, aku merasakan menatap seorang ibu, ibu yang agung”. Urwasi membalasnya bahwa seorang apsari bebas mencintai siapapun dan bebas bercinta dengan siapapun karena apapun yang mereka lakukan telah terbebas dari semua pahala. Sementara itu, Arjuna tetap berkeras hati bahwa seorang apsari adalah orang tua, leluhur yang patut dihormati dan menjadi tujuan penghormatan dari wangsanya. Urwasi menjadi frustasi dan dengan marah mengeluarkan kutukan kepada Arjuna. “Hai, Parthakarena engkau telah menolak wanita yang telah datang kepadamu atas kehendak orang tuamu dan atas kehendaknya sendiri karena wanita ini telah tertembus panah Dewa Kama, maka engkau akan melewatkan waktumu dalam perkumpulan dengan para wanita, sifat laki-lakimu akan berkurang dan terhina sebagai seorang waria”. Kutukan inilah yang nantinya terjadi pada Arjuna dalam pengasingannya di negeri Wiratadi mana dia menjadi seorang waria dan berkumpul dengan banyak wanita (dikutip dari Maswinara, 1997: 26-34).
Banyak cerita-cerita lain tentang kisah cinta di antara para dewa dan manusia yang ditulis dalam Itihasadan Purana. Cerita-cerita dalam kesusasteraan India seperti, Raja Samwarna dan Tapati, Nala danDamayanti, Sakuntala, Krishna dan Radha, hanyalah sebagian kecil saja dari sekian banyak cerita-cerita sejenis (Maswinara, 1997: 35). Lebih lanjut dikatakan bahwa cerita-cerita tentang Kama di India, khususnya dalam Itihasa dan Purana tidak hanya melukiskan sebuah erotisme dan seksualitas, tetapi juga diceritakan bahwa Kama adalah sumber kesedihan misalnya, dalam cerita Rama dan Sita. Diceritakan bahwa Walmiki menceritakan kesedihan sang Rama sepeninggal Sita dengan melukiskan kenangan-kenangan indah Sri Rama saat bekasih-kasihan dengan Sita. Dalam hal ini, Walmiki ingin menggugah sentimen karuna (kesedihan) dalam karya sastranya. Emosi sedih (soka) yang membangkitkan rasa karuna(kesedihan) dipadukan dengan apik oleh para Pujangga India dengan suasana rati (cinta) dan rasasrenggara (birahi/erotik/kecintaan) sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan (Sudharta, 2006; Yasa, 2006). Hal ini menggambarkan bahwa kama menurut susastra Hindu mempunyai dua pengaruh bagi manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Kama dapat membawa manusia pada rasa indah, penuh cinta kasih, sekaligus mampu membawa manusia pada kesedihan. Kama yang membawa kebahagiaan adalahkama yang didasari dengan dharma, sebaliknya kama yang membawa kesedihan adalah kama yang melenceng dari ajaran-ajaran dharma.
Demikian banyaknya kesusasteraan Hindu yang membicarakan mengenai seksualitas dan erotisme maka tidak dapat diragukan lagi bahwa seksualitas dan erotisme adalah hal yang sakral dalam Hindu. Oleh sebab itu ditegaskan bahwa Kamasastra penting bagi para grehastin untuk mencapai kebahagiaan lahir batin, jagadhita dan moksa.
Kamasastra di Indonesia
Telah diuraikan di atas bahwa kamasastra tidak saja hanya berkembang di India, melainkan juga di Indonesia. Banyak sekali karya sastra spiritual yang membicarakan tentang seksualitas dan erotisme. Berikut ini akan diambil kutipan-kutipan dari beberapa karya sastra Jawa Kuna yang dengan lugas melukiskan tentang seksualitas seperti halnya kamasastra di India.
1. Lontar Siwagama
Lontar Siwagama banyak menceritakan tentang seksualitas dalam bentuk mitos-mitos, khususnya mitos tentang Bhatara Siwa (Bhatara Jagadpati) dan Bhatari Durga (Dewi Uma) sebagai tokoh utama dalam cerita ini.
Pertama, dikisahkan Bhatara Jagadpati (Bhatara Guru / Bhatara Siwa) turun bersama Dewi Uma di bagian timur gunung Mahameru. Ada bukit menjulang di atas laut sebelah timur, Njung Salaga namanya. Di sana beliau membangun asrama. Tiba-tiba Bhatara Guru melakukan senggama yang tidak pantas terhadap Dewi Uma sehingga Dewi Uma marah, malu melihat perilaku Bhatara Guru sebab bukan waktunya melakukan senggama. Waktu itu adalah senjakala, ketika Dewi Uma disetubuhi oleh Bhatara Guru. Oleh karena itu, lahirlah putra Beliau yang berwajah menakutkan, dinamakan Bhatara Kala oleh Bhatara Guru (Utama, 2004: 53).
Kedua, dikisahkan Bhatara Guru dan Dewi Uma pergi ke Barat membangun pertapaan (amangun ayu). Tempat ini diberi nama Manguyu. Kembali beliau bertemu asmara di sana, sama-sama besar keinginannya karena keduanya memuja Kama Ratih. Bhatari pun hamil, lalu lahirlah anak beliau laki-laki dan perempuan yang sangat rupawan membuat Bhatari amat senang. Anaknya diberi suguhan nasi beras kuning dan diberi nama Bhatara Smara Ratih oleh Bhatara Guru. Lalu Bhatara Guru kembali bertapa (Utama, 2004: 54).
Ketiga, dalam Lontar Siwagama juga diceritakan tentang kisah perselingkuhan antara Dewi Uma dengan Rare Angon sebagai berikut. Suatu saat Dewi Uma ingin mendapatkan ajaran dari Bhatara Guru atau Dewa Siwa. Sebelum diberikan ilmu pengetahuan suci Bhatara Guru ingin terlebih dahulu menguji kesetiaan Dewi Uma. Sehubungan dengan itu Dewi Uma disuruhnya untuk mencari susu lembu hitam betina. Dewi Uma akhirnya pergi ke bumi untuk mencari susu lembu hitam. Sementara itu Bhatara Siwa juga turun ke dunia menjelma menjadi Rare Angon. yaitu penggembala lembu hitam. Ringkas cerita keduanya lalu bertemu dan Dewi Uma menyampaikan maksud kedatangannya untuk membeli susu lembu hitam tersebut. Namun, keinginan Dewi Uma ditolak oleh Rare Angon. Dibayar berapapun Rare Angon tidak akan memberikan susu lembunya, kecuali bila Dewi Uma bersedia melayaninya bersenggama. Karena dihadapkan oleh pilihan yang sulit maka Dewi Uma mau melayani Rare Angon bersenggama untuk mendapatkan susu. Susu tersebut selanjutnya dibawa terbang ke surga untuk diberikan kepada Bhatara Guru. Bhatara Guru kemudian memanggil putranya Sanghyang Gana untuk menyelidiki perjalanan ibunya hingga mendapatkan susu itu. Gana kemudian mengambil pusaka tenung pemberian Bhatara Guru. Melalui mantra-mantra Sanghyang Gana, akhirnya tampak bahwa Dewi Uma bersenggama dengan Rare Angon. Dewi Uma menjadi sangat marah sehingga berubah wujud menjadi Durga. Akibat api kemarahannya itu, akhirnya pustaka tenung Sanghyang Gana terbakar menjadi abu (Utama, 2004: 72).
Keempat, bagian dari Siwagama yang lain juga menceritakan kisah Dyah Mayakresna yang doyan berganti-ganti pasangan. Bahkan, pada malam paro terang keempat belas dia bersenggama dengan dua orang laki-laki sekaligus yang bernama Sang Bajradaksa dan Sang Bajrangkara. Mereka sedang bersenggama di bawah pohon Angsoka. Tanpa mereka sadari perbuatan itu diketahui oleh Bhatara Guru yang sedang melakukan perjalanan ke hutan Nandana. Bhatara Guru sangat marah melihat kejadian itu dan ketiganya kemudian dikutuk menjadi Dhanggi sehingga wajahnya berubah menakutkan. Wajah Dyah Krenamaya menjadi putih kekuningan dan dinamakan Sang Batur Kalika. Sang Bajradaksa berubah menjadi Bhuta Ijo, sedangkan Sang Bhajrangkara berubah menjadi Bhuta Abang. Mereka inilah yang disebut Durga Buchari, Bhuta Buchari dan Kala Buchari (Utama, 2004: 72).
Cerita di atas mengajarkan bahwa persetubuhan atau senggama haruslah berdasarkan atas kesucian hati, melalui perkawinan yang resmi dan tidak melanggar pantangan-pantangan. Ada beberapa pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh orang yang melakukan senggama, antara lain bersenggama waktu sandyakala, parwadina (hari-hari saat dilaksanakan upacara yadnya), pada hari piodalan atau otonan suami maupun istri, saat istri menstruasi, bulan purnama dan tilem, hari-hari yang jatuhnya bertepatan dengan pertemuan antara hari Selasa, Rabo, dan Sabtu (Saptawara) dengan Kliwon (Pancawara). Di samping itu, juga dianggap kurang baik untuk melakukan senggama pada hari raya Nyepi, Siwaratri, Galungan, Kuningan, Saraswati, dan Pagerwesi (Nala, 1999: 13). Menurut lontar tersebut, juga dilarang melakukan perselingkuhan, seks bebas, perkawinan dengan saudara (gamia gamana) dan sebagainya.
2. Lontar Smaradahana
Pada suatu saat surga tempat para dewa diserang oleh raksasa yang sangat sakti bernama Nilarudraka. Tak ada dewa yang mampu mengalahkannya, termasuk dewa Brahma dan Wisnu. Wrhaspati penasehat para dewa meramalkan bahwa hanya putra Siwa dengan Dewi Uma yang akan mampu mengalahkannya. Sementara itu Siwa sedang melakukan tapa yang amat kuat sehingga ia tidak tertarik pada apapun termasuk kecantikan Dewi Uma istrinya. Dicarilah daya upaya agar Siwa mau menghentikan tapanya.
Untuk itu Dewa Kama ditugaskan membatalkan tapa Dewa Siwa. Dengan panah asmara yang dimiliki Dewa Kama, tapa Dewa Siwa dapat digagalkan. Namun, Dewa Siwa menjadi amat marah sehingga berubah wujud menjadi Triwikrama dan membakar Dewa Kama dengan api kemarahannya. Mengetahui suaminya meninggal, Dewi Ratih-istri Dewa Kama- akhirnya ikut menceburkan diri ke dalam api hingga tewas. Selanjutnya para Dewa mohon agar keduanya dihidupkan kembali karena mereka hanya melaksanakan tugas yang diberikan para Dewa demi menjaga keselamatan surga dari Nilarudraka. Permohonan itu dipenuhi oleh Dewa Siwa, tetapi mereka diberikan kesempatan hidup tanpa badan. Dewa Kama kemudian memasuki tubuh Dewa Siwa, sedangkan Dewi Ratih masuk dalam tubuh Dewi Uma. Akibatnya, Dewa Siwa menjadi sangat bergairah melihat kecantikan Dewi Uma yang telah dirasuki oleh Dewi Ratih. Dewa Siwa, juga memberikan kesempatan pada Dewa Kama dan Ratih untuk memasuki hati sanubari remaja laki-laki dan perempuan di dunia sehingga ketika mereka mulai akil balig akan tertarik pada lawan jenisnya (Zoetmulder, 1983: 369).
Dari paparan di atas tampak bahwa Kama dan Ratih adalah penyebab munculnya gairah asmara dalam diri setiap makluk. Karena Kama dan Ratih inilah muncul cinta terhadap lawan jenisnya sehingga eksistensi manusia mungkin untuk dipertahankan. Anak yang telah akil balig (Menek Kelih) harus dimatangkan cinta dan seksnya melalui upacara agama (manusa yadnya: upacara Menek Kelih dan Pawiwahan) sehingga anak benar-benar siap memasuki dunia grehasta.
3. Kakawin Arjunawiwaha
Kakawin Arjunawiwaha digubah oleh Mpu Kanwa sebagai sastra spiritual yang menceritakan tentang Arjuna di kahyangan para dewa untuk mengalahkan seorang raksasa yang bernama Niwatakawaca. Setelah dia dapat mengalahkan Niwatakawaca maka Dewa Indra menganugerahkan berbagai macam kesenangan surgawi termasuk bidadari-bidadari surga. Pada bagian inilah dipaparkan sisi erotisme dan sensualitas sebagai berikut.
Dewi Supraba yang diajak berbicara merasa tertegun dan hanya pasrah. Berpura-pura lemas dan sebagai jawabannya adalah rintihan disertai sedu sedannya. Setelah lipatan kain dalamnya didapat, segera ditelanjangi dan kemudian ditindih. Mata mereka memancarkan nafsu birahi saling pandang tanpa berkedip.
Pupuh XXX, bait 10
Usia dijamah, Dewi Supraba merasakan hatinya seperti melayang, lalu termenung di luar peraduan. Menangis menunduk sambil mengapus-apus keringat yang mengucur sampai ke liuk pinggangnya. Beliau hanya berselimut kain karena jijik melihat kain dalamnya basah. Begitu pula pahanya yang bagaikan buluh kuning tampak jernih berkilau sampai ke betis.
Pupuh XXX, bait 11
Berdenyut-denyut jantung sang Arjuna merayu Dewi Tilotama. Puas hatinya memandang Diah Tilotama yang telah menyerahkan diri merelakan diraba-raba susunya. Dengan gembira beliau memangku serta mencium pipi dan memperbaiki sanggulnya yang terurai. Setelah memberikan sepah sirih, Sang Arjuna lalu berkata sambil merapatkan dirinya.
Pupuh XXXII, bait 1
Sungguh benar mustahil tidak akan gemetar ketakutan karena dirusak kehormatannya oleh Sang Arjuna. Ketakutan bagaikan melihat benda yang bentuknya seperti hulu keris ki dalang. Dalam keadaan pasrah, hanya mendesah berhenti menolak. Karena baru kali ini merasa lega yang tak terucapkan.
Pupuh XXXIV, bait 1
Lontar Rahasya Sanggama
Lontar ini dimungkinkan ditulis sekitar abad ke-18 dan 19 Masehi. Namun masih belum terlacak darimana pengetahuan seks itu didapatkan. Boleh jadi ia berasal dari kitab-kitabKamasastra yang berasal dari India meskipun tidak berarti masuknya ke Indonesia dalam bentuk buku (Utama, 2004: 104). Apabila disepakati bahwa dalam lontar-lontar tersebut terekam pengetahuan dan pandangan orang Bali tentang seks, kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pengetahuan mereka tentang seksualitas sudah sangat maju. DalamRahasya Sanggama misalnya disebutkan:
“Nihan rahasya sanggama tiga lwirnya angguliprawesa, purusa prawesa, jihwaprawesa,……….”
Artinya:
Inilah rahasia senggama, tiga banyaknya yaitu angguliprawesa, purusaprawesa, danjihwaprawesa…..”
Maksud dari ungkapan ini bahwa untuk mendapatkan kepuasan seksual yang sempurna orang bisa memanfaatkan jari-jari tangannya (angguliprawesa), lidahnya (jihwaprawesa) dan alat kelaminya (purusaprawesa). Dalam lontar ini dijelaskan pula tentang teknik-teknik hubungan seksual. Seorang pria yang bijaksana harus berusaha agar pihak wanita dapat mencapai puncak kenikmatan (klimas terlebih dahulu) ketika berhubungan seksual. Ia tidak boleh egois hanya mementingkan kenikmatannya sendiri. Caranya adalah dengan menggunakan jari-jari tangan, lidah, dan alat kelaim secara maksimal untuk membuat istri orgasme. Di samping itu, juga diajarkan tentang gerakan-gerakan yang harus dilakukan ketika melakukan senggama.
Untuk mendapatkan kepuasan seks yang maksimal, baik bagi istri maupun suami maka vitalitas seksual menjadi aspek yang tidak dapat dikesampingkan. Hal ini juga dibahas dalam lontar Rahasya Sanggama, sebagai berikut:
Panglanang, sa., palit pandan katih, temu ireng 3 reb, mrica 21 besik pinipis, duhnya alapen tinahap, ma,. Sanghyang Taya, Bhatara aneda usadanira, sariraningulun, abalung wesi, akulit tembaga, aotot kawat, teka let, Om Am, Ah, Na, Ma, Si, Wa, Ya, Sanghyang Tuguwesi mungguh ring purusku, Sanghyang Tuguwesi akas ring purusku, Sanghyang Pansuranwesi lenging purusku, empet titi sariraku, Sang Purusangkara dah agung, akas dahat, manjing akas, adawa metu, akas adawa, teka let 3 (Rahasya Sanggama, 6b).
Artinya :
Panglanang (untuk vitalitas seksual laki-laki) memakai sarana, 3 batang akar pandan, temu ireng 3 iris, merica 21 butir, dihaluskan dengan cara diiris tipis-tipis, lalu diminum, mantranya : Sanghyang Taya, Bhatara Aneda Usadanir, Sariraningulun, abalungwesi, akulit tembaga, aotot kawat, teka let, OM Am, Ah, Na, Ma, Si, Wa, Ya, Sanghyang Tuguwesi mungguh ring purusku. Sanghyang Tuguwesi akas ring purusku Sanghyang Pansuranwesi lenging purusku empet titi sariraku, Sang Purusangkara dah agung, akas dahat, manjing akas, adawa metu, akas adawa, teka let 3 (Teka Let dibaca 3 kali, pen).
Di samping masalah panglanang (vitalitas seksual laki-laki) dalam lontar ini juga dijelaskan tentang pangurip kama sebagai berikut:
Pangurip kama, sa., ketan gajih binubur, wori duwegan ijo kumaringet, duhi minak, tahap, ma., Om Bima sakti bayu purusa ping 3.
Artinya:
Ketan gajih dijadikan bubur, dicampur dengan kelapa muda yang masih encer, diberi minyak kelapa lalu diminum. Mantranya “Om Bima sakti bayu purusa, 3 kali.
Demikianlah Kamasastra Indonesia mengulas seksualitas dengan lugas, terbuka dan puncaknya adalah untuk menemukan kebahagiaan berumahtangga dengan meningkatkan kualitas seksual. Apabila diamati dari beberapa karya sastra di atas bahwa seksualitas menurut Hindu pada dasarnya sakral.
selanjutnya
Tujuan Seksualitas Menurut Kamasastra
2.6 Tujuan Seksualitas Menurut Kamasastra
Gunawan (1993: menyatakan bahwa berdasarkan tujuannya hubungan seksual (sex acts) dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu (1) untuk mendapatkan keturunan (sex as procreation), (2) untuk sekedar mencari kesenangan (sex as recreation), dan (3) sebagai bentuk ungkapan penyatuan rasa, misalnya rasa cinta (sex as relational). Bertolak daru pandangan ini bahwa seksualitas menurut kamasastra sesungguhnya memiliki tujuan yang kurang lebih sama. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama (sex as procreation), dalam Adiparwa diceritakan bahwa sang Jaratkaru, seorang pertapa yang sangat sakti sehingga mempunyai kemampuan untuk mengunjungi surga. Sesampainya di sorga dia menemukan leluhurnya sedang tergantung pada buluh petung dengan muka tertelungkup, kakinya diikat, sedangkan di bawahnya jurang yang sangat dalam, yaitu jalan menuju neraka. Sementara itu seekor tikus terus menggigit buluh petung itu sehingga nyaris putus. Melihat itu Sang Jaratkaru terkejut dan merasa terpukul. Dia menanyakan kepada leluhurnya tentang hal itu dan mendapatkan jawaban bahwa semua itu karena Sang Jaratkaru tidak meneruskan keturunannya sehingga garis keturunannya putus. Mendengar itu semua sang Jaratkaru akhirnya memutuskan untuk menikah dan memiliki seorang anak bernama Astika. Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan utama hubungan seks menurut Hindu adalah untuk mendapatkan anak atau keturunan.
Kedua (sex as recreation), hal ini telah dibahas tuntas dalam Kamasutra Watsyayana, di sana diungkap tuntas mengenai cara-cara berhubungan seksual untuk mencapai puncak kenikmatan. Dalam Kamasutra dijelaskan sebagai berikut:
“Kama adalah semua kenikmatan terhadap sesuatu objek yang didapatkan melalui kelima indra, yaitu pendengaran, perasaan, penglihatan, persentuhan dan penciuman yang dibantu oleh pikiran bersama-sama dengan jiwa. Bahan-bahan dalam hal ini adalah suatu hubungan khusus antara organ indra dan objek-objeknya dan kesadaran dari rasa senang yang timbul dari sebuah hubungan, ini disebut Kama”(Maswinara, 1997:57).
Hubungan seks dengan tujuan mendapatkan kesenangan bukan merupakan hal yang tabu dalam agama Hindu. Menurut Kamasastra hubungan seks itu bukan sesuatu yang mesti ditabukan, tetapi ada norma-norma yang mesti diikuti berkenaan dengan hal itu. Salah satunya adalah hubungan seks harus dilakukan atas dasar perkawinan yang sah menurut agama (dharma agama) dan hukum-hukum negara (dharma negara).
Ketiga (sex as relational), hal ini tidak terlalu sulit untuk dipahami, tetapi seringkali disalahgunakan oleh para lelaki untuk membohongi pasangannya. Hanya atas dasar cinta seorang perempuan mudah sekali didustai untuk mau melakukan hubungan seks dengan laki-laki yang bukan suaminya. Dalam Hindu diajarkan bahwa hubungan seks memang harus didasari atas rasa cinta. Hal ini dapat dilihat dari cerita mengenai cerita Sanghyang Kama dan Dewi Ratih yang memasuki tubuh Dewa Siwa dan Dewi Uma sehingga dalam diri beliau berdua tumbuh rasa cinta (rati) yang akhirnya membangkitkan rasa birahi (srenggara rahsa). Akan tetapi rasa cinta ini harus terus dipupuk pada masa berumahtangga sehingga antara suami dan istri saling setia, karena kesetiaanlah yang menentukan kebahagiaan rumahtangga.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan beberapa
hal mengenai Kamasastrasebagai berikut.
- Kamasastra adalah kitab suci Hindu yang membahas tentang Kama baik sebagai dasar sekaligus tujuan hidup manusia
bersama-sama dengan dharma, dan artha (Tri parartha). Kamasastra pada awalnya lahir di India, tetapi dalam
perkembangannya juga memberikan inspirasi bagi para pujangga di Indonesia untuk
menyusun karya-karya serupa.
-
Pada prinsipnya Kamasastra lebih banyak
membahas mengenai seksualitas menurut Hindu karena seksualitas adalah salah
satu esensi Sang Hyang
Widhi Wasa sebagai simbol
penciptaan semua makluk yang dipersonifikasikan sebagai Ardhanareswari,
Purusa-Prakerti, Lingga-Yoni, Sukla-Swanita, Kama-Ratih, yang semuanya menyatakan bahwa seksualitas menurut
Hindu adalah suci.
-
Hubungan seks adalah suci sehingga harus dilaksanakan oleh pria dan wanita yang
telah disucikan hubungannya melalui ikatan perkawinan.
-
Seksualitas juga harus mengindahkan pantangan-pantangan serta norma-norma
seksual yang berlaku. Pantangan-pantangan itu antara lain : bersenggama waktusandyakala, parwadina (hari-hari saat dilaksanakan upacara yadnya), pada hari piodalanatau otonan suami maupun istri, saat istri menstruasi, bulan
purnama dan tilem, hari-hari yang jatuhnya bertepatan dengan pertemuan antara
hari Selasa, Rabo, dan Sabtu (Saptawara) dengan Kliwon (Pancawara). Di samping itu,
juga dianggap kurang baik untuk melakukan senggama pada hari raya Nyepi, Siwaratri, Galungan,
Kuningan, Saraswati, danPagerwesi. Menurut lontar Siwagama tersebut,
juga dilarang melakukan perselingkuhan, seks bebas, perkawinan dengan saudara (gamia gamana) dan sebagainya.
- Kamasutra karya Watsyayana, dianggap sebagai salah satu
karya Kamasastraterbaik selama ini memberikan pandangan-pandangan yang
luar biasa tentang seksual. Kitab tersebut pada dasarnya menjelaskan tentang
cara-cara berhubungan seksual sehingga mendapatkan kenikmatan seks yang
bertujuan untuk kebahagiaan hidup berumahtangga (grehasta).
3.2 Saran-Saran
-
Seksualitas menurut Hindu adalah sakral sehingga tidak layak dilakukan oleh
mereka yang belum menikah. Oleh sebab itu perlu disosialisasikan kepada
masyarakat tentang hal ini sehingga tidak terjadi lagi tindakan-tindakan
seperti seks bebas, perselingkuhan, pelacuran dan sebagainya.
-
Salah satu faktor kebahagiaan rumahtangga adalah kepuasan seksual. Untuk ituKamasastra perlu disosialisasikan kepada para pasangan suami
istri sehingga mengerti, memahami, dan selanjutnya mempraktekkan cara-cara
berhubungan seksual untuk mendapatkan kepuasan sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Astra, I Gde Semadi, dkk. 1989. Kamus Sansekerta – Indonesia. Denpasar: Pemerintah Daerah Propinsi Bali.
Badudu, J.S. & Moch. Zein, 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Gunawan, Rudy, 1993. Filsafat Sex. Yogyakarta:
Bentang Intervisi.
Maswinara, I Wayan. 1997. Kamasutra : Asli Dari
Watsyayana. Surabaya:
Paramita.
Putra, I Gst. Agung Gde, dkk. 1985/1986. Sejarah Perkembangan Agama
Hindu di Bali.Denpasar:
Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.
Somvir. 2001. 108 Mutiara Veda Untuk Kehidupan Sehari-hari. Surabaya: Paramita.
Sudharta, Tjok., Rai. 2006. Weda Sruti; Smerti; Dharma dan
Sastra Sansekerta; dll.Kumpulan
Materi Kuliah Weda. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan,
Universitas Hindu Indonesia.
Sura, I Gede dkk. 2002. Kajian Naskah Lontar Siwagama. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.
Utama, I Wayan Budi. 2004. Seksualitas Dalam Brahma Widya
(Teologi) dan Tradisi Hindu di Bali: Tesis. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan
Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia.
Warna, I Wayan, dkk. 1988. Kakawin Arjuna Wiwaha. Terjemahan. Denpasar: Dinas Pendidikan Propinsi Daerah
Tingkat I Bali.
Yasa, I Wayan Suka. 2006. Teori Rasa: Memahami Ungkapan
Estetik Para Kawi. Denpasar:
Penerbit Widya Dharma dan Fakultas Ilmu Agama UNHI Denpasar.
Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna
Selayang Pandang. Jakarta:
Djambatan.
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire